Cari Berita

Menggagas Peran MA Pasca Kasus Razman Nasution

Hanry Adityo S.H. M.Kn. - Dandapala Contributor 2025-02-15 06:45:18
Hanry Adityo S.H. M.Kn.

Persidangan merupakan tempat sakral bagi pencarian keadilan, di mana etika dan profesionalisme harus dijunjung tinggi oleh semua pihak yang terlibat. Namun, belakangan ini, perhatian publik tertuju pada perseteruan antara dua advokat ternama, Hotman Paris Hutapea dan Razman Arif Nasution. Keduanya terlibat dalam adu mulut yang sengit hingga aksi naik meja di ruang persidangan, yang seharusnya menjadi tempat yang berwibawa dengan mengedepankan argumentasi hukum. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana pengawasan atas kebebasan advokat dalam beracara di pengadilan, dan bagaimana Mahkamah Agung mengambil peran untuk memastikan tegaknya etika Advokat di ruang persidangan?

Advokat memiliki peran sentral dalam sistem peradilan sebagai salah satu pilar penegakan hukum. Kebebasan advokat dalam beracara merupakan bagian dari prinsip due process of law yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh pembelaan yang adil. Namun perlu dicatat, kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak dan harus tetap berada dalam koridor etika serta hukum acara yang berlaku. Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman memiliki peran strategis dalam memastikan tegaknya etika advokat di ruang persidangan. Peran ini dapat diwujudkan melalui aturan main yang jelas, pedoman perilaku dalam persidangan, serta mekanisme penegakan disiplin yang efektif.

Mengingat menjaga keluhuran dan kehormatan persidangan bukan hanya tugas dan tanggung jawab hakim, tetapi juga semua aktor dalam sistem peradilan, termasuk advokat. Namun, dalam praktiknya, Mahkamah Agung menghadapi kesulitan dalam menegakkan kedisiplinan advokat karena tidak memiliki basis regulasi yang cukup kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat misalnya, tidak ada satu pun pasal yang memberikan kewenangan langsung kepada Mahkamah Agung untuk mencabut izin keanggotaan atau membatasi hak beracara seorang advokat. Kewenangan tersebut sepenuhnya berada di tangan organisasi advokat, yang pada kenyataannya sering kali memiliki mekanisme pengawasan internal yang belum efektif hingga hari ini.

Selain itu, kewenangan hakim dalam menjaga ketertiban persidangan masih bergantung pada norma hukum yang tersebar dalam berbagai regulasi, seperti KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan kode etik profesi hukum. Namun, instrumen yang secara khusus memberikan kewenangan tegas kepada hakim dan Mahkamah Agung untuk menindak pelanggaran yang merusak kehormatan pengadilan belum tersedia secara optimal. Akibatnya, hakim sering kali menghadapi kendala dalam menegakkan disiplin dan ketertiban di ruang sidang. 


Pembaruan landasan hukum

Dalam menghadapi situasi ini, Mahkamah Agung nampaknya membutuhkan instrumen hukum yang relevan untuk dapat menegakkan marwah dan wibawa di ruang sidang. Oleh karena itu, diperlukan suatu regulasi baru seperti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Ketentuan Beracara Advokat dalam Persidangan, yang dapat menjadi dasar bagi pengadilan untuk memberikan teguran bahkan sanksi administratif kepada advokat yang terbukti melanggar etika. Selain itu, patut dipertimbangkan pula adanya penerapan Online Single Submission (OSS) Advokat, yaitu sebuah sistem berbasis digital yang mengawasi dan menilai profesionalisme advokat dalam beracara, juga menjadi solusi untuk meningkatkan efektivitas pengawasan advokat di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Instrumen ini diharapkan memberikan kewenangan yang lebih jelas bagi Mahkamah Agung dalam menindak pihak-pihak yang mengganggu wibawa persidangan, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi hakim dalam menjalankan tugasnya.

Sebagai dasar pijakan hukum, Mahkamah Agung dapat merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 067/PUU-II/2004, yang menegaskan bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, keputusan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengartikan bahwa advokat sepenuhnya terlepas dari pengawasan oleh pihak lain di luar organisasi advokat. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa lembaga peradilan (Re: Mahkamah Agung) tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk melakukan pengawasan terhadap advokat dalam beracara di persidangan pengadilan. 

Harapan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Ketentuan Beracara Advokat dalam Persidangan, Mahkamah Agung dapat memiliki dasar hukum yang lebih kuat yang tidak hanya mengatur mengenai pedoman perilaku advokat di persidangan juga ditujukan untuk dapat menindak advokat yang tidak menghormati persidangan. Beberapa poin penting yang dapat dimasukkan dalam PERMA ini meliputi standar perilaku dan etika advokat di ruang persidangan, sanksi administratif bagi advokat yang melanggar tata tertib persidangan, mekanisme pelaporan dan evaluasi perilaku advokat oleh hakim, dan penguatan instrumen kerja sama antara Mahkamah Agung dengan organisasi advokat dalam pengawasan profesi advokat.


OSS Advokat sebagai Inovasi Digital

Dalam sistem peradilan yang modern dan transparan, keberadaan advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum seyogyanya diawasi dengan sistem yang lebih efektif. Saat ini pengawasan terhadap advokat di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, seperti tidak adanya sistem terpusat yang mencatat rekam jejak advokat, sistem multi-bar organisasi advokat yang beragam, kurangnya transparansi dalam status perizinan beracara, serta belum optimalnya pengawasan atas kepatuhan advokat terhadap kode etik dan hukum acara.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan Sistem Online Single Submission (OSS) Advokat dapat menjadi instrumen pengawasan berbasis teknologi. Sistem ini akan berfungsi sebagai platform yang mencatat seluruh data advokat secara terintegrasi, termasuk status izin beracara, rekam jejak profesional, serta kepatuhan terhadap kode etik dan regulasi yang berlaku. Dengan adanya sistem ini, Mahkamah Agung lebih mudah mengawasi advokat yang berpraktik di seluruh Indonesia, memastikan bahwa hanya advokat yang memenuhi syarat yang dapat beracara, serta mencegah penyalahgunaan profesi advokat.

Selain sebagai alat pengawasan, OSS Advokat juga dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas badan peradilan. Adapun cakupan yang dapat dipertimbangkan dalam membangun OSS Advokat mencakup registrasi digital untuk advokat yang ingin beracara (BAS Elektronik), pendaftaran kuasa elektronik, sistem pelaporan pelanggaran etik yang dapat diakses oleh pengadilan se-Indonesia, evaluasi berkala atas profesionalisme advokat, dan penerapan sanksi administratif bagi advokat yang terbukti melanggar aturan persidangan. Dengan demikian penerapan OSS Advokat bukan hanya memperkuat peran Mahkamah Agung dalam menjaga profesionalisme advokat, tetapi juga mendukung terciptanya ekosistem peradilan yang unggul, transparan, dan berintegritas.


Kesimpulan

Mewujudkan marwah dan wibawa pengadilan merupakan tanggung jawab kita bersama, di mana advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum memiliki peran yang signifikan. Namun, tanpa pengawasan yang efektif, kebebasan advokat dalam beracara berpotensi disalahgunakan, yang dapat mengganggu ketertiban persidangan serta mencederai integritas peradilan itu sendiri.

Dalam hal ini, Mahkamah Agung perlu mengambil langkah progresif untuk memastikan keluhuran dan kehormatan badan peradilan tetap terjaga. Dalam upaya memperkuat pengawasan, penerapan Sistem Online Single Submission (OSS) Advokat dapat menjadi alternatif solusi bagi Mahkamah sehingga status legalitas, rekam jejak profesional, serta kepatuhan terhadap kode etik dapat berjalan dengan lebih baik.

Implementasi sistem ini juga tidak hanya meningkatkan disiplin dan profesionalisme advokat, tetapi juga memberikan perlindungan bagi hakim dalam menjaga ketertiban persidangan. Lebih dari itu, OSS Advokat dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dengan menciptakan transparansi dan akuntabilitas badan peradilan. Dengan demikian, kita patut menunggu hadirnya kolaborasi antara regulasi dan teknologi, yang bukan sekadar langkah administratif, melainkan upaya fundamental dalam menjaga kehormatan, wibawa, dan integritas pengadilan. 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum