Cari Berita

Arsip 2004: Saat Hakim Mintai Pertanggungjawaban Strict Liability di Kasus Lingkungan Hidup

article | History Law | 2025-05-15 08:10:01

Tahun 2004, Dedi dkk mengajukan gugatan perwakilan (Class Action) terhadap pemerintah buntut longsor di kawasan Hutan Gunung Mandalawangi, Garut. Hasilnya, hakim melakukan inovasi dengan memintai pertanggungjawaban perdata lingkungan hidup strict libility. Peta hukum Indonesia berubah total. Bagaimana ceritanya? Sebagaimana dikutip DANDAPALA berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1794 K/Pdt/2004 pada Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), yang dikutip pada hari Minggu (22/5/2025), kejadian bermula pada tanggal 28 Januari 2003 sekitar pukul 21.30 Wib terjadi longsor di kawasan Hutan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut yang menyebabkan tertimpanya kawasan pemukiman rumah penduduk tersebut dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda sebagai berikut: Korban jiwa meninggal : 20 orang (11 orang laki-laki dan 9 orang perempuan)Yang belum diketemukan : 1 (satu) orangRumah Permanen/non permanen hancur : 165 buah Rumah rusak berat : 67 buah Rumah rusak ringan : 44 buah Rumah terancam longsor susulan : 104 buah Madrasah: 2 buah Mesjid : 3 buah Kebun : 25 Hektar Sawah : 70 Hektar Kolam : 1 Hektar Ternak Domba : 150 Ekor Ternak Ayam dan Itik : 5000 Ekor Ikan : 3000 Kg Selain akibat di atas juga membuat penduduk yang terkena longsoran Gunung Mandalawangi terpaksa mengungsi dan hanya mengharapkan bantuan/sumbangan dan ditampung di dalam posko-posko yaitu: 1) pos I Rumah H. Atri S Kampung Cilageni, 217 KK = 1.069 Jiwa 2) pos II Balai Desa Mandalasari, 45 KK = 261 Jiwa 3) pos Ill Madrasah AI-Hikmah Kp. Sindangmulya, 78 KK = 240 Jiwa 4) pos IV Madrasah Baitul Muklis : 22 KK = 98 Jiwa 5) pos V RW. 10 Kp. Pintu (Baetul Mutaqin), 14.KK = 128 Jiwa  Jumlah: 376KK = 1.769 Jiwa Selain itu, total kerugian materil dan imateril para penggugat ditaksir mencapai Rp 50.417.200.000. Atas dasar kerugian tersebut membuat sejumlah masyarakat korban longsor mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Gugatan ini dilayangkan dengan dasar pertanggungjawaban perdata yaitu pertanggungjawaban mutlak (strict libility).  Di mana Penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan dari Tergugat I atas terjadinya longsor tersebut karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari Tergugat I selaku pengelola hutan di Kawasan Hutan Mandalawangi. Selanjutnya gugatan perwakilan tersebut diadili PN Bandung. Lalu pada tanggal 4 September 2003 Tergugat I (Direksi Perum Perhutani) cq Kepala Unit III Perum Perhutani Jawa Barat, Tergugat III (Menteri Kehutanan), Tergugat IV (Pemerintah Daerah TK.I Jawa Barat) dan Tergugat V Pemerintah Daerah Tk. II Garut) dinyatakan bertanggung jawab secara mutlak (Strict Liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan Hutan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Putusan PN Bandung tersebut selanjutnya diajukan upaya hukum banding dan dikuatkan dengan perbaikan di tingkat banding pada tanggal 08 Februari 2004. Lalu kasus ini pun berlanjut sampai ke tingkat kasasi. Bagaimana kata MA? “Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit Iii Jawa Barat, 2. Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq. Gubernur Propinsi Jawa Barat, 3. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Menterl Kehutanan Republik Indonesia, 4. Dedi, 5. Hayati, 6. Entin, 7. Oded Sutisna, 8. Ujang Ohom, 9. Dindin Holidin, 10. Aceng Elim Dan 11. Mahmud Tersebut”, demikian bunyi putusan kasasi yang diketok oleh ketua Majelis Harifin A Tumpa dengan anggota Atja Sondjaja dan I Made Tara. Putusan itu diputus dalam rapat pemusyawaratan hakim pada hari senin, tanggal 22 Januari 2007 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga.  Dalam memori kasasinya. Para Tergugat pada pokoknya beralasan : Judex Facti telah salah menerapkan prinsip strict liability karena seharusnya menerapan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan 283 RBg dengan tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) karena seseorang tidak dapat dihukum untuk membayar ganti kerugian tanpa adanya hubungan kausalitas dengan unsur kesalahan atau perbuatan melawan hukum.  Selain itu prinsip strict liability hanya dapat diterapkan secara selektif yaitu hanya terhadap kegiatan usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.Kegiatan Para Tergugat tidak termasuk kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta tidak menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, Peristiwa longsornya Gunung Mandalawangi merupakan bencana alam dalam bentuk banjir bandang yang disebabkan curah hujan di atas normal dan oleh karena itu pula merupakan keadaan memaksa (overmacht) di luar kemampuan manusia yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional Kegiatan Tergugat I bersumber pada Peraturan Pemerintah R.I. No. 2 Tahun 1978 jo. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1986, dan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999 tidak menimbulkan kerusakan sama sekali terhadap kawasan hutan MandalawangiPenerapan precautionary principle, prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konferensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference on Environment and Development) yang belum merupakan hukum positif yang berlaku di Republik Indonesia. Semua tindakan-tindakan Pemohon Kasasi semula Pembanding/Tergugat I di Gunung Mandalawangi sarat dengan kepentingan negara Republik Indonesia dan bukan merupakan kegiatan yang sewenang-wenang, melainkan kegiatan yang telah terprogram dalam program-program Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang dan segala hasil-hasil yang diperolehnya merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang pada akhirnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan serta kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia;Keputusan Judex Facti yang menghukum Pemohon Kasasi semula Pembanding/ Tergugat I dengan hukuman ganti kerugian merupakan putusan yang bertentangan dengan prinsip keadilan itu sendiri (ex aequo et bono), karena secara tidak langsung akan membebani keuangan negara yang pada akhirnya membebani seluruh rakyat Indonesia; Namun MA menolak argumen itu dengan alasan: Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, oleh karena berdasarkan fakta-fakta hukum Perum. Perhutani adalah pengelola kawasan hutan di Jawa Barat termasuk gunung Mandalawangi dimana telah terjadi bencana tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda penduduk. Dari hasil penelitian kejadian longsor tersebut adalah disebabkan antara lain kerusakan/ pencemaran lingkungan karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan peruntukannya, sebagai kawasan hutan lindung. Fakta ini mempunyai hubungan kausal dengan terjadinya tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Fakta-fakta tersebut menimbulkan pertanggungjawaban (Strict Liability) bagi Tergugat, dan Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya.Bahwa Hakim tidak salah menerapkan hukum apabila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup adalah untuk mengisi kekosongan hukum (Rechts vinding), pendapat para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan, karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum Internasional. Bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional, apabila telah dipandang sebagai “ius cogen” ;Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian, justru Negara berkewajiban melindungi dan memelihara lingkungan dalam kehidupan masyarakat. Negara i.c Pemohon Kasasi berkewajiban untuk memberi ganti rugi kepada masyarakat termasuk rakyat yang mengalami kerugian akibat perbuatannya. Pemohon Kasasi tidak dapat bersandar pada kebijaksanaan, karena akibat dari kebijakan hukum yang merugikan masyarakat, tidak dapat ditolerir. (ASP/LDR)

Mengenal Pengadilan Landreform: Dibentuk Soekarno, Dibubarkan Soeharto

article | History Law | 2025-05-13 08:00:58

17 AGUSTUS 1960, Presiden Soekarno berpidato dengan judul Djalannja Revolusi Kita (Djarek). Dalam pidato itu, ia menegaskan cara-cara pelaksanaan manifesto politik di bidang politik agraria, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.Berselang sebulan setelah itu, tepatnya 24 September tahun 1960 lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang masih eksis berlaku sampai dengan saat ini. Konflik Pertanahan Pasca UUPA Melahirkan Pengadilan Landreform dan Bukan Pengadilan Agraria Meskipun semangat revolusi yang digaungkan oleh Soekarno melalui reformasi telah menata kembali sistem pertahanan di Indonesia, namun penyelenggaraannya hingga tahun 1964 belum selesai. Salah satu kendalanya terjadi sengketa pertanahan sebagai akibat dari pelaksanaan peraturan-peraturan landreform, sehingga sedikit banyak menghambat kelancaran pelaksanaan landreform Awalnya perkara-perkara sengketa pertanahan diadili di pengadilan negeri, namun pemerintah pada saat itu beranggapan penyelesaiannya kurang lancar.  Pada masa itu juga yang pengadilan negeri sehari-hari dibanjiri oleh sejumlah besar perkara-perkara yang menyangkut keamanan negara, seperti subversi, korupsi dan sebagainya, yang meminta prioritas, sehingga perkara-perkara landreform, yang dapat terjadi baik dalam bidang pidana maupun perdata dan tata-usaha negara, kurang mendapat perhatian, walaupun kesemuanya itu sama pentingnya dalam usaha mencapai tujuan dan menyelesaikan revolusi. Selain itu, pemerintah juga berkeinginan penyelesaian perkara landreform diselesaikan secara cepat. Di samping perlunya kecepatan penyelesaian perkara-perkara landreform, pemerintah juga menginginkan penyelesaian perkara-perkara itu memerlukan penguasaan yang sempurna dari peraturan-peraturan landreform dan agraria yang makin hari makin bertambah banyak, sehingga memerlukan perhatian dan penelaahan yang khusus. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka Pemerintah telah memutuskan untuk membentuk peradilan landreform yang tersendiri, agar meringankan tugas para hakim Pengadilan Negeri dan juga untuk mempercepat penyelesaian perkara-perkara landreform. Walaupun demikian, peran dari pengadilan negeri belum dapat sepenuhnya ditinggalkan. Itulah sebabnya, bahwa pengalaman dan pengetahuan serta kebijaksanaan seorang hakim Pengadilan Negeri masih diperlukan untuk memimpin dan membimbing Pengadilan Landreform Daerah dan seorang hakim pada Pengadilan Umum untuk Pengadilan Landreform Pusat. Mengingat sifat yang luar biasa dari perkara-perkara yang timbul karena pelaksanaan landreform, maka diperlukan suatu badan peradilan tersendiri dengan susunan, kekuasaan dan acara yang khusus. Akhirnya pada tahun 1964 diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform (UU Pengadilan Landreform). Pengadilan Landreform tidak bermaksud untuk memutus segala perkara mengenai tanah atau agraria sebagai suatu keutuhan. Hal ini disebabkan, karena sifatnya yang khusus untuk memperlancar berjalannya landreform, lagi pula tidak mengurangi wewenang Pengadilan Negeri untuk memutus tentang soal-soal tanah, soal waris-mewaris dan sebagainya yang bila juga akan dibebankan kepada Pengadilan Landreform, pasti akan menghambat pelaksanaan Landreform. Oleh karena itu, Pemerintah hanya berkehendak membentuk Pengadilan Landreform, bukan Pengadilan Agraria. Kewenangan Pengadilan Landreform Pengadilan Landreform berwenang mengadili perkara-perkara perdata, pidana maupun administratif yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform, yaitu: 1.      Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu pasal 7, 10, 14, 15, 52 ayat (1) dan pasal 53; 2.      Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil; 3.      Undang-undang No. 38 Prp. tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk tanaman-tanaman tertentu; 4.      Undang-undang No. 51 Prp. tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya; 5.      Undang-undang No. 56 Prp. tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; 6.      Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; 7.      Undang-undang No. 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan sepanjang mengenai pelanggaran ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan dengan bagi hasil tambak; 8.      Peraturan Pemerintah lainnya yang merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang disebut di atas dan Peraturan-peraturan lainnya yang secara tegas disebut sebagai peraturan Landreform. Kedudukan Pengadilan Landreform Pengadilan landreform, terdiri dari pengadilan-pengadilan Landreform Daerah dan Pengadilan Landreform Pusat. Pengadilan Landreform Daerah pada azasnya bersidang di tempat kedudukannya. Jika dipandang perlu Pengadilan Landreform dapat memeriksa dan memutus perkara-perkara Landreform di tempat-tempat terjadinya perkara. Pengadilan Landreform Daerah mengadili perkara-perkara Landreform pada tingkat pertama. Yang berwenang mengadili sesuatu perkara landreform adalah Pengadilan Landreform Daerah dari daerah tempat letak tanah yang tersangkut di dalam perkara itu. Pengadilan Landreform Pusat adalah Pengadilan banding dari Pengadilan yang berkedudukan di Jakarta. Terhadap putusan Pengadilan Landreform Pusat tidak dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali kasasi untuk kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung. Susunan Majelis Hakim Pengadilan Landreform Daerah terdiri dari satu kesatuan majelis atau lebih terdiri dari: 1 orang hakim Pengadilan Negeri setempat sebagai Ketua sidang, 1 orang penjabat Departemen Agraria sebagai hakim anggota dan 3 orang wakil organisasi-organisasi massa tani sebagai hakim anggota. Pengadilan ini juga dibantu oleh 1 orang panitera atau panitera-pengganti. Hakim dari perwakilan departemen agraria diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Agraria Daerah. Sementara Hakim dari unsur organisasi masa tani diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman atas usul Front Nasional Daerah. Begitupun Pengadilan Landreform pusat mempunyai komposisi susunan yang sama dengan Pengadilan Landreform daerah. Pengadilan Landreform daerah dan pusat hanya sah bersidang apabila dihadiri oleh lima orang hakim tersebut. Diangkatnya hakim dari unsur departemen agraria dan perwakilan organisasi tani, dikemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya Hakim Ad Hoc yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diangkat untuk jangka waktu tertentu. Hukum Acara Pengadilan Landreform Pengadilan Landreform Daerah menggunakan hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri setempat dan Pengadilan Landreform Pusat menggunakan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan banding pada Pengadilan Tinggi. Dalam pemeriksaan perkara landreform administratif digunakan hukum acara perdata. Hal yang menarik dari Hukum Acara Pangadilan Landreform adalah acara pemeriksaan dibatasi hingga pada penerimaan gugatan, penerimaan jawaban dan tangkisan, pemeriksaan alat-alat pembuktian, kesimpulan pihak yang berperkara, musyawarah dan putusan. Hal ini hampir sama dengan Hukum Acara pada penyelesaian perkara gugatan sederhana. Mahkamah Agung Pemutus Sengketa Kewenangan Mengadili UU Pengadilan Landreform menegaskan dalam hal terjadi sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Landreform Daerah dan pengadilan lain, maka Mahkamah Agung memutus pengadilan mana yang akan mengadili perkara yang bersangkutan. Berperkara di Pengadilan Landreform Tidak dikenai Biaya UU Pengadilan Landreform juga menegaskan Pembiayaan Pengadilan Landreform Daerah dan Pengadilan Landreform Pusat dibebankan pada anggaran Departemen Agraria. Pengadilan Landreform Hanya Berumur 6 Tahun Pergantian kekuasaan pemerintahan Indonesia turut mempengaruhi juga sistem politik hukum sesuai dengan irama pemimpinnya. UU yang sebelumnya dibentuk dengan semangat revolusi Presiden Soekarno, diganti dengan semangat pembangunan Presiden Soeharto. Tepatnya pada tanggal 31 Juli 1970 diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform (UU tentang Penghapusan Pengadilan Landreform). Maka sejak saat itu, semua sengketa dibidang pertanahan kewenangannya dikembalikan kepada peradilan umum. Mengutip pertimbangan UU tentang Penghapusan Pengadilan Landreform, salah satu alasan dihapusnya pengadilan landreform adalah susunan Pengadilan Landreform yang antara lain terdiri dari 3 orang Wakil Organisasi Massa Tani yang duduk sebagai Hakim Anggota untuk mencerminkan kegotong-royongan Nasional berporoskan nasakom adalah bertentangan dengan Ketetapan Majelis Per musyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPRS/1966 dan No.XXXVIII/MPRS/ 1968. Selain itu, pelaksanaan penyelenggaraan peradilan perkara-perkara Landreform oleh Pengadilan Landreform mengalami kesulitan dan kemacetan. Sehingga tujuan utama untuk mempercepat penyelesaian perkara-perkara tersebut tidak dapat tercapai. (LDR) Sumber. 1.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 2.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform. 3.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform. 4.      Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 113 Tahun 1965 tentang Pengangkatan Hakim Anggota Pengadilan Landreform Pusat. 5.      Surat Mahkamah Agung No.6/KM/845/M/A/III/67 mengenai mengadakan pedoman penyelenggaraan Landreform No. 5/PLP/1967 6.      Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pencabutan Surat-Surat Edaran, Keputusan, Intruksi Mahkamah Agung Republik Indonesia. 7.      Pidato Soekarno 17 Agutus 1960 dikutip dari wikisource.org

Ketua Muda Pidana MA, Adi Andojo Soetjipto dan Gerakan Mahasiswa Mei 98

article | History Law | 2025-05-08 10:00:29

Mei 1998 akan selalu diingat sebagai titik balik sejarah demokrasi di Indonesia. Mahasiswa di seluruh Indonesia saat itu turun ke jalan menuntut reformasi di Indonesia. Menjelang reformasi tersebut, Adi Andojo Soetjipto yang menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Hukum Pidana Umum 1982-1997, telah memasuki masa pensiun. Selepas pensiun Ia diminta untuk menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FH USAKTI). Ia kemudian resmi menjabat sebagai Dekan FH Universitas Trisakti pada 23 Juni 1997. Sebelum diangkat sebagai Dekan FH USAKTI, Adi Andojo Soetjipto semasa menjabat di Mahkamah Agung sudah dikenal dekat dengan mahasiswa. Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, menuliskan bahwa saat terjadi konflik internal Mahkamah Agung di tahun 1996 dan Adi Andojo Soetjipto terancam dipecat, mahasiswa di berbagai tempat melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk dukungan kepada dirinya. Aksi mogok makan dilakukan di berbagai daerah dan bahkan terdapat tiga mahasiswa di Purwokerto harus dilarikan ke rumah sakit dan satu orang di antaranya koma. Adi Andojo Soetjipto harus berkunjung ke daerah-daerah untuk meminta para mahasiswa menghentikan mogok makan. Dalam memoarnya yang berjudul Menyongsong dan Menunaikan Tugas Negara Sampai Akhir, Adi Andojo Soetjipto menuliskan bahwa kampus yang Ia pimpin awalnya adem ayem, namun tiba-tiba menjadi bergejolak akibat gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi. Tepatnya pada 7 Mei 1998 Senat Universitas Trisakti mengeluarkan pernyataan untuk mendukung aspirasi dan tuntutan mahasiswa.  Senat Universitas Trisakti juga membentuk sebuah crisis center untuk memberikan dukungan kepada mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya. Adi Andojo Soetjipto ditunjuk sebagai Ketuanya. Gerakan mahasiswa terus terjadi. Pada 12 Mei 1998, sebuah mimbar bebas diadakan di pelataran parkir sebuah Gedung Universitas Trisakti. Tidak hanya mahasiswa, dosen dan guru besar pun turut menyuarakan suaranya melalui orasi dalam mimbar bebas tersebut. Prof. Mafruchah Jusuf, Ir. Trisulo, dan tentunya Adi Andojo Soetjipto tercatat sebagai orator dalam mimbar bebas tersebut. Setelah mimbar bebas selesai jam 12 siang, mahasiswa turun ke jalan dan hendak menuju Gedung DPR/MPR. Adi Andojo Soetjipto dan Dr. Chairuman Armia MA, Dekan FE Universitas Trisakti saat itu, mengikuti mahasiswa karena merasa bertanggung jawab akan keselamatan mereka. Pihak aparat keamanan mencegat mahasiswa di depan Kantor Walikota Jakarta Barat yang saat itu berada di Jalan S. Parman. Adi Andojo Soetjipto mencoba bernegosiasi dengan aparat keamanan agar mahasiswa dapat diizinkan untuk mengadakan long march menuju Gedung MPR/DPR, namun tidak berhasil. Karena tidak diizinkan, mahasiswa akhirnya berdemonstrasi di depan kantor Walikota Jakarta Barat tersebut. Usman Hamid, dalam obituari Adi Andojo Soetjipto di Harian Kompas 13 Januari 2022, menuliskan bahwa pada 12 Mei 1998 tersebut, Adi Andojo Soetjipto berada di barisan depan ribuan demonstran mahasiswa Trisakti yang hendak long march ke Gedung DPR/MPR. Di atas mimbar, Ia lantang menyuarakan tuntutan mahasiswa tentang pentingnya reformasi. Adi Andojo Soetjipto kemudian sempat kembali ke kantornya di FH USAKTI. Kemudian, saat Ia sedang menyelesaikan pekerjaannya, Pembantu Dekan III FH USAKTI saat itu menghubungi Adi Andojo Soetjipto dan memberitahukannya bahwa mahasiswa diberi waktu hanya sampai pukul 16.00 dan jika tidak maka akan ada pembubaran paksa. Karena khawatir akan terjadi bentrokan, Adi Andojo Soetjipto kembali ke depan Gedung Walikota Jakarta Barat. Adi Andojo Soetjipto kemudian membujuk mahasiswa untuk kembali ke kampus. Setelah dianggap aman, Adi Andojo Soetjipto kembali ke rumah. Namun saat berada di rumah, terjadi peristiwa penembakan mahasiswa. Adi Andojo Soetjipto kemudian bergegas ke Rumah Sakit Sumber Waras untuk menjenguk mahasiswa. Mahasiswa Trisakti yang bernama Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie meninggal dunia. 5 orang mahasiswa tercatat luka parah dan 17 lainnya mengalami luka-luka. Pada 2 Desember 1999, Adi Andojo Soetjipto diangkat sebagai Ketua Tim Untuk Penuntasan Kasus Peristiwa 12 Mei 1998. Tim tersebut berkali-kali mengadakan rapat, menyusun strategi, melakukan investigasi, bertemu dengan pihak-pihak berkepentingan, namun tetap tidak dapat menemukan aktor intelektualnya. Pada 24 Juli 2001, Adi Andojo Soetjipto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Dekan FH USAKTI. Sampai ia mundur, aktor intelektual penembakan mahasiswa tetap tidak ditemukan dan keinginannya untuk menyatakan peristiwa pelanggaran HAM berat juga belum tercapai. (YPY, LDR)

Oesin, Orang  Pertama yang Dieksekusi Mati Pasca Indonesia Merdeka

article | History Law | 2025-05-06 17:10:38

TAHUKAH Sobat dandafelas siapa orang pertama di Indonesia yang dieksekusi mati pasca Indonesia merdeka?  Dukuman mati di Indonesia telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tepatnya pada 1808, saat masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Willem Daendels. Hukuman mati kala itu dianggap sebagai strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan sekaligus mempertahankan Tanah Jawa dari serangan Inggris.         Setelah kemerdekaan, pada 1951, aturan hukuman mati tetap dipertahankan hingga masa Demokrasi Liberal. Kala itu, hukuman mati bertujuan untuk menghalau masyarakat yang memberontak dan ingin memisahkan diri dari Indonesia. Hukuman ini pun masih berlaku pada masa Demokrasi Terpimpin periode 1956-1966.                    Penjatuhan hukuman mati pertama sejak Indonesia berdiri adalah perkara pembunuhan yang dilakukan Oesin Bestari. Oesin Bestari adalah orang Indonesia pertama yang dieksekusi mati karena membunuh enam rekan bisnisnya secara keji. Pria keturunan Arab kelahiran Krian, Sidoarjo, Jatim pada 1926 itu dieksekusi setelah menjalani masa tahanan selama 14 tahun. Oesin divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada tahun 1967. Hukuman itu dijatuhkan karena Oesin tak menunjukkan penyesalan padahal telah membantai puluhan orang.           Oesin sendiri kala itu sempat memohon grasi ke Presiden Soeharto pada 1977, namun permohonannya ditolak. Sebagaimana telah dikutip Dandapala (5/5) dalam buku berjudul 'Oesin Pendjagal Manusia' karya Ham Djoe Hio pada 1964. Yang sebelumnya pernah menjadi laporan Jacob Vredenbregt yang dimuat majalah Bzzlletin, edisi 22 tahun 1992-1993 dengan judul 'Hoesin bin Oemar Batfari, handelaar in huiden', pembunuhan berantai yang dilakukan Oesin Cs ini terungkap secara tak sengaja oleh petugas keamanan kampung (bayan) yang tengah berpatroli di Desa Seduri, Mojosari, Mojokerto, pada Senin, 11 Mei 1964, malam.                                                                                                      Saat itu, petugas mendapat laporan ada keributan dan suara aneh mirip hewan yang dicekik dari rumah yang disewa oleh Oesin, yang dikenal sebagai jagal dan pedagang kulit kambing.                                                                                                                Dua petugas keamanan mendatangi rumah Oesin untuk memastikan apa yang terjadi,dua petugas itu lantas mengetuk pintu rumah. Oesin yang keluar kemudian menjelaskan bahwa suara gaduh berasal dari temannya yang mengalami sakit perut. Kedua petugas keamanan itu percaya begitu saja dan langsung pergi melanjutkan patroli.Namun, belum jauh beranjak dari tempat itu, mereka kembali mendengar suara teriakan aneh. Mereka berusaha mengintip melalui celah-celah di rumah tersebut. Betapa kagetnya ketika mereka melihat Oesin  di dalam rumah tengah menyiksa seorang pria.        Singkat cerita dari ungkapan buku Ham Djoe Hio, Pembunuhan pertama di lakukan Oesin di rumahnya di Desa Jagalan. Lima orang lainnya ia bunuh di sebuah rumah yang disewanya di Desa Seduri, di pinggir jalan raya antara Mojokerto-Surabaya. Setelah pembunuhan pertama, kemudian atas dasar pengakuan Oesin ternyata sudah merencanakan pembunuhan-pembunuhan selanjutnya dengan total korbannya seluruhnya berjumlah 25 orang dikuburkan di tempat-tempat yang berbeda.       Modus Oesin selalu memilih korbannya pedagang yang dikenalnya di pasar lokal. Oesin mendekati mereka dengan merayu iming-iming mendapatkan prospek keuntungan besar bisnis dagang kulit, pupuk, emas dan komoditas lainnya. Banyak yang tergiur dan tak curiga dengan niat jahat Oesin yang sebenarnya untuk menguasai harta benda mereka. Calon korban yang tergiur keuntungan selalu dipancing datang ke rumah Oesin di Seduri. Mereka disuguhi kopi atau teh manis, lalu diajak bincang-bincang dengan Alwi dan Iteng.Sedangkan Oesin bersembunyi di balik tirai mengawasi situasi. Bila sudah ada kesempatan, Oesin langsung memukul kepala korban dengan lesung atau sepotong besi. Sampai pada kisah akhirnya Oesin ditangakap polisi, selanjutnya sampai pada akhirnya Pada 14 september 1978, Oesin dibawa ke pantai Kenjeran, Surabaya untuk di eksekusi mati ditangan 1 regu tembak dengan tangan dikat pada tiang kayu dan mata tertutup kain hitam, beber buku itu.(EES)Referensi :-       Buku berjudul 'Oesin Pendjagal Manusia' karya Ham Djoe Hio pada 1964.-       Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),2023.-       https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7560807/kisah-oesin-jagal-mojokerto-bantai-25-orang-berakhir-ditembak-mati? 

Jangan Keliru, Ini Makna 4 Pilar Pada Gedung Pengadilan!

article | History Law | 2025-05-06 09:05:29

Jakarta- Di bawah komando Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Periode 2009-2013, Taufiq Kiemas, MPR RI telah mencetuskan 4 (empat) pilar kebangsaan. Empat pilar tersebut, terdiri dari Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat pilar kebangsaan inilah yang hingga saat ini kerap disosialisasikan oleh MPR RI ke pelosok negeri. Namun, sebagaimana Dandafellas ketahui, konsep 4 Pilar ini juga dapat ditemui di lembaga yudisial. Saat memasuki area gedung pengadilan, Dandafellas tentu tidak asing menyaksikan 4 pilar atau tiang kokoh yang menyangga megahnya gedung pengadilan. Dahulu, banyak orang yang mengira 4  pilar dimaksud merepresentasikan 4 pejabat yang ada di pengadilan. Yakni, Ketua, Wakil Ketua, Panitera dan Sekretaris Pengadilan. Namun, perlu diketahui apakah pandangan berbagai pihak tersebut sudah tepat?Mari disimak ulasan berikut ini!Makna sesungguhnya 4 (empat) pilar gedung pengadilan ini dapat ditelusuri melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 216/KMA/SK.PL1.2.2/X/2023 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 143/KMA/SK/VIII/2007 Tentang Memberlakukan Buku I Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Bidang Pola Kelembagaan Peradilan, Administrasi Kepegawaian Peradilan, Administrasi Perencanaan, Administrasi Tata Persuratan, Tata Kearsipan dan Administrasi Keprotokolan, Kehumasan dan Keamanan, Administrasi Perbendaharaan, Prototype Gedung Pengadilan dan Rumah Dinas dan Pola Klasifikasi Surat Mahkamah Agung RI (SK KMA 216/2023).Di dalam SK KMA 216/2023 pada bagian B Gedung Pengadilan (hal. 26) tersebut, telah ditentukan arti 4 (empat) pilar/tiang kokoh pengadilan yang bermakna bahwa Mahkamah Agung (MA) terdiri dari empat lingkungan peradilan. Selain itu, 4 (empat) pilar/tiang pengadilan ini juga mengandung arti asas dalam proses peradilan yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.Adapun 4 (empat) lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud di atas, di dalam Pasal 25 Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah dijelaskan lingkungan peradilan dibawah MA terdiri dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.Penjelasan ini selaras dengan bunyi pidato Ketua MA Periode 2020-2024, Muhammad Syarifuddin saat melantik Sekretaris MA pada tahun 2020. “Bahwa di setiap gedung pengadilan yang telah memenuhi standar prototipe pengadilan terdapat 4 (empat) pilar disana, pilar sama besar, sama kokoh, berdiri tegak, itu melambangkan 4 (empat) peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara,” ungkapnya.     Jadi, dengan demikian makna 4 (empat) pilar pada gedung pengadilan bukanlah merepresentasikan 4 (empat) pejabat yang ada di pengadilan. Melainkan melambangkan 4 (empat) lingkungan yang berada di MA yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Juga dapat diartikan, asas yang ada di dalam proses peradilan yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. (ZM)

Menyelisik Sejarah Adagium Lebih Baik Membebaskan 1000 Orang Bersalah Daripada Menghukum 1 Orang Tidak Bersalah

article | History Law | 2025-05-03 16:25:50

Hakim merupakan profesi yang mulia atau sering disebut "Nobile Officium". Ini dikarenakan Hakim merupakan figur sentral dalam menegakan hukum dan keadilan. Bahkan dalam ruang lingkup hukum pidana, nasib seorang Terdakwa ditentukan oleh ketukan palu Hakim.Dalam dunia peradilan, tentu kita tidak asing lagi dengan adagium yang mengatakan "Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah". Adagium ini memiliki nilai yang sangat mendalam, bagi seorang Hakim. Tentu itu wajar, dikarenakan di tangan Hakimlah hukuman seseorang ditentukan.Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pidana, Hakim didasarkan pada alat bukti yang diajukan ke persidangan, sehingga tidak ada kewajiban bagi Hakim untuk menyatakan setiap Terdakwa yang diperiksa, terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Inilah sebabnya, mengapa tugas dari seorang Hakim adalah untuk mengadili setiap Terdakwa yang diajukan ke persidangan dan bukan untuk menghukumnya.     Dalam kasus tertentu, Hakim bisa diperhadapkan pada kasus yang minim pembuktian. Adanya adagium tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman (guidance) bagi Hakim dalam menentukan keyakinan, apakah Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana atau tidak. Namun tahukah anda, sejak kapan adagium tersebut mulai dikenal?Seorang Filsuf dari Inggris bernama William Blackstone yang dalam hukum pidana dikenal dengan rasio Blackstone, dalam bukunya Commentaries on the Laws of England (1765-1769) memberikan gagasan bahwa, "Lebih baik sepuluh orang yang bersalah lolos daripada satu orang yang tidak bersalah menderita." Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa hukuman yang salah lebih merusak daripada membiarkan beberapa pelaku kejahatan lolos dari hukuman.Jika menilik lebih jauh lagi dalam hukum inggris, rasio Blackstone tersebut dipelopori oleh Hale (sekitar 100 tahun sebelumnya) dan John Fortescue (sekitar 300 tahun sebelumnya). Keduanya adalah ahli hukum yang berpengaruh pada masanya. Hale menulis: "lebih baik lima orang bersalah lolos tanpa hukuman, daripada satu orang yang tidak bersalah mati." Sementara itu Fortescue dalam karyanya De Laudibus Legum Angliae (sekitar tahun 1470), menyatakan bahwa "seseorang lebih suka jika dua puluh orang bersalah lolos dari hukuman mati, daripada satu orang yang tidak bersalah dihukum dan menderita hukuman mati."Ternyata apa yang dikemukakan oleh William Blackstone, Hale dan John Fortescue tersebut sebelumnya telah ditulis oleh seorang ahli teori hukum Yahudi bernama Maimonides. Kira-kira 300 tahun sebelum Fortescue (sekitar tahun 1170), Maimonides menulis bahwa "Yang Maha Tinggi telah menutup pintu ini" terhadap penggunaan bukti yang bersifat dugaan, karena "lebih baik dan lebih memuaskan membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum mati satu orang yang tidak bersalah."Landasan filosofis dari prinsip tersebut terletak pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat individu. Hukuman yang salah tidak hanya merugikan individu yang dihukum, tetapi juga mencederai integritas sistem hukum itu sendiri. Kesalahan dalam sistem hukum, yang menghukum orang yang tidak bersalah, dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum tersebut.Menurut penulis idealnya seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara, harus menghukum Terdakwa yang terbukti bersalah dan sebaliknya membebaskan jika tidak terbukti bersalah. Namun seperti yang diuraikan di atas, jika Hakim sedang memeriksa perkara yang pembuktiannya sangat minim, atau Hakim ragu-ragu dalam menyatakan Terdakwa terbukti bersalah, maka Hakim jangan ragu untuk membebaskan Terdakwa. Karena untuk menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, Hakim harus benar-benar yakin dan tidak ragu (beyond reasonable doubt). Adanya prinsip kehati-hatian (prudent) dalam mengadili suatu perkara, sangatlah dibutuhkan seorang Hakim, agar tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Jika seorang Terdakwa yang tidak bersalah dihukum, maka pertanggungjawaban moral berada pada diri Hakim. Namun sebaliknya jika seorang Terdakwa yang bersalah dibebaskan, maka pertanggungjawaban moral berada pada diri Terdakwa.Referensi:https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/irman-ichandri/lebih-baik-bebaskan-1000-yang-bersalah-daripada-menghukum-1-yang-tak-bersalah-231Vhttps://en.wikipedia.org/wiki/Blackstone%27s_ratio

Menelusuri Profesi Notaris di Indonesia

article | History Law | 2025-05-01 10:10:05

Selain profesi Hakim, Notaris adalah sebuah profesi yang dikenal dengan “officium nobile” karena profesi ini memiliki hubungan erat dengan kemanusiaan. Notaris sudah dikenal pada sekitar abad ke-2 sampai ke-3 pada masa romawi kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato.Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah atau titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, Notaris adalah lembaga sosial yang ada sebagai kebutuhan untuk komunikasi antarpribadi, yang hendak memberikan kesaksian kepada orang-orang yang berkepentingan dengan Hukum Perdata. Badan tersebut diberi kuasa umum (openbaar gezag) untuk memberikan bukti tertulis yang mengandung kuasa asli, mengikuti kehendak persyaratan Hukum masyarakat. Lembaga sosial yang dikenal dengan sebutan “Notaris” ini muncul karena adanya kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat yang ingin memberikan pembuktian tentang hubungan Hukum Keperdataan melalui suatu badan yang ditunjuk oleh pejabat publik (openbaar gezag). Sehingga jabatan notaris tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.Dikutip dari G.H.S Lumban Tobing (1983), sejarah perkembangan lembaga kenotariatan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan lembaga kenotariatan di seluruh negara Eropa, khususnya Belanda. Hal ini karena di Indonesia, Undang-Undang tentang jabatan Notaris berasal dari “Notariswet” (Ned. Stbl. no. 20) dari Belanda pada tanggal 9 Juli 1842, sedangkan isi “Notariswet” sebagian besar berasal dari Hukum Notaris Perancis dari 25 Ventose an Xl (16 Maret 1803) meskipun bukan terjemahan yang lengkap. "Notariswet" diakui dan digunakan di Belanda.Di masa itu Belanda seolah-olah memonopoli lembaga Notariat yang ada di Indonesia. Lembaga Notariat juga menduduki kota-kota besar, sehingga hanya mudah dijangkau oleh orang-orang yang tinggal di sana. Hanya orang-orang Timur asing, Cina, Eropa, dan bangsa asing lain yang memiliki kesempatan untuk tinggal di kota-kota besar. Beberapa orang Indonesia dengan golongan tertentu yang memiliki kesempatan untuk tinggal di kota-kota besar, sedangkan sebagian besarnya menduduki pemukiman di kota kecil dan desa-desa.Dikutip Dandapala (1/5) dari buku Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim (2015), tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1620, Notaris pertama yang diangkat di Indonesia yaitu Melchior Kelchem, sekretaris dari College van Schenpenen di Jakarta pada tanggal 27 agustus 1620. Setelah itu berturut ikut diangkat sebagian notaris yang lain, yang umumnya merupakan keturunan Belanda atau timur asing yang lain. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu : “Segala peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini””. Dengan berdasar kepada Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notarisambt in Nederlands Indie.“Kemudian, sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan, dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman. Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di Universitas Indonesia. Dilanjutkan kursus notariat dengan menempel di fakultas hukum, sampai tahun 1970 diadakan program studi spesialis notariat, sebuah program yang mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, kontrak dan sebagainya) yang memberikan gelar sarjana hukum (bukan CN singkatan dari Candidate Notaris) pada lulusannya. Dalam perjalannya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu: Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101; Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. Dikarenakan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Hingga pada akhirnya sebagai pengganti Staatsblad 1860 Nomor 30, di tahun 2004 lahir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan pada tahun 2014 UUJN telah diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014. (EES/AL-LDR) Referensi : -       G.H.S Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga. -       Laurensius Arliman S, 2015. “Buku Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim. Sleman: Deepublish -       Edmon Makarin, 2020, Notaris dan Transaksi Elektronik. Depok: PT. Grafikindo Persada. -       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014.

Nenek Minah, Restorative Justice dan Lahirnya Perma 2/2012

article | History Law | 2025-04-25 14:10:56

KISAH Nenek Minah adalah kasus menimpa seorang wanita tua warga Banyumas, Jawa Tengah, yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Peristiwa ini terjadi pada tahun 2009 silam ketika Nenek Minah menunaikan pekerjaannya memanen kedelai di perkebunan RSA.Sebagaimana DANDAPALA kutip dari buku Restorative Justice: Alternatif Baru Dalam Sistem Pemidanaan yang ditulis Iba Nurkasihani, kasus Nenek Minah memang cukup fenomenal. Karena kasus ini bermula ketika Nenek Minah mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat nampak matang. Maksud hati memetik untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Kemudian dia meletakkan kakao di bawah pohon tak lama kemudian, mandor kakao perkebunan menegur Nenek Minah lantaran 3 buah kakao yang nampak tergeletak di bawah pohon. Tak mengelak dari perbuatannya, Nenek Minah mengaku dan memohon maaf kepada mandor dan menyerahkan kembali ketiga kakao itu,ungkap buku itu. “Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian,” beber buku tersebut.Pada akhirnya kasus itu naik di meja hijau yang kala itu disidangkan pada Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Nenek Minah kala itu didakwa atas pencurian (Pasal 362) terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga Rp 2.000 per kilogram.Pada saat itu Majelis Hakim PN Purwokerto yang diketuai Muslih Bambang Luqmono,SH., memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Persidangan Perkara No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt ini ramai dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses hukum hingga ke pengadilan.Kasus Nenek Minah adalah pembuka fenomena penerapan Restorative Justice (RJ) mengambil kakao dengan terdakwa Nenek Minah yang kemudian kasusnya menjadi referensi Jaksa Agung hingga Kapolri  menyuarakan penerapan restorative justice dalam berbagai kasus. Kasus Nenek Minah ini sampai sekarang bagai landmark case untuk penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice (RJ) dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang.Konsep RJ sendiri sebetulnya berupaya untuk mengembalikan ke keadaan semula, tapi tidak kemudian menghapuskan kejahatan dari pelaku. Kesalahan akan tetap ada pada pelaku. Namun RJ membuka peluang bagi korban untuk memaafkan serta pelaku untuk mengkoreksi perilakunya. Tetap pada pokoknya hukum pidana memberi peringatan bagi masyarakat jangan membuat perbuatan yang melanggar UU karena terdapat ancaman pidana. Kasus Nenek Minah memberikan pelajaran bahwa hukum tidak hanya bekerja secara normatif atau teori semata, namun bagaimana hukum itu diterapkan dalam kasus di persidangan. Di tahun 2012  kemudian lahir Perma Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP terkait Tindak Pidana Ringan. Di mana kerugian yang ditimbulkan kurang dari 2,5 juta. (EES/asp).

Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang

article | History Law | 2025-04-23 19:45:47

SISTEM hukum di Indonesia pada prinsipnya dipengaruhi oleh hukum adat, hukum Islam, dan hukum perdata barat. Lalu ada jenis sanksi apa saja kala sistem hukum Jawa abad ke-18?Di masa penjajahan ketika Indonesia masih belum bersatu dan berbentuk kerajaan salah satu sistem hukum yang berlaku adalah Sistem Hukum Jawa pada masyarakat Jawa. Secara periodisasi, salah satu yang menarik adalah bagaimana Sistem Hukum Jawa pada Abad Ke-18 pasca Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Surakarta (Kasunanan) dan Yogyakarta (Kasultanan) pada tanggal 13 Februari 1755 dan Perjanjian Salatiga pada bulan Februari 1757 yang memberikan Mangkunegara I tanah sejumlah 4000 karya dari Paku Buwana III. Pasca Perjanjian Giyanti struktur pemerintahan di dalam Sistem Hukum Jawa menjadi berbeda. Otoritas tertinggi di dalam struktur pemerintahan adalah Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta. Otoritas tertinggi membuat peraturan yang kemudian dilaksanakan oleh Angabei Amongpraja untuk pengadilan di Surakarta dan Angabei Nitipraja untuk pengadilan di Yogyakarta. Selain Angabei, pelaksanaan aturan tertinggi juga dilakukan oleh patih kedua kerajaan yaitu Adipati Sasradiningrat sebagai patih di kerajaan Surakarta dan Adipati Danureja sebagai patih di kerajaan Yogyakarta. Pada prinsipnya, di dalam Sistem Hukum Jawa apabila terdapat sengketa di masyarakat lebih diselesaikan secara damai tanpa perlu mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, apabila tidak bisa diselesaikan dengan damai bisa diajukan ke pengadilan dengan beberapa syarat yaitu: (1) Dengan surat; (2) Ada capnya; (3) Boleh diwakilkan; (4) Uraian perkara di dalam gugatan tersebut; dan (5) Untuk memperkuat gugatan harus bersumpah terlebih dahulu. Apabila gugatan sudah dimasukan maka pihak yang kalah akan dikenakan sanksi. Namun, yang unik di dalam Sistem Hukum Jawa pejabat hukum yang terkait dengan perkara tersebut dapat juga dikenakan sanksi apabila terbukti memperlambat atau menyalahi batas waktu penyelesaian perkara yang sudah ditentukan oleh otoritas. Berikut jenis-jenis sanksi yang terdapat di dalam Sistem Hukum Jawa:1. Sanksi Denda UangSanksi ini digunakan terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah perdata.2. Sanksi PekerjaanSanksi ini masih dalam kaitannya dengan hukum perdata yang mana pihak yang kalah. Dalam hal ini, apabila seluruh harta yang dimiliki oleh pihak yang kalah sudah digunakan untuk membayar denda atau ganti rugi dan masih tidak cukup, maka pihak yang kalah diwajibkan mengabdi (mujang) kepada yang menang sesuai dengan kesepakatan.3. Sanksi CambukSanksi ini diberikan kepada pihak yang melakukan kejahatan sampai menghilangkan nyawa manusia. Sama dengan sanksi sebelumya, sanksi ini merupakan pilihan terakhir apabila sanksi denda tidak dibayarkan oleh pihak yang kalah kepada kerajaan.4. Sanksi RantaiSanksi ini diberlakukan tehadap siapapun yang dianggap bersalah baik itu perdata ataupun pidana yang mengakibatkan luka-luka dan kematian orang lain. Apabila perbuatan pelaku mengakibatkan luka-luka pada umumnya dikenakan sanksi diikat rantai selama 4 tahun dan apabila mengakibatkan kematian dapat dikenakan sanksi diikat rantai seumur hidupnya atau dibuang ke seberang lautan. 5. Sanksi Ganti KerugianSanksi ini diberlakukan terhadap siapapun baik itu bangsa kulit putih (Belanda) maupun Cina yang mengalami kerugian karena barang bawaannya telah dirampok atau dicuri di dalam suatu penginapan yang resmi. Namun, apabila ingin mendapatkan perlindungan hukum harus melaporkan terlebih dahulu kepada yang berwajib sehingga barang yang kehilangan tersebut dapat diganti rugi oleh kerajaan dan yang mengalami kehilangan harus bersumpah terlebih dahulu.6. Sanksi BersumpahSanksi ini dikenakan kepada seseorang yang ingin membersihkan kejahatannya. Dalam hal ini, apabila seseorang merasa tidak bersalah nama baiknya dapat direhabilitasi dengan mengucapkan sumpah bahwa memang dirinya tidak bersalah.7. Sanksi Copot JabatanSanksi ini hanya berlaku bagi para pejabat hukum ataupun pemerintahan yang dikenakan apabila terbukti menyalahi aturan yang telah ada dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam hal ini, sanksi dikenakan apabila pejabat tersebut terbukti memperlama atau memperlambat penyelesaian perkara peradilan di setiap tingkatan peradilan sehingga waktu penyelesaiannya berlarut-larut.8. Sanksi DibuangSanksi ini hanya berlaku bagi seseorang yang kesalahan dan dosanya tidak dapat diampuni lagi. Sanksi ini merupakan sanksi yang paling berat dibandingkan dengan jenis sanksi yang lain. Salah satu jenis perbuatan yang dihukum dengan sanksi ini adalah perbuatan pembunuhan yang didahului dengan penganiayaan dan pemerkosaan. Pada umumnya, Sanksi Dibuang didahului oleh Sanksi Cambuk. Sanksi Dibuang terdiri dari hukuman buang jaba rangkah (luar wilayah), jaba nigari (luar kerajaan), ing wana (di hutan), dan tanah sabrang (keluar pulau).Urutan Kualitas Sanksi Sebagaimana jenis sanksi yang sudah dijelaskan, sanksi-sanksi tersebut juga mempunyau urutan kualitas sanksi dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Berikut urutan kualitas sanksi dari yang paling ringan ke yang paling berat sebagai berikut: (1) Bersumpah adalah sanksi yang dapat dianggap sangat ringan karena tidak ada kerugian secara fisik maupun material namun yang lebih ditekankan dalam sanksi ini adalah moral yang dipertaruhkan; (2) Denda Uang adalah sanksi yang dianggap cukup ringan karena tidak adak kerugian fisik dalam sanksi tersebut; (3) Ganti Rugi adalah sanksi yang dianggap ringan karena walaupun ganti rugi berupa sanksi yang bersifat material namun penggantian dilakukan apabila pihak yang kalah tidak cukup mengganti barang yang telah ditetapkan oleh pengadilan sehingga sifat dari sanksi Ganti Rugi adalah mengganti kekurangan dari denda yang telah dibayar sebelumnya; (4) Denda Pekerjaan adalah sanksi yang dapat dianggap cukup berat karena pihak yang kalah harus menjalani kewajiban mengabdi kepada yang menang sesuai dengan kesepakatan. Sanksi ini dapat dikatakan memberikan kerugian secara moral, material, dan fisik; (5) Pencopotan Jabatan adalah sanksi yang dianggap berat karena target dari sanksi ini adalah pejabat yang melakukan kesalahan dan sanksi ini memberikan kerugian secara moral dan gengsi; (6) Cambuk adalah sanksi yang dianggap berat karena memberikan kerugian secara fisik dan pelaku kejahatan juga harus direhabilitasi moralnya; (7) Rantai adalah sanksi yang berat karena secara moral pelaku kejahatan tidak dapat diampuni lagi dan juga memberikan kerugian secara fisik bagi pelaku kejahatan; dan terakhir (8) Dibuang adalah sanksi paling berat karena perbuata pelaku sudah dianggap tidak lagi dapat diampuni secara moral dan juga sudah dianggap tidak layak lagi tinggal di antara masyarakat sehingga pelaku harus dibuang jauh dari masyarakat. Pada umumnya, sanksi ini diberlakukan setelah pelaku dikenakan Sanksi Cambuk terlebih dahulu. (AAR/YBB)Referensi:1. Sistem Hukum Jawa dalam Masyarakat Jawa Abad Ke-18 Tinjauan Sejarah (Prapto Yuwono, Tesis, 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)2.https://www.tempo.co/politik/kilas-balik-perjanjian-salatiga-yang-membagi-kesultanan-mataram-dan-akhiri-perang-di-jawa-76815 3. Angger Pradata Akir: Peraturan Hukum di Kerajaan Jawa Sesudah Mataram (Ugrasena Pranidhana, Jurnal Makara Sosial Humaniora, Vol.7, No. 2 Desember 2003)   

Perdebatan Seru Hakim Suparni vs Presiden Soekarno Soal Independensi Hakim

article | History Law | 2025-04-21 12:45:49

HAKIM Suparni pernah berdebat langsung dengan Presiden Soekarno. Sebab, hakim perempuan itu mempertahankan ruh independensi hakim. Bagaimana kisahnya?Dalam buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Sebastiaan Pompe yang dikutip DANDAPALA, Senin (21/4/2025), tercatatat pada medio 1960-an hakim Suparni berdebat dengan Presiden Soekarno. Dikisahkan pada Januari tahun 1960, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dengan para hakim, jaksa dan polisi untuk membicarakan kondisi ekonomi dan kewenangan aparat penegak hukum dalam menangani pelanggaran peraturan ekonomi dan lain-lain. Di awal pertemuan, Presiden berbicara sekitar satu jam tentang hukum revolusi dan kewajiban untuk menindak keras pelaku pelanggaran peraturan mengenai ekonomi. Setelah makan siang, Presiden mengajukan pertanyaan retorik kepada aparat penegak hukum yang hadir tentang perkara penyelundupan beras. Presiden meminta kepada hakim-hakim muda yang hadir, sekitar tujuh orang, untuk menjawab pertanyaan tersebut dan menyebutkan hukuman apa yang akan dijatuhkan. Namun, Presiden hanya mengajukan pertanyaan itu kepada para hakim, tidak kepada jaksa ataupun polisi. Sebagian besar hakim yang hadir menjawab bahwa mereka akan menjatuhkan hukuman antara empat hingga tujuh tahun. Saat itu Soekarno tidak puas dengan jawaban itu, dan mengatakan bahwa Ia menghendaki hukuman lebih berat mengingat merajalelanya kejahatan ekonomi. Kemudian ketika ia bertanya kepada hakim Suparni dari Pengadilan khusus Ibu Kota Jakarta. Hakim Suparni menganggap presiden sudah melampaui batas dengan bertanya kepada para hakim tentang seberat apa mestinya hukuman yang akan dijatuhkan dalam perkara ekonomi tersebut. Hakim Suparni dalam jawabannya juga menekankan otonomi dan kemandirian hakim.Berikut perdebatan itu:Hakim Suparni: Rasanya saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, sebab itu sangat tergantung pada karakteristik perkaranya.Soekarno: Lho, baru saja kuberi kalian karakteristik khususnya.Hakim Suparni: Saya tetap harus menimbang kompleksitas faktual sepenuhnya perkara itu, sebelum saya bisa menjawab.Soekarno: Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu mendapat perintah langsung dari Presiden?Hakim Suparni: Oh, bukankah kemandirian kehakiman melarang hal semacam itu? Saat itu, rekan-rekan Hakim Suparni umumnya amat terkesan atas keterusterangan Hakim Suparni. Hakim-hakim sepakat dengan Suparni, namun tidak berani mengungkapkan pendapat di depan khalayak, apalagi di depan presiden.  Esoknya hakim Suparni dipanggil menghadap Menteri Kehakiman Astrawinata. Namun ia tidak datang karena sudah menduga akan ada yang terjadi pada dirinya dalam pertemuan itu. Belakangan, Suparni yang bernama lengkap Ciel Suparni Moeliono tersebut menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) periode tahun 1966-1970. Ia bersama Ketua IKAHI saat itu, Asikin Kusumah Atmadja, memainkan peran penting dalam perjuangan otonomi kekuasaan kehakiman saat itu. (ypy/asp)

Diakui di KUHAP, Ternyata Autopsi Sudah Dikenal di Zaman Mesir Kuno

article | History Law | 2025-04-20 14:55:16

AUTOPSI menjadi salah satu sarana pembuktian adanya kejahatan. Hal itu juga diakui dalam KUHAP. Tapi tahukah Anda bila autopsi sudah dikenal sejak saman Romawi kuno?Autopsi di Indonesia diatur dalam Pasal 133 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat;Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Pasal tersebut dasar bagi penyidik utuk mendapatkan keterangan ahli dari dokter untuk menangani perkara pidana yang berhubungan dengan tubuh korban yang diakibatkan dari tindak pidana berbentuk keadaan luka ringan, luka berat atau korban yang sudah tidak bernyawa.Sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Autopsi Medikolegal. karya Amir A, Minggu (20/4/2025), disebutkan berdasarkan catatan sejarah, autopsi sebenarnya sudah dipraktekan sejak lama. Bahkan telah berakar sejak zaman Era Kuno, Abad pencerahan, sampai pada Zaman modern. Berikut pembabakannya:Era KunoPraktik autopsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. peradaban pertama yang diketahui melakukan praktek ini adalah Mesir Kuno sekitar 3000 SM. Mesir kuno mempraktikan autopsi melalui proses mumifikasi, meskipun bukan bertujuan untuk menentukan penyebab kematian. Autopsi untuk mencari penyebab kematian baru dilakukan sekitar abad ke-3 SM oleh dua tokoh terkenal Erasistratus dan Herophilus dari Alexandria, walaupun praktik ini sangat jarang dilakukan. Adapun sejarah otopsi paling terkenal terjadi di zaman Roma, yang mana pembedahan mayat kala itu dilakukan untuk mengetahui penyebab kematan Julius Caesar. Pembunuhan Julius Caesar pada 15 Maret 44 SM adalah salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah Romawi. Julius Caesar diketahui tewas setelah menjadi korban konspirasi oleh para senatornya yang tidak suka  pada dirinya. Sejarah mencatat bahwa sebanyak 60 konspirator berkonspirasi untuk membunuh dirinya saat menghadiri pertemuan senat. Diktaktor itu tewas setelah mendapat 23 tusukan. Para konspirator awalnya berencana membuang tubuh Caesar ke Sungai Tiber, tapi mereka berubah pikiran dan meninggalkan tubuhnya yang berlumuran darah di teater Pompey. Hal ini memungkinkan dokter antistius untuk melakukan otopsi dan mencatat kondisi tubuh Caesar setelah serangan mematikan tersebut, hasil otopsi itu mencatat 23 luka yang terdapat di tubuh Caesar, termasuk di bagian wajah dan selangkangan.Abad PencerahanZaman masa Renaisans atau pencerahan menandai kemajuan besar dalam bidang anatomi dan kedokteran, termasuk otopsi yang mulai dilakukan secara teratur sejak abad ke-12,  di Eropa.  Giovanni Battista Morgagni (1682–1771) dianggap sebagai orang yang mendewasakan otopsi, yang kemudian disebut sebagai bapak patologi anatomi. Ia menulis De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis, karya besar yang membahas penyebab penyakit berdasarkan pengamatan anatomi. Andreas Vesalius juga merupakan tokoh penting pada abad ke-16 yang melakukan diseksi publik terhadap jenazah seorang kriminal.Pada abad ke 17, pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir bahwa ilmu autopsi sangat dibutuhkan untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa korban. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti oleh dokter dengan mengembangkangkan ilmu kedokteran untuk membuktikan kesalahan pelaku kejahatan melalui ilmu autopsi. Hasil pemeriksaan dokter tersebut akan dijadikan alat bukti melalui pemberian keterangan saksi ahli di sidang pengadilan. Penggunaan autopsi di pengadilan disebut dengan istilah Official Medicine, State Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Dalam dunia praktisi hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak hukum di pengadilan disebut Medicolegal Science.Zaman Modern Pada abad ke-19, Carl von Rokitansky dan koleganya dari Second Vienna Medical School memperkenalkan otopsi sebagai metode untuk meningkatkan akurasi diagnosis medis. Rudolf Virchow, seorang peneliti medis terkenal, mengembangkan protokol autopsi yang terstandarisasi dan menciptakan konsep proses patologis yang masih dipakai hingga kini. Pada abad ke-20, Scotland Yard membentuk Kantor Ahli Patologi Forensik yang bertugas menyelidiki kematian tidak wajar, seperti akibat kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri. (ees/asp)

Kejamnya Ayah Kandung Siksa Arie Hanggara dan Lahirnya Aturan Perlindungan Anak

article | History Law | 2025-04-19 16:10:53

Jakarta- Pada 1984, Indonesia pernah digegerkan dengan kekejaman Machtino yang menyiksa anak kandungnya Arie Hanggara yang masih anak-anak hingga tewas. Ikut menyiksa juga si ibu tiri, Santi. Bagaimana kisah kelam itu bisa terjadi?Dikutip dari buku ‘Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak, Sabtu (19/4/2025), disebutkan Arie Hanggara adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Arie tewas setelah dipukuli Machtino dan Santi pada 8 November 1984, karena dituduh mencuri uang di sekolahnya.  Bocah kelas 1 SD itu dipukuli dengan tangan ayahnya dan gagang sapu. Tak sempat mendapatkan pertolongan, Arie meninggal dalam perjalanan saat akan dibawa ke RSCM. Kasus pun bergulir ke meja hijau. Kala itu UU Perlindungan Anak belum lahir. Yang ada hanyalah aturan yang termuat dalam  KUHP yaitu Pasal 290, 292, 293, 294, 297. “Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988 lahir Peraturan Pelaksana Nomor 2 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Anak,” ungkap buku itu.Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada tahun 1985 dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) JR Bangun. Dalam dakwaaanya, JPU menuntut si ayah dengan hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan, Santi, saat itu dituntut ancaman hukuman 15 tahun penjara. Setelah beberapa kali persidangan, majelis hakim yang diketuai Reni Reynowati menjatuhkan hukuman kepada Machtino Eddiwan selama 5 tahun penjara dan Santi selama 2 tahun penjara. “Santi dihukum lebih ringan dengan alasan sekadar membantu Machtino dengan membenturkan kepala Arie ke tembok yang berakibat mati kepada anak korban,” tulis M Rizal dengan judul ‘Mengapa Sekejam Itu kepada Arie Hanggara’.Kekejaman kasus itu akhirnya diangkat ke film layar lebar dengan judul ‘Arie Hanggara’ pada 1985. Selain itu, kasus ini juga mendorong Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak  Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara umum. Termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial. Sehingga sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak, lahirlah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya yaitu Pasal 81 ayat 1 yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Disusul dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (EES/asp)

Jejak Prasasti Jayapatra, Bukti Hukum Acara Pengadilan di Jawa Abad ke-9 M

article | History Law | 2025-04-19 14:35:25

PADA zaman masyarakat Jawa Kuno putusan-putusan pengadilan pada umumnya ditulis di dalam prasasti yang dinamakan Prasasti Jayapatra. Prasasti Jayapatra pada prinsipnya berisi catatan kemenangan dalam perkara hukum yang diberikan kepada pihak yang menang baik masalah sengketa utang-piutang maupun masalah kewarganegaraan yang lainnya. Di dalam Prasasti Jayapatra bisa diketahui pihak yang kalah dan menang dan juga bagaimana proses pengadilan serta pejabat hukum yang ada pada masa itu. Pada abad 9-10 Masehi masyarakat Jawa Kuno berada dalam kekuasaan kerajaan Mataram Kuno. Struktur kerajaan Mataram Kuno terbagi atas 3 kesatuan wilayah yaitu Rajya (pusat), Watak (daerah), dan Wanua (desa). Di tingkat pusat raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi termasuk juga pengadilan. Dalam menjalankan tugasnya raja dibantu oleh pejabat tinggi kerajaan yang bergelar Samgat yaitu Samgat Tiruan dan Samgat Manhuri. Samgat Tiruan merupakan pejabat tinggi kerajaan golongan pertama yang mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan para putera raja. Sementara itu, Samgat Manhuri merupakan pejabat tinggi kerajaan tingkatan golongan kedua yang kedudukannya berada di bawah Samgat Tiruan.Kemudian, di tingkat Watak kekuasaan dalam menjalankan pengadilan berada di tangan Samgat yaitu Samgat Pinapan yang bernama Pu Gawul dan Pu Gallam. Selain Samgat Pinapan, juga terdapat Samgat Padan, Samgat Lucem, dan Samgat Juru. Pada waktu itu, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra. Seorang hakim tidak boleh bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara astadasawyawahara dengan hukum adat. Pandangannya harus tegas karena pengetahuan seorang hakim harus mendalam karena dianggap sudah memahami semua kitab sastra. Seorang hakim harus mampu memberikan keputusan dalam pengadilan atas semua sengketa yang terjadi di antara penduduk kerajaan. Seorang hakim juga harus ahli dalam salah satu atau berbagai cabang ilmu. Berjalannya Perkara di PengadilanPada prinsipnya, penyelesaian sengketa perdata pada masyarakat Jawa Kuno dapat diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan jalan damai. Namun apabila tidak bisa sepakat damai, maka perkara tersebut dapat diajukan melalui pejabat pengadilan yang terdapat di Watak. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat Watak, maka perkara tersebut akan diajukan ke tingkat pusat. Sama seperti kehidupan modern saat ini, apabila suatu perkara ingin diselesaikan melalui institusi pengadilan masyarakat harus membayar biaya administrasi yang telah ditentukan. Ketika perkara sudah masuk ke dalam pengadilan, pejabat pengadilan akan memanggil para pihak untuk didengarkan keterangannya di dalam persidangan. Ketika sudah selesai diperiksa kemudian hakim akan menjatuhkan putusan. Bagi pihak yang kalah pada umumnya sanksinya adalah denda. Sementara itu, bagi pihak yang menang akan diberikan tanda bukti kemenangan berupa Surat Jayapatra sebagai bukti apabila di kemudian hari si pemenang digugat kembali oleh seseorang. Dalam hal pembuktian ketika di dalam persidangan, terdapat 3 (tiga) jenis alat bukti yang diakui pada saat itu yaitu Saksi, Likhita, dan Bhukti. Dalam hal ini, Bhukti adalah alat bukti yang paling kuat dan Saksi adalah alat bukti yang paling lemah. Berikut penjelasan mengenai alat bukti:SaksiPada prinsipnya, saksi adalah orang lain yang menyaksikan atau mengalami sendiri suatu peristiwa. Dalam hal ini, terdapat 3 jenis saksi yaitu: (1) Saksi yang melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa; (2) Saksi yang memang sengaja diminta untuk menyaksikan suatu perbuatan hukum seperti menyaksikan pelunasan suatu hutang atau jual beli tanah; (3) Saksi yang mendengar suatu peristiwa dari orang lain (hearsay). Selanjutnya, terkait dengan jumlah saksi seorang tergugat baru dapat dikatakan bersalah bila telah dibuktikan minimal 3 orang saksi. Apabila saksi yang dihadirkan kurang dari 3 orang, maka penggugat wajib menghadirkan alat bukti yang lain.Selanjutnya, terkait dengan syarat untuk menjadi saksi yaitu laki-laki yang sudah berkeluarga, penduduk asli, orang terpercaya yang benar-benar mengerti tentang tugas dan kewajibannya, dan orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara itu dengan tujuan agar keterangannya objektif. Sementara itu, orang yang tidak dapat dijadikan saksi adalah orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara seperti teman atau sekutu, terhukum, orang yang sakit keras, raja, para tukang dan pandai, para pendeta yang telah meninggalkan keduniawian, siswa spirituil yang sedang belajar weda, brahmana ahli, budak, orang yang tercemar namanya, pelayan, orang yang menduduki jabatan terlarang, orang tua, orang cacat, anak kecil, orang dari kasta terendah, orang yang sedang berduka, pemabuk, orang gila, orang yang menderita lapar dan haus, orang yang tertekan karena lelah, orang yang tersiksa oleh nafsu, orang yang pemarah, dan pencuri.     2. Likhita (keterangan tertulis)Pada prinsipnya Likhita merupakan suatu akte yang sengaja dibuat sebagai alat bukti dari sebuah perbuatan hukum. Kekuatan pembuktian Likhita lebih kuat dari Saksi. Secara umum. Likhita dibagi menjadi dua yaitu: (1) Akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang; (2) Akte yang dibuat sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, baik akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang maupun akte yang dibuat oleh para pihak mempunyai kekuatan pembuktian yang sama sebagai alat bukti tertulis.    3. Bhukti Pengertian dari Bhukti adalah sesuatu yang telah dilakukan oleh para pihak sebagai akibat dari suatu perjanjian atau bisa juga sesuatu yang telah dinikmati. Bhukti merupakan alat bukti terkuat di antara alat bukti yang lain. Dalam hal ini, contoh dari Bhukti yaitu pembayaran cicilan hutang atau gadai. Dalam perkara hutang-piutang yang termasuk dalam Bhukti adalah pembayaran bunga bulanan atau tahunan. Selain itu, dalam perkara sengketa tanah yang termasuk dalam Bhukti adalah keterangan atau informasi bahwa si pemilik tanah sudah bertahun-tahun menikmati hasil dari tanahnya tanpa ada yang menggugat.  Selanjutnya, setelah pembuktian selesai Samgat akan menjatuhkan putusan mengabulkan atau menolak gugatan. Bagi pihak yang kalah mendapatkan hukuman berupa denda sementara itu bagi pihak yang menang akan diberikan surat tanda bukti kemenangan berupa Surat Jayapatra untuk disimpan. Hal ini bertujuan agar perkara tersebut tidak diungkit-ungkit lagi (AAR/YBB)Referensi:Proses Pengadilan Pada Masyarakat Jawa Kuno Jaman Mataram Abad IX-X Masehi Berdasarkan Prasasti Jayapatra (Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1987)https://www.merahputih.com/post/read/susunan-pengadilan-dalam-kerajaan-majapahit https://historia.id/kuno/articles/main-judi-masa-jawa-kuno-vYMd5/page/5 

Keteladanan Prof Soedikno, Dari Hakim Menjadi Begawan Hukum yang Sederhana

article | History Law | 2025-04-18 18:05:35

Sleman- Di sudut tenang kawasan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), DANDAPALA berkesempatan menyambangi ruang kerja dosen Dr Antari Inaka. Selidik punya selidik, Dr Antari adalah putri dari bagawan hukum Prof Soedikno Mertokusumo.Suasana hangat langsung terasa ketika beliau menyambut dengan senyum sederhana, layaknya potret keluarga yang ia ceritakan.“Ayah adalah sosok penyayang yang tidak pernah marah,” ungkap Dr Antari saat berbincang dengan DANDAPALA beberapa waktu lalu.“Kalaupun ada yang membuatnya kecewa, beliau lebih memilih tidur daripada mengucap kata kasar,” sambungnya. Sebuah kalimat yang mencerminkan filosofi hidup yang dijunjung sang profesor yaitu keteguhan moral dalam kesunyian dan kesabaran.Sebagai ayah, Prof Soedikno dikenal akrab dengan anak dan cucunya. Namun, di balik kelembutan itu, tersimpan ketegasan dalam mendidik dan membentuk karakter anak-anaknya yaitu sebuah pendidikan moral yang berakhlak. Ia tidak pernah meninggikan suara, karena baginya, kata-kata kasar bisa menjadi luka yang membekas dalam hati dan memori.Dari Hakim Jadi DosenProf Soedikno lahir di Surabaya, 7 Desember 1924. Semangat belajar telah terpupuk sejak kecil. Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Bumiputra atau Hollandsch Inlandsche School (HIS), lalu melanjutkan ke MULO, dan kemudian Sekolah Menengah Tinggi pada tahun 1946.Kariernya di bidang hukum dimulai sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, hingga akhirnya menjabat sebagai Ketua PN Yogyakarta tahun 1965. Lima tahun kemudian, ia dipercaya memimpin PN Bandung.Namun saat ditugaskan ke Pengadilan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan (Sulsel), Prof Soedikno memilih keputusan yang tak lazim yaitu ia memutuskan mengundurkan diri sebagai hakim. Bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena keyakinan hati dan cinta lamanya kepada dunia pendidikan memanggil. Saat itu sebagai PNS, ia bisa berpindah antar departemen, maka ia memilih menjadi dosen tetap di FH UGM.Kesederhanaan yang Tak Pernah LunturDi usia pensiunnya sebagai dosen UGM, Prof. Soedikno tak memiliki rumah pribadi. Ia tinggal di rumah dinas dosen di kawasan Sekip, Yogyakarta. Rumah itu, menurut cerita putrinya, sudah bocor di sana-sini. Namun ia tak pernah mengeluh, dan saat menjelang pensiun sebagai dosen walaupun sebenarnya masih punya hak dalam aturan bahwa sampai suami atau istri dosen tersebut meninggal dunia baru diperkenankan untuk pindah namun , beliau berkata dengan lirih dalam bahasa Jawa, “Omah iki wes udu hak e dewe” (rumah ini bukan lagi hak kita).Dengan tabungan yang tersisa, beliau dan sang istri membangun rumah kecil di Pogung, Sleman. Rumah itu sederhana, tak megah, namun dipenuhi rasa cukup dan syukur. Ketika sang istri ditawari sebidang tanah murah oleh pihak UGM, Prof Soedikno menolak dengan tegas. "Satu rumah saja cukup. Kita tidak perlu menumpuk kekayaan," ucap Prof Soedikno kala itu.Menjadi mantan hakim dan guru besar tak membuatnya bergaya hidup glamor. Hingga usia senja, beliau tak memiliki sopir pribadi. Anak- anaknya yang akhirnya mencarikan sopir untuk mengantar mengajar. Namun suatu hari, ketika sang sopir terlambat datang, Prof Soedikno memilih menyetir sendiri ke kampus.Dalam perjalanan, mereka berpapasan. Uniknya, Prof Soedikno tidak meminta sang sopir menggantikannya di kursi pengemudi. Ia justru mempersilakan sopir tersebut duduk di kursi belakang. "Tidak usah repot-repot. Kita teruskan saja," begitu kurang lebih sikapnya.Sebagai begawan hukum, dosen senior, guru besar dan mantan hakim tak pernah menjadikannya pribadi yang ingin dilayani. Dalam dirinya, kehormatan bukan datang dari status, tapi dari kerendahan hati dan dedikasi tanpa pamrih.Bersama istrinya, Siti Soedarti yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof Soedikno dikaruniai empat orang anak, sebagian besar menapaki dunia pengajaran, meneruskan semangat mendidik yang telah ditanamkan sejak dini.Kini, kisah tentang beliau bukan hanya tersimpan dalam buku-buku hukum yang ia tulis, tetapi juga dalam cerita-cerita kecil tentang sikap hidupnya. Tentang kesederhanaan, keteguhan prinsip, dan kerendahan hati yang menjadi warisan paling bernilai. (nj/asp)

Arsip Pengadilan 1953: Sengketa Rumah Tangga Berujung ke PN Yogyakarta

article | History Law | 2025-04-18 15:50:36

Yogyakarta- Seorang ibu dari delapan anak, Ny Siti Robiah menggugat dua pihak ke Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada taun 1953. Sebab, ia merasa haknya atas sebuah rumah dirampas tanpa persetujuannya. Bagaimana ceritanya?Berdasarkan arsip PN Yogyakarta yang didapat DANDAPALA, Jumat (18/4/2025), perkara ini terdaftar dengan nomor perkara 484/1953. Perkara ini berlatarbelakang konflik keluarga serta persoalan hukum keperdataan kala itu.Diceritakan Ny Siti Robiah menggugat Nj Jus Daud sebagai Tergugat I dan M Dawami Sjudja sebagai Tergugat II. Dalam gugatannya tertanggal 14 September 1953, Ny Siti Robiah menyatakan bahwa ia telah menempati rumah di Suronatan Ng IV/43 bersama anak-anaknya selama lebih dari satu dekade. “Namun, pada tahun 1951, saat ia sedang mengurus anaknya yang bersekolah di Bandung dan melakukan kegiatan perdagangan, ia mendapati bahwa rumah tersebut telah disewakan oleh suaminya sendiri yaitu Penggugat II yaitu M Dawami Sjudja, kepada seseorang bernama Djojoprawoto,” demikian bunyi keterangan dalam putusan itu, Setelah dijelaskan duduk perkaranya kepada Djojoprawoto, akhirnya Djojoprawoto bersedia untuk meninggalkan rumah tersebut. Namun setelah Ny Siti Robiah dan anak- anak ingin segera menempati, para terguggat menolak mereka untuk menempati rumah tersebut. Setelah peristiwa tersebut, Ny Siti Robiah sempat meminta bantuan Kepolisian.“Namun atas anjuran kepolisian, Ny Siti Robiah serta anak-anak meninggalkan rumah tersebut,” kisahnya.Akhirnya Ny Siti Robiah mengajukan gugatan yang pada intinya meminta pengadilan menyatakan perjanjian sewa-menyewa tidak sah. Dan memerintahkan para Tergugat mengosongkan rumah tersebut.Dalam petitum gugatannya Ny Siti Robiah memohon kepada PN Yogykarta untuk:1.Memecahkan dan diterangkan pecah perjanjian sewa menyewa di antara Tergugat I dan Tergugat II2.Menghukum Tergugat I dan juga semua yang turut menempatinya dengan izin Tergugat mengosongkan rumah tersebut dalam waktu yang telah ditentukan pengadilan pengosongan jika perlu supaya dijalankan dengan bantuan polisi; 3.Menghukum Tergugat II supaya mentaati keputusan dalam perkara ini;4.Menghukum Tergugat- Tergugat membayar biaya dalam perkara iniDalam persidangan, Tergugat I (Ny Djas A. Daud) mengaku tinggal di rumah tersebut karena telah menyewa rumah dari Tergugat II (M. Dawani Sjudja) berdasarkan perjanjian tertanggal 1 September 1953. Di sisi lain, Dawani Sjudja selaku Tergugat II dalam jawabannya mengklaim bahwa rumah tersebut membeli sendiri dengan istri yang kedua yaitu St Sundari.  “Di pengadilan juga Penggugat menyatakan bahwa rumah tersebut juga dalam proses pembagian gono gini,” bebernya.Setelah melalui proses persidangan dan pembuktian, majelis hakim mempertimbangkan bahwa status kepemilikan rumah masih menjadi sengketa antara Penggugat dan Tergugat II.“Sehingga dalam hakekatnya gugatan Penggugat tersebut tidak dapat diterima sebelum ada putusan pengadilan tentang pembagian harta gono gini yang termasuk pula rumah ini yang menjadi sengketa,” urai majelis.Pengadilan menyatakan gugatan Penggugat belum cukup dasar-dasarnya. Maka oleh karena tidak mungkin dapat diterima dan seharusnya ditolak. Pengadilan memutuskan bahwa biaya perkara dibebankan kepada Penggugat sebagai pihak yang kalah.“Menolak gugatan Penggugat,” demikian bunyi amar PN Yogyakarta yang diketok oleh hakim tunggal Raden Hadi Purnomo. Sidang tersebut dibantu oleh Panitera Pengganti MP Wirjodisastro.Majelis juga menghukum Penggugat membayar segala biaya dalam perkara ini sejumlah Rp 38 (tiga puluh delapan rupiah). Putusan tersebut diucapkan pada tanggal 12 Desember 1954.  

Perjalanan NAPZA dari Zaman ke Zaman hingga Lahirnya UU Narkotika Tahun 2009

article | History Law | 2025-04-17 11:05:35

Dandafellas, tahukah Kamu sejarah Narkotika? Sebagaimana dikutip oleh Dandapala dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam beberapa golongan.”Lalu, bagaimana perjalanan panjang zat yang dikenal dengan opium, dan belakangan lebih dikenal sebagai narkoba atau NAPZA, dari masa ke masa? Dikutip dari Dandapala (16/4/2025), dalam buku Menumpas Bandar Menyongsong Fajar: Sejarah Penanganan Narkotika di Indonesia (Prenada Media, Jakarta, Desember 2021) yang ditulis oleh tiga alumni Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia—Ardi Subandri, Suradi, dan Toto Widyarsono—dijelaskan bahwa sejarah dan perkembangan narkotika bermula sejak 2000 SM, masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, pasca-kemerdekaan, hingga masa kini.Periode 2000 SMPada sekitar tahun 2000 SM, dikenal sebuah tanaman bernama Papaver somniferum (candu), yang tumbuh di berbagai wilayah seperti Tiongkok, India, dan negara lainnya. Pada tahun 330 SM, Alexander the Great memperkenalkan candu di India dan Persia. Saat itu, masyarakat India dan Persia menggunakannya dalam jamuan makan dan saat bersantai (Dikutip dari Antonio Escohotado, General History of Drugs, Grafitti Militante, Santiago: 2010).Di wilayah Sumeria, ditemukan pula sari bunga opion, yang juga dikenal dengan nama opium. Tumbuhan ini tumbuh subur di dataran tinggi Sumeria, di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut, dan kemudian menyebar ke India, Tiongkok, serta wilayah Asia lainnya.Tahun 1806, Friedrich Wilhelm, seorang dokter dari Westphalia, berhasil memodifikasi candu dengan campuran amonia menjadi morfin, dinamai dari dewa mimpi Yunani, Morpheus. Morfin kemudian digunakan secara luas selama Perang Saudara di Amerika Serikat sebagai penghilang rasa sakit.Pada tahun 1874, Alder Wright, ahli kimia dari London, merebus morfin dengan asam anhidrat, dan hasilnya diuji coba pada anjing. Reaksinya menunjukkan gejala seperti tiarap, takut, mengantuk, dan muntah. Tahun 1898, perusahaan Bayer mulai memproduksi senyawa tersebut dengan nama heroin sebagai obat resmi penghilang nyeri. Kini, heroin tak lagi digunakan dalam pengobatan; hanya morfin yang masih digunakan.Kokain, zat narkotik lain, berasal dari tanaman coca yang tumbuh di Peru dan Bolivia.Setelah Perang Dunia II dan selama era Perang Dingin, ancaman narkotika mulai dilihat sebagai masalah global, bukan hanya persoalan kriminal atau medis, tetapi juga sebagai ancaman terhadap keamanan. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Pertama tentang Narkotika di Shanghai tahun 1909, didorong oleh Presiden AS Theodore Roosevelt dan tokoh gereja Charles H. Brent, serta dihadiri oleh Inggris, Jepang, Tiongkok, dan Rusia.Periode Kolonial BelandaDi Indonesia, penggunaan opium mulai dikenal pada masa penjajahan Belanda. Penggunanya sebagian besar adalah etnis Tionghoa. Pemerintah Belanda melegalkan penggunaannya melalui Verdovende Middelen Ordonantie yang diberlakukan pada tahun 1927. Undang-undang ini mengatur penggunaan opium secara legal di tempat-tempat tertentu. Opium dikonsumsi dengan cara tradisional, diisap melalui pipa panjang.Periode Kolonial JepangSaat pendudukan Jepang, Verdovende Middelen Ordonantie dihapuskan. Pemerintah Jepang melarang penggunaan candu dan menutup kawasan gang Madat, tempat para pecandu biasa mengisap opium. Di sana terdapat kamar-kamar kecil tempat para pecandu berbaring sambil mengisap zat terlarang tersebut.Periode Pasca-KemerdekaanSetelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai menyusun peraturan perundang-undangan terkait pelarangan narkotika. Kewenangan diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengatur produksi, distribusi, dan penggunaan zat berbahaya.Tahun 1970-an, penyalahgunaan narkoba meningkat, terutama di kalangan generasi muda, mengikuti tren yang awalnya muncul di Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia merespons dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Narkotika, yang mengatur penyelundupan gelap serta pelibatan dokter dan rumah sakit di bawah arahan Menteri Kesehatan. Namun, penyalahgunaan narkotika tetap sulit dikendalikan.Mengutip Dandapala (16/4/2025) dari Amin, W. (2012), dalam tesisnya di Universitas Pelita Harapan, Presiden RI kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 yang membentuk BAKOLAK INPRES 6/71 (Badan Koordinasi Pelaksana Instruksi Presiden) untuk menangani segala bentuk ancaman terhadap keamanan negara, termasuk penyalahgunaan narkotika.Pemerintah kemudian menyusun Undang-Undang Antinarkotika Nomor 22 Tahun 1997 serta Undang-Undang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997, yang memberlakukan sanksi pidana hingga hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika.Lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009Karena semakin maraknya penyalahgunaan narkotika, pemerintah kemudian menyatukan regulasi yang sebelumnya terpisah antara psikotropika dan antinarkotika. Hal ini melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU ini, penyalahgunaan narkotika dikenakan sanksi pidana berupa penjara, denda, bahkan hukuman mati.Melalui tulisan singkat ini, sejarah perjalanan narkotika dari masa ke masa mengingatkan kita akan bahaya laten yang telah menyertai umat manusia sejak ribuan tahun lalu. (EES, LDR, SNR)

Kejamnya Al Capone dan Lahirnya Justice Collaborator

article | History Law | 2025-04-13 19:25:21

ALPHONSE Gabriel Capone alias Al Capone dikenal dalam berbagai film Hollywod serta berbagai buku. Ternyata kejahatannya bisa mengubah peta hukum dunia. Apa itu? Salah satu film Al Capane di antaranya seperti ‘The Untouchables’ (1987) yang menggambarkan perburuan Al Capone oleh agen FBI Eliot Ness. Selain itu, juga lahi buku ‘The Public Enemy’ (1931) oleh John O’Hara dan ‘Scarface’ (1932) oleh Armitage Trail yang telah mengabadikan kisah Al Capone dan kejahatannya dalam bentuk sastra dan biografiri.Sebagaimana dikutip DANDAPALA, Minggu (13/4/2025), dikisahkan dalam dua buku tersebut Al Capone lahir 1899 dan menjadi penjahat kecil di Brookly. Lalu Al Capone menanjak ke puncak dunia kriminal Chicago, dan membangun kerajaan kejahatan yang mengendalikan perjudian, minuman keras, dan prostitusi. “Kisah Al Capone adalah kisah ambisi, kekejaman, dan kejatuhan yang memikat, kisah tentang pria yang menjadi legenda, meskipun untuk alasan yang salah,” tulis buku tersebut.Kisah Al Capone, sang bos mafia Amerika, dimulai dari seorang anak laki-laki yang sederhana bernama Alphonse Gabriel Capone. Ia dilahirkan pada tahun 1899 di Brooklyn, New York, dari keluarga imigran Italia. Masa kecil Al Capone diwarnai oleh kemiskinan dan kekerasan. “Ia dibesarkan di lingkungan kumuh yang dipenuhi oleh kejahatan dan ketidakadilan,” kisah buku itu.Lingkungan ini membentuk kepribadiannya yang keras dan ambisius. Di usia muda, Al Capone sudah terlibat dalam berbagai tindakan kriminal, termasuk pencurian dan perkelahian jalanan. Al Capone dianggap sebagai salah satu bos kejahatan paling terkenal yang pernah ada di sepanjang sejarah. Dia ditakuti masyarakat karena banyak melakukan tindakan penyelundupan, pemerasan, hingga prostitusi. Al Capone meninggal dunia akibat gagal jantung pada 25 Januari 1947 di Palm Island, Florida. Kejahatan Al Capone ternyata mengubah peta hukum dn melahirkan justice collaborator. Istilah Justice collaborator sendiri kita ketahui  sebagaimana bunyi Pasal 1 Angka 2 UU 31/2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban  menerangkan bahwa saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.Dalam hal tersebut kasus yang tidak ada saksinya dan pelaku tindak pidana dapat berpartisipasi dalam upaya penegakan hukum dengan mengungkap suatu pidana yang berkaitan dengannya membantu para penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan terorganisir. Kisah Al Capone tersebut memberi warna pada dunia hukum karena pada saat ia ditangkap polisi kesulitan untuk membuktikan kejahatan Al Capone, karena banyak pejabat dan penegak hukum korup sudah dalam kendali Al Capone. Kemudian kesulitan berhasil diurai ketika penyidik berhasil meyakinkan akuntan Al Capone untuk bersaksi dengan memberikan jaminan keamanan dan pembebasan dari proses hukum kepadanya. Singkat cerita Al Capone berhasil dipidana berkat keberadaan  justice collaborator.Di Indonesia, rujukan justice collaborator sendiri dimuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. (EES/asp)

Coreng Moreng Praktik Korupsi di Proyek Jalan Anyer-Panarukan 1808-1811

article | History Law | 2025-04-13 15:30:10

MASIH ingatkah pembuatan jalan Anyer-Panarukan sejauh 1.000 km pada era penjajah Belanda?Konon ceritanya banyak menelan korban dari kalangan pekerja pribumi. Betulkah?Sebagaimana DANDAPALA kutip dari buku ‘Dua Abad Jalan Raya Pantura’ karya Endah Sri Hartatik, Minggu (13/4/2025), proyek itu adalah masa pendudukan Prancis di bawah kuasa Marsekal Herman Willem Daendels (1808-1811).  Pada 1808, Daendels datang dan mengontrol Hindia Belanda yang kini disebut Indonesia. Kala itu kedatangan Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur atas perintah Kaisar Napoleon Bonaparte dan Raja Belanda Louis Napoleon. “Sejak 1795, Prancis sudah menguasai Belanda dan juga seluruh koloninya, termasuk Hindia Belanda,” ujarnya.Selama di Hindia Belanda, Daendels membuat berbagai kebijakan dan satu yang terkenal adalah proyek Jalan Raya Anyer-Batavia-Cirebon-Surabaya-Panarukan sejauh 1.000 Km. Dalam pelajaran sejarah yang selama ini kita dapat kita diajarkan bahwa pembangunan terlaksana berkat kerja rodi para pribumi. Setiap hari tiada henti, para pribumi dipaksa menguruk tanah untuk menyelesaikan jalan sejauh 1.000 Km tersebut.Baru-baru ini beredar cerita bahwa sebenarnya Daendels memberi upah ke pekerja melalui bupati. Hanya saja, upah tersebut tak sampai ke tangan pekerja. Saat itu anggaran untuk proyek tersebut ada. Masalah dana itu diberikan kepada para pekerja tidak bisa diketahui sebab tidak ada catatan mengenai transaksi tersebut.Saat pembangunan jalan sampai wilayah Kesultanan Cirebon, Daendels melakukan negosiasi dengan Sultan Cirebon. Selain untuk meminta izin, negosiasi ini dilakukan karena kondisi keuangan pemerintahan Belanda tidak cukup untuk membayar upah pekerja.Sebagai gantinya Daendels mengumpulkan para bupati untuk diberikan kewenangan penuh dalam mengelola pekerja. Tetapi dalam pelaksanaannya, bupati malah banyak terlibat korupsi. Dalam buku tersebut mengatakan setiap pekerja seharusnya diberikan upah sebesar 10 sen setiap minggu, beserta beras dan garam. Namun upah tersebut, oleh para bupati tidak dibayarkan. Di sini lah awal mula praktik korupsi di kalangan bupati yang notabene penduduk pribumi."Belanda memberikan upah kepada pribumi melalui bupati. Tetapi para bupati tersebut tidak membayarkan kepada pribumi, tidak ada catatan yang menunjukkan mengenai faktur atau pembayaran upah dari bupati ke pribumi. Makanya pribumi yang bekerja banyak yang kelaparan," ujarnya. (EES/asp).

Dikenal Sejak Raja Babilonia, Asas Praduga Tak Bersalah Eksis hingga Saat Ini

article | History Law | 2025-04-12 12:10:01

SOBAT DANDAPALA tentu tidak asing dengan asas praduga tak bersalah. Tapi tahukah anda bila asas ini mulai dikenal sejak zaman Raja Babilonia?Sebagaimana informnasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (12/4/2025), sejarah pertama asas praduga tak bersalah lahir pada zaman Raja Babilonia ke-6 yang dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Mesopotamia. Memerintah dari sekitar tahun 1792 hingga 1750 SM, ia tidak hanya mengubah wajah pemerintahan di Babilonia, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan sistem hukum yang masih menjadi acuan hingga saat ini. Dikutip Dandapala di situs Encyclopedia Britannica, Hukum Hammurabi yang berisikan  282 kasus hukum meliputi ketentuan ekonomi (harga, tarif, perdagangan, dan niaga), hukum keluarga (perkawinan dan perceraian), serta hukum pidana (penyerangan dan perncurian), dan hukum perdata (perbudakan utang). Hukum Hammurabi adalah contoh paling awal dari seorang terdakwa yang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah (asas praduga tak bersalah). Dalam hukum ketiga Hammurabi menuliskan bahwa:Jika seseorang mengajukan tuduhan kejahatan apa pun di hadapan para penatua atau hakim istilah zaman sekarang, dan tidak dapat membuktikan apa yang dituduhkannya, jika itu tuduhan berat, maka penuduh harus dihukum mati. Hukum tersebut menggambarkan asas praduga tak bersalah pada masa pemerintahan Hammurabi. Di mana seseorang tidak langsung dinyatakan bersalah ketika mendapat tuduhan, melainkan tuduhan tersebut harus benar-benar dibuktikan. Dan jika penuduh yang berbohong (melakukan fitnah), maka penuduh akan mendapat hukuman. Filosofi praduga tak bersalah menekankan bahwa lebih baik membiarkan seorang yang bersalah bebas daripada menghukum yang tidak bersalah.Kemudian asas praduga tak bersalah ini diadopsi dalam hukum Romawi kuno. Hal itu dengan bukti dokumen Inggris seperti Magna Carta pada abad ke-13. Kemudian pada abad ke-18 dan ke-19 diikuti oleh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Kemudian Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya (asas konkordasi).Seperti dikutip DANDAPALA dari Farihan Aulia, Sholahuddin Al-Fatih ‘Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Lasw dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir’ Legality, Vol.25, No.1, Maret 2017-Agustus 2017, diterangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Itulah sekelumit sejarah singkat asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan presumption of innocence yang kita kenal saat ini.(EES/asp)

Inilah Perjanjian Ekstradisi Pertama Kali yang Dibuat Indonesia

article | History Law | 2025-04-09 10:55:37

Jakarta- Ekstradisi adalah suatu penyerahan tersangka WNI dari negara asing untuk diadili dan dipidana di Indonesia. Tapi kapan perjanjian ekstradisi pertama kali yang dilakukan pemerintah Indonesia?Dikutip DANDAPALA dari buku Hukum Internasional Islam karya Mardani, Rabu (9/4/2025 ), perjanjian ekstradisi yang dilakukan Indonesia pertama kali dilakukan dengan Malaysia pada tanggal 7 Juni 1974 yang diratifikasi dengan UU No 9 tahun 1974. Setelah itu disusul dengan Filipina yang diratifikasi dengan UU No 10 tahun 1976. Kemudian dengan Thailand yang diratifikasi dengan UU No 2 tahun 1978. “Setelah berlakunya UU No 1 tahun 1979, Indonesia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Australia yang diratifikasi dengan UU No 8 tahun 1994,” ujarnya.Disusul lagi dengan Hong Kong yang diratifikasi dengan UU Nomor 1 tahun 2001. Dan dengan Korea Selatan ditandatangani tahun 2001. Sedangan dengan Singapura ditandatangani tanggal 27 April 2007.“Seluruh perjanjian tersebut disepakati secara bilateral,” urainya,Prinsip ekstradisi ini dimuat dalam UU Nomor 1 /2023 Tentang KUHP yang kita kenal dengan Asas Nasionalitas Aktif yang tercantum dalam Pasal 5 KUHP. Asas personalitas ini pun diperluas dengan Pasal 7 KUHP baru 2023 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasionalitas pasif (asas perlindungan). Yang prinsipnya adalah melindungi warga negara ketika berhadapan hukum di negara lain.Bunyi Pasal 7 sebagai berikut :Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.Maka seseorang dapat diekstradisikan karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, selain jenis pidana tersebut harus dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi atau yang lebih dikenal dengan istilah asas double criminality. Hal tersebut juga disampaikan oleh Andi Hamzah dalam bukunya Asas–Asas Hukum Pidana (halaman 72-73). Pada intinya, Andi Hamzah menerangkan bahwa asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik dan negara mana ia berada. Nah Sobat Dandafelas, inilah prinsip utama dari ekstradisi bahwa hukum pidana Indonesia yang bisa diketahui. Bahwa prinsip tersebut mengikuti warga negaranya ke mana pun ia berada dan perjanjian ekstradisi tersebut hanya mengikat para peserta perjanjian tersebut saja. (EES/asp).

Arsip MA 1953: Forum Privilegiatum Hukum Sultan Hamid 10 Tahun Penjara

article | History Law | 2025-04-07 17:10:04

Jakarta- Indonesia lewat Mahkamah Agung (MA) pernah memiliki Forum Privilegiatum yang berfungsi khusus mengadili pejabat negara dalam kasus pidana. Kini, forum itu telah tiada. Forum Previlegiatum itu berdasarkan Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Pasal 106 UUD Sementara 1950. “Adanya Forum Privilegiatum yang dimungkinkan oleh Undang-undang yang berlaku pada waktu itu, Mahkamah Agung mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir,” demikian bunyi halaman 28 buku ‘Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia’ yang dikutip DANDAPALA, Senin (7/4/2025).Buku tersebut disusun oleh Mahkamah Agung RI yang diterbitkan tahun 1986. Salah satu yang diadili dalam Forum Privilegiatum itu adalah Sultan Abdul Hamid atau Sultan Hamid terkait kasus pemberontakan Westerling.“Sultan Abdul Hamid yang mengaku terus terang ingin menggunakan Westerling untuk mempersiapkan pemberontakan terhadap Pemerintahan Republik Indonesia, yaitu akan membunuh Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX, Kol Simatupang dan Ali Budiharjo SH,” ujarnya.Untuk diketahui, Sultan Hamid II atau Sultan Hamid Syarif Hamid Al-Qadrie adalah Sultan ke-7 Kesultanan Qadariah Pontianak. Sultan Hamid pernah menjadi tentara Belanda (KNIL) dengan pangkat Letda. Ia menamatkan pendidikan militer dari Akademi Miiter Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Breda, Belanda pada 1938. Pasca Proklamasi, Abdul Hamid bergabung ke kesatuan ajudan Ratu Belanda dengan pangkat Mayor Jenderal.Saat revolusi, Sultan Hamid memilih bentuk negara Indonesia yaitu Negara Federal, berseberangan dengan pejuang lainnya yaitu menginginkan Negara Kesatuan. Atas pilihan politiknya itu, ia merencanakan sejumlah aksi militer dengan Westerling, termasuk rencana membunuh Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX dkk. Usaha itu gagal sehingga Abdul Hamid diadili dalam Forum Previlegiatum.“Pada tanggal 8 April 1953 dijatuhi hukuman 10 tahun penjara,” tuturnya.Dengan kembali berlakunya UUD 1945, maka Forum Previlegiatum pun tidak eksis lagi. Sementara itu, ahli hukum Bivitri Susanti menyatakan pengistimewaan Forum Privilegiatum dikenal di Indonesia sebagai ‘warisan’ sistem hukum Belanda yaitu forum khusus yang diberikan untuk pejabat-pejabat negara tertentu agar dapat menjalani proses hukum secara cepat, sehingga prosesnya hanya ada di satu tingkatan dan langsung bersifat final dan mengikat.“Indonesia mengenalnya dari masa penjajahan Belanda,” demikian pendapat Bivitri yang dikutip DANDAPALA dari Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-XVI/2018.Konstitusi Belanda Pasal 119 menyatakan:“Present and former members of the Parliament, Ministers, and State Secretaries shall be tried by the Supreme Court for offenses committed while in office. Proceedings shall be instituted by Royal Decree or by a resolution of the Second Chamber.” Forum ini di Belanda dilaksanakan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung). Sejak 1893, forum ini sudah dibatasi hanya untuk perkara-perkara perdata, bukan pidana. “Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 pada 1959, Forum Privilegiatum kembali tidak berlaku dan pada 1959, Mahkamah Agung memutuskan untuk tidak lagi mempunyai yurisdiksi ini,” urai Bivitri. (asp)

Prittt…!!! Inilah Cikal Bakal Lahirnya Tilang di Indonesia

article | History Law | 2025-04-07 07:05:27

Jakarta- Tilang alias bukti pelanggaran menjadi sarana penegakan hukum di bidang pelanggaran lalu lintas yang menjadi kewenangan aparat polisi. Tapi siapakah inisiator tilang?Sebagaimana tertulis dalam Buku ‘Kebijakan Tilang Elektronik di Indonesia: Sejarah Dan Perkembangan’ karya Umar Aryo Seno Junior yang diterbitkan Yayasan Sahabat Alam Rafflesia, surat tilang pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Mayjend (Purn) Ursinus Elias Medellu. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas pada  pada tahun 1960-an.“Kemudian pada tahun 1969 dibentuk tim untuk merumuskan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat,” ujar Umar Aryo Seno Junior dalam buku tersebut yang dikutip DANDAPALA, Senin (7/5/2025)Kala itu pihak Polri yang diwakili oleh Irjen Ursinus Elias Medellu bersama dengan Irjen Memet Tanumidjaja dan Letkol Pol Basirun menjadi tim perumus. Setelah merumuskan persoalan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas maka pada tanggal 11 Januari 1971 lahirlah Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. JS/1/21 yang mengesahkan berlakunya sistem tilang untuk pelanggaran lalu lintas.“Setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama tersebut, pada 1972 pelanggaran lalu lintas ditindak dengan tiket sistem yang dikenal dengan bukti pelanggaran atau biasa disebut tilang,” bunyi Pasal 24 Ayat 3 PP Nomor 80 Tahun 2012.Saat itu sistem tilang yang dikeluarkan menjadi bukti pelanggaran lalu lintas masih sederhana. Isinya memuat  surat tanda terima, berita acara, surat panggilan, surat tuduhan jaksa, keputusan hakim, perintah eksekusi, dan tanda pembayaran yang semuanya terdiri dari lima lembar warna yang berbeda yakni merah, hijau, biru, putih, dan kuning.Warna-warna tersebut juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Yaitu: -Surat tilang warna merah jenis surat tilang ini diberikan oleh polisi kepada pengendara bermotor yang melanggar peraturan lalu lintas, -Surat tilang warna biru diberikan kepada pelanggar yang tidak bisa menghadiri persidangan sehingga  surat ini tidak diberikan kepada pelanggar namun digunakan sebagai pelengkap laporan administrasi kepolisian. Seperti bahan laporan polisi mengenai kasus pelanggaran yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, yaitu satu bulan atau satu tahun.-Surat tilang warna putih diberikan kepada pihak pengadilan untuk dituliskan denda tilang oleh hakim.“Jadi,  jenis surat tilang tersebut tidak selalu diberikan kepada pelanggar, namun ada yang diberikan untuk pihak polisi atau pengadilan. Hal ini diberlakukan agar saat proses penentuan sidang, semua pihak masing-masing memiliki informasi bentuk pelanggaran yang sama,” ujarnya.Pada 9 Desember 2016 lahirlah PERMA Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas. Mulai saat itu, para pelanggar tidak perlu mengikuti persidangan di pengadilan. Karena hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menyidangkan perkara pelanggaran lalu lintas sudah memutus besaran denda dan biaya perkara yang harus dibayar.“Sehingga para pelanggar cukup melihat di papan pengumman besaran denda yang telah dijatuhkan oleh hakim. Selanjutnya melakukan pembayaran di kantor kejaksaan sekaligus mengambil barang buktinya,” bebernya. (EES/asp)

Deretan Foto Desa Adat Hilinawalo Fau Nias yang Menyimpan Sejuta Cerita

photo | History Law | 2025-04-05 18:10:39

Nias Selatan - Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah melalui musyawarah sudah dikenal sejak zaman dahulu. Budaya bermusyawarah juga tercermin dalam Pancasila yang merupakan falsafah bangsa Indonesia, khususnya sila keempat. Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab ‘syawara’ yang berarti berunding, urun rembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah menjadi pilihan utama dalam penyelesaian masalah karena dapat menampung aspirasi dari berbagai pihak, meminimalisir resiko terjadinya perpecahan, dan mengedepankan solusi terbaik bagi semua pihak sehingga kualitas putusan yang dihasilkan bernilai tinggi.Tidak heran jika musyawarah banyak dipergunakan dalam berbagai aspek pengambilan keputusan. Baik dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim sampai penyelesaian konflik dalam hukum adat. Salah satunya oleh masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (5/4/2025), dalam tata kehidupan bermasyarakat Nias Selatan dikenal tradisi musyawarah yang disebut Orahu. Apa itu?Tradisi ini dilaksanakan dalam setiap kegiatan-kegiatan penting di masyarakat misalnya membicarakan masalah yang berkaitan dengan kampung dan diputuskan bagaimana cara penanganannya. Dahulu, Orahu juga digunakan sebagai persidangan dan untuk penentuan hukuman bagi para pelanggar adat-istiadat kampung. Dalam skala besar Orahu disebut sebagai Orahua Mbanua, yang dilaksanakan di Ewali Sawolo atau Ewali Orahua yaitu halaman di depan rumah bangsawan yang paling berpengaruh atau Balö Ji’ulu. Serta diikuti oleh para Si’ulu atau bangsawan, Si’ila atau tokoh adat, dan Ono Mbanua atau seluruh masyarakat.Orahu dimulai dengan memanggil para Si’ulu, Si’ila dan masyarakat kampung untuk berkumpul. Kemudian musyawarah dibuka Balö Ji’ila dengan membeberkan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya masing-masing orang, terutama Sorahu atau orang yang dituakan dan sudah berpengalaman mengungkapkan pendapatnya akan masalah tersebut. Uniknya karena dalam penyampaiannya banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan kuno juga permainan intonasi kalimat, maka untuk berbicara dalam Orahu diperlukan kemampuan seni berpidato (oratory) yang baik. Nah, beberapa waktu lalu, DANDAPALA berkesempatan melihat salah satu desa yang masih memiliki kelengkapan elemen-elemen desa adat khas Nias Selatan, termasuk Situs musyawarah adat (Ewali Orahua) adalah Desa Hilinawalo Fau atau Desa Hilinawalo Batusalawa di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara (Sumut).  Selain dikelola berdasarkan prinsip hukum administrasi negara yang berlaku nasional, desa ini juga diatur menurut hukum adat lokal yang telah berlaku selama ratusan tahun. Hukum adat yang menjadi salah satu keunikan desa ini, terlihat tidak hanya dalam sistem tata kelola desa, tetapi juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari seperti upacara adat, pakaian tradisional, tari-tarian, arsitektur, lanskap desa, dan lain sebagainya. Kabar baiknya, Desa Hilinawalo Batusalawa hanya berjarak sekitar 15 Km dari pusat ibu kota kabupaten dan dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jadi, apakah Dandafellas tertarik untuk berkunjung ke desa ini?. (AL/asp)Naskah dan foto: Anisa Lestari

Kisah Salah Tangkap Sengkon-Karta dan PK Pertama di Indonesia

article | History Law | 2025-04-05 16:25:45

KISAH salah tangkap yang cukup membuat geger jagat hukum Indonesia yaitu Sengkon dan Karta. Bagaimana kisahnya?Sengkon dan Karta adalah dua orang petani kecil dari Desa Bojongsari, Bekasi yang telah di penjara atas tuduhan pembunuhan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan pada November tahun 1974. Keduanya adalah seorang petani miskin ini dituduh menjadi pelaku pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti Haya pada November 1974.  Kisah mereka berawal pada 1974, sebuah masalah besar menimpa mereka bak petir di siang bolong tiba tiba keduanya ditangkap oleh aparat kepolisian kala itu mereka Sengkon dan Karta dituduh menjadi pelaku perampok dan pembunuhan sepasang suami istri bernama Sulaiman dan Siti Haya. Konon Sengkon dan Karta mengalami siksaan fisik agar mau mengakui perbuatan keji mereka tersebut. Namun, Sengkon dan Karta terus mengelak dan mengatakan mereka tidak bersalah. Pada akhirnya, seberapa kuat usaha Sengkon dan Karta menyelamatkan diri, mereka tetap divonis bersalah atas perbuatan perampokan dan pembunuhan. “Sengkon dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan Karta selama tujuh tahun,” demikian sebagaimana arsip sumber PN Bekasi Oktober 1977 yang dikutip DANDAPALA, Sabtu (5/4/2025).Mereka menjalani hukuman penjara di LP Cipinang. Di tengah masa hukumannya, Sengkon dan Karta bertemu dengan tahanan lain bernama Gunel yang masih memiliki hubungan darah dengan Sengkon. Pada saat itu, Gunel dipenjara atas kesalahannya melakukan pencurian. Lebih lanjut, Gunel juga mengaku kepada Sengkon bahwa ia merupakan pelaku perampokan di Desa Bojongsari dan membunuh Sulaiman-Siti Haya. Dalam pengakuannya, Gunel menyatakan membunuh Sulaeman pada 20 November 1974 di Kampung Bojongsari, Desa Jatiluhur, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi.Gunel mengaku membunuh pasutri itu bersama dengan tiga orang lainnya. Gunel dkk lalu dihukum penjara atas kasus perampokan itu.Atas fakta baru itu, dunia hukum geger, Sengkon dan Karta mengajukan PK melalui PN Bekasi pada tanggal  3 November 1980. Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan schorsing (penundaan) kepada Kepala LP Cipinang agar Sengkon dan Karta dibebaskan terlebih dahulu. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua MA dengan maksud sama. Sengkon dan Karta bebas. Pada 4 November 1980, Sengkon dan Karta resmi keluar dari penjara dengan bebas setelah PK mereka dikabulkan MA.Kasus Sengkon dan Karta akhirnya menghasilkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 yang menjadi dasar hukum pertama yang mengatur tata cara pengajuan PK di Indonesia. Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan dalam permohonan PK meliputi:1. Ditemukan bukti baru (novum) yang sebelumnya tidak diketahui dan bisa mengubah putusan.2. Putusan hakim yang bertentangan satu sama lain pada tingkat pengadilan yang sama atau berbeda.3. Kesalahan nyata dalam putusan yang menimbulkan ketidakadilan.PERMA Nomor 1 Tahun 1980 memberikan panduan yang jelas tentang prosedur PK, termasuk syarat-syarat pengajuan dan batas waktu pengajuan. Peraturan ini memberikan landasan bagi MA untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.PERMA Nomor 1 Tahun 1980 itu kemudian diadopsi dalam KUHAP yang disahkan pada 31 Desmeber 1981.Itulah sekelumit cerita tentang Senkon dan Karta yang telah memjadi terobosan hukum di Indonesia (EES/asp).Referensi:Lubis, T Mulya. Alexander Lay. (2009). Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. AMD. (13 Maret 1980). Tertuduh Ditemukan Terhukum dalam Kasus yang Sama. Arsip Kompas. AMD. (19 Maret 1980). Disidangkan Kembali, Perkara Pembunuhan Suami-Isteri Sulaeman. Arsip Kompas. AMD. (24 April 1980). Keterangan Dua Saksi Saling Berbeda. Arsip Kompas. AMD. (20 Juni 1980). Tertuduh Utama Dituntut Hukuman 12 Tahun. Arsip Kompas. AMD. (16 Oktober 1980). Dari Sidang Pembunuhan Suami Istri Sulaeman:kompas.

Melihat Ewali Orahua, Situs Musyawarah Adat Masyarakat Nias Selatan

article | History Law | 2025-04-05 14:55:24

Nias Selatan- Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah melalui musyawarah sudah dikenal sejak zaman dahulu. Budaya bermusyawarah juga tercermin dalam Pancasila yang merupakan falsafah bangsa Indonesia, khususnya sila keempat. Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab ‘syawara’ yang berarti berunding, urun rembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah menjadi pilihan utama dalam penyelesaian masalah karena dapat menampung aspirasi dari berbagai pihak, meminimalisir resiko terjadinya perpecahan, dan mengedepankan solusi terbaik bagi semua pihak sehingga kualitas putusan yang dihasilkan bernilai tinggi.Tidak heran jika musyawarah banyak dipergunakan dalam berbagai aspek pengambilan keputusan. Baik dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim sampai penyelesaian konflik dalam hukum adat. Salah satunya oleh masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (5/4/2025), dalam tata kehidupan bermasyarakat Nias Selatan dikenal tradisi musyawarah yang disebut Orahu. Apa itu?Tradisi ini dilaksanakan dalam setiap kegiatan-kegiatan penting di masyarakat misalnya membicarakan masalah yang berkaitan dengan kampung dan diputuskan bagaimana cara penanganannya. Dahulu, Orahu juga digunakan sebagai persidangan dan untuk penentuan hukuman bagi para pelanggar adat-istiadat kampung. Dalam skala besar Orahu disebut sebagai Orahua Mbanua, yang dilaksanakan di Ewali Sawolo atau Ewali Orahua yaitu halaman di depan rumah bangsawan yang paling berpengaruh atau Balö Ji’ulu. Serta diikuti oleh para Si’ulu atau bangsawan, Si’ila atau tokoh adat, dan Ono Mbanua atau seluruh masyarakat.Orahu dimulai dengan memanggil para Si’ulu, Si’ila dan masyarakat kampung untuk berkumpul. Kemudian musyawarah dibuka Balö Ji’ila dengan membeberkan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya masing-masing orang, terutama Sorahu atau orang yang dituakan dan sudah berpengalaman mengungkapkan pendapatnya akan masalah tersebut. Uniknya karena dalam penyampaiannya banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan kuno juga permainan intonasi kalimat, maka untuk berbicara dalam Orahu diperlukan kemampuan seni berpidato (oratory) yang baik. Nah, beberapa waktu lalu, DANDAPALA berkesempatan melihat salah satu desa yang masih memiliki kelengkapan elemen-elemen desa adat khas Nias Selatan, termasuk Situs musyawarah adat (Ewali Orahua) adalah Desa Hilinawalo Fau atau Desa Hilinawalo Batusalawa di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara (Sumut). Selain dikelola berdasarkan prinsip hukum administrasi negara yang berlaku nasional, desa ini juga diatur menurut hukum adat lokal yang telah berlaku selama ratusan tahun. Hukum adat yang menjadi salah satu keunikan desa ini, terlihat tidak hanya dalam sistem tata kelola desa, tetapi juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari seperti upacara adat, pakaian tradisional, tari-tarian, arsitektur, lanskap desa, dan lain sebagainya. Kabar baiknya, Desa Hilinawalo Batusalawa hanya berjarak sekitar 15 Km dari pusat ibu kota kabupaten dan dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jadi, apakah Dandafellas tertarik untuk berkunjung ke desa ini?. (AL/asp)

Kasus Sindell v. Abott Loboratories: Lahirkan Doktrin Market Share Liability dalam Perkara Lingkungan Hidup

article | History Law | 2025-04-04 11:00:08

Market Share Liability adalah doktrin mengenai pertanggungjawaban yang pada intinya menyatakan para tergugat bertanggung jawab secara bersama-sama secara proporsional sesuai dengan market share (pangsa pasar) masing-masing. Jadi, doktrin ini memungkinkan penggugat melayangkan gugatan terhadap banyak tergugat sekaligus, sehingga tanggung jawab hukumnya pun dibagi bersama berdasarkan market shared yang tergugat miliki.Doktrin ini pertama kali lahir dari Kasus Sindell v. Abott Loboratories pada tahun 1980. Kasus ini bermula ketika Judith Sindell dan Maureen Rogers mengajukan gugatan terhadap produsen diethylstilbestrol (DES) yang merupakan sejenis obat yang dikonsumsi oleh ibu Penggugat selama kehamilan untuk mencegah keguguran dan komplikasi lainnya. Sindell dan Rogers menduga bahwa konsumsi DES oleh ibu mereka selama kehamilan kemudian menyebabkan Sindell dan Rogers mengidap kanker pada awal masa pubertas.Dimana Penggugat mengidap kanker kantong kemih ganas yang diangkat melaui operasi setahun sebelum mengajukan gugatan, namun mereka tidak dapat mengidentifikasi produsen obat secara spesifik yang telah menyebabkan kanker kepada mereka. Sebagai kasus gugatan perbuatan melawan hukum atas dasar keracunan atas pemakaian obat-obat tersebut, Sindell dan Rogers bertanggung jawab untuk membuktikan kerugian mereka dan bahwa DES telah menyebabkan kerusakan pada mereka. Sindell dan Rogers sama-sama terkena jenis kanker tertentu, yang dalam beberapa penelitian terbukti berkorelasi dengan konsumsi DES dan perkembangan abnormal. Namun, baik Sindell maupun Rogers tidak dapat menyebutkan perusahaan obat mana yang telah memproduksi DES yang dikonsumsi oleh ibu Penggugat. Pengadilan tingkat daerah menolak kasus Sindell dan Rogers karena ketidakmampuan mereka untuk mengidentifikasi satu produsen pun yang bertanggung jawab dan disisi lain eksepsi dari para tergugat diterima oleh Pengadilan. Sindell dan Rogers mengajukan banding atas kasus mereka ke Pengadilan Banding California, yang juga menolaknya pada tahun 1978. Sindell dan Rogers lalu mengajukan banding atas kasus mereka ke Mahkamah Agung California di San Francisco. Pada tahun 1980, Mahkamah Agung California menerima kedua kasus tersebut dan menggabungkannya menjadi satu kasus tunggal Sindell v. Abbott Laboratories, karena kesamaan antara kedua kasus tersebut dan ganti rugi yang diminta oleh masing-masing perempuan. Donnenfeld & Brent, Jason G. Brent, Laurence M. Marks, Heily, Blase, Ellison & Wellcome and Jay H. Sorensen mewakili Sindell dan Rogers. Tim hukum yang terdiri dari dua belas orang yang terdiri atas Morgan, Wenzel & McNicholas, Darryl L. Dmytriw, Lord, Bissel & Brook, Hugh L. Moore, Crosby, Heafey, Roach & May, Richard J. Heafey, Peter W. Davis, John E. Carne, Leonard M. Friedman, John G. Fleming, George Fletcher, Adams, Duque & Hazeltine, Richard C. Field, David L. Bacon, Haight, Dickson, Brown & Bonesteel, Robert L. Dickson, Roy G. Weatherup, Hall R. Marston and Jerry M. Custis mewakili produsen obat tersebut. Sebelas amicus curiae yang terdiri atas Wylie Aitken, Stephen Zetterberg, Robert E. Cartwright, Harry DeLizonna, Edward I. Pollack, J. Nick DeMeo, Sanford M. Gage, Leonard Sacks, David Rosenberg, Jeanne Baker, David J. Fine and Rosenberg, Baker & Fine diajukan atas nama Sindell dan Rogers. Mahkamah Agung California kemudian mendengarkan kesaksian dan dalam putusan akhir dimana empat orang hakim melawan tiga orang hakim, membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang telah menolak kasus Sindell dan Rogers. Hakim Stanley Mosk menulis opini mayoritas, bersama dengan Ketua Mahkamah Agung California Rose Elizabeth Bird, Hakim Frank C. Newman, dan Hakim White. Para hakim membahas petisi Sindell, karena petisi Rogers sedikit berbeda karena berupaya mengidentifikasi Eli Lilly and Company sebagai perusahaan tertentu yang telah memproduksi DES milik ibunya. Opini mayoritas berisi empat bagian, tiga bagian tentang berbagai preseden hukum yang mencakup kasus Sindell, dan satu bagian menjelaskan keputusan pengadilan. Oleh karena putusan hakim berdasarkan preseden yang ditetapkan dalam kasus-kasus sebelumnya, kasus Sindell dan Rogers bergantung pada tiga preseden yang diajukan mereka. Kasus tersebut bergantung pada preseden-preseden berikut tanggung jawab alternatif, tindakan bersama, dan tanggung jawab perusahaan. Mahkamah Agung California membahas preseden-preseden tersebut dalam tiga bagian pertama dari pendapat mayoritas.Pertama, Mahkamah Agung California membahas klaim Sindell dan Rogers bahwa tanggung jawab alternatif, sebuah preseden yang ditetapkan dalam Summers v. Tice (1947), dapat diterapkan pada kasus mereka. Summers v. Tice adalah kasus yang diadili oleh Mahkamah Agung California di mana tiga orang pergi berburu burung puyuh, dan Summers ditembak dua kali oleh orang lainnya. Summers menggugat keduanya atas luka-luka yang dialaminya, tetapi ia tidak dapat mengidentifikasi dari senjata mana tembakan itu berasal. Mahkamah Agung California memutuskan bahwa kedua orang yang menembak Summers bertanggung jawab, dan beban pembuktian beralih kepada penembak untuk membuktikan ketidakbersalahan mereka. Doktrin itu disebut tanggung jawab alternatif, ketika beberapa pihak bertanggung jawab atas satu kerusakan dan beban pembuktian terlalu sulit untuk menjamin hasil yang baik bagi pihak yang dirugikan, maka beban pembuktian beralih kepada pihak yang melakukan kesalahan untuk membebaskan dirinya sendiri atas kesalahan yang ditujukan.Namun, Mahkamah Agung California tahun 1980 memutuskan bahwa preseden pertanggungjawaban alternatif tidak berlaku dalam kasus Sindell karena Sindell hanya menggugat sebelas produsen, sementara disisi lain lebih dari dua ratus perusahaan telah memproduksi dan memasarkan DES. Karena Sindell tidak dapat memastikan produsen mana yang memproduksi obat yang dikonsumsi ibunya, perusahaan yang dituntut Sindell mungkin tidak menyebabkan kerusakan pada Sindell. Mahkamah Agung California memutuskan bahwa tidak adil untuk membebani masing-masing dari sebelas perusahaan dengan pembuktian ketidakbersalahan mereka, padahal semuanya dapat dinyatakan tidak bersalah. Bagian kedua dari pendapat mayoritas membahas klaim Sindell bahwa preseden tindakan bersama berlaku. Tindakan bersama mengacu pada teori hukum bahwa ketika suatu pihak dirugikan oleh suatu kegiatan kelompok, pihak yang dirugikan dapat menuntut semua peserta kelompok sebagai pihak yang sama-sama bertanggung jawab atas kerugian tersebut jika ada bukti bahwa mereka bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Meskipun hanya satu pihak yang mungkin menyebabkan kerugian tersebut, semua pihak lainnya bertanggung jawab jika dapat ditunjukkan bahwa kelompok tersebut bertindak bersama-sama.Mahkamah Agung California memutuskan bahwa preseden tindakan bersama tidak berlaku untuk Sindell. Meskipun industri secara keseluruhan telah bertindak serupa, banyak dari tindakan tersebut muncul dari peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Dengan demikian, produsen tidak bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan yang diambil sesuai dengan peraturan FDA. Lebih jauh, Sindell dan Rogers tidak menunjukkan bahwa salah satu produsen mengetahui produsen lain yang menyebabkan kerusakan.Bagian ketiga dari pendapat mayoritas membahas klaim Sindell tentang tanggung jawab perusahaan, yang ditetapkan dalam kasus pengadilan distrik federal, Hall v. E.I. du Pont de Nemours & Co. (1972). Di Hall, tutup peledak telah melukai tiga belas anak dalam kecelakaan yang berbeda. Mereka yang terluka telah mengajukan kasus terhadap enam produsen tutup peledak dan asosiasi perdagangan mereka. Karena keenam produsen dan asosiasi perdagangan telah mengikuti prosedur keselamatan yang sama dan bekerja sama untuk merancang dan memproduksi produk yang hampir identik, keputusan Hall menyatakan bahwa semuanya bertanggung jawab atas cedera tersebut. Jika ada pihak yang terluka menunjukkan bahwa tutup peledak yang melukai mereka diproduksi oleh salah satu dari enam produsen, beban pembuktian beralih ke produsen untuk membuktikan bahwa mereka tidak memproduksi tutup peledak tersebut. Keputusan Hall menetapkan doktrin tanggung jawab perusahaan, di mana setiap entitas bertanggung jawab atas satu kerusakan jika mereka adalah bagian dari perusahaan patungan.Sekali lagi, Mahkamah Agung California memutuskan bahwa preseden tanggung jawab perusahaan yang diajukan tidak berlaku untuk Sindell, karena produsen DES terlalu banyak. Hall hanya berlaku untuk kasus-kasus di mana pemegang saham atas industri yang relatif sedikit. Dalam kasus DES, dua ratus entitas merupakan industri, dan sebelas entitas yang dituntut oleh Sindell terlalu sedikit untuk mewakili industri tersebut. Pertimbangan Utama Mahkamah Agung CaliforniaBagian akhir dari pendapat mayoritas memuat putusan pengadilan terkait Sindell. Hakim Mosk, yang menulis pendapat mayoritas, menyatakan bahwa preseden yang ada mengharuskan Mahkamah Agung California untuk mengadili putusan pengadilan yang lebih rendah dengan membatalkan putusan tersebut. Namun, Mosk mencatat bahwa Sindell dan orang lain yang terkena dampak DES memiliki alasan untuk menuntut dan menerima kompensasi, dan pengadilan tidak ingin membatalkan kasus tersebut tanpa memberikan kompensasi tersebut.Selanjutnya pendapat Hakim mayoritas memperluas penerapan aturan pasal 433B Tentang Perbuatan Melawan Hukum, dengan menamainya sebagai Market Share Liability atau "tanggungjawab pangsa pasar." Pendapat mayoritas menyatakan setiap produsen DES bertanggung jawab atas persentase ganti rugi Sindell yang setara dengan pangsa pasar DES mereka pada saat ibu hamil mengonsumsi obat tersebut meskipun belum terbukti bahwa para tergugat ini memasok obat tersebut kepada ibu penggugat. Dengan kata lain Mahkamah Agung California membuat perubahan radikal dari konsep hukum umum tentang kesalahan, sebab akibat, dan beban tanggung jawab. dengan cara mengalihkan beban pembuktian kepada para tergugat yang menguasai sebagian besar pangsa pasar obat DES .Namun, jika produsen dapat membuktikan bahwa produk mereka tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan maka produsen tidak perlu membayar ganti rugi, berdasarkan doktrin tanggung jawab pangsa pasar tersebut.   Sementara terdapat dissenting opinion (pendapat berbeda) yang ditulis oleh Hakim Frank K. Richardson, yang diikuti oleh Hakim William P. Clark dan Wiley M. Manuel. Pendapat berbeda tersebut menyatakan bahwa Market Share Liability memungkinkan pihak yang mengalami kerusakan, yang tidak hadir pada saat kerusakan, untuk menuntut bertahun-tahun setelah terjadi kerusakan awal. Lebih jauh lagi, Market Share Liability menjamin kompensasi dari perusahaan obat yang mungkin tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Richardson berpendapat bahwa pendapat mayoritas menyebarkan tanggung jawab terlalu jauh dan membatalkan kausalitas sebagai persyaratan tradisional untuk menetapkan tanggung jawab. Pihak yang terdampak tidak lagi harus membuktikan bahwa produk tertentu dari produsen tertentu menyebabkan kerusakan tertentu. Jika produsen menguasai pangsa pasar yang substansial, produsen tersebut bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh produsen mana pun di pasar. Lebih jauh, Richardson mempertanyakan bagaimana pengadilan menetapkan pangsa pasar, karena kerusakan terjadi bertahun-tahun yang lalu dan pangsa pasar berubah dengan cepat, sehingga pengadilan tidak dapat menentukan pangsa pasar secara akurat pada saat terjadi kerusakan. Beberapa sarjana hukum menyuarakan kekhawatiran Richardson tentang mendefinisikan pangsa pasar dan menghitung kerusakan. Beberapa pihak menyarankan agar Sindell mendorong pengujian keamanan obat yang lebih banyak sebelum obat tersebut dipasarkan. Selanjutnya Mahkamah Agung AS di Washington, D.C., menolak menerima kasus tersebut pada banding berikutnya, sehingga keputusan Sindell menjadi preseden. Keputusan tersebut menjadi preseden bahwa individu yang terkena paparan obat sebelum lahir dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap perusahaan farmasi beberapa dekade setelah cedera. Keputusan Sindell memiliki implikasi tidak hanya bagi keturunan generasi pertama dan kedua yang terkena DES, tetapi juga bagi mereka yang terkena pengganggu endokrin lain yang bekerja sebelum lahir.Lalu bagaimana perkembangan Doktrin Market Share Liability tersebut dalam perkara lingkungan hidup?Bahwa doktrin tersebut sudah sampai kepada negara-negara Asia. Salah satunya adalah Indonesia. Dimana Doktrin Market Share Liability telah diadopsi dalam penanganan perkara lingkungan hidup. Hal itu dapat dilihat sebagaimana pada Pasal 46 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Dalam reglemen tersebut diatur bahwa dalam perkara pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan diduga diakibatkan oleh kegiatan banyak badan usaha, Penggugat dapat menggugat satu badan usaha. Selain itu Tergugat dapat menarik pihak lain untuk turut bertanggungjawab dalam persidangan (vrijwaring). Hakim dalam menentukan pertanggungjawaban untuk perkara yang dilakukan banyak perlaku mempertimbangkan syarat kumulatif yaitu pertama kerugian yang diderita disebabkan oleh perbuatan dan atau bahan yang memiliki fungsi, fisik, sifat, ataupun resiko yang sama dan tidak dapat dibedakan satu sama lain. Kedua pihak yang menjadi tergugat memiliki kapasitas usaha yang dominan dan atau kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi maka tanggung jawab para tergugat didasarkan pada kontribusi terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Sementara apabila Tergugat mampu membuktikan bahwa pencemaran dan atau kerusakan lingkungan tidak disebabkan oleh kegiatan atau limbah yang dilepaskannya maka Tergugat dapat lepas dari pertanggungjawabannya. Sumber: Market Shared Liability: Alternatif Pembebanan Kesalahan dalam Gugatan Perdata Degradasi Lahan Sekapur Sirih - Universitas Airlangga Official Website  Sindell v. Abbott Laboratories (1980) | Embryo Project Encyclopedia Sindell v. Abbott Laboratories :: :: Supreme Court of California Decisions :: California Case Law :: California Law :: U.S. Law :: JustiaSindell v. Abbott Labs_"The Heir Of The Citade by Lewis A. Berns, George J. LykosPeraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Miranda Rule ‘Anda Berhak Diam!’ dan Pasal 56 KUHAP

article | History Law | 2025-04-04 07:25:00

MIRANDA Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat yang bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan dan atau dalam semua tingkat proses peradilan. Lalu bagaimana di Indonesia?Miranda Rule sendiri berawal dari sebuah kasus di Arizona, Amerika Serikat, 1963. Saat itu Arturo Ernesto Miranda, (23), ditangkap polisi atas dugaan kasus penculikan dan pemerkosaan. Setelah diinterogasi penyidik sekitar 2 jam, akhirnya Miranda mengaku sebagai pelaku. Lantas Miranda pun menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab pertanyaan penyidik dengan sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Lalu kasus pun memasuki tahap persidangan. Di pengadilan Arizona, Miranda diganjar 20 tahun hukuman penjara. Dia langsung banding.Kasus ini berlarut hingga naik ke Supreme Court of the United State (MA-nya Amerika Serikat). Di tingkat Supreme Court tersebut, sekitar tahun 1966, mayoritas hakim Supreme Court berpendapat hak-hak Miranda sebagai tersangka tidak dilindungi. Selain itu, saat pemeriksaan Miranda tidak didampingi pengacaraDi tingkat Supreme Court inilah, Miranda dihukum lebih ringan, 11 tahun penjara dengan suara juri 5 banding 4. Akhirnya, Miranda dibebaskan secara bersyarat pada 1973.Sekeluarnya dari penjara, Miranda malah tewas dalam perkelahian bersenjata tajam. Berbeda dengan saat Miranda ditangkap, kepada tersangka penusuk, polisi membacakan kalimat:”You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense,”.Kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas berarti:“Anda berhak diam. Apa pun yang Anda katakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Anda berhak untuk menunjuk pengacara yang hadir saat diperiksa. Jika Anda tidak mampu menghadirkannya, seorang pengacara akan ditunjuk untuk Anda oleh pemerintah,”Nah, kini kalimat di atas kerap muncul dalam film-film Hollywood saat adegan penangkapan polisi terhadap penjahat.Bagaimana di Indonesia?Sebagaimana DANDAPALA kutip dari M Sofyan Lubis,Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan (Pustaka Yustisia 2010), Jumat (4/4/2025). Miranda Rule juga merupakan hak konstitusional yang bersifat universal di hampir semua negara yang berdasarkan hukum.Komitmen terhadap penerapan Miranda Rule telah dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ke dalam sistem Hukum Acara Pidana, yaitu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Secara umum prinsip Miranda Rule (Miranda Principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada dalam Bab VI  KUHAP, sedangkan secara khusus Prinsip Miranda Rule atau Miranda Principle terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.Yang ingin ditegakkan dalam Prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair terhadap diri tersangka atau terdakwa. Sebab dengan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi dan membela hak-hak hukum bagi terdakwa dalam pemeriksaan di Pengadilan dimaksudkan untuk dapat berperan memberikan fungsi kontrol. Sehingga proses pemeriksaan terhindar dari adanya tindakan-tindakan yang tidak wajar yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di samping itu dimaksudkan agar adanya kontrol oleh penasihat hukum terhadap jalannya pemeriksaan selama dalam proses persidangan di pengadilan.Pada sisi lain Ketentuan yang di konstantir dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut bersifat imperatif, yang apabila diabaikan mengakibatkan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.Sejarah Diadopsinya Prinsip Miranda Rule dalam KUHAPBerawal dari kasus yang terjadi Miranda Rule di Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1966 di atas, sejak saat itu, Miranda Rule menjadi pijakan dalam sistem hukum Amerika Serikat, yang kemudian mengarah pada penerapan prinsip serupa di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.Hak-Hak yang Dilindungi dalam Miranda Rule meliputi penerapan dalam pasal 56 KUHAP  hak dasar yang wajib diberikan kepada tersangka sebelum dimulai pemeriksaan oleh penyidik, antara lain:1. Hak untuk diam: Segala hal yang diungkapkan oleh tersangka bisa digunakan untuk melawannya dalam pengadilan, sehingga hak untuk diam menjadi nilai krusial bagi tersangka.2. Hak untuk mendapatkan penasihat hukum: Tersangka berhak menghubungi atau didampingi oleh pengacara yang memiliki kewajiban untuk melindungi hak-haknya selama proses pemeriksaan.3. Hak atas bantuan hukum jika tidak mampu (Pro Bono): Jika tersangka tidak mampu menyediakan pengacara, penyidik harus menyediakan penasihat hukum yang akan dibiayai oleh negara.Dari hal hal tersebut karena diabaikanya hak tersangka maka Prinsip Miranda Rule melahirkan Miranda Rights, yang merinci hak-hak tersangka yang perlu diketahui sebelum pemeriksaan dimulai.Selain Miranda Rule dan Miranda Rights, dewasa ini ada pula yang dikenal sebagai Miranda Warning, yaitu peringatan yang wajib disampaikan oleh penyidik kepada tersangka pada saat penangkapan atau sebelum interogasi. Peringatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tersangka memahami hak-haknya, yang selanjutnya demi kepentingan proses hukum yang adil.Adapun bunyi Pasal 56 penerapan dari Miranda Rule sebagai berikut:Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. (EES/asp).

Mr. Sutan Mohammad Amin Nasution : Deklarator Sumpah Pemuda, Hakim dan Gubernur Sumut Pertama

article | History Law | 2025-03-31 12:30:08

Awal tahun 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis survey, suku-suku penyumbang sarjana terbanyak di Indonesia. Peringkat pertama,  pencetak sarjana terbanyak adalah Suku Batak dengan persentase 18,02 %,  Minangkabau di peringkat kedua dengan 18 % dan Bali di peringkat ketiga dengan 14,54 %. Hal ini, menunjukan paradigma keluarga suku Batak yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam jalani kehidupan. Maka, banyak ditemukan tokoh nasional yang berasal dari suku Batak, termasuk yang mengabdikan diri sebagai insan peradilan.Dunia peradilan mencatatatkan banyak begawan hukum lahir dari Suku Batak, antara lain Mariana Sutadi Nasution (Mantan Wakil Ketua MA dan Duta Besar RI), Bismar Siregar (Mantan Hakim Agung RI), M. Yahya Harahap (Mantan Ketua Muda Pidana MA RI), dan tokoh lainnya. Bahkan jauh sebelum nama-nama begawan hukum tersebut, Suku Batak telah melahirkan seorang begawan hukum yang dinobatkan pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.Sosok tersebut, Mr. Sutan Mohammad Amin Nasuiton yang dianugrahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI Ketujuh, Ir. Joko Widodo di Istana Negara, pada peringatan hari Pahlawan, 10 November 2020. Meskipun berdarah Batak Mandailing, Amin Nasution lahir di Lhok Ngah, Kabupaten Aceh Besar, tanggal 22 Februari 1904. Amin Nasution kecil ikut keluarganya merantau ke Aceh, karena ayahnya Mohammad Taif Nasution diangkat menjadi Kepala Sekolah Dasar Melayu di Aceh Besar, oleh pemerintah kolonial Belanda.Menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk keturunan etnis Eropa, Belanda dan bangsawan Hindia Belanda) secara berpindah dari Sabang, Solok, Sibolga dan menamatkannya di Europeesche Lagere School Tanjung Pinang, Kepulauan Riau tahun 1918. Sempat mengenyam pendidikan lanjutan di sekolah pendidikan dokter bumiputera (STOVIA), di Batavia. Rasa cinta tanah air dan sikap nasionalismenya tumbuh saat mengenyam pendidikan di STOVIA, karena Amin Nasution muda berinteraksi dan bergabung dengan para pelajar progresif di Jong Sumatranen Bond (perhimpunan pelajar/pemuda Sumatera).Amin Nasution muda lebih tertarik pada ilmu sosial, memilih melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan  lulus dengan predikat terbaik, sehingga dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi di Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Ketika melanjutkan study di AMS, Amin Nasution bersahabat dengan pemuda nasionalis yang memiliki cita-cita tentang Indonesia Merdeka. Sosok tersebut, Mohammad Yamin (kelak Anggota BPUPKI dan Menteri Orde Lama). Persahabatannya dengan M. Yamin semakin memperkokoh semangat kebangsaan, untuk membawa rakyatnya terbebas dari belenggu penjajahan. Selesai menamatkan pendidikannya di  Yogyakarta, Amin Nasution meneruskan pendidikannya ke Rechtschoogeschool Batavia (cikal bakal Fakultas Hukum UI), tahun 1928. Tidak hanya memfokuskan diri untuk menamatkan pendidikan hukum, Amin Nasution aktif dalam mengorganisir persatuan pemuda kedaerahan, di satu wadah  Komisi Besar Indonesia Muda (KBIM) dan puncaknya sebagai salah seorang deklarator Sumpah Pemuda, 1928. Meskipun sibuk dengan pergerakan kebangsaan, Amin Nasution lulus dari pendidikan hukum di Rechtschoogeschool Batavia, dengan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr).Kejeniusan Amin Nasuiton, membuat pemerintah kolonial Belanda kepincut dan menawarkannya bekerja sebagai ambtenaar (pns) kolonial, tetapi kesempatan tersebut ditolak. Amin Nasution memilih berkarya sebagai advokat di Kutaradja (saat ini Banda Aceh) dan banyak menjadi pembela permasalahan rakyat Aceh. Keberpihakannya terhadap rakyat Aceh, menjadikannya sosok yang dihormati. Saat pendudukan Jepang, dirinya diangkat menjadi Hakim Tiho Hoin (Pengadilan Negeri) Sigli, Aceh.Amin Nasution dikenal ketegasannya dalam memeriksa dan mengadili perkara. Selain itu, sosoknya dikenang para ahli hukum sebagai begawan hukum dan penulis berbagai buku hukum. Tercatat ada 15 buku, karya dari Amin Nasution. Jepang juga mempercayakannya memimpin Sekolah Menengah Kutaradja dan disanalah Amin Nasution mengobarkan semangat nasionalisme pelajar Aceh. Saat kontak fisik merebut kemerdekaan Indonesia, para siswa Amin Nasution mendirikan Tentara Pelajar Aceh yang berjuang mengusir penjajah Jepang.Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Presiden Ir. Soekarno mengangkat Teuku Mohammad Hasan memimpin provinsi Sumatera yang terdiri dari berbagai karisidenan dan untuk memudahkan pelaksanaan tugasnya, serta membendung Agresi Militer Belanda. Gubernur Mohammad Hasan, melantik 3 orang gubernur muda dan salah satunya Amin Nasution yang dipercaya menjadi Gubernur Muda Sumatera Utara, dengan wilayah Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Pengangkatan Amin Nasution sebagai Gubernur Muda Sumatera Utara berlangsung, pada tanggal 14 April 1947. Saat menjabat gubernur muda Sumatera Utara, Amin Nasution pernah ditahan Belanda ketika berkunjung ke rumah orang tuanya di Desa Mandailing, Pematang Siantar. Setelah 40 hari ditahan Belanda, Amin Nasution berhasil melarikan diri dan pergi menuju Penang, kemudian kembali ke Aceh. Pada tahun 1948. Presiden Ir. Soekarno memekarkan Provinsi Sumatera, dengan membaginya jadi 3 provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Adapun, Soekarno mempercayakan Amin Nasution sebagai Gubernur Sumatera Utara pertama dan melantiknya tanggal 19 Juni 1948. Ketika menjabat Gubernur Sumatera Utara, Amin Nasution menerbitkan uang Provinsi Sumatera Utara, yakni Uang Republik Indonesia Sumatera Utara. Tujuan pencetakan uang daerah, memperbaiki ekonomi masyarakat akibat perang mempertahankan kemerdekaan dan melawan moneter Belanda.Sosok Amin Nasution menjabat Gubernur Sumatera Utara selama dua periode dan juga membantu pemerintah pusat memadamkan berbagai pemberontakan yang terjadi di wilayah Sumatera Utara. Selesai menjabat Gubernur Sumatera Utara, dirinya dipercaya Soekarno untuk menjabat Gubernur Riau Pertama periode 1958-1960.Atas pengabdiannya kepada nusa bangsa, pemerintah Indonesia menyematkan beragam penghargaan seperti, gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI Ketujuh Joko Widodo, Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa Utama oleh Presiden RI Ketiga BJ Habibie, Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia oleh Presiden RI Kedua Soeharto, Satyalancana Peringatan Kemerdekaan RI.Semoga lahir para juris muda yang meneladani perjuangan Mr. Sutan Amin Mohammad Nasution. Demikian juga, artikel ini diharapkan meningkatkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme di kalangan para hakim, serta masyarakat umum yang membacanya.*Hakim PN SampangSumber referensihttps://historia.id/politik/articles/s-m-amin-gubernur-pertama-sumatra-utarahttps://www.kompas.com/stori/read/2021/07/31/110000579/sutan-Mohammad-amin-nasution--karier-dan-perannyahttps://kepriprov.go.id/berita/pemprov-kepri/presiden-tetapkan-sm-amin-nasution-ayah-mertua-gubernur-pertama-kepri-sebagai-pahlawan-nasionalhttps://sumutprov.go.id/artikel/halaman/pahlawan-nasionalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Mohammad_Amin_Nasutionhttps://nationalgeographic.grid.id/read/132401358/sutan-Mohammad-amin-salah-satu-tokoh-sumpah-pemuda-yang-berjasa

Perdebatan Yamin VS Soepomo: Cikal Bakal Lahirnya Judicial Review

article | History Law | 2025-03-30 09:30:57

Judicial review merupakan suatu bentuk pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Judicial review juga sering dikenal dengan hak uji materi. Jika kita mengingat kembali, dalam sejarahnya praktik pengujian undang-undang bermula di Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat saat dipimpin William Paterson dalam kasus Danil Lawrence Hylton melawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796. Dalam kasus ini, MA menolak permohonan pengujian undang-undang Pajak atas Gerbong Kereta Api 1794 yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, sehingga tindakan kongres dipandang konstitusional. Itu berarti bahwa MA telah melakukan pengujian undang-undang secara nyata meskipun putusannya tidak membatalkan undang-undang tersebut. Praktik pengujian undang-undang tersebut pun berlanjut saat MA Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall, dalam kasus Marbury melawan Madison tahun 1803, kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan  judicial review  kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Itulah yang menjadi cikal bakal adanya kewenangan  judicial review.Tapi tahukah anda, sejarah lahirnya judicial review di Indonesia tidak diawali dengan adanya kasus seperti yang terjadi di Amerika Serikat, namun diawali dengan adanya perdebatan sengit antara dua tokoh bangsa yaitu Muhammad Yamin dengan Soepomo pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sedang berlangsung. Dalam sidang tersebut, Yamin mengusulkan bahwa  seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan  judicial review.  Saat itu Yamin mengatakan "Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-undang, Balai Agung inilah yang akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syariah dan Undang Undang Dasar."Namun usulan Yamin itu disanggah oleh Soepomo dengan 4 alasan yaitu bahwa: Pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); Kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji Undang-undang; Ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengunian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); danKeempat, sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai  judicial review. Adanya sanggahan dari Soepomo tersebut, mengakibatkan ide pengujian undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945. Jika kita melihat dalam sejarah, Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di negara kita, menganut ”undang-undang tidak dapat diganggu gugat”. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar RIS 1949, menyatakan Mahkamah Agung tidak berwenang menguji secara materiil undang-undang Federal, namun hanya berwenang menguji undang-undang daerah-daerah bagian. Begitu pula dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, tidak mengenal hak menguji konstitusionalitas undang-undang. Keberadaan undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Produk undang-undang dipandang sebagai produk lembaga pelaksana kedaulatan rakyat dalam struktur  ketatanegaraan. Hal itu merupakan pengaruh dari hukum tata negara Belanda dalam penyusunan konstitusi kita. Selanjutnya pada saat pembahasan Undang-Undang Dasar dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang dipilih melalui pemilihan umum 1955, banyak bermunculan gagasan agar pengujian undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Gagasan tersebut sempat menguat. Namun, sebelum Konstituante berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dewan tersebut dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan kembali. Gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar telah melalui proses yang panjang. Dalam setiap pembahasan undang-undang mengenai kekuasaan kehakiman, gagasan itu selalu ada. Gagasan itu kembali muncul pada saat pembahasan RUU tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1970. Namun, gagasan yang diterima adalah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Selanjutnya, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di negara kita, kebutuhan akan adanya mekanisme  judicial review  makin lama kian terasa. Kebutuhan tersebut baru bisa dipenuhi setelah terjadi Reformasi yang membuahkan perubahan UUD 1945 dalam empat tahap. Pada perubahan ketiga UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Dan untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya rancangan undang-undang tersebut disepakati bersama oleh Pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, Undang-Undang tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Sehingga saat itu Indonesia telah memiliki sebuah lembaga yang bertugas untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Sumber Referensi: https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2 https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11769 Artikel Hak Uji Materiil Mahkamah Konstitusi oleh : Widayatihttps://www.zamane.id/2024/04/perdebatan-soekarno-hatta-soepomo-yamin.html

KRMT Wongsonegoro : Pendiri Jong Java, Hakim Sampai Waperdam RI

article | History Law | 2025-03-29 15:00:48

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, banyak diwarnai berbagai tokoh berlatar belakang pendidikan hukum. Mayoritas para tokoh hukum dimaksud, memiliki garis keturunan bangsawan yang mendapatkan privilege mengenyam pendidikan tinggi dibandingkan kalangan bumiputera lainnya. Meskipun secara ekonomi dan kasta sosial kala itu, para tokoh bangsa dapat hidup nyaman dibawah kendali kekuasaan kolonial, tetapi mereka memilih turun tangan perjuangkan nasib bangsa dan rakyatnya yang terjajah. Bahkan tidak sedikit, para tokoh memiliki pekerjaan layak dengan gaji fantastis dibandingkan profesi lainnya atau rakyat secara umum, namun tetap mendharmakan dirinya untuk perjuangkan kemerdekaan. Hakim, profesi yang memiliki keistimewaan finansial dan kedudukan sosial tinggi di era kolonial, tetapi banyak tokoh bangsa lahir dari profesi ini.Salah satu, tokoh berlatarbelakang hakim di era kolonial, yang  perjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Wongsonegoro. Pria kelahiran Surakarta, 20 April 1897 merupakan keturunan dari pasangan priyayi bernama Raden Ngabehi Gitodiprojo dan Raden Ajeng Soenartinah. Saat, lahir orang tuanya memberikan nama Raden Mas Soenardi.Wongsonegoro kecil, menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School atau sekolah dasar yang diperuntukan bagi kalangan Eropa, Belanda dan keturunan bangsawan Hindia Belanda. Setelah dinyatakan lulus dengan nilai istimewa, pendidikannya dilanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah tingkat pertama pemerintah kolonial Belanda), yang menggunakan pengantar bahasa Belanda. Pribadi cerdas dan tekun dalam menempuh pendidikan, membawa dirinya meneruskan pendidikan di Rechtschool dan lulus tahun 1917. Kemudian Wongsonegoro, melanjutkan pendidikan hukumnya di Rechtshogeschool, Batavia (cikal bakal Fakultas Hukum UI) dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) tahun 1929.Tidak hanya serius menempuh pendidikan hukum, rasa cinta tanah air dan peduli akan rakyatnya yang terjajah, Wongsonegoro terlibat aktif dalam pergerakan kebangsaan. Sosoknya, tercatat sebagai Ketua organisasi Boedi Oetomo, cabang Surakarta. Wongsonegoro juga berjibaku menyatukan pelajar dan pemuda bumiputera berdarah Jawa dengan mendirikan organisasi Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) bersama dengan Dr. Satiman Widjosandjojo, Sutomo (Bung Tomo), dan tokoh lainnya, pada tahun 1915. Tri Koro Dharmo kelak bertransformasi menjadi Jong Java dan mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda, 1928. Sejarah menorehkan, Wongsonegoro merupakan Wakil Ketua Umum Tri Koro Dharmo pertamaLulus sebagai juris, pemerintah kolonial Belanda mengangkatnya sebagai seorang hakim di Landraad (Pengadilan Negeri) Surakarta. Melihat kecerdasan yang dimiliki Wongsonegoro, pemerintah kolonial menjadikannya sebagai Bupati Sragen masa bakti 1939 sampai dengan 1944. Diujung pemerintahan kolonial, Wongsonegoro bersama Ir. Soekarno (kelak Presiden RI pertama), Mohammad Hatta (kelak Wapres RI pertama), Kusumah Atmadja (kelak Ketua MA RI pertama), AA Maramis (kelak Menkeu, Menlu  dan duta besar RI) serta para tokoh bangsa lainnya menyusun falsafah negara, merancang konstitusi, merumuskan batas-batas wilayah negara Indonesia ketika merdeka dan membahas persoalan kebangsaan lainnya melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).Bahkan Wongsonegoro, berperan menjamin hak asasi manusia bagi para penghayat aliran kepercayaan dengan mengusulkan penambahan frasa kepercayaannya itu dalam rumusan Pasal 29 Ayat 2 UUD NRI 1945, yang menjamin hak warga negara untuk menganut agamanya masing-masing dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Setelah Indonesia merdeka, Wongsonegoro dipercaya menduduki berbagai jabatan penting, antara lain Gubernur Jawa Tengah Kedua tahun 1945-1949, Menteri Dalam Negeri RI tahun 1949, Menteri Kehakiman RI tahun 1950-1951, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1951-1952, Menteri Urusan Kesejahteraan Negara 1953-1954 dan Wakil Perdana Menteri RI Kabinet Ali Sastroamidjojo.Tidak hanya terlibat dalam dunia pemikiran, Wongsonegoro aktif mengorganisir pemuda Jawa Tengah untuk pertahankan kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadi juru runding dalam menyelesaikan konflik bersenjata antara pemuda Jawa Tengah dengan sisa pasukan Jepang yang diamanahkan Sekutu mempertahankan status quo kolonialisme, sampai dengan hadirnya pasukan Sekutu di Jawa Tengah. Peristiwa tersebut, dikenal sebagai pertempuran 5 (lima) hari di Semarang, tanggal 15-19 Oktober 1945. Pertempuran yang mengakibatkan ribuan pemuda Semarang meregang nyawa. Untuk mengenang pertempuran 5 hari di Semarang, Presiden Soekarno meresmikan sebuah tugu muda di Kota Semarang, tahun 1953. Wongsonegoro dikenal juga, sebagai tokoh yang mendalami bela diri pencak silat dari tanah nusantara. Kiprahnya di dunia pencak silat, membawa Wongsonegoro mendirikan dan mendeklarasikan induk organisasi Pencak Silat atau dikenal dengan IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia), Mei 1948. Wongsonegoro dipercaya mengemban amanah sebagai Ketua Umum IPSI yang pertamaDedikasi Wongsonegoro untuk perjuangan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, membuat sosoknya dianugerahi beragam tanda jasa oleh Pemerintah Indonesia seperti Bintang Gerilya, Perintis Kemerdekaan, Satya Lencana Kemerdekaan I & II dan Bintang Bhayangkara. Namanya juga, diabadikan menjadi ruas jalan di berbagai kota Indonesia. Bahkan pemerintah kota Semarang menyematkan nama Wongsonegoro sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Semarang, Jawa Tengah.Semoga kiprah dan pengabdian Wongsonegoro untuk nusa bangsa, bisa menjadi pembelajaran bagi para hakim seluruh Indonesia dan secara umum para pembaca artikel ini.Sumber referensihttps://www.hukumonline.com/berita/a/kenali-pejuang-kemerdekaan-berlatar-belakang-hukumhttps://www.merdeka.com/jateng/sosok-krt-wongsonegoro-gubernur-pertama-jateng-setelah-kemerdekaan-yang-pernah-ditunjuk-sebagai-menteri-era-soekarnohttps://historia.id/politik/articles/gubernur-jateng-ditempeleng-opsir-jepanghttps://id.wikipedia.org/wiki/Wongsonegorohttps://jateng.idntimes.com/science/discovery/fariz-fardianto/wongsonegoro-mantan-waperdam-yang-jadi-pelopor-ilmu-kebatinanhttps://www.liputan6.com/hot/read/4944464/penggagas-induk-organisasi-pencak-silat-indonesia-adalah-wongsonegoro-ini-sosoknyahttps://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7656113/wongsonegoro-mantan-menteri-pendidikan-1951-1952-akan-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional

Arsip 1803: Laporan Nederburgh, Cikal Pembaruan Peradilan Era Penjajah di Nusantara

article | History Law | 2025-03-29 14:30:18

Menjelang kehancuran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda pada akhir abad 17 dan awal abad 18, Pemerintahan Kolonial membentuk sebuah komisi dengan keputusan tertanggal 11 November 1803. Komisi tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan observasi dan menuangkannya dalam sebuah laporan yang menggambarkan bagaimana perdagangan di wilayah jajahan negara di Hindia Timur dilakukan, sehingga dapat mencapai tingkat kesejahteraan, keuntungan besar bagi perdagangan dan bagi keuangan negara. Clive Day, dalam bukunya The Policy and Administration of the Dutch in Java, mencatat komisi tersebut terdiri dari 6 (enam) orang. Salah satunya adalah Sebastiaan Cornelis Nederburgh. Nederburgh adalah anggota komisi tersebut yang bertanggung jawab dalam penyusunan laporan komisi. Sehingga, laporan atas komisi tersebut dikenal sebagai laporan Nederburgh. Salah satu rekomendasi dari Komisi tersebut, Pemerintahan Kolonial seharusnya menjalankan sistem pengawasan (Bestuur van Toevoorzicht) daripada pemerintahan langsung kepada Indonesia. Sehingga penduduk asli akan memiliki otoritas sendiri, dengan hukum dan sistem hukum mereka sendiri, termasuk di dalamnya tata krama dan adat istiadat lokal. Pemerintah Kolonial juga direkomendasikan untuk menertibkan pelanggaran yang kerap terjadi, seperti pungutan pajak liar yang tidak teratur dan sewenang-wenang. Hal ini bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan kondisi masyarakat. Dalam konteksnya dengan Peradilan, Nederburgh menemukan fakta bahwa penerapan hukum oleh peradilan sangat buruk yang disebabkan oleh ketergantungan pada cabang eksekutif (Pemerintahan Kolonial) dan buruknya kualitas hakim saat itu. Masyarakat yang mendapat akibat dari buruknya kualitas peradilan saat itu. Pengadilan saat itu terdiri dari bupati-bupati pribumi, yang mengadili menurut hukum pribumi, tetapi dalam semua kasus penting tunduk pada kemauan Gubernur Belanda. Secara pendapatan, hakim-hakim saat itu juga tidak digaji dengan layak, sehingga dianggap tidak mungkin untuk mempertahankan orang-orang baik di posisi peradilan. Nederburgh dan Komisi tersebut menyelesaikan laporannya pada tahun 1803. Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung menyatakan bahwa laporan Nederburgh adalah laporan yang sangat modern. Laporan tersebut mendorong pemisahan fungsi pengadilan dan administratif dan menyebutnya sebagai “prinsip bernegara yang luar biasa” (an excellent maxim of state). Penerapannya akan mencakup pembentukan aparatur pengadilan yang terpisah dan bebas dari campur tangan Pemerintah. Draf Piagam yang dilampirkan pada Laporan Nederburgh menyatakan bahwa semua campur tangan otoritas politik terhadap jalannya peradilan, yang tidak diizinkan oleh semua ketentuan piagam adalah hal yang dilarang. Campur tangan administratif hanya diperbolehkan dalam hal-hal tertentu . Seperti hak pengampunan Gubernur Jenderal dalam perkara yang diancam hukuman mati. Contoh lainnya adalah Gubernur Jenderal dapat menangguhkan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan dengan pertimbangan “manfaat dan kepentingan”, tetapi hanya setelah Pengadilan diberi tahu soal itu dan menyampaikan pendapatnya tentang masalah itu. Jika hal tersebut terjadi, salinan berkas perkara tersebut harus diserahkan kepada dewan pemerintahan koloni di Belanda. Dari sisi kesejahteraan hakim, Laporan Nederburgh merekomendasikan bahwa Hakim harus digaji sepantasnya. Piagam ini juga menentukan agar hakim digaji cukup untuk menghilangkan segala keinginan untuk terlibat dalam perdagangan. Sebagaimana dikutip oleh Sebastiaan Pompe, dalam laporan Nederburgh tertulis: “Jika rekomendasi kami diterima, penghasilan dari jabatan-jabatan tersebut harus cukup untuk memenuhi pengharapan wajar ketua dan para anggota [Mahkamah Agung], sehingga wajar bila mereka diwajibkan menjauhkan diri dari fungsi-fungsi atau sumber pendapatan lain. Ini memberi keuntungan dalam dua hal: pertama, peradilan, dengan demikian akan menarik orang-orang pandai dan terhormat; kedua, para hakim Mahkamah Agung jangan sampai mengharap apa pun dari atau takut kepada Kekuasaan Politik Tertinggi di Hindia, dan dengan begitu tertutuplah jalan, jalan yang dipakai Pemerintah, walaupun niatnya baik, menggunakan pengaruh tidak semestinya terhadap peradilan.” Lebih lanjut, Laporan Nederburgh juga merekomendasikan sistem pengangkatan hakim harus dibuat secara yang netral. Piagam itu juga merekomendasikan bahwa semua hakim harus mendapat pendidikan hukum yang memadai. Mengenai pemberhentian hakim, pemberhentian seorang hakim hanya boleh dilakukan karena perbuatan tidak terpuji. Mahkamah Agung kolonial harus memutuskan sendiri apakah perilaku salah seorang anggotanya dipandang sebagai perbuatan tercela atau tidak. Hasil penyelidikan atas dugaan perbuatan tercela tersebut diserahkan kepada Mahkamah Agung di Negeri Belanda, yang setelah meneliti berkas-berkas sebagaimana mestinya memberi saran kepada Gubernur Jenderal untuk memecat hakim bersangkutan. Selama menunggu keputusan Mahkamah Agung Belanda, Gubernur Jenderal hanya bisa mengistirahatkan sementara hakim dimaksud. Laporan itu disetujui dengan beberapa perubahan kecil pada tahun 1804. Ketentuannya yang berkaitan dengan Mahkamah Agung kolonial dijadikan kerangka kelembagaan bagi pemisahan kekuasaan-kekuasaan di negeri jajahan. Dalam perkembangannya, Herman Willem Daendels yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal pada 1808-1811 memang menempuh langkah-langkah untuk membenahi kedudukan Mahkamah Agung dan hakim-hakimnya, menyediakan gaji yang layak, serta melarang mereka ikut serta dalam perdagangan.   Namun hanya sebatas itulah Daendels bersedia menerapkan pembaruan-pembaruan yang diusulkan oleh Komisi Nederburgh. Mahkamah Agung kolonial tetap berada di bawah kewenangannya. Bahkan, Daendels pernah secara langsung memecat ketua Mahkamah Agung kolonial dan seorang Hakim “karena terlalu dekat dengan rezim lama.” Baru pada tahun 1854 rekomendasi-rekomendasi Laporan Nederburgh itu dilaksanakan sepenuhnya. Melalui Konstitusi-Konstitusi kolonial (Regeringsreglement) tahun 1806, 1815, dan 1818 yang menempatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat itu.

Susanto: Ketua Pengadilan, Menteri, Pimpin Perang Gerilya Lawan Belanda (2)

article | History Law | 2025-03-28 16:05:11

Jakarta- Susanto Tirtoprodjo merupakan tokoh kemerdekaan yang berlatar belakang hakim/ketua pengadilan. Ia sempat memimpin perang gerilya melawan Belanda. Bagaimana kisahnya?Hal itu sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Drs Susanto Tirtoprodjo SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Buku itu ditulis Masykuri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.Diceritakan pada 20 Desember 1948 tentara Belanda datang ke Kartusuro untuk menyerang Surakarta. Susanto Tirtoprodjo yang kala itu menjadi Menteri Kehakiman memilih perang gerilya melawan Belanda. Saat itu ia memimpin bersama dua menteri lainnya yaitu Menteri Dalam Negeri, Sukiman dan Menteri Pembangunan dan Urusan Pemuda, Supeno.“Susanto Tirtoprodjo dan kawan-kawannya telah bertekad untuk memimpin Perang Gerilya guna mempertahankan Republik Proklamasi,” demikian tulis Masykuri di halaman 35.Dari Solo, Susanto Tirtoprodjo geser ke Tawangmangu untuk melakukan perang gerilya. Tapi Belanda menyerang hingga Tawangmangu hingga kekuatan Republik dipecah dua, yaitu Menteri Susanto dan Menteri Supeno ke arah timur melewati Gunung Mongkrong. Diteruskan ke lereng Gunung Wilis.“Tujuh bulan Susanto Tirtoprodjo melaksanakan pemerintahan Gerilya sambil menghindari kejaran musuh, yaitu sampai kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,” ucapnya.Selama perang gerilya, Susanto Tirtoprodjo banyak mengalami suka dan duka. Ia harus naik dan turun gunung, masuk dan keluar hutan. Dari satu desa ke desa lain.“Kadang-kadang sampai beberapa hari tidak mengenal nasi,” ujarnya.Selama memimpin perang gerilya, Susanto Tirtoprodjo juga terus menjalankan pemerintahan. Sejumlah menteri menemuinya untuk koordinasi pemerintahan. Susanto Tirtoprodjo juga sempat bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk koordinasi perang/pemerintahan.Pada 24 Maret 1949, tentara Belanda menangkap Menteri Supeno ditangkap saat sedang mandi. Karena tidak mau memberitahu keberadaaan Susanto Tirtoprodjo, Menteri Supeno dibunuh Belanda.“Menteri Supeno yang bersedia menanggung korban sendiri dengan tidak mau mengatakan kedudukannya sebagai menteri, telah berhasil menyelamatkan Menteri Susanto,” ujarnya.Pada 28 Januari 1949, disepakati gencatan senjata. Berangsur, tensi perang gerilya menurun. Pemerintahan mulai kembali berjalan. Setelah menjadi Menteri Kehakiman 1946-1950, Susanto Tirtoprodjo lalu dipercaya menjadi Gubernur Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara). Lalu setahun setelahnya menjadi Kepala Perwakilan RI di Belanda. Pada 1955 ia dipercaya menjadi Dubes RI di Prancis hingga 1959.Setelah itu, ia kembali ke Indonesia sebagai Kepala Direktorat Hukum Departemen Luar Negeri. Setahun setelahnya, ia dipercaya memimpin Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini BPHN).Susanto Tirtoprodjo wafat pada 16 November 1969 tengah malam. Ia lalu dimakamkan di TMP Jurug, Surakarta pada 18 November 1969. Dalam pemakamannya, selain pihak keluarga, hadir Menteri Kehakiman Umar Senoadji mewakili Pemerintah. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan terlebih dahulu di Gedung Balai Kota Surakarta. Hadir memberikan penghormatan terakhir Wali Kota Surakarta, Danrem Surakarta, Ketua PN Surakarta, Kajari Surakarta, Dandim, Ketua DPRDGR Surakarta dan masih banyak lagi.

Susanto: Ketua Pengadilan, Menteri, Pimpin Perang Gerilya Lawan Belanda (1)

article | History Law | 2025-03-28 09:05:07

Jakarta- Dalam masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, semua elemen masyarakat bahu membahu berjuang dari segala lini. Baik secara kooperatif, atau nonkooperatif. Salah satunya yang dilakukan Susanto Tirtoprodjo. Hal itu sebagaimana dikutip DANDAPALA, dari buku Drs Susanto Tirtoprodjo SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Buku itu ditulis Masykuri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.Susanto Tirtoprodjo lahir di Solo pada 3 Maret 1900. Salah satu adik Susanto Tirtoprodjo, yaitu Wiryono Prodjodikoro belakangan menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) kedua pada 1952-1966. Ayah Susanto, M Ng Rekoprodjo merupakan penewu (pejabat pamong praja setingkat camat) di Kasunanan Surakarta. Sebagai anak priyayi, Susanto Tirtoprodjo bisa menempuh pendidikan yang setara dengan orang Belanda. Yaitu di Europeesche Lageree School di Solo. Setelah lulus dilanjutkan Rechtschool di Batavia dan lulus pada 1920 dengan angka terbaik.Karena mendapatkan peringkat terbaik, Susanto Tirtoprodjo mendapatkan beasiswa dari Belanda untuk kuliah di Universitas Leiden. Selama menjadi mahasiswa di Belanda, Susanto Tirtoprodjo aktif di gerakan mahasiswa yang mendorong kemerdekaan Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia (PI).Pada 1925 ia menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Sepulangnya ke Indonesia, Susanto Tirtoprodjo lalu berkerja di pengadilan. “Pada 1925 itu juga Drs Susanto Tirtoprodjo SH pulang ke tanah air dan mulai bekerja di Pengadilan Negeri Solo,” tulis buku di halaman 3.Selain bekerja di pengadilan, Susanto Tirtoprodjo aktif dalam perjuangan Indonesia merdeka. Namun ia memilih taktik kooperatif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Alasannya untuk menyiapkan sistem dan struktural apabila Indonesia merdeka nantinya. Namun ia menghormati pilihan kawan seperjuannya yang menempuh jalan nonkooperatif dalam meraih kemerdekaan.“Susanto bersedia diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi pegawai negeri yaitu hakim sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuhnya dengan tujuan mendapatkan pengalaman dalam jabatan-jabatan penting agar kelak apabila cita-cita kemerddekaan tercapai, kita telah memiliki tenaga yang berpengalaman dalam jabatan-jabatan penting, terutama dalam pemerintahan,” ujarnya.Oleh sebab itu, ia memilih menjadi Kepala Departemen Sosial Ekonomi Partai Indonesia Raya (Parindra), sebuah partai yang dipimpin Dr Sutomo dan merupakan gabungan Boedi Oetomo dan Perserikatan Bangsa Indonesia. Parindra memilih jalan kooperatif dengan Belanda. Susanto Tirtoprodjo mendorong terbentuknya koperasi di berbagai pelosok desa di Jawa Timur dan memberantas lintah darat di desa-desa. Pada 1936, Parindra sudah membentuk serikat sopor, serikat kusir, serikat buruh pelabuhan dan serikat buruh percetakan di berbagai tempat.Setekah 8 tahun menjadi hakim/ketua pengadilan (1925-1933), Susanto Tirtoprodjo dipindah oleh pemerintah Belanda sebagai Gudeputeerde Dewan Perwakilan Provinsi Jawa Timur pada 1933-1941. Setelah itu, Susanto Tirtoprodjo dipilih menjadi Wali Kota Madiun.  Pada 1944-1945 ia menjadi Bupati Pacitan dan setelahnya menjadi Residen Madiun.Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, Susanto Tirtoprodjo langsung bergabung dengan kabinet dan ikut menyusun sejumlah agenda penting. Susanto Tirtoprodjo juga dipercaya menjadi Menteri Kehakiman.Saat terjadi agresi militer, Susanto Tirtoprodjo tidak tinggal diam. Ia memimpin perang gerilya melawan Belanda. Bagaimana kisahnya? Simak terus di artikel selanjutnya.

Kontroversi Sumpah Pocong: Sejarah dan Kedudukan dalam Sistem Peradilan

article | History Law | 2025-03-27 08:30:31

INGATKAH kalian akan Sumpah pocong dilakukan Saka Tatal di Padepokan Amparan Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat? Dalam sumpah pocong tersebut, Saka Tatal mengaku siap diazab Allah apabila berbohong. Saka Tatal adalah mantan terpidana pembunuhan VinaCirebon.Jadi mengingatkan kita tentang eksistensi sumpah pocong nge-trend di tahun 90-2010 an dan sempat pernah di Filmkan dengan aktor Rano Karno dan Artis Yessy Gusman Nah bagaimana sejarahnya di Indonesia dan bagaimana kedudukanya di Indonesia?Sumpah pocong acap kali dibicarakan oleh masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat. Istilah sumpah pocong sendiri sudah tidak asing didalam mayoritas masyarakat Indonesia, disamping sering disebut sumpah pocong sendiri sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia umumnya sumpah pocong dilakukan oleh masyarakat yang memeluk agama Islam, sumpah tersebut sudah kental dalam pikiran masyarakat dan mengakar dalam lingkungan.sumpah pocong adalah sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berkafan (dipocong seperti mayat). Jika berbicara secara yurisdiksi sumpah sendiri diakui dalam peradilan perdata dan juga diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 HIR (Herzien Inlandsch Reglement).Menurut Pasal 177 HIR, Sumpah sendiri dibagi ke dalam 2 (dua) macam. Pertama, sumpah pihak, atau sumpah “decisoir“, yaitu sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak yang lain. Kedua, sumpah jabatan, atau sumpah suppletoir, yaitu sumpah yang menurut jabatan diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara.Menurut pasal 177 HIR ini ternyata dengan jelas, bahwa sumpah itu baik decisoir maupun suppletoir merupakan bukti yang mutlak, artinya setelah pihak yang bersangkutan mengangkat sumpah, maka hakim harus menetapkan keterangan untuk apa pihak itu telah bersumpah sebagai telah cukup terbukti, meskipun barangkali ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran keterangan itu. Atas dasar ini sangat dimungkinkan mekanisme ini digunakan dalam sistem peradilan yang dikenal sebagai sumpah mimbar. Sumpah ini bisa menjadi alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo. Pasal 155 dan 156 HIR dan Pasal 1932 dan 1941 Burgerlijk Wetbook (BW).Sumpah pocong sendiri sebenarnya tidak dikenal atau tidak ada dalam Burgerlijk Wetbook (BW) dan peradilan perdata itu sendiri. Sumpah yang diakui dalam peradilan perdata sendiri yaitu seperti yang sudah dijelaskan yaitu sumpah decisoir dan suppletoir. Sumpah pemutus dapat dikembalikan (pasal 156 ayat 2 HIR). Artinya, pihak yang diminta untuk bersumpah dapat meminta agar pihak lawannya juga bersumpah. Sumpah ini harus bersifat Litis Decissoir, yaitu benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Sumpah ini bisa digunakan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata dengan syarat diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan perkara, dan tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak alias pembuktian dalam keadaan buntu.Jika berkaca pada yurisprudensi sumpah pocong sendiri pernah dilakukan Sumpah ini pernah dipraktikkan di Pengadilan Negeri Ketapang yang dilakukan untuk menuntaskan perkara sengketa tanah. Keberadaan sumpah pocong sendiri seakan sudah menjadi melekat dalam pemikiran masyarakat yang masih bepegang teguh adat istiadat untuk menentukan kebenaran kekuatan pembuktiannya. Tidak hanya itu sumpah pocong pernah dilakukan di Pengadilan Agama Lumajang dengan nomer putusan perkara No: 1252/Pdt.G/1996/PA.Lmj, Pendapat Hakim Pengadilan Agama Lumajang Menjadikan Sumpah Pocong Sebagai sumpah decissoir dapat diterapkan di lembaga Pengadilan Agama menurut Hukum Acara Pengadilan Agama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, tidak ada praktek sumpah pocong di Pengadilan Agama dan juga tidak ada peraturan yang secara eksplisit mengatur tentang legalitas sumpah pocong. Menurut Majelis Hakim, dalam hal ini merupakan Hakim Tunggal, yaitu Bapak Drs. H. Mafrudin Maliki, SH mengatakan bahwa:Sebenarnya, pihak Pengadilan Agama tidak melihat apakah itu sumpah pocong, sumpah gereja atau sumpah-sumpah yang lainnya. Karena itu hanyalah bentuknya saja yang menjadi kebiasaan (budaya) masyarakat. Inti dari permohonan sumpah pocong tersebut adalah kalimat sumpahnya, yang nantinya itu baru bisa disebut sebagai sumpah decissoir. Dan bisa menjadi pertimbangan majelis hakim di dalam mengabulkan permohonannya.  Dari penjelasan diatas, memaparkan tentang argumentasi Hakim untuk bisa menerima sumpah pocong yang dipergunakan sebagai sumpah decissoir di lingkungan Pengadilan Agama. Pihak Pengadilan Agama tidak begitu mempermasalahkan bentuk sumpahnya yang diajukan oleh pihak yang berperkara, yang penting itu bisa disepakati antara kedua belah pihak, baik Termohon sebagai yang memberikan perintah dengan mengajukan Permohonan Sumpah Decissoir yang berbentuk Sumpah Pocong, maupun oleh Pemohon yang dibebani untuk mengucapkan sumpah tersebut. Kesepakatan atau penerimaan tantangan oleh Pemohon inilah terhadap bentuk sumpah pocong yang dimaksud oleh Termohon membuat hakim perlu untuk mengabulkan permohonan sumpah decissoir yang diajukan oleh Termohon. Yang pasti, isi atau kalimat sumpahnya itulah yang nanti akan menjadi bahan pertimbangan hakim apakah sumpah pocong tersebut layak dijadikan sebagai sumpah pemutus yang bersifat litis decissoir. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu perkara hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan atau menunjukkan alat bukti. Apabila hakim menerapkan lain dengan yang diatur dalam perundang-undangan maka tentu disertai dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang logis dan rasional.Jadi menurut Majelis Hakim, yang dilihat adalah sumpahnya, bukan pocongnya. Sehingga, penilaian hakim lebih fokus melalui kalimat sumpah tersebut yang bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti, sedangkan pocong hanya diposisikan sebagai asesoris saja.Analisis terhadap sumpah pocong diarahkan kepada pendapat Hakim dan juga pertimbangan yang digunakan untuk dapat mengabulkan dan menerima permohonan sumpah decissoir dengan cara sumpah pocong. Sudikno Mertokusumo pernah mengatakan didalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (pasal 16 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya menurut asas ius curia novit. Jika hakim tersbut tidak dapat menemukan hukum atau Undang-Undang yang berlaku untuk mengadili maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004).Maka dalam hal ini sumpah pocong sebagai sumpah pemutus bisa saja dilakukan dan atau dapat dilakukan karena dalam sistem pembuktian Acara perdata kita mengakui suatu keyakinan Hakim sebagai unsur penentuan untuk menentukan kebenaran dalam pembuktian suatu perkara dalam pengadilan. Bisa kita sumpulkan bahwa sumpah pocong pada dasarnya bukanlah sebuah praktik yang dapat ditempuh oleh Hakim pada kasus acara perdata tetapi jika hakim tidak menemukan suatu hukum yang tertulis atau Undang-Undang hakim bolehkan suatu sumpah pocong untuk menjadi alat bukti menurut, pasal 158 ayat (1) HIR, yang membolehkan pelaksanaan sumpah dimasjid, gereja dan klenteng.Kembali ke kisah Saka Tatal adalah mantan terpidana pembunuhan Vina Cirebon. Saka Tatal telah mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait kasus tersebut. Berikut adalah isi sumpah pocong Saka Tata:"Saya bersumpah bahwa saya tidak melakukan pembunuhan atau pemerkosaan terhadap Eki dan Vina. Demi Allah bahwa saya dan ketujuh terpidana adalah salah tangkap, yang telah disiksa, disetrum, diberi air kencing, dan direkayasa kasus ini oleh Iptu Rudiana."Apabila saya berdusta dalam sumpah pocong ini, maka saya siap diazab oleh Allah dengan azab yang teramat pedih sesegera mungkin baik di dunia maupun di akhirat. Allahu Akbar, Allahu Akbar," teriak Saka Tatal. Dari Kasus dan Sejarah Sumpah Pocong atau yang dikenal dalam Bahasa hukumnya sumpah “decisoir“, Maka Hukum adalah untuk rakyat, bukan sebaliknya. Sedangkan seorang hakim bukanlah hanya teknisi undang-undang saja, tetapi juga makhluk sosial. Sehingga segala bentuk permasalahan yang ada di pengadilan pada umumnya merupakan sebuah kegelisahan masyarakat, yang harus segera dicarikan solusi penyelesaiannya oleh penegak hukum. Sudah terdapat aturan di dalam pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 yang melegalkan hakim untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan hukum yang ada di masyarakat (hukum adat) walapun kini dalam KUHP Baru 2023 Pasal 2 dalam KUHP baru menyiratkan representasi bersama dari perilaku sosial dalam suatu masyarakat tertentu (Living Law). Hal inilah yang seharusnya menjadi prinsip hakim agar tercipta keadilan sosial.(EES)Sumber Referensi:Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty, 1993)Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta:Yayasan Al-Hikmah, 2000)Jurnal Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 115 – 121.https://regional.kompas.com/read/2024/08/10/151700878/isi-lengkap-sumpah-pocong-saka-tatal-bersumpah-tak-terlibat-kasus-vina.https://www.kompasiana.com/fatkulmujib3229/6607448914709334c92de1c4/penerapan-hukum-adat-dalam-kuhp-baru-uu-no-1-2023-dan-kewajiban-hakim-mensubbstansikan-norma-hukum-adat

Dibangun 1700 M, Kertha Gosa Jadi Saksi Bisu Sejarah Pengadilan di Bali

article | History Law | 2025-03-25 13:45:29

BALI bukan hanya dikenal sebagai Pulau Dewata dengan keindahan alam dan budayanya yang khas, tetapi juga menyimpan sejarah hukum yang menarik untuk ditelusuri. Salah satu bukti nyata jejak peradilan masa lampau di Bali adalah Kertha Gosa, yang merupakan bagian dari kompleks Keraton Semarapura, Klungkung. Tempat ini menjadi saksi perubahan sistem hukum dari era kerajaan, kolonial Belanda, hingga pendudukan Jepang di Indonesia.Kertha Gosa: Warisan Peradilan Kerajaan KlungkungKertha Gosa berasal dari bahasa Sanskerta, di mana "Kertha" berarti kesejahteraan dan "Gosa" berarti pengumuman. Secara harfiah, Kertha Gosa dapat diartikan sebagai tempat untuk membahas serta mengumumkan berbagai keputusan yang berkaitan dengan keamanan, kesejahteraan, dan keadilan dalam pemerintahan kerajaan. Dibangun pada tahun 1700 Masehi di bawah pemerintahan I Dewa Agung Jambe, Kertha Gosa berfungsi sebagai tempat musyawarah para raja dan pejabat tinggi dalam pengambilan keputusan hukum.Kertha Gosa dalam Sistem Peradilan KolonialPada masa kolonial Belanda (1908-1942), fungsi Kertha Gosa mengalami perubahan signifikan. Setelah runtuhnya Kerajaan Klungkung akibat Perang Puputan tahun 1908, Belanda mengambil alih sistem pemerintahan dan mengubah Kertha Gosa menjadi pengadilan adat. Di sinilah berbagai perkara adat dan keagamaan disidangkan, tetap mempertahankan unsur hukum tradisional Bali namun di bawah pengawasan pejabat kolonial. Hakim yang bertugas dalam persidangan ini terdiri dari seorang Regen (raja yang bertindak sebagai hakim ketua), seorang Pendeta (sebagai penasihat hukum), serta para Panitera yang disebut Kanca.Bangunan Kertha Gosa juga mencerminkan sistem hukum pada masa itu melalui seni visual. Langit-langit bangunan dihiasi lukisan wayang yang menggambarkan kisah "Atma Presangsa" atau hukum karma, yang menjadi simbolisasi keadilan dan pertanggungjawaban dalam kehidupan manusia.Kertha Gosa di Masa Pendudukan JepangSaat Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), sistem hukum di Bali mengalami perubahan lebih lanjut. Pemerintahan militer Jepang membawa aturan baru, namun tetap mempertahankan pengadilan adat sebagai bentuk kontrol terhadap masyarakat setempat. Kertha Gosa tetap berfungsi sebagai tempat peradilan, meskipun dalam skala yang lebih terbatas dibandingkan pada masa kolonial Belanda.Kertha Gosa: Simbol Keberlanjutan Hukum AdatKini, Kertha Gosa menjadi objek wisata sejarah yang memberikan wawasan mendalam tentang evolusi sistem hukum di Bali. Pengunjung dapat melihat secara langsung meja dan kursi berukir yang dahulu digunakan dalam persidangan, serta memahami bagaimana nilai-nilai hukum adat tetap dijunjung tinggi meskipun mengalami berbagai perubahan pemerintahan.Sejarah Kertha Gosa mencerminkan bagaimana hukum di Bali berkembang seiring perubahan zaman, dari sistem kerajaan yang berbasis adat, pengaruh kolonial Belanda, hingga pendudukan Jepang. Sebagai bagian dari warisan hukum Indonesia, Kertha Gosa menjadi pengingat akan pentingnya menjaga nilai keadilan dan keterbukaan dalam sistem hukum yang terus berkembang. (ikaw/asp)

Arsip 1984: Pria Hidung Belang Dihukum Ganti Rugi Gegara Batal Nikahi Pacar

article | History Law | 2025-03-24 11:30:52

DANDAFELLAS, pernah dengar lagu Band Hello tahun 2008 dengan judul Ular Berbisa?Kira-kira penggalan liriknya seperti ini?Seperti ular, seperti ularYang sangat berbisa, yang sangat berbisaSuka memangsa, suka memangsaDiriku tergigit cintaAku tertipu, aku terjebakAku terperangkap, muslihatmuPenggaran lirik tersebut, kiranya menggambarkan suasana batin perempuan asal Praya, Lombok Tengah yang mengajukan gugatan kepada calon suaminya pada tahun 1983. Cerita di dalam gugatannya seperti ini:Waktu awal merajut cinta tahun 1981, calon suami sempat menjanjikan akan menikahinya. Guna menunjukan bukti cinta, calon suami sempat menyerahkan Asli Surat Kartu Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Kartu Pegawai (Karpeg), dan bahkan sepeda motor Honda yang masih baru. Diketahui harga 1 unit sepeda motor Honda baru saat itu di kisaran Rp 200 ribu sampai dengan Rp 300 ribu. Sedangkan Gaji PNS waktu itu masih di angka Rp 30 ribu sampai dengan Rp 50 ribu.Kemudian seiring berjalannya waktu, si perempuan tersebut seakan tidak percaya, setelah 1 tahun 4 merajuk kasih dengan calon Suami, calon suami tidak kunjung juga memberikan kepastian untuk menikahinya. Padahal wanita tersebut tidak lelahnya untuk membujuk calon suami untuk segera menikahinya. Karena ia dan calon suami telah tinggal bersama dengan keluarganya. Namun bak disambar petir di siang bolong, di akhir perjalanan hubungan asmara mereka justru calon suami mengatakan: “Kalau saya nikah dengan kamu, maka saya akan dibuang oleh keluarga saya!”.Setelah hubungan wanita itu dengan calon suami kandas, maka kasus itu berujung pada meja hijau. Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Mataram mengeluarkan Putusan Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tanggal 1 Maret 1984.Pada pokoknya di dalam Putusan PN Mataran tersebut  menyatakan calon suami  telah ingkar janji untuk menikahi penggugat (wanita asal Praya tersebut). Di samping itu PN Mataram juga menghukum calon suami (Tergugat) untuk membayar ganti rugi kepada pihak wanita sejumlah Rp 2,5 juta serta ada juga harta yang telah diletakan sita jaminan, telah dinyatakan sah dan berharga.Dalam perjalanan kasusnya, meskipun Putusan PN Mataram tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram. Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) akhirnya  menghukum si lelaki hidung belang. Pada amar Putusan MA Nomor 3191 K/Pdt/1984 disebutkan Tergugat (calon suami) telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Lalu Tergugat juga dibebankan untuk mengganti rugi sejumlah Rp 2,5 juta kepada Penggugat.Dalam pertimbangan Putusan MA disebutkan:“Bahwa dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat Asal, maka Tergugat Asal wajib memberi ganti kerugian sebagaimana tertera dalam amar Putusan nanti” (asp) 

Umar Bin Khattab dan Kisah 4 Perkara yang Diadilinya dengan Sangat Adil 

article | History Law | 2025-03-23 16:00:14

UMAR Bin Khattab adalah Khulafaur Rasyidin yang kedua. Sepanjang menjadi khalifah, selain sebagai pemimpin pemerintahan, Umar juga kerap menjadi hakim untuk mengadili perkara warganya.Sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku ‘Dari Bismar untuk Bismar’, Minggu (23/3/2025), mantan hakim agung Bismar Siregar mencontohkan Umar sebagai teladan bagi seorang hakim. Buku ‘Dari Bismar untuk Bismar’ merupakan kumpulan tulisan Bismar Siregar yang dibukukan oleh penerbit PT Fikahati Aneska pada 2002.“Umar bersyukur, walaupun ia dikenal seorang yang tegas dalam penegakan hukum dan keadilan, ia lebih berpuas diri bila orang yang bersalah tidak harus dinyatakan bersalah, mengutamakan mensucikan dirinya di hadapan Tuhan melalui pertobatan,” tulis Binsar dalam halaman 31.Berikut contoh-contoh kasus yang diadili oleh Umar:1. Budak Kelaparan yang Mencuri UntaUmar mendapatkan laporan seorang pemilik unta bila untanya dicuri budaknya sendiri. Si pemilik unta meminta budaknya dihukum potong tangan karena telah mencuri.“Namun saat menyaksikan sosok tubuh para budak si pencuri, hanya tulang dibalut kulit, ia (Umar) tersentak dan istighfar. Akankah ia mengadili si budak yang mencuri karena terpaksa?” tulis Bismar Siregar.Keadilan akhirnya berbicara. Betapa si budak tidak diperlakukan manusiawi oleh majikannya. Lalu Umar menanyakan ke pemilik unta mengapa memperlakukan budaknya sampai tinggal tulang berbalut kulit.“Bukan lagi si budak pencuri yang dihukum. Tetapi si pemilik budak, majikan, ia penyebab dan dia yang bertanggungjawab,” ujar Bismar Siregar.Umar membebaskan budak tersebut dari tuduhan mencuri. Si budak itu juga diberi pesangon agar bisa melanjutkan hidupnya.“(Majikan) dihukum membayar harga unta dua kali lipat dari harga pasaran,” kisah Bismar Siregar.2. Umar Mengaku Salah karena Menggerebek Tak Sesuai Hukum AcaraPada suatu malam, Umar berjalan keliling kota agar mengetahui apa yang terjadi seutuhnya di tengah kehidupan ummatnya. Pernah ia mendengar hiruk pikuk suara laki-laki dan wanita berbaur. Diam-diam ia mendekat, lalu memanjat dinding. Mengintip. Sesaat kemudian, ia mengetahui apa yang terjadi dan berteriak keras.“Celakalah perbuatan kalian. Kalian harus dihukum!” teriak Umar.Mendenger ucapan tersebut, sepasang manusia itu kaget. Lalu si laki-laki mengaku salah. Namun, ia tidak terima dengan ‘penggerebekan’ tersebut.“Bolehkah kami dihukum atas kesalahan kami meminum khamar. Tetapi sebelum kami dihukum, Umar harus terlebih dahulu diadili melakukan tiga kejahatan. Pertama masuk pekarangan tanpa izin. Kedua, tidak memberi salam seperti dipesankan Rasulullah. Ketiga, mengintip-intip kesalahan orang lain,” kata warganya.Mendengar tangkisan demikian, Umar sadar atas kesalahannya. Kemudian ia berkata supaya mereka membubarkan diri, pulang ke rumah dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.“Setiap orang yang melanggar hukum harus dihukum,” psan Bismar dari kisah itu.3. Menghukum GubernurUmar mengadili bawahannya, Gubernur Qudamah karena meminum khamar. Gubernur Qudamah membela diri bila yang dilarang adalah kalau sampai mabuk, sedangkan dirinya masih bisa menahan diri. Namun Umar tetap menghukum Gubernur Qudamah dengan dicambuk di muka umum. “Itulah hukum ditegakkan tanpa pilih bulu. Umar masih terikat dengan keluarga Qudamah, saksinya istri sendiri,” kisah Bismar Siregar lagi.4.  Kasus Penyerobotan Tanah oleh Gubernur MesirSeorang warga Mesir datang ke Umar mengadukan tanahnya telah diserobot Gubernur. Yahudi itu mengatakan di atas tanah yang diserobot ada rumah kecil sebagai tempat tinggalnya. Alasan sang gubernur menggusur si Yahudi karena di atas gubuknya akan dibangun masjid.Umar mendengar pengaduan itu dengan seksama. Lalu ia menuliskan huruf ‘ALIF’ di atas sepotong tulang. Yahudi itu kemudian diminta pulang dan menyerahkan sepotong tulang bertuliskan huruf ‘ALIF’ kepada gubernur.“Begitu diterima gubernur, ia menggeletar serta memintahkan dikembalikan tanah, dipulihkan mendirikan rumah tempat tinggal si Yahudi,” ujarnya.Mendengar putusan gubernur itu, si Yahudi terkejut. Betapa tegasnya Umar dalam menegakkan hukum yang berkeadilan. Ia segera sadar dan berkata.“Gubernur! Jangan lagi diteruskan pembongkaran masjid. Saya ikhlas menyerahkan tanah dirampas. Serta saya mengucap dua kalimat syahadat,” kata si Yahudi yang saat itu juga masuk Islam.

Arsip 1969: Suap Kain Batik hingga Mobil ke Pejabat KAI Berakhir di Bui

article | History Law | 2025-03-23 09:20:52

Jakarta- Seorang pejabat PT Kereta Api Indonesia (KAI)-saat itu masih bernama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA)- menerima imbalan kain batik hingga mobil dari rekanan. Akhirnya, pemberian itu berujung ke bui. Bagaimana ceritanya?Sebagaimana dikutip DANDAPALA dari Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Minggu (23/3/2025), kasus itu terjadi pada 1969. Duduk sebagai terdakwa yaitu penasihat pribadi Dirut PT PNKA, Achmad Setyo Adnanputra. Ia didakwa memiliki dengan melawan hukum uang Rp 8,8 juta. Uang itu lalu digunakan untuk membeli:Satu sedan Chevrolet Bel Air tahun 1957 seharga Rp 650 ribu.Membeli kain batik sebanyak 140 kodi seharga Rp 1.050.000.Bantuan ke perwakilan Jakarta untuk ekspedisi sebesar Rp 200 ribu.Keperluan kantor Rp 530 ribu.Keperluan lain.Setyo menerima uang tersebut dari rekanan PT PNKA, yaitu PT Karya Pusaka. Di mana PT Karya Pusaka mengerjakan bantalan kayu jati yang akan digunakan di jalur rel. Akhirnya Setyo didakwa merugikan keuangan negara sebesar sejumlah Rp 8.982.300.Akhirnya Setyo diadili di Pengadilan Negeri (PN) Bandung untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada 23 Desember 1970 Setyo dinyatakan bersalah melakukan kejahatan korupsi dan dihukum dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.Putusan itu dikuatkan di tingkat banding pada 2 Oktober 1973. Kasus ini kemudian bergulir ke tingkat kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari penuntut kasasi Achmad Setyo Adnanputra,” demikian bunyi putusan kasasi yang diketok oleh ketua majelis Purwosunu dengan anggota Hendrotomo dan Busthanul Arifin. Putusan itu diputus dalam rapat pemusyawaratan hakim pada 16 September 1975 dan diucapkan dalam sidang pada 7 Januari 1976. Dalam memori kasasinya, Achmad Setyo Adnanputra beralasan bila apa yang dilakukannya adalah hubungan jual beli, sehingga menilai pemberian yang diterimanya adalah keuntungan bisnis. Namun MA menolak argumen itu dengan alasan:Perjanjian antara Direksi PNKA dengan tertuduh adalah bukan perjanjian jual beli. Perjanjian proyek pengadaan bantalan kayu jati yang dibuat antara Achmad Setyo Adnanputra adalah suatu penugasan dan bukannya persetujuan jual beli. Karena itu uang yang diterima terdakwa tidaklah lantas menjadi milik terdakwa, tetapi masih milik PNKA dan penggunaan uang itu oleh terdakwa untuk keperluan lain daripada yang dimaksud dalam perjanjian di atas, adalah perbuatan memiliki dengan melawan hukum.

Saharjo: Dari Hakim, Menteri hingga Ganti Dewi Yustisia dengan Pohon Beringin

article | History Law | 2025-03-22 16:05:31

DUNIA hukum tidak hanya dipenuhi oleh adagium, asas, dan peraturan, namun juga simbol atau logo hukum. Beberapa di antaranya yang paling terkenal adalah palu dan Themis. Arti lambang palu dalam hukum adalah kepastian hukum yang dibuat oleh seorang hakim. Kemudian, Themis merupakan dewi keadilan; lambang dari keadilan itu sendiri.Indonesia pernah lama menggunakan Themis sebagai lambang keadilan, sebelum menggantinya pada 1960 menjadi pohon beringin. Ide pergantian ini diutarakan oleh Dr. Saharjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Saharjo menilai bahwa Themis tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mitologi Yunani tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Pergantian lambang itu ditetapkan dengan Surat KeputusanNo. J.S. 8/20/17. Pada 6 Desember 1960, pohon beringin dengan tulisan “pengayoman” resmi ditetapkan sebagai lambang hukum dan menjadi lambang Departemen Kehakiman. Untuk mengetahui sosok Saharjo siapakah dia dan dari latar Pendidikan apa beliau hingga apa sumbangsinya pada dunia peradilan? Mari kita simak  tulisan ini sebagai pengetahuan kita terhadap sosok Saharjo. Saharjo mungkin sedikit tidak asing bagi sejumlah orang terutama bagi mereka yang tinggal di ibu kota Jakarta. Jika hendak bepergian ke Pancoran dari daerah Manggarai, akses yang paling mudah ialah melewati jalan yang dinamai dengan nama tokoh satu ini. Ya, Jalan Dr Saharjo berada di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Bentangan jalannya membujur dari utara hingga selatan ke kawasan Tebet. Pendidikan-PekerjaanSaharjo lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Juni 1909. Ia adalah keturunan ningrat, putra sulung dari abdi dalem Keraton Surakarta yang bernama Raden Ngabei Sastroprayitno, pendidikan Saharjo pun dapat dikatakan sangat baik. Saharjo mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dan lulus tepat waktu hingga melanjutkan sekolah dokter di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen).Setamatnya dari ELS pada 1922, Saharjo lalu masuk ke sekolah dokter STOVIA di Jakarta. Sadar tidak berbakat menjadi dokter, akhirnya Saharjo pindah sekolah ke AMS (Algemeene Middlebare School) bagian B (Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di mana ia tamat tepat pada waktunya. Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS, ia bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat yang merupakan perguruan nasional. Meskipun sudah bekerja, Saharjo tetap mengasah ilmu pengetahuannya yang membuatnya memilih masuk ke RHS (Rechts Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum).Setamat dari RHS dengan gelar Meester in de rechten, Saharjo bekerja di Departement Van Justicia Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu pendudukan Jepang, Saharjo juga pernah memegang jabatan wakil Hooki Kyokoyu atau Kepala Kantor Kehakiman istilah zaman Indonesia merdeka. Ia juga sempat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta, tetapi hanya bertahan delapan bulan karena kembali ditarik ke Kantor Kehakiman di Jakarta, karier Saharjo di Departemen Kehakiman terus menanjak. Seusai kemerdekaan dan pada masa revolusi yakni pada tahun 1948, pria yang pandai memainkan biola dan bernyanyi itu dipercaya menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Tata Negara. Selama sepuluh tahun, Saharjo memangku jabatan ini dengan beberapa hasil kerja yang fenomenal yakni dua Undang-Undang Kewarganegaraan (1947 dan 1958) dan Undang-Undang Pemilihan Umum (1953). Menteri KehakimanSementara itu, pemerintah Indonesia dihadapkan pada urgensi pengubahan undang-undang yang dibuat pemerintah kolonial Belanda. Saat itu mereka menilai undang-undang tersebut harus diganti dan diubah karena dianggap sudah tak layak lagi diterapkan dan tidak sesuai dengan alam kemerdekaan serta kepribadian bangsa Indonesia. Ketika Saharjo menjabat Menteri Kehakiman (1959-1962), disarankan olehnya agar beberapa bagian dari undang-undang kolonial tidak dipakai lagi sebab tidak sesuai dengan kemajuan zaman.Selain dalam mengurus undang-undang, Saharjo juga mempunyai andil dalam mengubah sejumlah istilah-istilah kehukuman. Pertama, ia mengganti istilah "penjara" dengan istilah "pemasyarakatan". Alasannya, di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana tidak disiksa untuk menebus dosa-dosanya, melainkan dididik untuk mengatasi kelemahan dan kesalahannya. Dengan demikian diharapkan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna setelah menjalani masa hukuman di penjara.Kemudian Istilah penjara diganti dengan "pemasyarakatan" pertama kali dipakai Saharjo pada 5 Juli 1963, saat membacakan pidato berjudul 'Pohon Beringin Pengayom Pancasila'. Ide Saharjo mengenai istilah ini lalu diterima melalui Konferensi Kepenjaraan di Bandung pada 27 April 1964. Kemudian yang kedua, Saharjo mengganti istilah "terhukum" menjadi istilah "narapidana". Pemikiran Saharjo tentang orang terhukum yang diganti istilahnya ini berdasarkan beberapa rumusan, antara lain tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia sudah bersalah. Tidak boleh diperlihatkan kepada narapidana, bahwa ia diperlakukan sebagai penjahat, tetapi hendaklah diperlakukan sebagai manusia.Selain kedua istilah tersebut, Saharjo juga mengganti lambang hukum di Indonesia. Sebelumnya, lambang hukum di Indonesia menggunakan dewi keadilan mitologi Romawi, Dewi Yustisia (versi mitologi Yunani: Dewi Themis). Menurut Saharjo lambang ini tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai gantinya, Saharjo mengusulkan pohon beringin untuk menjadi lambang hukumnya.Pohon beringin sendiri melambangkan perlindungan rakyat yang mendambakan keadilan hukum. Lambang pohon beringin diterima oleh para peserta Seminar Hukum Nasional pada 1963. Desainnya dibuat oleh pelukis Derachman di mana lambangnya disebut Lambang Pengayoman. Walaupun sudah beberapa kali melakukan perubahan, lambang pohon beringin tetap dipertahankan dan bisa dilihat pada logo Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) saat ini.Pada 6 November 1963, dalam kedudukannya sebagai Menteri Kehakiman Kabinet Kerja III Saharjo mempersembahkan gelar 'Pengayoman' kepada Presiden Soekarno dan menyematkan pula lambang keadilan. Sebagai bentuk tanda jasanya pada negara, ia pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Tak lama setelah itu, melalui SK Presiden RI No 245 tanggal 29 November 1963, Saharjo ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.Sumber :Referensi: Trouw | Depsos RI, " Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 4" | Mirnawati, "Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap"

Profesi Hakim dan Kisah Nabi Sulaiman Adili Perkara Rebutan Bayi

article | History Law | 2025-03-22 08:05:00

DUA wanita datang kepada Nabi Daud ‘alaihissalam mengadukan perkara setelah salah satu anak mereka diterkam serigala. Mereka saling mengklaim bahwa anak yang masih hidup adalah miliknya. Wanita yang lebih tua bersikeras anak itu miliknya, sementara wanita yang lebih muda juga tidak mengalah. Berdasarkan bukti yang ada, Nabi Daud memutuskan anak tersebut diberikan kepada wanita yang lebih tua, sehingga wanita yang lebih muda pulang dengan sedih, sementara wanita yang lebih tua mengambil anak itu dengan senang.Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, yang dikenal akan hikmahnya, menyaksikan keadaan ini dan memutuskan untuk menguji keduanya.  Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memang dikenal seorang nabi yang memiliki pandangan tajam, diberi hikmah yang mendalam oleh Allah subhanahu wata’ala dan diajari bagaimana menjelaskan seruan-Nya. Dalam hati, beliau berpikir, “Yang dapat memutus perkara ini adalah perasaan yang lembut, bukan akal. Karena itu, aku akan meminta pandangan kedua wanita itu. Siapa yang kecintaannya lebih besar terhadap si anak, maka aku akan berikan anak itu padanya.” Kemudian, Nabi Sulaiman bertanya kepada mereka, “Masing-masing meyakini bahwa ini adalah anak kalian?” “Betul,” jawab mereka.“Dan kalian mengklaim itu adalah anak kalian?”  “Betul sekali.”   “Sekarang berikanlah aku pisau tajam untuk membelah anak ini jadi dua!”   Sontak wanita yang lebih muda berteriak keras, “Jangan, jangan lakukan itu! Itu anak dia!” Sementara wanita yang lebih tua hanya diam.    Akhirnya, wanita yang lebih muda merelakan anaknya diberikan kepada wanita yang lebih tua agar si anak bisa tumbuh bersamanya daripada harus dibelah dua. Dengan tumbuhnya si anak itu, walaupun bukan dalam asuhan dirinya, si wanita muda merasa lebih tenang. Memang, ibu mana yang tega melihat anaknya dibelah dua? Dari situ saja Nabi ‘alaihissalam bisa melihat, hingga kemudian beliau melirik kepada wanita yang lebih muda dan berkata, “Berarti itu adalah anakmu, ambillah!”Dari reaksi ini, Nabi Sulaiman menyimpulkan bahwa wanita yang lebih muda adalah ibu sejati karena menunjukkan kasih sayang yang besar. Akhirnya, Nabi Sulaiman memberikan anak tersebut kepada wanita yang lebih muda, membuktikan kebijaksanaannya dalam menyelesaikan perkara yang rumit.  Kebijaksanaan Nabi Sulaiman dan Nabi Daud juga disinggung dalam Alquran surah Al-Anbiya ayat 79. ''Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat), dan kepada masing-masing mereka (Daud dan Sulaiman) telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.'' Demikian kisah yang disarikan dari hadits sahih yang diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahîh-nya, tepatnya dalam Kitâb Ahâdîts al-Anbiyâ, Bâb Tarjamah Sulaimân, jilid 6, hal. 458, nomor hadits 3427, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitâb al-Aqdhiyah, Bâb Ikhtilâf al-Mujtahidîn, jilid 3, hal. 1344, nomor hadits 1720. Pelajaran dari Kisah Ini yang dapat diambil hikmahnya untuk profesi Hakim adalah:1. Hakim harus menunjukkan kecerdasan dalam menetapkan hukum.Hal ini selaras juga dengan dalam kode etik pedoman perilaku hakim  yang diatur dakam Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012. Dalam pembukannya menyataka bahwa hakim sebagai aktor utama atau  figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.2. Seorang hakim dapat mengoreksi keputusan hakim sebelumnya jika ditemukan fakta baru.Hal ini selaras dengan mekanisme upaya hukum Peninjauan kembali dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 67 huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yag menyatakan bahwa syarat penunjauan kembali adalah apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.3. Pengambilan keputusan dapat didasarkan pada persepektif psikologis.Jika dikaji dari perspektif psikologi Nabi Sulaiman menunjukkan kecerdasan dan pemikiran kritis dalam menyelesaikan perkara ini. Dengan mengusulkan agar bayi dibelah dua, ia tidak benar-benar bermaksud melaksanakan tindakan itu, tetapi ingin melihat reaksi emosional dari kedua wanita tersebut. Ibu yang sebenarnya menunjukkan altruisme dan kasih sayang dengan rela mengorbankan haknya demi keselamatan anaknya.Referensi: https://khazanah.republika.co.id/berita/qf06dv430/kebijaksanaan-nabi-sulaimanhttps://islam.nu.or.id/hikmah/kecerdasan-nabi-sulaiman-dan-kisah-anak-diterkam-serigala-1pRsl

Perjuangan IKAHI dalam Perdebatan Pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970

article | History Law | 2025-03-20 19:35:32

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia meletakan dasar konstitusional bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Namun demikian konsepsi Negara Hukum ini mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia. Daniel S. Lev dalam tulisannya Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum: Sebuah Sketsa Politik mencatat konsep Negara Hukum menguat dan menjadi ideologi Republik Indonesia saat masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1950-1957. Namun saat era Demokrasi Terpimpin (1958-1965), konsepsi Negara Hukum tenggelam dalam patrionalisme rezim.   Konsep Negara Hukum muncul kembali pasca peristiwa 1965. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu parameter dalam munculnya perdebatan-perdebatan mengenai konsep negara hukum. Masih dalam catatan Daniel S. Lev, Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) pada tahun 1966 awal menetapkan bahwa Pemerintah dan Parlemen perlu meninjau kembali peraturan perundangan saat masa Demokrasi Terpimpin. Sebastiaan Pompe, dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat bahwa dalam bidang hukum terdapat tiga rancangan undang-undang akan ditinjau kembali dan disusun, yaitu: Rancangan Undang-Undang (RUU) Pokok Kekuasaan Kehakiman, RUU Mahkamah Agung, dan RUU Pengadilan Umum. Rancangan yang pertama dimaksudkan menjadi peraturan dasar yang menentukan kedudukan dan peran Pengadilan di negara Indonesia. Tetapi perdebatan RUU Pokok Kekuasaan Kehakiman ini begitu sengit dan membuat semua pihak kelelahan, sehingga Pemerintah maupun DPR tidak beranjak untuk membahas RUU Mahkamah Agung dan Pengadilan Umum sampai lima belas tahun kemudian. Pada akhir 1966, sebuah konferensi Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang dipimpin oleh Mahkamah Agung, mengambil inisiatif perihal perubahan Undang-Undang tersebut. Hakim-Hakim saat itu memiliki keinginan untuk adanya ketentuan badan kehakiman sepenuhnya berada di bawah pengorganisasian Mahkamah agung dan terpisah dari Kementerian Kehakiman. Pada tahun 1967 awal, Kabinet membentuk komite dengan anggota dari Mahkamah Agung dan Kementerian Kehakiman untuk merancang undang-undang baru tentang kekuasaan kehakiman. Sebastiaan Pompe mencatat bahwa anggota dari unsur hakim adalah Subekti sebagai Ketua, Asikin Kusumah Atmadja dan Sri Widoyati Soekito sebagai perwakilan IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Anggota-anggota lain adalah Busthanul Arifin, Hapsoro dan Purwoto Gandasubrata yang semuanya adalah anggota IKAHI yang sangat terpandang. Komite ini menghasilkan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang, dalam bahasa Pompe, sangat liberal karena menghapus kontrol Departemen Kehakiman atas administrasi pengadilan dan memberi pengadilan hak uji konstitusional (constitutional review). Daniel S. Lev juga mencatat kebanyakan hakim menginginkan pemisahan dari Departemen Kehakiman ini berkait erat dengan peningkatan status kekuasaan yudisial. Di sisi lain, otonomi kekuasaan kehakiman juga merupakan langkah penting ke arah terbukanya pengawasan tindakan atau kebijakan pemerintah oleh kekuasaan yudikatif. IKAHI juga memiliki pandangan yang sama. IKAHI berpegang teguh pada pandangan trias politica yang dianggapnya selalu mendapatkan ancaman. Dari sisi lain, Departemen Kehakiman memiliki pandangan bahwa badan pengadilan memerlukan pengawasan juga seperti halnya eksekutif. Konsep pemisahan kekuasaan yang kaku juga dinilai kurang produktif bila dibandingkan dengan kerja sama kelembagaan. Mengenai kewenangan constitutional review, Departemen Kehakiman memiliki pandangan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan MPR sebagai alat konstitusional tertinggi dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi. Sebagai contoh, MPR dipandang sudah memiliki kewenangan untuk itu karena MPR telah memerintahkan Presiden dan Parlemen agar mencabut peraturan perundangan pasca era Demokrasi Terpimpin. Selain itu, terdapat juga keinginan dari sisi Pemerintah untuk membuat kebijakan tanpa dirintangi oleh kewenangan kelembagaan lain. Departemen Kehakiman saat itu enggan untuk memisahkan kekuasaan kehakiman dari eksekutif, karena akan dianggap menurunkan derajat Departemen Kehakiman, sehingga bertugas hanya sekedar kumpulan fungsi rutin yang tidak berarti. Menurut Daniel S. Lev, isu lain yang muncul saat penyusunan RUU Kekuasaan Kehakiman adalah perlindungan Terdakwa dan hak asasi manusia dalam Hukum Acara Pidana. Isu tersebut diusung oleh para Advokat karena dalam hukum acara karena Advokat sudah lama mengeluhkan dalam jaminan perlindungan hak-hak individual dalam penegakan hukum pidana dan hukum acara pidana.Salah satu yang diperjuangkan untuk melindungi hak asasi manusia adalah penguatan kewenangan Pengadilan. Pengadilan dianggap sebagai pihak yang juga menginginkan perubahan hukum acara pidana tersebut. Dalam beberapa perkara, terutama saat itu sedang ramai kejahatan politik dengan pemberlakuan UU Subversi, Pengadilan Sipil menyediakan forum untuk membela diri bagi mereka yang didakwa dengan kejahatan politik. Jika kebetulan hakim-hakim yang menanganinya berani dan memiliki pandangan Hak Asasi Manusia yang baik, kerap menjatuhkan pidana yang ringan. Atas ketidaksetujuan-ketidaksetujuan tersebut, Departemen Kehakiman membentuk komite lain dengan sebuah Keputusan Presiden, yang akhirnya juga menghasilkan sebuah RUU Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada pertengahan 1968, RUU Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disampaikan pada bulan Juli kepada Presiden Soeharto yang kemudian menyerahkannya kepada DPR pada bulan berikutnya. Rancangan final itu bukan kabar baik bagi Pengadilan, yang harus menanggalkan semua poin besar dalam program perubahannya. Rancangan itu dengan tegas menempatkan administrasi pengadilan di bawah Departemen Kehakiman dan menolak hak uji konstitusional atas (constitutional review). Satu-satunya keberhasilan kecil yang dicapai para hakim adalah rancangan itu menentukan agar gaji hakim diatur dalam peraturan tersendiri.  

Karneades, Penggagas Percobaan Pikiran Papan Karneades

article | History Law | 2025-03-20 08:30:33

Tentunya kita masih ingat dalam ingatan kita saat menimba ilmu hukum pidana di bangku Fakultas Hukum saat itu kita mempedomani Kitab Undang-Undang Hukum Pidada (KUHP) 1946 karya R.Soesilo, dalam hal ini tentunya kita ingat kisah Papan Carneades (Plank of Carneades) yang selalu dijadikan contoh untuk Teori Pemidanaan khususnya Pasal 49 KUHP yang diilustrasikan dalam buku KUHP karya R. Soesilo dengan kisah papan Carneades. Cerita tentang Papan Carneades adalah cerita yang dikarang oleh Filsuf bernama Carneades, yang bercerita tentang dua orang yang selamat dari Karamnya kapal di lautan.tahukah kalian kalau di dalam bidang etika, papan Carneades adalah sebuah percobaan pikiran yang pertama kali digagas oleh Karneades dari Kirene. Dalam percobaan pikiran ini, terdapat dua pelaut yang karam, A dan B. Mereka berdua melihat sebuah papan yang hanya dapat menopang satu orang dan keduanya berenang ke arah papan itu. Pelaut A berhasil sampai di papan lebih dahulu. Pelaut B yang akan tenggelam mendorong A dari papan, sehingga membuat A tenggelam. Pelaut B bertahan di papan dan nantinya diselamatkan oleh tim penyelamat. Maka pertanyaannya adalah apakah pelaut B dapat diadili dengan tuduhan pembunuhan, karena bila B harus membunuh A agar dapat bertahan hidup maka sebenarnya tindakan itu dapat dikatakan sebagai tindakan untuk melakukan pertahanan diri. Cerita diatas adalah sebuah kisah dari Yunani kuno. Dua orang korban kecelakaan kapal berpegangan pada sekeping pecahan kapal yang sama. Mereka berdua terancam tenggelam karena papan itu tidak cukup besar untuk menjadi alat keselamatan mereka. Sebuah pilihan sulit seperti yang telah dituturkan diatas. Dari Cerita tersebut maka tidak salah kita mengingat Kembali KUHP 1946 karya R. Soesilo  beserta Komentar-Komentarnya lengkap pasal demi pasalnya yang selalu dilengkapi dengan Ilustrasinya salah satunya adalah kisah papan Carneades  (Plank of Carneades), sebelum digantikan dengan KUHP 2023 yang nantinya akan diberlakukan pada tanggal 2 Januari 2026. Sumber :Wikipedia

Indonesia Pernah Ubah Irah-Irah Putusan, Ini Sejarahnya!

article | History Law | 2025-03-18 10:35:40

Kepala atau irah-irah putusan saat ini berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Namun, apakah Dandafellas mengetahui kepala putusan saat ini ternyata sebelumnya tidak berbunyi demikian dan merupakan hasil penyesuaian beberapa kali?Begini sejarahnya!Sebagaimana dikutip dari Buku berjudul “Hukum Acara Pidana” (1983) karya Bismar Siregar, tercatat pengadilan pernah beberapa kali menggunakan kepala putusan. Mulai dari “Atas Nama Raja/Ratu”, “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir  menggunakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sudikno Mertokusumo dalam Disertasinya: “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak 1942”, menyebutkan sebelum Indonesia merdeka, terlebih dahulu Indonesia menggunakan Irah-Irah Putusan “Atas Nama Raja/Ratu”. Dalam terjemahan Belanda, Iran-Irah tersebut berbunyi “In naam der Koningin”. Dapat dimaklumi mengapa bunyinya demikian. Dikarenakan, saat itu Nusantara masih sebagai Negara Hindia Belanda.Namun kemudian setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Irah-Irah tersebut tidak digunakan lagi. Kepala putusan setelah itu berubah menjadi “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Penyesuaian beberapa kali kepala putusan ini, tampaknya sangat kental dipengaruhi politik hukum perumusan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman.Coba ditengok,Pada tahun 1948 Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 (UU 19/1948) Tentang Susunan dan Badan-Badan Kehakiman. Di dalam Beleid tersebut, diatur bahwa peradilan di seluruh daerah Negara dilaksanakan “atas nama Negara Republik Indonesia”. Kemudian berselang 2 (dua) tahun pada tahun 1950 saat Indonesia memasuki fase Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusan fundamental ini diubah.  Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU 1/1950) disebutkan Peradilan di Indonesia bukan lagi dilaksanakan atas nama Negara Republik Indonesia, tetapi dilaksanakan “Atas nama Keadilan”. Baru setelah itu, hingga saat ini akhirnya Kepala Putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut terkandung di dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku saat ini.Patut disyukuri, setelah mengalami beberapa kali penyesuaian kepala putusan, Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan Bangsa Ini dimana setiap putusan-putusannya diharuskan dilaksanakan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Namun penting diketahui Insan Peradilan, apa makna hakiki kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ini?Bismar Siregar menuturkan makna Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini begitu sakral. Ia menyebut irah-irah tersebut mengandung makna sumpah dan pertanggungjawaban seorang hakim dalam setiap memutus suatu perkara. Apabila didengungkan kira-kira bunyi kata-kata sumpah tersebut seperti ini:“Aku bersumpah atas Nama Keadilan-Mu Ya Tuhan Yang Maha Esa dalam memutuskan perkara ini!”Sehingga atas setiap sumpah yang diucapkan seorang hakim itu, tentu akan selalu diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan Yang Maha Esa.Oleh karena begitu sakralnya, setiap ucapan sumpah hakim saat hendak memutuskan perkara, maka hendaknya seorang hakim untuk selalu berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum memutuskan perkara. Lalu menumbuhkan kesadaran diri dan selalu berusaha memperbaiki diri untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga putusan atau penetapannya tersebut tidak terjebak kepada putusan yang berdasarkan “kepentingan uang”, “kepentingan golongan” atau “kepentingan hawa nafsu”.Referensi:Mengenang Bismar: Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah (www.hukumonline.com)Keadilan Atas Nama Siapa? (www.hukumonline.com).

‘Dunia Lain’ di Gedung PN Makassar, Berani Uji Nyali?

article | History Law | 2025-03-18 09:00:15

Makassar- Dibangun tahun 1915, Gedung Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi salah satu saksi bisu sejarah perjalanan bangsa. Namun, gedung itu memiliki ‘dunia lain’ saat malam perlahan naik. “Nda seseram dulu mi Pak, ini kantor. Dulu eddhh ka dari luar mentong seram keliatan. Tapi sekarang kuliat bagus mi. Rapi. Baru bisa maki juga jalan jalan liat kantor kalau lagi libur” ucap tukang becak yang biasa mangkal depan kantor, Daeng Kulle, dengan logat Makassar kentalnya saat DANDAPALA bertanya bagaimana menurutnya PN Makassar hari ini.PN Makassar berada di Jalan RA Kartini Nomor 18/23, Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulsel yang terhitung sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).  Menurut catatan sejarah, bangunan ini didirikan pada tahun 1915 dengan nama Raad van Justitia. Selain di Makassar, Raad van Justitia ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Padang dan Medan.Bangunan bergaya arsitektur neo klasik Eropa campuran Renaissance ini dulunya menghadap tiga jalan, yaitu Juliana Weg di utara (sekarang jalan Kartini), Hospital Weg di timur (sekarang jalan Sudirman), dan Justitia Laan di selatan (sekarang Jalan Ammanagappa). Tapi kini hanya pintu masuk dari arah Jalan Kartini dan Jalan Ammanagappa yang difungsikan.Bangunan seluas 48,4 x 44,9 meter persegi ini pernah menjadi sarana perlakuan diskriminasi yang diterapkan kolonial Belanda terhadap pribumi. Bangunan pengadilan saat itu terbagi menjadi dua fungsi yakni Raad van Justitia yang merupakan pengadilan untuk orang-orang Tionghoa dan orang pribumi keturunan bangsawan, serta Landraad yang merupakan pengadilan untuk orang-orang pribumi letaknya di bagian selatan bangunan. Lazimnya bangunan tua, kisah kisah mistis juga terserak di antara kenangan terutama bagi mereka yang berinteraksi didalamnya. Dg. Eppe –sebut saja demikian- salah satu sekuriti PN Makassar yang selalu mengambil shift malam, berujar bahwa gangguan mistis kadang muncul entah berupa suara dari koridor yang menuju tahanan. Seringkali dari toilet lantai atas bahkan tak jarang dari ruang sidang.“Biasa itu Pak, seperti ada orang berbaris di depan pintu ruang sidang, tapi pas kami liat ehhh, nda adaji orang di sana,” tutur Dg. Eppe.Lain lagi yang dialami oleh Nirwan, salah satu pegawai di PN Makassar.“Kalo saya pak pernahka waktu terlambat pulang kantor karena banyak sidang, kuliat perempuan pakai baju kuning dekat ruang tahanan. Padahal itu hari jam sepuluh lewat mi. kupikir keluarga tahanan yang menunggu, Tapi begitu jalan ka mau dekati nda tau kmana mi” tuturnya.Meski demikian Dg. Ical salah satu pegawai senior dan telah lebih dari dua puluh tahun dinas di pengadilan punya pandangan unik.“Kalau masalah cerita mistis pak saya yakin dimanapun akan ada. Apalagi bila dikaitkan dengan bangunan yang tua dan antik seperti ini. Tapi bagi kami, begitu menyenangkan bekerja di sebuah bangunan tua tapi terawat yang telah memberikan begitu banyak kenangan, pelajaran sekaligus kenyataan akan keadilan,” lugasnya. Saat ini PN Makassar eksis sebagai sebagai pengadilan wisata. Artinya, pada hari libur masyarakat umum dapat berkunjung dan berkeliling PN. Makassar sebagai wadah edukasi dan histori terhadap proses pengadilan tempoe doeloe sampai saat ini.Seiring berjalannya waktu, PN Makasssar adalah memorabilia kenangan yang berkelindan dari masa ke masa. Dan seperti tutur ‘Sang Bung’; Sejarah, sekali lagi tak boleh dilupakan, tapi belajarlah darinya.(MT, RS dan ASP)

Ironi Kusni Kasdut: Ikut Revolusi Kemerdekaan, Merampok hingga Divonis Mati

article | History Law | 2025-03-15 10:30:37

Jakarta- Hidup Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut sungguh ironi. Pernah berjuang merebut kemerdekaan, tapi malah berakhir dengan hukuman mati. Tubuhnya tumbang usai dieksekusi. Bagaimana kisahnya?Kusni kasdut lahir di Blitar pada 1929. Di masa kecilnya ia berkeliarandi terminal bis-kota Malang. Ia menjajakan rokok dan permen kepada para penumpang bis yang baru datang. Ibunya hidup menderita. Tinggal di daerah miskin Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang.Saat ia dewasa, ia terlibat Perang Kemerdekaan (1945-1949) melawan tentara Belanda. Laki-laki yang kerap dijuluki Kancil ini adalah salah satu yang terlincah dalam mencari dana untuk revolusi."Ia berjuang di sekitar front Jawa Timur. Penderitaan akibat menjadi pejuang yang melawan militer Belanda yang kuat dan ganas pun dirasakannya. Ia pernah kena tembak di kaki dan dipenjara oleh Belanda. Semua itu dilakukannya demi Republik Indonesia," ungkap tulisan Saiful Rahim dalam biografi tentang Kusni: Perjalanan Hidup KusniKasdut (1980).Selama revolusi, pria yang kemudian dikenal dengan nama Kusni Kasdut ini menyumbang tenaga dengan cara merampok orang-orang Tionghoa dan membagikan hasil jarahannya pada mereka yang terlibat dalam revolusi."Kusni, konon, tak tahu menahu dan tak mau tahu nasib hasil jarahannya. Ia menyumbangkan puluhan juta bagi revolusi,” kata James Siegel,dalam bukunya Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Kejahatan Politikdan Kejahatan (2000).Setelah revolusi usai, Kusni ingin masuk korps militer. Namun luka tembak di kaki menjadi alasan bagi pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menolaknya. Selain itu, Kusni juga tidak resmi terdaftar dalam kesatuan milisi pro-Republik.Kemudian nasib berkata lain saat itu ia tak bisa jadi tentara, tak ada pekerjaan yang bisa menghidupinya padahal ia sudah menikah. Kusni kemudian terjerumus kelembah hitam. Bersama teman-temannya, Mohamad Ali alias Bir Ali, juga Mulyadi dan Abu Bakar, mereka membikin kelompok perampok. Kusni didaulat sebagai pemimpin geng mereka.Kusni kembali merampok. Jika sebelum 1950 ia merampok demi republik, kali ini ia menjadi perampok untuk hidupnya.Hal yang membuatnya menjadi buronan polisi saat Ia merampok seorang hartawan Arab bernama Ali Badjened pada 11 Agustus 1953. Karena melakukan perlawanan dalam aksinya ia berhasil merampas hartanya dan membunuhnya.Aksi geng rampok Kusni selanjutnya yang tak terlupakan adalah perampokan Museum Nasional Indonesia alias Museum Gajah yang di Merdeka Barat, Jakarta. Letaknya tak jauh dari Kantor Kementerian Pertahanan dan tak jauh dari Istana Merdeka, tempat tinggal Presiden Sukarno.Dengan menyamar sebagai polisi dan memakai Jeep, Kusni dan gengnya memasuki museum pada 31 Mei 1961. Dalam aksinya yang mirip adegan film itu, para perampok menyandera pengunjung. Seorang petugas di museum ditembak dan komplotan Kusni berhasil kabur. Alhasil, 11 butir berlian berhasil digondol. Kusni pun jadi buronan lagi.Bergelimang hasil rampokan bukanlah hal baru bagi Kusni. Ketika hendak menjual beberapa butir berlian  di pegadaian, penjaga toko curiga dan kemudian melapor ke polisi karena ukurannya tak biasa.Kusni pun akhirnya tertangkap. Dia kemudian dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain. Pengadilan Semarang, pada 1969 menjatuhkan vonis mati kepada Kusni. Selama jeda menanti eksekusi, berkali-kali Kusni kabur dari penjara. Setidaknya 8 kali dia kabur dari penjara. Terakhir, Kusni kabur pada 10 September 1979. Namun, dia berhasil tertangkap lagi pada 17 Oktober 1979.Dokumen Proses Eksekusi (dok. Tempo)Sebelum eksekusi, Kusni sempat mengajukan grasi. Namun berdasar Surat Keputusan Presiden No. 32/G/1979 tertanggal 10 November 1979, Presiden Soeharto menolaknya. Maka, ia pun dieksekusi pada 16 Februari 1980.Revolusi 17 Agustus 1945 sempat membuat Kusni Kasdutjadi pahlawan untuk sementara waktu, tapi ia kemudian jadi buronan nomor satu. Sampai pada akhirnya hidupnya berakhir di tangan-tangan regu tembak negara.

Lentera Ramadhan, Teladan Nabi Muhammad SAW sebagai Hakim

article | History Law | 2025-03-15 08:20:46

Ketika hakim-hakim di Indonesia diangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden, berbeda dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Selain sebagai nabi dan Rasul tenyata Nabi Muhammad SAW juga berprofesi sebagai hakim. “Surat Keputusan” atau SK Rasullullah sebagai hakim tercantum dalam Al-Quran Surah An-Nur [24] ayat 51: اِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ۝٥١ innamâ kâna qaulal-mu'minîna idzâ du‘û ilallâhi wa rasûlihî liyaḫkuma bainahum ay yaqûlû sami‘nâ wa atha‘nâ, wa ulâ'ika humul-mufliḫûn Sesungguhnya yang merupakan ucapan orang-orang mukmin, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar ia memutuskan (perkara) di antara mereka, hanyalah, “Kami mendengar dan kami taat.” Mereka itulah orang-orang beruntung. Dalam Tafsir Tahlili yang Dandapala kutip dari website resmi Nahdlatul Ulama atau NU, ayat ini mengandung makna bahwa Orang-orang yang benar-benar beriman apabila diajak bertahkim kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka tunduk dan patuh menerima putusan, baik putusan itu menguntungkan atau merugikan mereka. Mereka yakin dengan sepenuh hati tidak merasa ragu sedikit pun bahwa putusan itulah yang benar, karena putusan itu adalah putusan Allah dan Rasul-Nya. Tentu putusan siapa lagi yang patut diterima dan dipercayai kebenaran dan keadilannya selain putusan Allah dan Rasul-Nya? Demikianlah sifat-sifat orang-orang yang beriman benar-benar percaya kepada Allah dan Rasul-Nya dan yakin sepenuhnya bahwa Allah Yang Maha benar dan Maha adil. Kisah Teladan Selama menjadi Hakim, Rasullah pernah memegang berbagai perkara. Diantaranya kisah seorang wanita dari keluarga terhormat yang terbukti mencuri. Ada seorang wanita bernama Fatimah al-Makhzumiyyah, putri ketua suku Al-Makhzumi, pada hari Fathu Mekah yang kedapatan mencuri. Fatimah merupakan keturanan dari salah satu keluarga terhormat di zaman itu, kebetulan juga memiliki nama yang sama dengan anak Rasullallah. Oleh sebab itu, keluarganya meminta tolong kepada Usamah Bin Zaid yang terkenal dekat dengan Nabi, untuk meringankan hukuman Fatimah. Di kemudian hari maka datanglah Usamah menemui Nabi dengan menceritakan maksud dan tujuan kedatangannya. Mendengar perkataan Usamah, berubahlah roman muka Nabi. Beliau berkata, ''Apakah engkau akan mempersoalkan ketentuan hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah?'' Usamah kemudian berkata, ''Maafkan aku ya Rasul Allah.'' Setelah melihat keributan di antara para sahabat, akhirnya Rasulullah SAW berdiri di depan para sahabatnya sambil berkhutbah dengan terlebih dahulu memuji Allah karena Dialah pemilik segala pujian: ''Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian semua adalah disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Ketika salah seorang yang dianggap memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi mencuri, mereka melewatkannya atau tidak menghukumnya. Namun, ketika ada seorang yang dianggap rendah, lemah dari segi materi, ataupun orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, dan orang-orang biasa, mereka menghukumnya. Ketahuilah, demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.'' (HR Bukhari, No. 4.304). Al kisah si perempuan dari keluarga terhormat itu terbukti mencuri dan oleh Rasullah diperintahkan untuk eksekusi potong tangan. Setelah pelaksanaan hukuman itu selesai, Nabi menyatakan bahwa tobatnya telah diterima oleh Allah. Lalu dalam beberapa hadist diceritakan bahwa kehidupannya menjadi lebih baik dan normal, menikah, dan bekerja seperti biasa. Di dunia Ilmu Hukum, Nabi Muhammad SAW diakui sejarah sebagai penggagas hukum yang paling besar, ia menetapkan asas hukum yang universal dan seimbang bagi seluruh umat manusia. Ilmu hukum yang Rasulullah gagas meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai dari perlindungan hidup, harta benda, kehormatan, dan melindungi hak-hak pribadi, sosial, legal, sipil, dan beragama setiap individu. Sifat-sifat Hakim dalam Syariat Islam Dikutip dari tulisan seorang Hakim, Andi Ramdhan dari PN Melonguane. Terdapat beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang Hakim menurut syariat Islam antara lain: Setiap hakim harus menyadari, Ia wajib menjaga keteguhan niatnya semata untuk ibadah kepada Allah, dengan ganjaran akan mendapatkan pahala;Hakim harus memiliki pengetahuan yang luas, sehingga dalam menjalankan tugasnya, hakim dapat memutuskan perkara dengan berlandaskan hukum. Bahkan jika suatu persoalan tidak ditemukan dalam sumber hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas, maka hakim diwajibkan untuk berijtihad, yakni menggali potensi untuk menemukan solusi terbaik dalam memutus perkara;Hakim harus bersikap adil dan memperlakukan sama kepada pihak yang bersengketa, baik dalam fasilitas tempat duduk, cara memandang, berbicara, dan bersikap. Hakim tidak boleh mengajari salah satunya, menertawakannya, dan mengajaknya bercanda, termasuk tidak boleh menerimanya sebagai tamu;Hakim harus menghindarkan diri dari sifat pemarah dan wajib bersikap penyabar dan berpikiran dingin, karena terkadang pihak yang dikalahkan, akan melakukan kritik terhadap keputusan yang telah dibuat. “Seorang Hakim hendaknya tidak menetapkan hukuman ketika sedang marah”;Seorang hakim wajib menghindarkan dirinya dari praktik suap, karena jika sudah terjerumus, maka keadilan tidak dapat lagi ditegakkan, orang tertindas tidak akan tertolong, kekacauan akan terjadi sehingga merusak sendi-sendi bernegara;Hakim dilarang menerima hadiah, kecuali dari saudaranya yang masih mahram atau yang sudah terbiasa memberinya hadiah sebelum menjadi hakim;Hakim harus menjalani hidup sederhana dan menjauhi gaya hidup bermewahan. Apabila hakim bergaya hidup bermewah-mewah, Ia akan cenderung berupaya untuk memenuhi segala keinginannya. Sehingga Ia akan berusaha mencari keuntungan tambahan di luar gajinya, yang berujung menjadikan Ia pribadi yang tamak;Dalam menjalankan tugasnya, Hakim harus memiliki psikologis yang bersih tidak boleh dalam keadaan gelisah, pusing, atau tertekan. Sumber refrensi: https://quran.nu.or.id/an-nur/51 https://aktualitas.id/berita/2023/11/09/kisah-rasulullah-sebagai-hakim-teradil-sekaligus-utusan-allah-swt/ https://nu.or.id/hikmah/ketika-nabi-eksekusi-maling-putri-pembesar-L3Pidhttps://siganisbadilum.mahkamahagung.go.id/arunika/baca-artikel/prinsip-dasar-dan-etika-hakim-dalam-perspektif-islam/a-72arnZoJ1Zhttps://pks.id/content/ibrah-partisipasi-rasulullah-dalam-membangun-ka-bah

Bismar Siregar, dari Jaksa hingga Jadi Hakim yang Bernurani

article | History Law | 2025-03-15 08:00:24

Jakarta- Pemerhati hukum tentu tidak asing lagi dengan sosok pendekar hukum bernama hakim Bismar Siregar. Tapi tahukah anda bila ia pernah menjadi jaksa sebelum jadi hakim?Bismar dikenal sebagai hakim yang memiliki karakter, yang tidak mau terkungkung oleh kekakuan hukum di atas kertas. Dalam mengadili perkara, beliau lebih mengutamakan nilai keadilan daripada kepastian hukum.Salah satu putusan hakim Bismar yang fenomenal adalah terkait perluasan makna barang dalam Pasal 378 KUHP. Singkatnya kasus tersebut sebagai berikut: Awalnya Terdakwa telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan, yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan cabul dengan perempuan yang bukan istrinya. Terdakwa pun dijatuhi dengan hukuman pidana percobaan. Atas putusan tersebut, Jaksa menyatakan Banding. Di Pengadilan Tinggi Bismarlah yang menangani perkara tersebut. Dalam pertimbangan putusannya, Bismar melakukan perluasan penafsiran kata “barang” dalam pasal 378 KUHP, hal tersebut termasuk juga “jasa”. Menurut Bismar, adanya hubungan senggama antara Terdakwa dan saksi korban tersebut telah menguntungkan Terdakwa, karena itu juga sudah menerima “jasa” dari saksi korban. Hakim Bismar merujuk pada bahasa Tapanuli, daerah asal terdakwa dan saksi korban, yakni bonda yang berarti barang, yang diartikan kemaluan, sehingga ketika saksi korban menyerahkan kehormatannya kepada Terdakwa, berarti sama dengan menyerahkan barang.Akhirnya Bismar mengoreksi putusan pengadilan tingkat pertama dan menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana dalam pasal 378 KUHP. Terdakwapun dihukum dengan pidana penjara selama 3 tahun. Ingin mengetahui tentang riwayat hidup singkat dan perjalanan karir beliau? Berikut kami uraikan:   Bismar Siregar dilahirkan di Desa Baringin, kota Sipirok pada tanggal 15 November 1928. Beliau menempuh studi di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indenesia pada tahun 1952 dan tamat pada tahun 1956. Karir Bismar di dunia peradilan dimulai dari bawah di Pengadilan Negeri hingga ke puncak Mahkamah Agung. Pada tahun 1960, Bismar bertugas sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang. Kemudian pada tahun 1962, Bismar dimutasikan ke Pontianak sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pontianak. Hal tersebut termasuk mutasi yang luar biasa, karena beliau dimutasikan dari ibu kota kabupaten ke ibu kota provinsi. Setelah dua tahun mengabdi, Bismar dipercayakan menjadi Ketua Pengadilan Land Reform Pontianak. Kemudian pada tahun 1968, Bismar ditarik ke Mahkamah Agung menduduki jabatan sebagai Panitera Mahkamah Agung. Tiga tahun kemudian Bismar dipercayakan menduduki jabatan sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Setelah dipandang cukup berpengalaman di Pengadilan Negeri, Bismar dipromosikan menjadi hakim tingggi di Pengadilan Tinggi Bandung. Tak sampai satu tahun, Bismar kemudian diberikan kepercayaan yang lebih besar lagi menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Medan. Bintang Bismar semakin cemerlang. Setelah ± 1 tahun menjabat di Pengadilan Tinggi Medan, Bismar kemudian diangkat menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang merupakan puncak karier tertinggi seorang hakim. Tugasnya sebagai hakim agung dijalaninya dengan penuh tanggung jawab yang tinggi, tanpa cacat dan cela sampai ia pensiun pada tanggal 1 Desember 1985. Bismar wafat pada tanggal 19 April 2012 di rumah sakit Fatmawati dalam usia 84 tahun. Walaupun sang pendekar hukum tersebut telah tiada, namun nama beliau masih terus dikenang. Bismar Siregar Memiliki Hobi Menulis, Membaca dan MelukisMenulis adalah kegiatan rutin yang dilakukan Bismar setiap hari. Beliau telah menghasilkan belasan buku, ratusan makalah untuk ceramah, seminar, naskah pidato dan dakwah. Bismar mampu menulis tiga sampai empat buah artikel setiap malam. Namun tidak semua tulisannya dipublikasikan secara terbuka, ada yang disebarkan secara khusus bagi kalangan-kalangan tertentu antara lain: ditujukan kepada sahabat-sahabatnya, atasan dan bawahannya, penguasa, wakil-wakil rakyat di MPR/DPR dan berbagai kelompok serta organisasi di masyarakat. Adapun beberapa buku dan artikel yang telah beliau tulis antara lain: Berbagai Segi Hukum dan Perkembangannya dalam Masyarakat (1983), Bunga Rampai Karangan Tersebar Jilid 1 dan Jilid 2 (1989), Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional (1986) dan buku Renungan Hukum dan Iman (1990). Di samping itu Bismar juga memiliki bakat melukis. Lukisannya bercorak naturalis. Dari tangannya telah dihasilkan ratusan lukisan. Pada tahun 1997, Bismar sempat mengadakan pameran lukisan-lukisannya.Pernah Bertugas Sebagai JaksaSebelum Bismar menekuni profesinya sebagai hakim, terlebih dahulu Bismar mengabdikan dirinya sebagai jaksa. Pada tahun 1957 Bismar diangkat sebagai jaksa pada Kejaksaan Negeri Kelas I Palembang. Setahun kemudian Bismar dipromosikan sebagai Wakil Kepala Kejaksaan Negeri Kelas I Makassar. Pada awal tahun 1960 Bismar dmutasikan lagi ke Kejaksaan Negeri Kelas II Ambon dalam jabatannya sebagai Jaksa biasa. Adapun penyebab Bismar dimutasi tersebut dikarenakan saat itu Bismar tidak mau melaksanakan perintah Jaksa Agung.Selama berprofesi sebagai Jaksa, Bismar merasakan bahwa profesi jaksa tidak sesuai dengan jiwanya yang selalu mengutamakan hati nuraninya. Karena di lingkungan kejaksaan dari atas ke bawah itu harus satu komando, satu prinsip. Bawahan tidak boleh menentang kebijaksanaan atasannya. Dia harus patuh tanpa reserve kepada pimpinannya, tanpa harus melihat benar atau salah. Selanjutnya pada akhir tahun 1960, Bismar mengundurkan diri dari jabatan sebagai jaksa dan beralih profesi menjadi hakim.  Sumber Referensi:1. Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Prespektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung, 2007.  2. https://www.datatempo.co/foto/tokohDetail/29/bismar-siregar-alm

Mengenang Soepomo, Hakim dan Arsitek Konstitusi Indonesia

article | History Law | 2025-03-13 14:55:19

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran tokoh nasional lulusan sekolah hukum (rechtsschool) bergelar meester in de rechten, termasuk hakim dan pejabat pengadilan di era kolonial Belanda. Salah satunya Soepomo, seorang pria kelahiran Sukoharjo, 22 Januari 1903. Soepomo adalah keturunan ningrat karena orang tuanya merupakan tokoh masyarakat yang diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai Bupati Surakarta. Soepomo mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School yang merupakan sekolah untuk orang eropa dan keturunan ningrat bumiputera hingga lulus tahun 1917 dengan nilai terbaik. Ia kemudian melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surakarta yang setara sekolah menengah pertama hingga lulus tahun 1920. Kecerdasannya telah membuka kesempatan bagi Soepomo untuk menempuh pendidikan tinggi bidang hukum di Bataviasche Rechtsschool yang merupakan cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah dinyatakan lulus dari Rechtschool tahun 1923, Soepomo memilih karir sebagai pegawai di Pengadilan Negeri Sragen. Pegawai pengadilan merupakan pekerjaan sangat terpandang kala itu namun hal itu tidak serta merta membuatnya terlena, Soepomo muda memilih untuk terus mengembangkan keilmuannya. Soepomo, dengan kecerdasan dan semangatnya yang tinggi dalam mendalami ilmu hukum, khususnya dalam meneliti norma dan ketentuan adat di berbagai daerah, mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, melalui beasiswa. Selama menimba ilmu di negeri Kincir Angin, ia tidak hanya fokus pada akademiknya, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Melalui Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging), Soepomo turut menyuarakan ketidakadilan di Hindia Belanda dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam organisasi ini, ia berinteraksi dengan para intelektual Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan, seperti Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, dan tokoh-tokoh nasional lainnya.Universitas Leiden mengapresiasi kejeniusan Soepomo dengan menganugerahinya gelar Doktor di bidang hukum pada usia yang masih sangat muda, 24 tahun. Disertasinya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Perbaikan Sistem Agraria di Wilayah Surakarta) menjadi bukti kepiawaiannya dalam ilmu hukum. Keberhasilannya meraih gelar doktor di usia muda menjadikan Soepomo sosok yang dihormati, baik oleh Pemerintah Kolonial maupun oleh rekan-rekan sebangsanya. Penghormatan tersebut ia peroleh berkat kedalaman ilmunya serta keahliannya dalam bidang hukum.Setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda, Soepomo kembali ke tanah air dan melanjutkan kiprahnya di dunia peradilan. Ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 1927–1928, kemudian diperbantukan di Direktorat Justisi di Jakarta untuk meneliti hukum adat di wilayah Jawa Barat. Selanjutnya, ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Purworejo pada 1932–1938. Meskipun berkarier sebagai hakim dan pejabat dalam sistem peradilan kolonial, rasa kebangsaannya tetap kuat. Hal ini ia tunjukkan dengan aktif dalam organisasi pergerakan Budi Utomo, bahkan dipercaya sebagai Wakil Ketua Umum organisasi tersebut pada masa bakti 1928–1930.Keahliannya di bidang hukum, serta kiprahnya dalam memperjuangkan martabat bangsa yang terjajah, mengantarkan Soepomo menjadi anggota Dokuritsu Junbi Chosa-Kai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di dalamnya, ia bergabung dengan tokoh-tokoh besar bangsa, seperti Ir. Soekarno (Presiden RI pertama), Drs. Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI pertama), Dr. R. Kusumah Atmadja (Ketua Mahkamah Agung RI pertama), Mr. Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya.Dari rapat-rapat BPUPKI inilah lahir Pancasila sebagai falsafah negara yang menjiwai konstitusi Indonesia. Selain itu, pada 11 Juli 1945, Soepomo dipercaya memimpin Panitia Perumus Konstitusi, yang merancang Undang-Undang Dasar negara. Rumusan UUD yang disusun oleh Soepomo dan timnya akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945, menjadi fondasi hukum bagi negara yang baru merdeka.Setelah Indonesia merdeka, Soepomo dipercaya mengemban berbagai jabatan penting. Ia menjadi Menteri Kehakiman pertama pada 1945–1950, kemudian menjabat sebagai Rektor Universitas Indonesia kedua pada 1951–1954, serta dipercaya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Inggris pada 1954–1956. Namun, pengabdiannya terhenti lebih cepat dari yang diduga. Soepomo wafat dalam usia relatif muda, 55 tahun, pada 12 September 1958. Sebagai penghormatan atas jasa dan dedikasinya bagi bangsa, Presiden Soekarno menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soepomo pada 14 Mei 1965.Sumber Tulisan Prof. Dr. Mr. Soepomo, Soegito, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1979/1980 https://id.wikipedia.org/wiki/Soepomohttps://arsip.ui.ac.id/blog/mr-soepomo-rektor-kedua-ui-perancang-uud-1945https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/06/155919269/biografi-soepomo-perumus-uud-1945https://www.detik.com/jateng/berita/d-7205901/profil-soepomo-pahlawan-nasional-perumus-uud-1945-dan-perjuangannya            

Mengenang Pidato Asikin Kusumah Atmadja ‘Otonomi Kekuasaan Kehakiman’ di 1968

article | History Law | 2025-03-13 10:40:38

Jakarta- Seminar Hukum Nasional merupakan acara lima tahunan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan dihadiri oleh pakar hukum Indonesia. Ada yang menjadi catatan penting pada seminar hukum 1968, apa itu?Dalam seminar yang berlangsung pada Desember 1968 tersebut para hakim berkesempatan untuk memaparkan ide berkaitan dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Seminar Hukum Nasional 1968 dianggap penting karena merupakan ruang bagi para hakim untuk memperkuat sistem pemisahan kekuasaan. Menurut catatan Daniel S. Lev dalam tulisannya “Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum, sebuah Sketsa Politik”, saat itu Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan Kementerian Kehakiman berdebat dengan sengit mengenai isi pemisahan kekuasaan negara. Para pemimpin IKAHI berpegang teguh pada prinsip trias politica. Para Hakim berpendapat bahwa pembagian wewenang pengawasan terhadap pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan juga Kementerian Kehakiman memberikan kesempatan kepada pihak eksekutif untuk menyusupkan paksaan halus terhadap para hakim. Saat itu, Asikin Kusumah Atmadja yang merupakan ketua Ikatan Hakim Indonesia berkesempatan menyampaikan Pidato pembukaan seminar tentang “Pembentukan Otonomi Kekuasaan Kehakiman”.  Menurut Sebastiaan Pompe, dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Asikin Kusumah Atmadja dalam pidatonya memaparkan mengenai hakikat tatanan konstitusional yang berlaku sejak zaman kemerdekaan. “Mahkamah Agung merupakan otoritas pengadilan tertinggi di negara ini, sejajar dengan eksekutif dan legislatif,” kata Asikin Kusumah Atmadja dalam pidatonya.Hakikat konstitusional tersebut menjadi angan-angan belaka jika otonomi dan independensi kekuasaan kehakiman tidak diwujudkan. Kemudian Asikin Kusumah Atmadja mengutarakan dalam pidatonya: Walaupun pemerintah Orba mengakui bahwa Pengadilan adalah lembaga tinggi, sejajar dengan MPR, Presiden sebagai mandataris MPR, [dan] DPR, (...), secara legal formal masih menggolongkan hakim-hakim Mahkamah Agung pada tingkat Sekretaris Jenderal Departemen (F.VII-F.VIII), sedang hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dimasukkan sebagai pejabat Departemen Kehakiman. Dalam Peraturan Gaji Negara 1968, status khusus hakim tidak disebut-sebut. Sama sekali tidak jelas dari peraturan-peraturan tersebut bahwa hakim dalam kekuasaan kehakiman yang sangat luas mempunyai status tersendiri. Sebaliknya, undang-undang ini justru menekankan peran hakim sebagai pejabat eksekutif atau administratif dengan pangkat Penata Muda, Penata Muda Pertama, dan seterusnya. Semua ini sesungguhnya berarti bahwa status para hakim sebagai anggota kekuasaan kehakiman lebih rendah daripada Kepala Seksi di Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal atau Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman.  Menurut catatan Sebastiaan Pompe, Asikin Kusumah Atmadja hendak menunjukkan bahwa secara keseluruhan para hakim diberi pangkat lebih rendah daripada pejabat eksekutif dengan pengalaman dan jabatan setara. Walaupun saat itu ada upaya untuk meningkatkan penghasilan hakim, hal ini tidak mengurangi ketergantungan kekuasaan kehakiman pada kekuasaan eksekutif. Sebastiaan Pompe juga mencatat, dengan merujuk pada Asikin Kusumah Atmadja, saat itu terdapat kenaikan tunjangan yang sudah disetujui Departemen Keuangan, namun sampai akhir Desember 1968, hal tersebut belum terealisasi karena Badan Administrasi Kepegawaian Negara belum mengeluarkan keputusannya. Hal ini menegaskan masalah status hakim dan masalah independensi Kekuasaan Kehakiman. Asikin Kusumah Atmadja melanjutkan dalam pidatonya:Tinggal satu hal yang menjadi persoalan akhirnya: bisakah Pengadilan bebas dari campur tangan eksekutif apabila hakim adalah juga pejabat Departemen Kehakiman? Jawabannya terang “tidak”. [...] Saya beri sebuah contoh. Benar bahwa hakim ditempatkan, dimutasi, atau dipromosikan oleh Departemen Kehakiman atas permintaan Mahkamah Agung. Tetapi sejauh pengetahuan saya, praktik ini tidak didasarkan pada hukum dan tidak ada sanksi untuk itu. Betapa besar terima kasih harus kita sampaikan kepada Departemen Kehakiman karena rasa tanggung jawab luar biasa yang menuntunnya, sehingga ia tidak keberatan hanya menjadi pengelola permintaan Mahkamah Agung! [Tetapi ingat], manusia tetap manusia. Bagaimana jika suatu ketika Departemen Kehakiman menolak permintaan Mahkamah Agung? Dengan mudah ini akan menyebabkan pengangkatan dan mutasi yang bersifat politis, sebagaimana kita saksikan sebelum Gestapu dengan segala hasil buruknya. Perkenankan saya mengingatkan anda sekalian, ini masih bisa terjadi sekarang karena pada tahapan terakhir penempatan, dan lain sebagainya, para hakim menjadi tanggung jawab Menteri Kehakiman. [...] jika unsur paling penting struktur dan organisasi Pengadilan ditempatkan di dalam dan menjadi tanggung jawab Departemen Kehakiman, pelaksanaannya juga akan bergantung pada departemen itu. Tetapi apakah memang tujuan struktur dan organisasi ini menjadikan Pengadilan bebas dari segala campur tangan departemen ...?Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H., anak Ketua Mahkamah Agung Pertama Kusumah Atmadja, merupakan Ketua IKAHI hasil kongres III IKAHI di Tugu, Bogor pada tahun 1964. Menurut catatan Sebastiaan Pompe, kongres yang saat itu diadakan di Tugu, Bogor, dekat dengan istana kepresidenan, sebenarnya memiliki tujuan untuk memobilisasi Pengadilan untuk mendukung revolusi eksekutif. Namun, para hakim saat itu tidak menyerah dan akhirnya berhasil memilih Asikin Kusumah Atmadja. Ia dikenal sangat independen, sosok kuat, tegas, dan teguh komitmen pada nilai-nilai independesi kekuasaan kehakiman. Sebagai penggambaran karakter Asikin Kusumah Atmadja, terdapat ungkapan puitis dalam Jurnal IKAHI Varia Peradilan edisi ke-4:Siapa yang akan memimpin Ikahi?Inilah jawaban yang harus dijawab,oleh mereka yang berkumpul di aula kecil ini,Dan Sri Widoyati memberikan saran,dengan caranya yang lugas:Dia harus progresif dan revolusioner,dengan integritas dan tanpa cela revolusi,kesetiaan harus mengaliri nadinya,inilah sosok yang kita cari,inilah karakter yang kita butuhkan.Dan bersama dengan kokok pertama ayam jantan di lembah,Ikahi mendapatkan orang yang dicarinya:Asikin Kusumah Atmadja,orang berkarakter, dengan leluhur cemerlang,dalam revolusi, hukum dan keadilan.Kawan-kawan, teguhlah!

Mengenal Sri Widoyati, Hakim Agung Perempuan Pertama di Indonesia

article | History Law | 2025-03-10 09:35:27

Jakarta- Amerika Serikat baru memiliki hakim agung perempuan di tahun 1981. Sedangkan Indonesia sudah memiliki tahun 1968. Siapa srikandi pengadilan itu?Sejarah mencatat, terdapat perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung RI, sejak Agustus 1968. Sosok tersebut, Sri Widoyati Wiratmo Soekito yang lahir di Kendal, tanggal 29 September 1929. Sri Widoyati Wiratmo menamatkan pendidikan Sarjana Hukumnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 1955. Pernah menjabat sebagai hakim tingkat pertama di beberapa Pengadilan, antara lain Pengadilan Negeri Demak, Kendal, Purwodadi, Salatiga dan Semarang. Sebagai sosok hakim perempuan yang dikenal jenius, Sri Widoyati Wiratmo dipercaya menjabat sebagai pimpinan Pengadilan Negeri, antara lain Ketua Pengadilan Negeri Kudus, Jepara dan Semarang. Kehebatannya memimpin pengadilan tingkat pertama, membawanya promosi menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1962 sampai dengan 1968. Selanjutnya tahun 1968, Sri Widoyati Wiratmo diangkat menjadi Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia. Pengangkatannyaa sebagai Hakim Agung RI perempuan, mengalahkan negara maju dan adidaya yang baru memiliki Hakim Agung perempuan di medio tahun 1980an, ambil contoh Amerika Serikat mengangkat Sandra Day O’Connor sebagai Hakim Agung perempuan pada tahun 1981. Sri Widoyati Wiratmo selain memiliki pengetahuan hukum yang cemerang, dirinya dikenal juga sebagai hakim yang menjaga integritasnya. Bahkan hasil riset seorang peneliti hukum asal Belanda Sebastian Pompe, bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah hakim perempuan yang hidupnya sederhana dan menolak untuk memperkaya diri, untuk menjaga kedudukan serta kewibawaan Mahkamah Agung RI. Demikian juga apresiasi lahir dari advokat senior Adnan Buyung Nasution yang memberikan testimoni bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah seorang pejuang hukum dan keadilan yang pernah dimiliki Indonesia. Karirnya sebagai hakim, tidak menyurutkan keaktifannya dalam berbagai organisasi profesi dan sarjana, antara lain menjadi pengurus pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), tahun 1963-1964, pengurus pusat Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Di internal organisasi Mahkamah Agung RI, di mana Sri Widoyati Wiratmo pernah didapuk sebagai Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang  Jakarta Raya tahun 1966-1967 dan Ketua Sekretariat Bersama Pengabdi  Hukum Tahun 1967-1971. Demikian juga, semasa hidupnya Sri Widoyati Wiratmo aktif dalam mendorong pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan antara lain UU Hak Cipta, UU Perkawinan dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, bersama sarjana dan tokoh hukum lainnya menginisiasi pembentukan Universitas Semarang tahun 1956.  Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia dimaksud, juga aktif memprakasai dan mengadvokasi perempuan Indonesia untuk berkarya dalam bentuk menulis berbagai karya sasta, yang kemudian dirangkum dalam satu buku berjudul Anak dan Wanita dalam Hukum yang diterbitkan LP3ES. Sosok perempuan hebat tersebut, wafat tanggal 20 Februari 1982, saat berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya dari tahun 1980.Sumber referensi :1.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sri_Widoyati2. https://www.hukumonline.com/berita/a/ia-yang-pertama-perempuan--terlupakan--menyimpan-pujian-lt640f1bf6221d1/3. https://www.hukumonline.com/berita/a/3-kisah-pilihan-hakim-agung-dan-hakim-konstitusi-inspiratif-lt6596592e06952/?page=24. https://www.kompas.id/artikel/kepemimpinan-hakim-perempuan

Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 12:20:14

Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, jauh sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang jaminan fidusia, eksistensi dari lembaga fidusia telah diakui. Ini berangkat dari adanya perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya adanya kebutuhan yang mendesak dari para pedagang, pengusaha kecil dan pengecer yang mengingingkan fasilitas kredit untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Namun adanya kebutuhan tersebut, haruslah juga diimbangi dengan adanya jaminan bagi kreditur yang akan memberikan pinjaman modal. Dalam kondisi seperti itu pada masa itu, lembaga hipotik tidak menjadi pilihan yang tepat, dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah sebagai jaminan.Pada masa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, ada lembaga hukum yang disebut dengan Voorraad Pand yang dibentuk untuk menampung kebutuhan fidusia. Akan tetapi dalam praktiknya kurang populer, dikarenakan kepemilikan dari debitur terhadap benda objek jaminan sangat kuat. Dalam sejarah hukum di negara kita, lembaga fidusia pertama yang diakui oleh yurisprudensi di zaman Hindia Belanda adalah melalui putusan Hooggerechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932.Duduk perkaranya secara singkat sebagai berikut:Pedro Clygnett selanjutnya disebut Clygnett meminjam uang dari Bataafse Petrolium Maatschappy selanjutnya disebut: B.P.M. dan sebagai jaminan ia telah menyerahkan hak miliknya atas sebuah mobil. Mobil tersebut tetap ada dalam penguasaan Clygnett, tetapi selanjutnya bukan sebagai pemilik tetapi sebagai peminjam pakai. Jadi ada penyerahan secara constitutum possessorium. Dalam perjanjian disepakati, bahwa pinjam pakai itu akan diakhiri antara lain, kalau Clygnett wanprestasi dan dalam hal demikian Clygnett wajib untuk menyerahkan mobil tersebut kepada B.P.M. Ketika Clygnett benar-benar wanprestasi, maka pihak B.P.M. mengakhiri perjanjian pinjam pakai tersebut di atas dan menuntut penyerahan mobil jaminan, yang ditolak oleh pihak Clygnett dengan mengemukakan sebagai alasan, bahwa mobil tersebut bukan milik B.P.M. dan perjanjian yang ditutup antara mereka adalah perjanjian gadai. Karena mobil jaminan tetap dibiarkan dalam penguasaan dirinya, maka perjanjian gadai itu adalah batal. Ketika perkara itu sampai pada Hooggerechtshof Batavia, maka HGH menolak alasan Clygnett dan mengatakan, bahwa perjanjian penjaminan Itu adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Sejak keputusan tersebut, fidusia mendapatkan pengakuannya secara jelas dalam yurisprudensi di Indonesia.Sejak ada putusan B.P.M. tersebut, semakin banyak putusan pengadilan baik pada Mahkamah Agung di zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung dan juga pengadilan di bawahnya di zaman Indonesia merdeka yang telah mengikuti putusan B.P.M. tersebut. Berikut beberapa putusan pengadilan yang telah mengakui adanya lembaga fidusia yaitu:Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22 Maret 1951 dalam perkara antara Algemene Volkscrediet Bank di Semarang melawan The Gwan Gee dan Marpuah).Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971 dalam perkara antara BNI Unit Semarang melawan Lo Ding Siang).Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya, tetapi hanya sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika utang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500 K/Sip/1978, tanggal 2 Februari 1980).Bahwa dalam praktik sehari-hari lembaga fidusia ternyata telah memberikan peranan penting dalam perkembangan perekonomian, terutama dalam menjamin pemberian kredit yang ada. Dalam pelaksanaannya, fidusia tidak hanya dipergunakan untuk menjamin kredit-kredit, melainkan juga untuk menjamin pelunasan suatu jual beli yang dilakukan tidak secara tunai.Walupun lembaga fidusia telah menjadi jalan keluar sebagai jaminan kredit berupa benda bergerak di samping gadai, tetapi dalam pelaksanaannya masih menimbulkan persoalan yang baru, misalnya: terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, terdapat celah bagi pemberi fidusia untuk menjaminkan benda yang telah dibebani fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Selain itu pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanya terbatas pada benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Sementara berdasarkan perkembangan yang ada, objek jaminan fidusia bisa saja meliputi pada benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Dengan adanya persoalan tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Adanya cikal bakal pengaturan lembaga fidusia di negara kita yang berawal dari yurisrudensi, menunjukkan kalau eksistensi putusan hakim dapat menjadi jalan keluar dalam mengisi kekosongan hukum. Sehingga tidak selamanya hukum harus jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat.   Sumber Referensi:Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, J. Satrio, S.H, Bandung, 2005Tinjauan Sejarah Lembaga Fidusia di Indonesia, Andhika Desy Fluitahttps://www.kompas.com/stori/image/2023/10/03/170000479/kebijakan-jalan-tengah

Arsip Pengadilan 1974: Korupsi Rp 13 Juta Dihukum 5 Tahun Penjara

article | History Law | 2025-03-08 10:00:36

Jakarta- Korupsi dilakukan dengan berbagai modus dan di berbagai sektor. Nilainya korupsinya pun bervariatif. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1974 yang terjadi di Dinas Pendidikan Agama  Kabupaten Liot, Muara Enim. Bagaimana ceritanya?Kasus Asnawi tertuang dalam arsip pengadilan yang dikutip DANDAPALA dari website direktori Putusan MA, Jumat (7/3/2025). Di kasus itu, duduk 5 orang sebagai terdakwa yaitu:1. Kepala Dinas Pendidikan Agama Kabupaten Liot, Muara Enim, Asnawi.2. Bendahara Dinas Pendidikan Agama, Muchsin.3. Pemilik pendidikan, Imron.4. Pemilik pendidikan, Djupni.5. Pegawai Dinas Pendidikan Agama, Sjaifuddin.Didakwakan kasus itu bila peristiwa itu terjadi pada tahun 1968-1970. Mereka membuat rapel gajian untuk 334 orang guru agama. Lalu dimintakan uang ke Kantor BKN Palembang sebanyak Rp 13,5 juta. Ternyata, sejumlah nama-nama guru agama itu fiktif. Kalaupun tidak fiktif, ada juga yang uangnya tidak sampai ke para guru agama. Atas perbuatannya, kelimanya dimintai pertanggungjawaban pidana di depan hakim. Pengadilan Negeri (PN) Muara Enim menjatuhkan hukuman sebagai berikut:1. Asnawi dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 1 1 tahun kurungan.2. Muchsin dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 1 tahun kurungan.3. Imron dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.4. Djupni dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.5. Sjaifuddin dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.Pada 18 Februari 1971, putusan itu diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi (PT) Palembang menjadi:1. Asnawi divonis bebas.2. Muchsin dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 6 bulan kurungan.3. Imron divonis bebas.4. Djupni divonis bebas.5. Sjaifuddin dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari penuntut kasasi Muchsin,” demikian amar putusan yang diketok oleh ketua majelis Prof Oemar Seno Adji dengan anggota DH Lumbanradja dan Busthanul Arifin. Oemar Seno Adji belakangan terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) 1974-1982.Adapun panitera pengganti pada putusan kasasi yang diketok pada 14 Mei 1974 itu adalah Karlinah P Soebroto. Berikut alasan majelis menolak kasasi tersebut:Mengenai Keberatan ke-1:
Bahwa keberatan ini tidak dapat diterima karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan dan putusannya sudah tepat. Oleh sebab itu diputuskan dan dituduhkan adalah tindak pidana korupsi yang diancam Pasal 16, 17 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960. Sedangkan Pasal 16,17 tersebut menunjuk pada Pasal 1 ayat 1 dan b.Mengenai Keberatan ke-2:Bahwa keberatan ini juga tidak dapat diterima oleh karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya dan putusannya sudah tepat. Oleh sebab yang dijadikan dasar penuntutan dan putusan adalah pasal 16 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960 yang tidak menunjuk bagi pemidanaannya kepada pasal 1 ayat d.Mengenai Keberatan ke-3:Bahwa keberatan ini juga tidak dapat diterima karena ancaman hukumannya adalah hukuman penjara dan/atau denda. Jadi pasal tersebut selain daripada memberikan kepada hakim untuk memilih antara hukuman tersebut, hakim dapat pula memberikan hukuman yang kumulatif sifatnya ialah hukuman badan dan denda.

Begini Penampakan Toga Hakim di Era Penjajahan Belanda di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 09:00:23

Sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah berdiri. Termasuk di antaranya hakim sudah eksis. Lalu bagaimana penampakan toga hakim kala itu?Foto tampak sidang 'Landraad' di Indramayu pada tahun 1920-an yang sedang mengadili seorang penduduk pribumi yang diketuai oleh Regent van Indramajoe. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.Toga atau jubah untuk hakim adalah atribut wajib yang harus dikenakan hakim selama proses pengadilan. Di Indonesia sendiri, aturan mengenai atribut hakim ini bahkan sudah tertulis dalam undang-undang.Jubah hakim adalah salah satu perlengkapan wajib dalam pengadilan yang memiliki aturan tersendiri. Jika sekarang warna jubah hakim identik dengan merah dan hitam. Pada masa lalu, di masa kolonial Hindia Belanda, pengadilan negeri bernama landraad ("dewan negeri"). Warna jubah hakim didominasi berwarna Hitam. Doc. Henri Edmund Boissevain, hakim Bangil pada tahun 1924Setelah Indonesia merdeka, istilah Landraad diganti dengan istilah Pengadilan Negeri atribut toga hakim tetap berwana hitam di seluruh pakaiannya masih dikenakan hakim pada kala itu, kemudian dengan berjalannya waktu toga yang kita kenakan sekarang tertuang dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang aturan berpakaian bagi hakim dalam persidangan. Pada pasal tersebut tercantum aturan bahwa hakim beserta staff wajib memakai pakaian yang lengkap dalam persidangan, yakni toga, simare dan juga bef dan warna jubah hakim berwarna merah dan hitam untuk pengadilan negeri.

Banyak yang Belum Tahu! Ternyata Pinjol Ilegal Bisa Diberantas Pakai Aturan Zaman Belanda Ini

article | History Law | 2025-03-08 08:30:09

Jakarta- Pinjaman dengan bunga mencekik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kini bermetamorfosis menjadi pinjaman online (pinjol) ilegal. Lalu apakah aturan zaman Belanda terhadap praktik serupa itu masih bisa dipakai saat ini?Dalam perkembangan sosial masyarakat Indonesia saat ini, banyak masyarakat terjerat praktik lintah darat yang identik dengan pinjaman online (pinjol). Karakteristik utama dari pinjaman tersebut adalah suku bunga yang sangat tinggi dan memberatkan. Meskipun masyarakat sudah mengetahui besarnya bunga sejak awal, desakan ekonomi serta kemudahan pencairan tanpa agunan membuat banyak orang tergiur untuk mengajukan pinjaman.Praktik lintah darat atau pinjaman online (pinjol) ini sering kali berujung pada sengketa hukum yang dibawa ke pengadilan. Bunga yang tidak wajar dan jauh melebihi jumlah pinjaman pokok menyebabkan banyak peminjam kesulitan untuk melunasi utang mereka. Namun, terdapat peraturan warisan zaman kolonial Belanda yang masih berlaku hingga saat ini dan dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam menangani kasus semacam ini.Dengan menerapkan aturan tersebut, hakim dapat berperan dalam menegakkan keadilan serta melindungi masyarakat dari praktik lintah darat yang merugikan.Tim Dandapala akan menerangkan dalam berbagai fakta- fakta singkat yaitu:1. Lahir Di Tengah Paceklik Ekonomi Di Zaman KolonialPada tahun 1916 terjadi terjadi depresi ekonomi. Wilayah Hindia–Belanda, mengalami penurunan harga hasil pertanian banyak penduduk Hindia – Belanda yang bekerja di sektor pertanian, mengalami keadaan terdesak secara ekonomi. Banyak penduduk Hindia – Belanda yang bekerja di sektor pertanian, mengalami keadaan terdesak secara ekonomi. Keadaan tersebut menimbulkan permasalahan ekonomi baru, pihak debitur (yang dirugikan) justru semakin sulit memenuhi kebutuhannya. Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Woeker Besluit sebagai instrumen hukum untuk melindungi kepentingan penduduk Hindia – Belanda. Pemanfaatan keadaan terhadap pihak lain yang berada dalam keadaan terdesak, dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak patut. Dalam perkembangannya Woeker Besluit dirubah menjadi Woeker Ordonnantie 1938. 2. Berisi Aturan Tentang Riba / Praktek Rentenir (Lintah Darat)Pada tahun 1938 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Woeker Ordonnantie 1938. Woeker secara bahasa memiliki arti sebagai “riba”. ribasendiri memiliki makna keuntungan yang tidak sah, bunga yang tidak layak tingginya yang diminta dengan menyalahgunakan keadaan seseorang yang sangat membutuhkan uang.Pasal 2 : Woeker Ordonnantie 1938Ayat (1) Bilamana antara kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian sejak permulaan terdapat perbedaan mengenai nilai yang demikian rupa dan dihubungkan dengan keadaan ketimpangan antara kewajiban-kewajiban itu melampaui kewajaran, atas permohonan pihak yang dirugikan atau juga karena jabatannya, Hakim dapat meringankan kewajiban para pihak atau menyatakan batal perjanjian itu, kecuali dapat diterima akal (itikad baik subjektif) bahwa pihak yang dirugikan telah menyadari sepenuhnya akibat perikatan yang diadakannya, kecuali dia telah bertindak tidak dalam keadaan gegabah, tidak dalam keadaan takut atau keadaan darurat.”Ayat (2) Pembuktian dengan saksi diperkenankan dalam segala hal.Ayat (3)Sebelum mengambil keputusan seperti dimaksud dalam ayat (1), Hakim membuka peluang (memberikan kesempatan) bagi para pihak untuk berbicara apa adanya (menerangkan) tentang keadaan-keadaan hingga dapat dibenarkan adanya ketimpangan-ketimpangan yang mencolok (tidak wajar/ tidak patut) antara kewajiban-kewajiban para pihak.Ayat (4) Bilamana Hakim mengambil keputusan seperti dimaksud dalam ayat (1), ia harus juga mengatur berdasarkan keadilan akibat-akibatnya bagi kedua belah pihak (berdasarkan kepatutan), dengan pengertian bahwa dalam hal pembatalan perjanjiannya, para pihak sedapat mungkin dikembalikan ke keadaan seperti semula mereka berada sebelum mengadakan perjanjian.3. Dibuat Untuk Tujuan Melindungi Masyarakat dari Bunga Selangit.Tujuan Woeker Ordonnantie Woeker Ordonnantie melindungi pihak yang secara ekonomis dan / atau Psikis lemah dari penyalahgunaan keadaan oleh pihak lawan janjinya.  Dalam arti Kelemahan Ekonomis tersebut berupa Terdesak secara ekonomi (darurat), sedangkan Kelemahan secara psikis tersebut berupa Ceroboh / gegabah dan Kekurang pengetahuan / pengalaman terhadap objek perjanjian;4. Syaratnya Ada Ketimpangan Prestasi.Penyalahgunaan keadaan yang mengakibatkan ketimpangan yang luar biasa antara prestasi dengan kontra prestasi para pihak, sehingga pelaksanaan perjanjian menjadi tidak wajar / tidak patut. Syaratnya, ketimpangan prestasi dan kontra prestasi antara para pihak, serta keadaan lemah (secara ekonomis / psikis) tersebut sudah ada pada saat perjanjian ditutup, dan keadaan tersebut harus diketahui atau sepatutnya diketahui (itikad baik subjektif) oleh lawan janjinya.5. Hakim dapat Mengurangi Jumlah Bunga Hingga Batalkan Perjanjian.a.  Hakim dalam memeriksa perkara yang terdapat ketimpangan prestasi yang luar biasa antara para pihak, harus memperhatikan ukuran kepatutan atau kelayakan dalam tiap-tiap perkara, tidak dapat diberikan pedoman secara umum.b.   Hakim harus menilai, apakah nilai prestasi dalam perjanjian tersebut masih layak untuk dikurangi, sehingga selanjutnya setelah dilakukan pengurangan nilai prestasi dalam perjanjian tersebut, perjanjian yang bersangkutan akan menjadi layak atau patut untuk tetap dilaksanakan.c.    Apabila tingkat prestasi yang timpang sedemikian besar luar biasa tersebut, sudah tidak memungkinkan untuk dikurangi lagi maka terhadap perjanjian yang demikian Hakim sepatutnya membatalkan perjanjian tersebut.d.    Hakim melalui Woeker Ordonnantie, diberikan kewenangan untuk masuk ke ranah privat, bahkan dapat melebihi apa yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian timbal balik. Tetapi untuk dapat memperoleh kewenangan tersebut, terlebih dahulu harus ada pihak yang mengajukan perkara itu ke Pengadilan.6.Masih Berlaku Hingga KiniAturan tersebut masih berlaku karena secara tegas belum dicabut oleh Pemerintah Indonesia dan pada Pasal II Aturan Peralihan U.U.D. 1945 (saat ini Pasal I Aturan Peralihan U.U.D. 1945) mengatakan : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”Berdasarkan kaidah hukum aturan peralihan tersebut, maka seluruh kaidah hukum yang sudah ada dan masih ada (berlaku) pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, demi hukum menjadi bagian dari tata hukum Negara Republik Indonesia.7. Sering Dipakai Hakim, Berikut Ini Contoh Kasusnya.Ketentuan tersebut pernah digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu pada perkara nomor Nomor 1/Pdt.G.S/2024/PN Kfm dalam menangani perkara gugatan sederhana wanprestasi yang pada pokoknya kreditur menagih hutang pada debitur yang telah jatuh tempo. Namun setelah dilihat bahwa bunga yang dibebankan terlalu tinggi. Hakim melihat hal tersebut kemudian menggunakan ketentuan Woeker-Ordonnantie  tersebut dalam memutus bunga yang sewajarnya.Dalam pertimbangan putusan Nomor 1/Pdt.G.S/2024/PN Kfm yang menyatakan bahwa Hakim menilai dalam perkara aquo ada ketidakseimbangan yang sangat menyolok antara prestasi dan kontra prestasi ada penyalahgunaan atas kecerobohan, kekurang pengalaman dan keadaan terdesak pihak Tergugat dan Pihak Pengugat mendapatkan keuntungan yang luar biasa melampaui nilai prestasinya sendiri. sehinga Hakim secara arif dan bijaksana dengan berlandaskan asas kepatutan dan keadilan akan mengubah ketentuan mengenai bunga. Hakim mengubah besaran bunga berlandaskan obyektifitas dan kepatutan akan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia Rate pada bulan April 2024 yaitu pada angka 6,25% pertahun atau 0,52% perbulan.(disarikan dari FGD Bulanan Forum Kajian Dunia Peradilan pada tanggal 14 Oktober 2023)

Soekardjo Wirjopranoto, Dari Hakim, Pejuang Kemerdekaan hingga Dubes RI untuk PBB

article | History Law | 2025-03-06 19:25:07

Jakarta- Raden Soekardjo Wirjopranoto menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Dubes RI untuk PBB saat sidang perebutan Papua dari Belanda. Siapa nyana, Soekardjo ternyata mempunyai latar belakang hakim Landraad (Pengadilan Negeri).Hal itu sebagaimana DANDAPALA kutip dari Buku ‘Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia’, Jumat (6/3/2025). Buku itu diterbitkan Depdikbud tahun 1993. Soekardjo Wirjopranoto lahir pada 5 Juni 1903 dan merupakan anak mandor Staatsspoor (Jawatan Kereta Api). Masa kecil hingga besar ia habiskan di tempat kelahirannya, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah.Sekolahnya dimulai di Europasche Lagere School (ELS) di Kota Cilacap. Ia bisa sekolah di ELS karena kakek Soekardjo Wirjopranoto adalah pegawai Keraton Surakarta. Soekardjo Wirjopranoto lalu menempuh ujian Klein Ambtenaar Examen, yaitu tamatan HIS yang ingin bekerja sebaagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.Pada 1917, Soekardjo Wirjopranoto lulus ELS dan melanjutkan sekolah di Rechtschool di Jakarta. Soekardjo Wirjopranoto juga mahir bermain musik dan kerap mengadakan pertunjukan di sekolahnya.Pada 1923, Soekardjo Wirjopranoto selesai menempuh pendidikan di Rechtschool. Ia kembali ke kampung halamannya sebagai pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.Tiga tahun setelahnya, Soekardjo Wirjopranoto pindah tugas ke PN Magelang. Namun hanya 10 hari dinas di PN Magelang. Pangkalnya, ia berselisih dengan Ketua PN Magelang yang orang Belanda. Selisih itu bermula saat Ketua PN Magelang itu menuduh Soekardjo Wirjopranoto tidak menganggukan kepala saat berpapasan. Soekardjo Wirjopranoto tidak terima dengan tuduhan itu."Kalau tuan tidak percaya, istri saya boleh dipanggil. Bahkan waktu itu istri saya bertanya, mengapa saya menghormat Tuan?" kisah Soekardjo Wirjopranoto.Akhirnya Soekardjo Wirjopranoto pidah tugas di Landraad Lumajang. Pada 1929, Soekardjo Wirjopranoto dipromosikan menjadi hakim anggota majelis (lid Van de Landraad) di Landraad Malang. “Sebagai anggota majelis hakim, Soekardjo Wirjopranoto bekerja sangat tekun dan teliti, dan walaupun pangkatnya tetap tinggi tetapi ia tidak sombong.Dalam menilai orang lain ia selalu menghubungkan dengan dirinya. Ia pun menyadari bahwa sebagai pegawai negeri, harus bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, yakni pemerintah yang menjajah negerinya. “Untuk itu ia selalu memikirkan nasib rakyatnya yang sedang dijajah, bahkan dengan keadaannya sekarang ia tidak bebas bergerak. Karena itu setelah masa dinas di Pengadilan Negeri berakhir, ia mengajukan permohonan untuk ke luar dari dinas pemerintahan. Permohonannya itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,” kisahnya.Usai melepas toga hakim, Soekardjo Wirjopranoto menjadi advokat dengan mendirikan kantor hukum ‘Wijnoe’. Dengan profesi baru ini, Soekardjo Wirjopranoto semakin bisa bebas bergerak membela kebenaran dengan turun langsung membela rakyat.“Kalau dulu sebagai anggota Majelis Hakim Soekardjo menjatuhkan vonis atau hukuman, maka selaku pengacara Soekardjo berdiri di hadapan hakim untuk membela rakyat yang lemah dalam mempertahankan kebenaran.”Tidak hanya sebagai advokat,  Soekardjo Wirjopranoto masuk gelanggang politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia memimpin Boedi Oetomo cabang Malang.“Pada tahun 1931 Soekardjo diangkat menjadi anggota Volksraad mewakili Boedi Oetomo. Untuk keperluan tugasnya ia bertempat tinggal di Jakarta. Sesekali ia menengok keluarganya di Malang,” kisahnya.Di Volksraad, ia bergabung di Fraksi Nasional bersama-sama Moehammad Hoesni Thamrin, R. Oto Iskandar Di Nata, R. Pandji Soeroso, Mochtar bin Prabu, Abdoel Rasjid, Jahja, Wiwoho, Soangkoepoen, dan Moehammad Noor.  Di luar Volksraad, Soekardjo juga aktif di dunia pers. Pada 1941, ia menjabat pemimpin surat kabar Berita Oemoem di Jakarta. Dalam permulaan masa pendudukan Jepang, Soekardjo menjabat pemimpin surat kabar Asia Raya. Ia juga menjabat anggota panitia Adat dan Tata Negara, di samping menjadi anggota Tjhuo Sangi-in. Pandangan Soekardjo soal kemerdekaan pers dapat dilihat dari sikapnya yaitu:. . . . . . Pers dengan pergerakan rakjat itoe , tidak boleh dipandang ringan sebagai bahasa jang satoe dengan jang lain mempoenjai perhoeboengan djalan sadja, akan tetapi didalam hakekatnja Pers dengan pergerakan rakjat itoe adalah satoe badan belaka. Maka soedahlah mendjadi kewadjiban kita kaoem pergerakan seoemoemnja oentoek berdaja oepaja sekeras-kerasnja dengan segala kekoeatan dan kepandaian jang ada pada kita oentoek melawan Oendang-Oendang jang menjempitkan kemerdekaan Pers itoe. Hanja Pers jang ada ditangan kaoem pergerakan sadja jang dapat menjoearakan soeara ‘Indonesia Merdeka’.Lewat berbagai kegiatan selepas keluar dari hakim, Soekardjo Wirjopranoto terus melakukan langkah-langkah politik agar Indonesia merdeka.  Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia menjadi jubir negara. Pada 1950, Soekardjo diangkat sebagai Dubes RI untuk Vatikan dan Italia. 7 Tahun setelahnya, ia menjadi Dubes RI untuk RRC dan tiga tahun setelahnya menjadi Dubes RI untuk PBB dengan agenda tunggal memasukkan Irian ke Republik Indonesia. Tugasnya itu diemban dengan sempurna hingga Papua masuk menjadi wilayah Republik pada 15 Agustus 1962.Namun dua bulan setelahnya atau 23 Oktober 1962, Sukardjo mendapat serangan jantung dan meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, beberapa hari setelahnya.

Operasi Kikis, Ini 7 Langkah Ketua MA Mudjono Kurangi Tunggakan Perkara

article | History Law | 2025-03-06 09:55:04

Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., dalam laporan tahunan 2025 melaporkan bahwa dari jumlah keseluruhan perkara yang diminutasi dan dikirim ke pengadilan pengaju yaitu 31.162 perkara, sebanyak 30.070 perkara diantaranya diselesaikan dalam tenggang waktu kurang dari 3 bulan atau 96,50%. Ketepatan waktu minutasi perkara tahun 2024 meningkat 6,18% dari tahun 2023 yang berjumlah 90,32%. Capaian ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah Mahkamah Agung. Keberhasilan Mahkamah Agung saat ini merupakan buah dari jalan panjang upaya Mahkamah Agung dalam menyelesaikan tunggakan perkara.Bila kembali ke sejarah, sebenarnya pada awal tahun 1980an, Mahkamah Agung mengalami tunggakan perkara sebesar 10.425 perkara. Menurut catatan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dalam bukunya Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, jumlah tersebut merupakan peningkatan tunggakan perkara 3 kali lipat, dimana di akhir tahun 1970an, tunggakan perkara masih sekitar 2.914 perkara.Atas permasalahan tunggakan perkara tersebut, Ketua Mahkamah Agung Mudjono yang baru menjabat saat itu, mengatakan kepada Majalah Tempo edisi 1 Agustus 1981, “ayam mengeram boleh ditunggu. Tapi bila perkara mengeram, sampai kapan boleh ditunggu?.” Mudjono, yang berlatar belakang militer, sampai menyatakan bahwa jika diperkenankan, Ia akan membawa tank dan buldoser untuk membereskan tunggakan perkara di Mahkamah Agung.Menurut Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung menuliskan bahwa permasalahan tunggakan perkara tersebut mendorong Mudjono yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung sejak 18 Februari 1981 hingga 14 April 1984, membuat terobosan yang dinamakan sebagai Operasi Kikis, atau OPSKIS. Dalam perspektif OPSKIS, beban kerja, terutama tunggakan perkara, harus diatasi dengan peningkatan jumlah personel dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 mengenai organisasi internal Mahkamah Agung. OPSKIS terdiri dari tiga perubahan besar: peningkatan jumlah hakim Mahkamah Agung hingga tiga kali lipat, pembuatan struktur hierarkis dan pembentukan struktur baru pembidangan berdasarkan garis-garis yurisdiksional.Secara rinci, Sebastiaan Pompe mencatat terobosan Operasi Kikis Mudjono sebagai berikut:Pertama, penambahan jumlah hakim agung. Saat awal Mudjono menjabat, Hakim Agung saat itu masih berjumlah 17 hakim agung. Kemudian setelah 15 bulan menjabat, jumlah hakim agung bertambah menjadi 24 hakim agung. Penambahan hakim agung ini belum mengubah secara signifikan kondisi tunggakan perkara di MA. Mudjono kembali menginginkan penambahan jumlah hakim agung. Sebelum genap 1 tahun Ia menjabat, jumlah hakim agung kembali bertambah menjadi 51 Hakim Agung.Kedua, membuat jabatan Ketua Muda. Mudjono meresmikan jabatan ketua muda untuk mendelegasikan tugas dan kewenangan Ketua Mahkamah Agung. Untuk menangani tunggakan perkara, 3 ketua muda ditunjuk khusus untuk menangani: satu untuk hukum perdata tertulis, satu untuk hukum perdata tak tertulis (adat), dan satu untuk hukum pidana.Ketiga, membuat konsep Rapat Pimpinan dan Rapat Pleno. Kepemimpinan kolegial Mahkamah Agung membuat rapat mingguan dalam sebuah “rapat pimpinan” (Rapim). Rapat pimpinan yang terdiri dari ketua Mahkamah Agung, wakil ketua, dan enam ketua muda merupakan organisasi pembuat kebijakan paling penting di Mahkamah Agung. Selain fungsi manajemen, rapim juga dibuat untuk memastikan penerapan undang-undang dengan seragam. Sedangkan rapat pleno dapat dibuat jika terdapat perdebatan diantara para ketua dan para ketua tersebut dapat membawa masalah penting ke sidang pleno untuk diperdebatkan.Keempat, pembuatan Tim dan Bidang. Penambahan jumlah Hakim Agung pada tahun 1982 memungkinkan Mudjono merekonstruksi tim penanganan perkara Mahkamah Agung. Para hakim dibagi menjadi ke dalam delapan tim, dipimpin oleh semua ketua. Nama tim tersebut diurutkan sesuai abjad dari A sampai H yaitu: Alap-alap, Buraq, Cendrawasih, Dadali, Elang, Falcon, Garuda, Hantu, masing-masing huruf mewakili nama burung Indonesia . Kemudian tim tersebut dibagi lagi ke dalam bidang-bidang, masing-masing satu untuk ketua dan wakil ketua, dan satu atau dua untuk masing-masing ketua muda.  Kelima, membuat Sistem Kuota. Tujuan utama pembaruan Opskis yang dibuat oleh Mudjono adalah penyelesaian tunggakan perkara. Program ini juga memberlakukan kuota minimum per bulan untuk masing-masing bidang. Perkara-perkara dibagikan kepada masing-masing tim tanpa memperhitungkan pengembangan keahlian hukum masing-masing. Perkara pidana biasanya dianggap perkara yang mudah dan merupakan cara untuk mencapai target yang tinggi. Hakim agung yang memiliki keahlian perdata banyak menerima perkara perdata, meskipun juga menangani perkara pidana. Spesialisasi hakim agung saat itu hanya berlaku untuk sejumlah kecil perkara agama dan militer, tidak untuk perkara perdata dan pidana yang merupakan beban kerja Mahkamah Agung.Keenam, membuat sistem pengawasan yaitu Hakim Pengawas Mahkamah Agung untuk daerah. Hakim Agung baru yang diangkat pada 1981 ditunjuk menjadi pengawas Pengadilan Tinggi. Para hakim agung yang ditunjuk sebagai pengawas secara berkala akan mengunjungi daerah kerja, dengan perjalanan yang dibiayai pemerintah. Hakim pengawas daerah tersebut merupakan hal penting dan berpengaruh bagi pimpinan Mahkamah Agung dalam urusan manajemen sumber daya manusia.Ketujuh, mengenalkan konsep asisten Hakim Agung dan pembatasan waktu penanganan perkara. Para hakim agung untuk menyelesaikan perkara dibantu para asisten hakim agung. Para asisten tersebut dipersiapkan untuk menangani administrasi maupun teknis peradilan dan diangkat dari hakim-hakim di daerah. Mudjono juga membuat target dan pembatasan waktu penanganan perkara di Mahkamah Agung. Target penanganan perkara adalah lima puluh perkara yang dikerjakan setiap tim per bulan.  Sedangkan jangka waktu penanganan perkara di Mahkamah Agung adalah 1 bulan.Operasi Kikis Mudjono ini cukup efektif karena pada akhir jabatan Mudjono tunggakan perkara di MA hampir tidak ada. Selain karena kontribusi dari program OPSKIS, Mudjono sendiri merupakan pribadi yang tekun bekerja. Dalam obituarinya di Majalah Tempo 21 April 1984, Mudjono kerap masih bergelut dengan pekerjaannya sampai dini hari dan paginya pada pukul 07.00 secara mengejutkan Ia sudah ada kembali di ruangannya. Pada tahun 1984, Mudjono melaporkan kepada Presiden bahwa tunggakan perkara di Mahkamah Agung sudah diselesaikan. Ia meninggal dunia beberapa pekan kemudian tepatnya pada 14 April 1984. 

5 Fakta yang Jarang Diketahui dari Wakil Ketua MA R Satochid Kartanegara

article | History Law | 2025-03-06 09:25:10

Jakarta- Meski tidak setenar tokoh politik kemerdekaan, nama R Satochid Kartanegara cukup melegenda di kalangan praktisi hukum, khususnya dunia peradilan. Satochid Kartanegara yang menduduki puncak karier sebagi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) itu ternyata memiliki sejumlah fakta yang jarang diketahui nan patut dijadikan keteladanan.Berikut 5 fakta seputar Satochid Kartanegara sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Kamis (6/3/2025). Fakta ini dikumpulkan dari buku ‘Prof Dr Satochid Kartanegara SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya’ yang ditulis Poliman. Buku ini diterbitkan oleh Depdikbud, Juni 1981.:1. SederhanaSatochid lahir pada 21 Januari 1899. Ayahnya seorang Bupati Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng) kala itu, Kadis Kartanegara. Namun, saat Satochid berusia 3 tahun, ayahnya wafat di usia 40 tahun.Selapas ayahnya wafat, Satochid diboyong ibunya ke kampung halamannya di Banyumas, Jawa Tengah. Untuk kehidupan sehari-hari, kehidupan Satochid dan saudara-saudaranya, dibantu pamannya, Pangeran Ganda Subroto.Sejak kecil, Satochid terbiasa hidup priyatin. Seperti saat kuliah di Leiden, Belanda, Satochid serius belajar dan tidak sempat untuk menikmati wisata di seputaran Belanda. Alhasil, Satochid sangat berhemat dan serius kuliah.“Satochid tak pernah beliau berpesta-pesta maupun pergi berlibur ke negeri tetangga seperti halnya yang dilakukan oleh kawan-kawan Indonesia lainnya.”Tabungannya sebagai hakim hanya cukup membeli kapal untuk berangkat ke Belanda. “Lima tahun menjadi hakim, tabungannya hanya cukup membeli ongkos naik kapal ke Belanda,” kisahnya.2. Tetap HumbleMeski anak priyadi dan dibesarkan di lingkungan bangsawan, Satochid menjadi lelaki yang tetap humble/rendah hati. Sejak kecil, ia gemar melucu dengan teman-temannya, jujur dan sopan kepada siapa pun. Begitu juga saat beranjak dewasa.“Karena sifatnya yang tidak rendah diri dan terpuji kepada orang-orang Belanda, Satochid juga dapat menyamai kepandaian orang-orang Belanda dalam bidang ilmu pengetahun,” ujarnya.Setelah menjadi hakim agung dan mengajar di Universitas Indonesia (UI), ia juga dekat dengan para mahasiswanya. “R Satochid Kartanegara mudah dikenal dan cepat akarab dengan mahasiswa-mahasiswanya. Pelajaran yang beliau berikan mudah pula dimengerti, sehingga pelajaran yang beliau berikan itu berjalan dengan lancar.”3. Hakim Tiga ZamanSatochid menjadi salah satu hakim yang hidup di tiga zaman. Pertama zaman penjajahan Belanda, kedua zaman penjajahan Jepang dan ketiga zaman Kemerdekaan. Pengalaman lintas zaman itu membuatnya banyak makan asam garam dalam menggeluti hukum. Di zaman penjajahan Belanda, ia berdinas di Landraad Purbalingga, Surabaya, Malang dan Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi Ketua Landraad Jakarta dan Landraad Pontianak. Di zaman penjajah Jepang menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Dan di zaman kemerdekaan menjadi hakim agung/Wakil Ketua MA.“Setelah Bapak Kusumah Atmaja meninggal dunia, Satochid diangkat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung,” kisahnya.4. Teguh Menjaga IntegritasKeteladanan yang patut dicontoh lainnya adalah Satochid teguh menjaga integritasnya. Salah satunya saat ia menjadi Kepala Landraad (Pengadilan Negeri) Pontianak di zaman Belanda. Padahal dengan jabatan tersebut di era Belanda, peluang melakukan perbuatan koruptif sangatlah besar.Selama menjadi hakim, Satochid tidak luput dari cobaan dan godaan yang dapat dianggap menyelewengkan hukum. Seperti ditawari uang sogok, uang semir dan lain sebagainya.“Seorang tetangga telah mengirimkan makanan kepada ibu Satochid Kartanegara. Satochid saat tiba di rumah pulang dari kerja, dan mengerti dari mana datangnya kiriman itu, seketika itu pula memerintahkan istrinya untuk memulangkannya,” tulisnya.Istrinya pada waktu itu pula tidak tahu maksud dari suaminya. “Tetapi kemudian diketetahui duduk persoalannya, karena tetangga yang memberikan makanan adalah orang yang sedang kena perkara. Kebetulan Satochid yang akan memutuskan perkaranya di Pengadilan,” kisahnya.5. Akademisi UlungSatochid kerap ditawari masuk dunia politik oleh teman-temannya. Namun ia menolak secara halus dan memilih aktif mengajar di luar pekerjaanya di Mahkamah Agung.Satochid akif mengajar di berbagai kampus. Dengan belajar langsung ke Belanda awal abad ke-20, membuatnya menjadi ahli pidana dan ahli hukum acara pidana yang sangat mumpuni. Baik secara teori dan praktik.Satochid menjadi guru besar di bidang hukum di Universitas Indonesia dan PTIK. Selain juga aktif di berbagai kampus seperti Ketua Dewan Pengurus Universitas Krisnadwipayana dan Universitas Tarumanegara.Satochid tidak sempat membuat buku karena kesibukannya. Alasan lain, ia enggan membuat buku karena khawatir mahasiswanya tidak aktif kuliah lagi. Namun mahasiswanya berinisiatif mengumpulkan berbagai seri kumpulan kuliahnya menjadi buku dan kini menjadi buku bacaan wajib mahasiswa yang mengambil hukum pidana.Satochid juga ikut menggagas agar KUHP diperbaharui dan baru terwujud dengan lahirnya UU Nomor 1/2023, jauh setelah Satochid wafat pada 1971.

Arsip Pengadilan 1922: Malam-malam Napi Dikeluarkan Kalapas untuk Mencuri

article | History Law | 2025-03-01 17:30:45

Jakarta- Landraad, kini Pengadilan Negeri, menjadi salah satu saksi sejarah Indonesia pra kemerdekaan. Salah satunya soal kasus pencurian yang ternyata dilakukan oleh napi yang sedang mendekam di dalam penjara. Kok bisa?Hal ini terungkap dalam buku 'Kebebasan Hakim-Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman' karya Arbijoto seperti dikutip DANDAPALA, Sabtu (1/3/2025). Hakim agung 1998-2006 ini menceritakan kasus pencurian di Trenggalek, Jawa Timur (Jatim) yang diadili di Landraad setempat pada 1922.Dalam persidangan era kolonial ini, seorang saksi korban memberikan keterangan di bawah sumpah yaitu melihat pelaku mencuri di rumahnya. Kesaksiannya itu disampaikan di bawah sumpah Al Quran.Saksi korban mengaku melihat dengan jelas karena lampu petromak sangat terang. Apalagi, si pelaku juga teman satu desa pemilik rumah sehingga ingat muka pencuri tersebut.Tapi apa alibi terdakwa atas kesaksian itu?"Terdakwa lalu mengajukan alibi bahwa pada malam terjadinya pencurian, dia sedang berada di penjara Trenggalek," cerita Arbijoto dalam bukunya.Setelah dicek di sana-sini, pengakuan pencuri ini benar adanya. Menurut catatan jaksa setempat, pelaku saat kejadian sedang di dalam penjara karena sedang menjalani masa hukuman untuk kasus lain.Akhirnya, alibi terdakwa itu diamini oleh majelis hakim. Akhirnya sang pencuri divonis bebas. Lalu bagaimana dengan saksi korban/pemilik rumah? Apes! Si saksi korban giliran duduk di kursi pesakitan dengan delik 'sumpah palsu'.Atas fakta yang bertentangan itu maka majelis hakim yang harus membongkar apakah kesaksian korban yang benar atau alibi pencuri yang salah. Setelah melalui persidangan pelik, dalam sidang  kasus ’sumpah palsu' terungkap fakta yang menggemparkan.Ternyata di pencuri dikeluarkan malam-malam oleh Kepala Penjara untuk mencuri."Terdakwa pencurian pada malam kejadian sengaja dikeluarkan oleh Kepala Penjara dengan suatu perjanjian bahwa pada jam 20.00 WIB hingga jam 05.00 WIB, terdakwa diperkenankan keluar rumah penjara untuk menjalankan pencurian yang hasilnya dibagi di antara kedua orang itu," kisah Arbijoto.Akhirnya si pencuri tidak jadi bebas, dan pemilik rumah lolos dari tuduhan sumpah palsu. Sementara Kepala Penjara harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Arsip 1986: Kartu Advokat Adnan Buyung Nasution Dibekukan Gegara Protes Sidang

article | History Law | 2025-02-28 16:40:06

Jakarta- Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pernah dibekukan kartu advokatnya oleh pengadilan pada 1986. Pangkalnya, ia protes saat hakim sedang membacakan putusan. Bagaimana kisahnya?Kasus ini berawal ketika Adnan Buyung Nasution menjadi pembela terdakwa kasus subversi HR Dharsono. Di mana HR Dharsono yang merupakan seorang militer yang dituduh berkomplot dengan AM Fatwa yang melakukan pemboman gedung BCA di Jakarta. Latar belakang Dharsono yang cukup mentereng yakni mantan Panglima Kodam Siliwangi, Sekjen ASEAN dan Anggota Petisi 50 membuat kasus ini sempat menjadi perhatian seantero negeri.Sejak 8 Januari 1986 pagi, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sudah ramai dengan simpatisan Dharsono. Suasana ruang sidang juga dipadati media dan pendukung Darsono. Agenda hari itu adalah pembacaan putusan hakim dengan susunan majelis, Soedijono, sebagai hakim ketua, Ali Budiarto dan Achmad Intan,m sebagai hakim anggota. Pada saat Majelis Hakim membacakan putusan, Buyung tiba-tiba merasa tersinggung dengan uraian hakim di dalam pertimbangan putusan yang menyebutkan Buyung tidak etis. Serta merta Adnan Buyung berdiri dan menyambar pengeras suara. “Saya protes kata-kata Majelis itu – siapa yang tidak etis?”. Mendengar protes Buyung seketika massa yang ada di dalam ruang sidang menjadi semakin ricuh meneriaki hakim. Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif akhirnya hakim ketua Soedijono menghentikan pembacaan putusan dan menskor sidang saat itu. Perlu pembaca ketahui bahwa ruang sidang yang terletak di lantai tiga PN Jakpus itu sudah dipadati ratusan orang. Dharsono yang juga anggota petisi 50, menjadi magnet bagi para aktivis anti Orba dan mantan pejabat penting untuk hadir di ruang sidang. Di antaranya ada Ali Sadikin (mantab Gubernur Jakarta), Hoegeng Iman Santoso (Mantan Kapolri) dan anggota petisi 50 lainnya. Setelah hakim keluar dari ruang sidang, masuklah para petugas kepolisian untuk mengamankan suasana. Melihat hal ini kemudian Buyung mengusir polisi dengan mengatakan. “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!”.Kejadian ini kemudian oleh Soedijono dilaporkan kepada Ketua PN Jakpus. Seobandi yang kemudian diteruskan kepada induk badan peradilan yang waktu itu adalah Departemen Kehakiman. Merespon kejadian ini, pada 11 Mei 1986, Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan pembekuan atau pencabutan izin sementara Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara. Pencabutan izin ini berlaku selama satu tahun yang membuat Buyung tidak bisa beracara di seluruh pengadilan yang ada di Indonesia. Di dalam konsiderannya Adnan Buyung dianggap telah menghina atau merendahkan martabat lembaga peradilan. Selain itu Menkeh dalam jumpa pers juga menyatakan “Menteri Kehakiman yang mengangkat (sumpah) dan memberhentikan advokat, jadi yang berwenang menjatuhkan tindak administrasi adalah Menteri Kehakiman”.Tidak tinggal diam Adnan Buyung sempat menggugat SK Menteri Kehakiman tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Buyung mendalilkan perbuatan Menkeh Ismail Saleh merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berdasar. Oleh sebab itu Buyung meminta agar Menkeh dinyatakan PMH, membayar ganti rugi sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) dan merehabilitasi nama baik serta kehormatan Buyung sebagai advokat. Dalam perkara gugatan ini Menkeh diwakili oleh dua pengacara yang juga guru besar yakni Prof Oemar Senoadji dan Prof Sudargo Gautama. Menurut dua begawan hukum ini, tindakan Menkeh Ismail Saleh sudah benar. Keputusan Menkeh masih dalam kewenangannya dalam mengawasi penasihat hukum(advokat). Wewenang ini lahir dari UU Mahkamah Agung dan Peradilan Umum yang identik dengan pengawasan advokat yang sudah ada sejak era Rechtelijke Organisatie yang berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848. Selain itu kasus Adnan Buyung ini tidak termasuk perkara pidana ataupun perdata, melainkan perkara administratif. Majelis Hakim yang saat itu diketuai Sakir Ardiwinata serta hakim anggota Reni Retnowati dan LO Siahaan dalam putusan menyatakan bahwa skorsing Buyung sudah dilakukan dengan proses administrasi yang baik. Hal ini sebab sudah melalui proses panjang termasuk meminta keterangan dari Organisasi Advokat IKADIN. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Dewan Kehormatan IKADIN juga sudah menyatakan bahwa perbuatan Buyung melanggar kode etik advokat. Pada akhirnya gugatan Buyung dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim dan ia dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 47.500,00(empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Arsip Pengadilan Den Haag 1928: Gemuruh Pledoi Bung Hatta Indonesie Vrij

article | History Law | 2025-02-28 09:20:28

Jakarta- Sebentar lagi umat muslim di dunia akan memasuki bulan Ramadhan. Muslim memaknai Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan dan pengampunan dari sang pencipta. Namun Ramadhan bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai moment yang dirayakan umat Islam, akan tetapi banyak sejarah Indonesia lahir pada bulan tersebut,.Sebagai contoh Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tepat bersamaan dengan Ramadhan, 1364 Hijriah. Demikian juga upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda ke 1 di tahun 1947, tepat pada bulan Ramadhan 1366 Hijriah.Selain dua peristiwa tersebut, ada satu catatan sejarah nasional yang lahir bersamaan dengan bulan Ramadhan. Tinta sejarah bangsa Indonesia tersebut, berupa penyampaian cita-cita Indonesia Merdeka oleh cendikiawan muda Bumiputra di ruang sidang Pengadilan Den Haag, Belanda, tahun 1928. Bahkan cita-cita tentang tanah nusantara yang merdeka, menjadi sorotan dunia karena disampaikan pada persidangan yang terbuka oleh terpelajar yang didakwakan melakukan perbuatan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Intelektual muda yang lantang menyampaikan tanah Indonesia yang merdeka di ruang sidang Pengadilan Den Haag tersebut adalah Drs. Mohammad Hatta (kelak menjadi Wakil Presiden RI pertama) seorang pelajar Bumiputera yang saat itu menempuh pendidikan di negeri Kincir Angin. Aktivitasnya sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeeniging) di Belanda bersama dengan Mr. Ali Sastroamidjojo (kelak salah satu Perdana Menteri RI), Mr. Mohammad Nazir Pamoentjak (kelak duta besar Indonesia untuk beberapa negara asing), Sutan Sjahrir (kelak Perdana Menteri RI Pertama), Iwa Koesoema Soemantri (menteri era orde lama dan Rektor pertama Unpad)  dan beberapa tokoh nasional lainnya. Selain menyelesaikan pendidikannya, Mohammad Hatta aktif melakukan pergerakan dan penyuaraan kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan kritik terhadap kolonialisme di tanah Hindia Belanda serta menerangkan kondisi rakyat tanah jajahan yang menderita akibat perbuatan semena-mena penjajah Belanda, kritiknya disampaikan baik secara lisan dalam berbagai forum atau pertemuan yang dihadirinya maupun melalui tulisan di berbagai media kabar internasional dalam beberapa Bahasa, membuatnya berurusan dengan penegak hukum di negeri Belanda. Salah satu tulisannya, yang memberikan tamparan kepada penjajah dan membuka mata dunia terhadap kolonialisme di Belanda yakni mengenai ketidakadilan penetapan harga sewa tanah rakyat bumiputera yang digunakan untuk perkebunan milik orang Belanda. Tulisannya tersebut dimuat Majalah Hindia Poetra, tahun 1923.Puncaknya Mohammad Hatta menjadi orator dalam pertemuan Konfrensi Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan, di Kota Gland Swiss. Mohammad Hatta memaparkan orasi menggunakan bahasa Prancis dengan judul L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Problematika Kemerdekaan). Penyampaian orasi tersebut, berdampingan dengan Pandit Jawaharlal Nehru tokoh nasional India (kelak menjadi Perdana Menteri India) Tahun 1947. Tepat setelah pulang dari Konfrensi Wanita Internasional dimaksud, Mohammad Hatta ditangkap bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamoentjak dan Abdul Majid Djojodiningrah, selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Kerajaan Belanda.Mohammad Hatta dan rekan-rekannya, akhirnya dihadapkan pertama ke persidangan di Pengadilan Den Haag, Belanda tanggal 8 Maret 1928 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta didampingi oleh Mr. Duys seorang pengacara yang juga anggota DPR Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat Mr. Mobach dan Mr. Weber.Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta dituntut 3 tahun penjara oleh Penuntut Umum (opsir justisi). Terhadap tuntutan tersebut, di mana Mohammad Hatta menyampaikan nota pembelaan dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Pembelaan tersebut, bukan hanya berisikan kemarahan atas penjajahan Belanda, akan tetapi memaparkan perjuangan rakyat Hindia Belanda untuk menggapai kemerdekaannya. Demikian juga Mohammad Hatta, menyakini cepat atau lambat bangsa Indonesia yang terjajah akan merebut kemerdekaanya karena itulah hukum sejarah dunia. Selain itu, disampaikan bahwa yang dilakukan Mohammad Hatta bukanlah tindakan kriminal, melainkan untuk membela keyakinan dan cita-cita tentang negeri Indonesia yang merdeka dan diakhir pembelaannya Hatta menyampaikan kata-kata Rene de Clerq yang fenomenal “Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku”. Setelah menyampaikan pembelaannya, dimana Tim Penasihat Hukum menyampaikan kembali pembelaan dari segi hukumnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kerajaan Belanda.Persidangan dan pembelaan Mohammad Hatta tersebut, membukakan mata dunia akan cita-cita dan perjuangan suatu bangsa jajahan yang terletak di ujung Asia meraih kemerdekaan. Satu hari sebelum hari raya Idul Fitri tanggal 22 Maret 1928, Mohammad Hatta dan tiga orang sahabatnya divonis bebas dari dakwaan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Putusan bebas atas Mohammad Hatta tersebut, merupakan bentuk penghargaan atas kebebasan berpendapat dan beraktivitas atau berorganisasi secara bebas sebagaimana Konstitusi Kerajaan Belanda. Namun kebebasan berpendapat tersebut, tidak ada di negeri-negeri jajahan Belanda, seperti Indonesia. Contohnya 2 tahun setelah peristiwa persidangan Mohammad Hatta, dkk di Den Haag, Belanda, Ir Soekarno dihadapkan ke persidangan pada tahun 1930. Dalam persidangan tersebut, dikenal pembelaan Ir. Soekarno yang menggelegar, berjudul Indonesia Menggugat. Demikian juga, Mohammad Hatta setelah pulang dari Belanda ditangkap oleh Kepolisian Hindia Belanda, tahun 1934 dan menjalani pembuangan bersama Sutan Sjahrir di Boven Digul, Papua.

Arsip Pengadilan 2010: Korupsi BBM Rp 6 M, Kepala Depot Pertamina Dibui 4 Tahun

article | History Law | 2025-02-27 12:10:46

Jakarta- Kepala Depot PT Pertamina Persero Maos Cilacap Pertamina UPMS IV Budi Darmawan dihukum 4 tahun penjara karena korupsi. Modusnya yaitu mengalihkan BBM subsidi sehingga negara merugi Rp 6,6 miliar.Hal itu tertuang dalam salinan putusan kasasi Nomor 1683 K/Pid.Sus/2009 yang dikutip DANDAPALA, Kamis (27/2/2025). Kasus itu terjadi pada 2001 saat ia menjadi Kepala depot Pertamina Sorong.Di mana seharusnya BBM disalurkan ke PT Satria Saka Perdana yang akan diteruskan ke 41 kapal nelayan. Namun kenyatannya disalurkan ke Kapal MT Top dan MT Yoto. “Bahwa kegiatan mengalihkan BBM Solar ke kapal-kapal asing yang dilakukan oleh Yoseph Renyut dan Yudistira, diketahui dengan Terdakwa yang pada saat itu menduduki jabatan sebagai Kepala Depot Pertamina Sorong, tetapi Terdakwa tidak mencegah atau tindakan bahkan Terdakwa sempat mengawasi penyaluran BBM Solar bersama dengan Agus Putranto Gambar selaku Petugas Pengawas penerimaan, penimbunan dan penya- luran, selain itu Terdakwa meminta agar proses bungker tersebut dialihkan ke kapal MT Yoto dan kapal MT Top,” demikian urai Penuntut Umum dalam dakwannya.Akibatnya, negara merugi hingga Rp 6,6 miliar sebagaimana audit BPKP Papua pada 24 Oktober 2005. Atas perbuatannya, Budi Darmawan diproses hingga pengadilan.Pada 6 Agustus 2007, Budi Darmawan dinyatakan bersalah berbuat korupsi dan dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta dan subsidair 6 bulan kurungan. Putusan itu dikuatan di tingkat banding pada 2 April 2008. Masih tidak terima, Budi Darmawan mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut,” demikain bunyi amar kasasi yang diketok oleh ketua majelis Mansyur Kartayasa dengan anggota Imam Harijadi dan Timur Manurung pada 22 Juni 2010.Mengapa MA menolak kasasi Budi? MA beralasan, argumen kasasi tidak dapat dibenarkan judex facti tidak salah menerapkan hukum karena sudah tepat dalam pertimbangan hukum dan putusannya. ‘Terdakwa selaku Kepala Depot Pertamina telah melakukan korupsi dalam penyaluran BBM ke kepal MT Yoto dan MT. Top padahal seharusnya ke kapal-kapal nelayan milik PT Satria sebanyak 41 kapal,” ucap majelis dengan panitera pengganti Emilia Djajasubagia.

PN Pekalongan: Tahun 1920 Landraad, Kini Pengadilan Plus Cagar Budaya

article | History Law | 2025-02-27 09:45:01

Pekalongan - Landraad adalah lembaga peradilan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada abad ke-19. Lembaga ini berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama yang menangani perkara perdata dan pidana bagi penduduk pribumi serta golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, Arab, dan India). Landraad diperkenalkan sebagai bagian dari sistem hukum kolonial yang membedakan antara hukum untuk orang Eropa dan hukum untuk pribumi.Sebelum Landraad dibentuk, peradilan di Nusantara banyak dipengaruhi oleh hukum adat dan sistem peradilan kerajaan. Namun, setelah Belanda menguasai wilayah ini, mereka menerapkan sistem hukum yang menyerupai hukum di Eropa, tetapi tetap mempertimbangkan keberadaan hukum adat. Oleh karena itu, Landraad menjadi perwujudan dari peradilan modern yang berusaha mengintegrasikan hukum Belanda dengan hukum lokal. Landraad berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama bagi masyarakat pribumi dan non-Eropa, sedangkan orang Eropa tunduk pada Raad van Justitie (Pengadilan Negeri untuk orang Eropa). Dalam persidangan di Landraad, hakim ketua biasanya adalah seorang Belanda, sementara hakim anggota lainnya bisa berasal dari kalangan pribumi yang memahami hukum adat setempat. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem peradilan kolonial mulai dihapuskan dan digantikan dengan sistem hukum nasional. Landraad resmi dihapuskan pada tahun 1946 melalui perubahan sistem peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. Peran Landraad kemudian digantikan oleh Pengadilan Negeri, yang berlaku untuk semua golongan penduduk tanpa diskriminasi ras atau status sosial.Landraad merupakan bagian dari sejarah peradilan Indonesia yang menggambarkan bagaimana hukum kolonial diterapkan di Hindia Belanda. Di Jawa Tengah, banyak Landraad yang kemudian bertransformasi menjadi Pengadilan Negeri (PN) yang masih beroperasi hingga kini terutama di Pekalongan. Meskipun sistemnya telah dihapus, warisan sejarah Landraad tetap terasa, terutama melalui bangunan cagar budaya yang dulunya merupakan pengadilan kolonial.Bangunan Cagar Budaya adalah bangunan yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, atau estetika yang penting dan dilindungi oleh undang-undang. Bangunan ini merupakan bagian dari Cagar Budaya, yang mencakup benda, struktur, situs, atau kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah dan kebudayaan suatu bangsa.Di Indonesia, status cagar budaya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang menyebutkan bahwa bangunan cagar budaya harus dijaga kelestariannya dan tidak boleh diubah atau dihancurkan sembarangan.Sebuah bangunan dapat dikategorikan sebagai cagar budaya jika memenuhi beberapa kriteria berikut:1. Berusia minimal 50 tahun atau memiliki nilai penting dalam sejarah.2. Mempunyai arti khusus dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, atau sosial.3. Memiliki keunikan arsitektur atau teknik konstruksi yang mencerminkan suatu periode tertentu.4. Berhubungan dengan peristiwa atau tokoh penting dalam sejarah.PN PekalonganSalah satunya PN Pekalongan yang memiliki sejarah panjang bermula sejak masa penjajahan Belanda. Berdiri pada tahun 1920 dengan nama Landraad, pengadilan ini menjadi salah satu lembaga peradilan yang menangani berbagai perkara di wilayah Pekalongan pada masa kolonial. Seiring berjalannya waktu, lembaga ini mengalami berbagai perkembangan hingga akhirnya menjadi PN Pekalongan seperti yang dikenal saat ini. Gedung pengadilan ini berdiri di atas lahan seluas 6.175 m², yang berlokasi di Jalan Cendrawasih No. 2, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan.Foto Pengadilan Negeri Pekalongan Tahun 1983Sebagai salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda, gedung PN Pekalongan telah mengalami berbagai perubahan dan renovasi. Meskipun demikian, statusnya sebagai bangunan cagar budaya membuat bagian utama gedung tetap dipertahankan tanpa perubahan atau penambahan. Untuk mendukung operasional pengadilan yang semakin berkembang, dilakukan penambahan dua bangunan baru berupa ruang sidang di bagian barat dan timur. Saat ini, pengadilan ini memiliki empat ruang sidang utama serta satu ruang sidang khusus untuk anak, yang dirancang untuk memberikan fasilitas yang lebih baik dalam proses peradilan.Dalam sistem peradilan di Indonesia, PN Pekalongan kini dikategorikan sebagai Pengadilan Negeri Klas IB. Pengadilan ini memiliki cakupan wilayah hukum yang meliputi dua daerah administratif, yaitu Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Dengan cakupan wilayah yang cukup luas, pengadilan ini memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dan memberikan pelayanan peradilan bagi masyarakat di wilayahnya.Seiring dengan perkembangan zaman, PN Pekalongan terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan hukum dan peradilan. Meskipun bangunan utamanya tetap dipertahankan sebagai cagar budaya, pengadilan ini terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan sistem peradilan modern. Dengan tetap menjaga nilai historisnya sekaligus mengembangkan sistem yang lebih efisien, PN Pekalongan diharapkan dapat terus memberikan keadilan bagi masyarakat serta menjaga warisan sejarah yang telah ada sejak zaman kolonial.

Arsip Pengadilan 1928: 7 Fakta Sadisnya Pembunuhan 7 Orang Sekeluarga di NTT

article | History Law | 2025-02-26 20:50:37

Larantuka- 97 tahun lalu, terjadi kasus pembunuhan sadis nan biadab pernah terjadi di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Satu keluarga yang berjumlah 5 orang dibunuh secara kejam oleh satu orang. Arsip pengadilan menceritakan secara detail.Berikut 5 fakta yang dikutip dari salinan putusan pengadilan sebagaimana dihimpun DANDAPALA, Rabu (26/2/2025):1. Raja di Flores Timur Jadi HakimSaat itu Larantuka masih dipimpin oleh seorang raja yang bernama A.B.de Rozari dan pengadilan di bawah pemerintahan Belanda baru saja terbentuk, setidaknya beberapa tahun sebelumnya. Kisah ini diambil dari arsip berkas perkara dari Pengadilan Negeri Larantuka yang bersampul “No. 23/1928  Raad Van Landshoofden te Larantoeka”.  Di beberapa buku sejarah tentang kota Larantuka salah satunya yang ditulis oleh Felix Fernandez (Bupati Flores Timur 2000-2005), pengadilan di Larantuka dikenal dengan nama pengadilan Swapradja. Sewaktu Belanda datang pengadilan ini diberi nama Raad Van Landshoofden atau RVL. Uniknya di tempat lain, contohnya di Kalimantan RVL ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikhususkan untuk mereka bangsa timur asing atau Tionghoa.Kenapa Felix menjelaskan bahwa pengadilan sebagai swapradja ? karena waktu itu hakim-hakim yang bertugas adalah para raja yang menguasi wilayah Kabupaten Flores Timur. Kita kembali kepada kasus No. 23/1928, duduk sebagai majelis hakim:Voorzitter: A.B.de Rozari radja van LarantoekaLeden: Kapitan Poera radja van TrongGorang Solang kapitan van Lewo ToloAdviseur: Bapa Ana kapitan van AdoenaraLeider: W.J.Houwing fd Controleur van Oost Flores2. Didakwa Membunuh 7 Orang SekeluargaBelang Tewololong dkk dituduh dengan Pasal 340 WvS. Yaitu pada suatu hari sekitar pukul 08.00 pagi dalam bulan Februari tahun 1927, tanggal pastinya sudah tidak diingat lagi, dengan sengaja dan direncanakan sebelumnya telah menghilangkan nyawa Doea Basa dan istrinya, Somi Nogo, serta tiga anaknya yang bernama Kasihan Doea, Dai Doea, dan Ola Does, yang berada di ladang milik Doea Basa di bagian Kampung Lemaniat, Gemeente, dan landschap Adonara. Selain itu, terdakwa juga membunuh dua anak lainnya, yakni Killa Doea dan Lesoe Doea, di dekat pohon-pohon nira milik Doea Basa di sekitar ladangnya, yang juga terletak di bagian Kampung Lamaniat, Gemeente, Adonara.3. Alasan Membunuh: Sihir (Soeanggi)Di muka persidangan diperiksa lima orang saksi yang bernama Saksi Waleng Boli, Saksi Bastian Dian, Saksi Mello Fernandez dan Saksi Kopong Barek. Dari pemeriksaan hakim menyimpulkan telah memperoleh fakta hukum:Terdakwa Belang Tewololong pada suatu pagi di bulan Februari 1927, pada tanggal yang tidak lagi diketahui, telah memanggil anggota keluarganya, yaitu Bala Tewololong, Hering Tewololong, Bela Sengadji, dan Kene Ola Laba, ke rumah kecilnya di luar kampung Lamaniat. Di sana, ia memberi tahu mereka bahwa Doca Basa beserta istri dan anak-anaknya pasti menjadi penyebab kematian istrinya. Hal ini karena pada pagi hari saat istrinya mengalami persalinan yang sangat sulit, Terdakwa Belang Tewololong telah menampar wajah Somi Nogo karena ia telah mencuri jagungnya. Dengan kata lain, Terdakwa percara bahwa istrinya telah disihir (Soeanggi) oleh keluarga Somi Nogo tersebut, sehingga istrinya meninggal dunia tiga hari setelah melahirkan.Setelah kejadian itu, Belang Tewololong membujuk para terdakwa lainnya untuk membunuh seluruh keluarga Soeanggi tersebut. Para terdakwa lainnya, yang percaya bahwa keluarga itu adalah penyebabnya, menerima usul tersebut dan bersama Belang Tewololong pergi ke rumah ladang Doca Basa, masing-masing membawa parang. 4. Pembunuhan yang Sadis Nan BiadabSesampainya di lokasi kejadian, Belang Tewololong dan Bala Sengadji memasuki rumah ladang Doca Basa, sementara Bala Tewololong, Hering Tewololong, dan Kene Ola Laba berjaga di luar rumah.Setelah masuk, Belang Tewololong langsung menebas leher Somi Nogo dengan parangnya hingga hampir putus, sehingga wanita tersebut langsung meninggal dunia. Pada saat yang bersamaan, Bala Sengadji menebas leher Doca Basa dengan parangnya hingga kepalanya terpenggal sepenuhnya.Sementara itu, tiga anak kecil yang juga berada di dalam rumah melarikan diri ke luar. Namun, Hering Tewololong mengejar dan langsung menebas punggung anak bernama Kasihan Doea, sehingga anak tersebut langsung tewas. Pada saat yang sama, Bala Tewololong menebas leher anak bernama Emi Doea, yang juga langsung meninggal dunia. Kene Ola Laba menebas leher anak bernama Ola Doea hingga kepalanya terpenggal.Terdakwa mengetahui bahwa Doca Basa memiliki lima orang anak, sehingga mereka mencari dua anak lainnya. Akhirnya, mereka menemukan kedua anak tersebut di dekat pohon-pohon milik Doca Basa. Hering Tewololong, yang paling cepat berlari untuk menangkap salah satu anak, menebas punggung anak bernama Kia Doea hingga anak itu langsung meninggal. Secara bersamaan, Bala Sengadji menebas pinggul kiri anak bernama Lesos Doen hingga mengenai tulang belakangnya, menyebabkan anak tersebut langsung tewas.5. Korban Dimakamkan PelakuLima hari kemudian, para terdakwa menguburkan mayat-mayat tersebut. Jasad Doca Basa, Somi Nogo, Kasihan Doea, Emi Doea, dan Ola Doea dikuburkan dalam satu lubang di dekat rumah ladang mereka, sedangkan Kia Doea dan Lesos Doea dikuburkan di lubang lain di dekat pohon-pohon milik Doca Basa.6. Pertimbangan HakimMenimbang bahwa dari pengakuan para terdakwa dapat dipastikan adanya unsur kesengajaan dan perencanaan, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pembunuhan. Namun, sebagai faktor yang meringankan, harus diperhitungkan keyakinan kuat para terdakwa terhadap keberadaan Soeanggi (sihir), sebagaimana diyakini oleh seluruh penduduk di pulau-pulau ini.7. Amar PutusanBerdasarkan adat yang berlaku, dalam kasus seperti ini, para terdakwa sebenarnya tidak akan dituntut atas pembunuhan terhadap Soeanggi (sihir), tetapi atas pelanggaran terhadap adat. Sebab, adat telah menetapkan bahwa Soeanggi (sihir) harus dipindahkan ke pulau lain dalam wilayah ini, bukan dibunuh. Oleh karena itu, para terdakwa dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup ke pulau lain dalam wilayah ini.

Mengenal Kusumah Atmaja Ketua MA Pertama yang Disegani Presiden Soekarno

article | History Law | 2025-02-25 12:45:47

Jakarta- Jika kita berjalan di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), tampak sebuah patung yang seolah menjadi simbol MA. Banyak yang mengetahui patung tersebut adalah Ketua MA pertama, Prof Dr Kusumah Atmaja SH. Namun banyak yang tidak mengetahui keteladanannya. Kusumah Atmaja lahir di Purwakarta, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Kusumah Atmaja memperoleh gelar diploma dari Rechtsschool pada tahun 1913. Kariernya di dunia pengadilan dimulai sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun 1919, Kusumah Atmaja melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda dan mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid pada tahun 1922. Kembali ke Hindia Belanda, beliau dipercaya menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia dan setelahnya diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu. Pada masa penjajahan Jepang, Kusumah Atmaja pernah menjabat Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang, Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang. Kusumah Atmaja kemudian menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, selama 7 tahun, sejak tahun 1945 sampai wafat pada tahun 1952. (Lembaga Kajian dan Independensi Peradilan, 2016)Tantangan Selama Jadi Ketua MAKusumah Atmaja selaku Ketua MA pertama menghadapi tantangan-tantangan zaman Revolusi. Di mana masih belum ada kejelasan tugas dan kewenangan MA. Namun demikian, keteguhan hati Kusumah Atmaja dalam memegang prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, membuat Presiden Soekarno segan kepadanya. Daniel S. Lev dalam wawancara dengan Tempo pada November 1989, mengatakan bahwa akan sulit menemukan kembali figur seperti Kusumah Atmaja di dunia pengadilan.Sebastiaan Pompe, Penulis Buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat sebuah insiden pada tahun 1951 ketika Kusumah Atmaja, dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan, tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya. Sebagai pemegang prinsip tentang pentingnya martabat kelembagaan MA, Kusumah Atmaja marah dan mengancam akan meninggalkan jamuan jika tidak diberi tempat sesuai dengan martabat jabatannya, yaitu tepat di sebelah Presiden.   Sebastiaan Pompe memandang insiden ini penting untuk para hakim dalam berjuang untuk mendapatkan perlakuan hormat bagi jabatan mereka. Pada saat awal kemerdekaan tersebut, para pemimpin politik Indonesia tidak menerima begitu saja kedudukan dan peran MA dan dalam kenyataannya MA mendapat sikap diremehkan.  Dalam penanganan perkara, MA mendapat tekanan dari Presiden yaitu pada perkara percobaan kudeta Sudarsono dan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Berdasarkan penelusuran Tempo dan Sebastiaan Pompe, percobaan kudeta tersebut gagal dan tokoh-tokohnya yang terlibat diadili. Beberapa Terdakwa memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soekarno dan ada dugaan bahwa Soekarno menekan agar MA bersikap lunak. Meskipun demikian, Ketua MA Kusumah Atmaja menentang tekanan ini, serta mengancam akan mundur dari jabatannya kalau Soekarno berkeras. Bahkan dalam tiga pertimbangan putusannya, Kusumah Atmaja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa MA adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.  Akhirnya pada 27 Mei 1984, Kusumah Atmaja memvonis 18 bulan penjara untuk Sudarsono dan kawan-kawan. Dari sisi internal MA, Kusumah Atmaja menghadapi tantangan tuduhan korupsi. MA nyaris memecat salah seorang Hakim Agung pada awal 1950-an, ketika terdapat dugaan kuat bahwa salah seorang Hakim Agung terlibat korupsi. Meskipun baru dugaan korupsi saja, hal tersebut sudah cukup membuat Kusumah Atmaja untuk membentuk sebuah tim komite, yang menyertakan pihak luar, untuk menyelidiki masalah tersebut. Dalam pandangannya, integritas kelembagaan sedemikian penting hingga harus ditopang dengan pengawasan publik. Dugaan korupsi tersebut timbul karena perkara penyelundupan yang ditangani Hakim Agung tersebut, di mana ia diperkirakan memberi saran kepada presiden menyangkut amnesti. Kusumah Atmaja sangat keras dan tegas dalam menangani korupsi dan menegaskan bahwa semua hakim agung harus mutlak bersih. Ia melarang Hakim Agung tersebut memasuki gedung Mahkamah Agung dan melarangnya bertugas sebagai hakim sampai masalahnya selesai. Hakim Agung tersebut pun akhirnya hanya berdiam di rumah, dan tidak bekerja. Namun akhirnya, kasus dugaan korupsi Hakim Agung tersebut menguap, terutama karena Ketua MA Kusumah Atmaja, yang menangani masalah itu dengan tegas, keburu wafat.Prinsip integritas dan independensi ini dipegang teguh oleh Kusumah Atmaja meskipun dihimpit persoalan ekonomi. Dalam catatan Sebastiaan Pompe, Kusumah Atmaja, pada tahun 1949 digambarkan sangat miskin dan hanya bisa bertahan dengan menjual harta benda miliknya. Hal ini diperkuat oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. George McTurnan Kahin menyatakan bahwa meskipun Ketua MA Kusumah Atmaja, memperoleh gaji pegawai negeri sipil tertinggi, salah satu anaknya mulai menjadi buta karena kekurangan gizi akibat ketidakmampuan sang ayah membeli makanan yang cukup untuk keluarganya.

4 Fakta Sejarah Mahkamah Agung Yang Tidak Banyak Diketahui Orang

article | History Law | 2025-02-23 17:45:18

Sebelum merdeka, negara kita dijajah oleh Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang lembaga yudikatif dikenal dengan nama Badan Kehakiman Tertinggi yang disebut Saikoo Hooin, yang kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-Undang) Nomor 2 Tahun 1944, sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).Gambar Osamu Seirei (Undang-Undang) Nomor 2 tahun 1944Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti dengan diundangkannya konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945, eksistensi dari lembaga yudikatif di negara kita semakin kuat. Salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam UUD adalah Mahkamah Agung. Melalui pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung langsung diberikan kewenangan sebagai pemegang kekuasan kehakiman tertinggi. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, tempat kedudukan dari Mahkamah Agung selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Penetapan Pemerintah Nomor 9/S.D. Tahun 1946 yang isinya menunjuk Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia.Gambar: Gedung Mahkamah Agung tahun 1946, gedung bersejarah terletak di Jalan Lapangan Banteng Timur 1 JakartaSebagai sebuah lembaga negara yang sudah lama berdiri, terdapat 4 fakta sejarah Mahkamah Agung yang tidak diketahui banyak orang. Ingin tahu faktanya? Berikut kami uraikan:1.   Mahkamah Agung Pernah Berkedudukan di YogyakartaOleh karena situasi Jakarta yang tidak aman pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun 1946 ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Dengan berpindahnya ibu kota negara tersebut, maka kedudukan Mahkamah Agung ikut berpindah ke Yogyakarta sejak bulan Juli 1946 dan kembali lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950.2.   Pernah Ada 2 Pengadilan Tertinggi di Indonesia          Pada tanggal 12 Desember 1947 Pemerintah Belanda Federal mendirikan Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hooggerechtshof yang beralamat di Jalan Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta di samping istana Gubernur Jenderal yang sekarang adalah gedung Kementerian Keuangan. Pada saat yang bersamaan pula, Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan telah dipulihkannya kembali kedaulatan Republik Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat), maka pekerjaan Hooggerechtshof, diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai satu-satunya Badan Peradilan Tertinggi. Pada tanggal 1 Januari 1950, para anggota Hooggerechtshof dan Procureur General meletakkan jabatan masing-masing dan menyerahkan pekerjaannya termasuk gedung dan personil kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang saat itu dipimpin oleh Dr. Mr. Kusumah Atmadja.Gambar: Lukisan Gedung Hooggerechtshof Hindia Belanda, berdampingan dengan Istana Gubernur Jenderal di Batavia, 1828.3.   Kejaksaan Agung Pernah Berada Satu Atap Dengan Mahkamah Agung di bawah Departemen KehakimanPada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya menetapkan pembentukan 12 (dua belas) Departemen di Republik Indonesia termasuk di dalamnya Departemen Kehakiman. Adapun tugas yang diemban oleh Departemen Kehakiman mencakup hal-hal mengenai Pengadilan, Penjara, Kejaksaan dan Kadaster.Dengan kewenangan yang luas, yang dimiliki Departemen Kehakiman tersebut, menjadikan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung saat itu berada satu atap di bawah Departemen Kehakiman. Tak heran jika dulu Kejaksaan Agung disebut dengan Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung dan Kejaksaan Negeri disebut dengan Kejaksaan Pengadilan NegeriNamun dengan lahirnya Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, maka Kejaksaan Agung memisahkan diri dari Mahkamah Agung.4.   Para Pejabat Mahkamah Agung Dulu Diberikan Pangkat TitulerBerdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1946 Tentang Pemberian Pangkat Militer Kepada Ketua, Wakil Ketua, Anggota-Anggota Mahkamah Tentara Agung, Jaksa Tentara Dan Panitera Mahkamah Tentara, para pejabat Mahkamah Agung saat itu diberikan pangkat militer tituler. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara. Adapun yang dimaksud dengan pangkat titular adalah suatu gelar atau pangkat yang diberikan kepada seseorang yang dibutuhkan untuk keperluan-keperluan bersifat sementara, yang diterima dalam rangka melakukan tugas yang berkaitan dengan gelar/pangkat yang diberikan.Gambar: Dr. Mr. Kusumah Atmadja (Ketua Mahkamah Agung Pertama) Sumber Referensi:Mahkamah Agung RI, Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1986https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesiahttps://kc.umn.ac.id/id/eprint/21204/4/BAB_II.pdfhttps://id.wikipedia.org/wiki/Titulerhttps://dandapala.com/article/detail/pengadilan-era-kolonial-belanda-dari-landraad-sampai-hooggerechtshof

Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan

article | History Law | 2025-02-22 09:00:55

Rakyat Indonesia kembali dihentakan dengan pemberitaan dari ruang persidangan. Pemberitaan tersebut adalah ketika dua oknum advokat mencaci maki hakim dengan sebutan koruptor di depan persidangan dan ada oknum advokat yang naik keatas meja sidang sambil mencaci maki lawan sidangnya. Kemudian merespon hal tersebut Mahkamah Agung menyatakan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court.Jika kita menilik kembali ke dalam sejarah Bangsa Indonesia, bahwa pernah ada suatu sidang yang kemudian dicatat sejarah sebagai persidangan yang fenomenal. Persidangan tersebut yang akan merubah sejarah bangsa Indonesia selama beratus- ratus tahun setelah dijajah Belanda. Dengan tensi yang jauh lebih luar biasa, sidang ini ini menjadi perhatian seantero negeri, namun Soekarno dan pembelanya tidak pernah menunjukkan rasa tidak hormat kepada hakim atau bahkan naik ke atas meja persidangan. Persidangan ini menjadi momentum perjuangan bangsa Indonesia yang beralih dari perjuangan fisik yang sarat akan kekerasan menjadi perjuangan intelektual yang mengedepankan argumen hukum dan intelektualitas.Pada 02 Desember 1930, Ir. Soekarno membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat di hadapan pengadilan kolonial Belanda (Landraad te Bandung). Pidato ini merupakan bentuk perlawanan intelektual terhadap tuduhan pemerintah Hindia Belanda yang menudingnya berupaya menggulingkan pemerintahan kolonial. Sebelumnya, Soekarno telah ditahan selama delapan bulan di Penjara Banceuy, Bandung, sebelum akhirnya disidangkan di Gedung Landraad.Naskah pidato Indonesia Menggugat ditulis Soekarno selama dalam tahanan. Dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis bersama Cindy Adams, Soekarno mengisahkan bahwa ia menulis pidato tersebut di atas kertas dengan beralaskan kaleng tempat buang air kecil di dalam selnya. Pidato ini kemudian menjadi salah satu dokumen perjuangan yang menggambarkan ketidakadilan kolonialisme dan menyuarakan semangat nasionalisme.Persidangan dan Tuduhan Pemerintah KolonialGambar: Ruang sidang tempat Ir. Soekarno membacakan pledoinyaSoekarno diadili bersama tiga rekannya dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Supriadinata. Mereka dituduh menyebarkan kebencian serta mengancam stabilitas pemerintahan kolonial. Persidangan ini menarik perhatian luas, bahkan berita tentang rencana pengadilan terhadap Soekarno telah dimuat di berbagai surat kabar pada 16 Juni 1930.Dalam sidang tersebut, Soekarno dan rekan-rekannya didampingi oleh pengacara-pengacara terkemuka saat itu, di antaranya Mr. Sartono, Mr. Sastro Mulyono dari Tegal, Mr. Suyudi dari Yogyakarta, dan Idi Prawiradiputra dari Garut, yang juga anggota Volksraad. Pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan Soekarno mengguncang pemerintah Hindia Belanda karena mengungkap kebobrokan sistem kolonialisme yang menindas rakyat Indonesia.Belanda, yang diwakili oleh jaksa R. Soemadisoerja, menggunakan Pasal 169 bis dan Pasal 153 bis Wetboek van Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai artikelen (penyebaran kebencian terhadap penguasa) untuk menjerat Soekarno dan rekan-rekannya. Mereka dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan dan propaganda di Fikiran Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Setelah drama pengadilan Soekarno yang fenomenal, bisa dikatakan Landraad tidak lagi menyidangkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.Gambar: Potongan Koran Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad kasus penangkapan Ir. Soekarno diberitakan sampai ke negeri Belanda, 04 Desember 1930 Pada 22 Desember 1930, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Mr. R. Siegerbeek van Heukelom menjatuhkan hukuman: Soekarno: 4 tahun penjara, Gatot Mangkupraja: 2 tahun penjara, Maskun Sumadireja: 1 tahun 8 bulan penjara dan Supriadinata: 1 tahun 3 bulan penjara (dipotong masa tahanan). Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah kolonial berusaha membungkam gerakan nasionalisme yang semakin berkembang di Indonesia.Gambar: Masyarakat Bandung Memadati Gedung Landraad pada saat pembacaan putusan Ir. SoekarnoSebagai PengingatGedung Landraad, tempat persidangan Soekarno berlangsung, kini dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Bangunan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 5, Bandung, ini awalnya merupakan rumah tinggal warga Belanda yang dibangun pada 1907. Sejak 1917, bangunan ini dialihfungsikan sebagai pengadilan kolonial (Landraad) dan menjadi tempat persidangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Saat ini, Gedung Indonesia Menggugat telah menjadi tempat wisata sejarah yang terbuka untuk umum. Dengan arsitektur khas indis dan halaman yang luas serta pohon beringin rindang, gedung ini tetap terawat dan menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia.Gambar: Kondisi Terkini Gedung Indonesia Menggugat, Dok. Kelihat.com Pidato Indonesia Menggugat merupakan warisan intelektual dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Gedung Indonesia Menggugat menjadi saksi bisu keberanian Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur hukum.  Selain itu pula Bangsa Indonesia dapat mengingat kembali bahwa persidangan adalah suatu prosesi yang sakral. Dalam situasi yang sakral tersebut tentunya tindakan penghinaan terhadap persidangan (contempt of court) menjadi suatu yang sangat dilarang. Dalam persidangan tersebut Bangsa Indonesia dapat belajar tentang bagaimana menghormati nilai keadilan dan kepada Bangsa itu sendiri.Hingga kini, pledoi ini tetap relevan sebagai inspirasi bagi generasi penerus dalam memahami kesakralan ruang sidang, nilai-nilai nasionalisme dan keadilan.Berikut Isi pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesië Klaagt Aan” atau Indonesia Menggugat (1930):Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan, tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom?Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun.Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hak-hak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya secara peri kemanusiaan tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan.Satu-satunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada gedung-gedung pertemuan dan surat-surat kabar umum.Tidak pernah kami melanggar batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pernah kami mencoba membentuk pasukan serdadu-serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme.Kami punya modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara-cara yang legal.Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda daripada itu.Kami mengetahui, bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan napas saja. Akan tetapi, kami masih saja dituduh, dikatakan 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 30'.Jikalau ini memang benar, penggeledahan massal yang tuan-tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan membuktikan satu tempat persembunyian senjata-senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisau pun yang dapat diketemukan.Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada sendjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom, dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap.Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan, dan itulah jang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.Baiklah, tentu orang akan bertanya, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?'Saya akan mendjawab: Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai.Mungkin djuga kapitalisme Barat akan runtuh. Mungkin juga, seperti sudah sering saja ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih.Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan pulau-pulau di Lautan Pasifik.Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan sanggup menahannya.Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami.Jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa pemimpin-pemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban.Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata.Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha-Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum-semerbak di atas pangkuan persadanya.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar-debar saya bersama-sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim!Gambar: Ir. Soekarno Berfoto di Depan Landraad BandungReferensi:Soekarno dan Adams, Cindy. 2018. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/08/193919879/isi-pidato-indonesia-menggugat?page=all.https://marinews.mahkamahagung.go.id/berita/tegas-ma-kecam-kegaduhan-di-sidang-pn-jakarta-utara-0bbhttps://www.hukumonline.com/berita/a/jejak-pledoi-fenomenal-bung-karnohttps://www.detik.com/jabar/budaya/d-6972096/bung-karno-dan-sakralnya-perjuangan-di-gedungindonesia-menggugathttps://www.delpher.nl/nl/kranten/viewquery=landraad+bandung+soekarno&coll=ddd&identifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:p00010&resultsidentifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:a00111&rowid=4

Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda

article | History Law | 2025-02-18 07:25:19

Pranata hukum tidaklah dapat dilepaskan dari sejarah. Ia tidak berdiri di ruang kosong, melainkan beranjak secara berkesinambungan dari konstelasi normatif sebelumnya. Demikian halnya sistem hukum Indonesia mewarisi karakteristik dari sistem hukum kontinental yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Baik kodifikasi hukum semacam Wetboek van Strafrecht, Burgerlijk Wetboek, maupun berbagai konsep yang akrab di telinga, seperti onrechtmatige daad, atau derden verzet, berasal dari khazanah hukum Belanda yang telah disesuaikan dalam tatanan hukum Indonesia.  Bagi pengemban profesi hukum, Hoge Raad atau Mahkamah Agung Belanda, juga tidaklah asing. Putusannya yang dikenal sebagai Arrest kerap dijadikan referensi. Begitu pun pimpinan Mahkamah Agung melakukan studi ke Hoge Raad Belanda untuk mempelajari sistem kamar di pucuk lembaga peradilan Belanda ini. Namun demikian, ada padanan Hoge Raad yang dulu pada masa kolonial pernah ada di Indonesia yang jarang terdengar gaungnya, yakni Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië. Pertama kali menjalankan fungsinya pada 1 Februari 1819, Hooggerechtshof menjadi lembaga peradilan tertinggi di Hindia Belanda sampai dengan kedatangan Jepang di Indonesia pada Maret 1942. Bagaimanakah cikal bakal lembaga ini dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari riwayat keberadaannya di nusantara?Berawal dari Upaya Mewujudkan Kemandirian PeradilanAlkisah, pada akhir abad ke-18, Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), yang menguasai wilayah nusantara selama hampir dua abad, menjadi ambyar karena merugi. Perang yang berkepanjangan dan korupsi mengakibatkan kinerjanya centang perenang. (Anne Doedens & Liek Mulder, De Memoires van Hendrik Breton ofwel de Duistere Zijde van de VOC, De Prom, Amsterdam, 2003, hlm. 24-27). Meskipun sempat adikuasa di awal berdirinya, maskapai multinasional pertama di dunia ini harus dibubarkan sehingga segala asetnya diambil negara Belanda, termasuk fungsi pemerintahan di nusantara. Urusan peradilan yang dijalankan VOC juga setali tiga uang. Sebagai maskapai dagang, penerapan hukum disesuaikan untuk memenuhi kepentingan dagang (J.La Bree, De Rechterlijke Organisatie en Rechtsbedeeleing te Batavia in de XVIIe Eeuw, Nijgh & Van Ditmar N.V., Rotterdam, 1951, hlm. 73). Meskipun terdapat prekursor lembaga peradilan seperti Raad van Justitie, Gubernur Jenderal tetap memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu mendirikan dewan peradilan tersendiri. Pada tahun 1609, Gubernur Jenderal bahkan memperoleh kewenangan mengurusi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga pemisahan kekuasaan praktis tidak dikenal pada era VOC (N.S. Efthymiou, De Organisatie van Regelgeving voor Nederlands Oost-Indië: Stelsels en Opvattingen (1602-1942), disertasi, Universiteit van Amsterdam, 2005, hlm. 51). Setelah VOC gulung tikar pada tahun 1795, pemerintah Belanda mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan. Pembahasan mengenai lembaga kehakiman turut menjadi perdebatan penting. Dirk van Hogendorp, seorang mantan pejabat tinggi kolonial, dalam laporannya pada 1799, menuliskan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang baik, dibutuhkan hakim yang melalui penggajian yang layak akan menjadi benar-benar terbebas dari pemerintah (Kees Briët, Het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië 1819-1848, Potret van een Vergeten Rechtscollege, Amsterdam University Press B.V., Amsterdam, 2015, hlm. 27-28).Usulan tersebut memantik diskusi hangat perihal lembaga kehakiman yang mandiri. Menarik bahwa lebih dari dua ratus tahun yang lalu, konsep independensi peradilan sudah digodok bahkan dalam tatanan kolonial sekali pun. Saat itu, komisi untuk mereformasi peradilan menyebutkan bahwa lembaga peradilan harus diatur secara terhormat sehingga pemerintah tidak dapat memengaruhinya (Kees Briët, 2015, hlm. 33).Demikian halnya dengan Hooggerechtshof, sebagai pucuk lembaga kehakiman, ia harus mendapatkan kepercayaan paripurna (absoluut vertrouwen) dari seluruh penduduk Hindia Belanda. Dalam kiasan puitis, perancang reformasi bahkan menuliskan: “Het moest met één woord, het Palladium der Gerechtigheid [zijn], in dat gedeelte der waereld”. (Dalam satu kata, lembaga ini harus menjadi Garda Keadilan di bagian dunia tersebut, Kees Briët, 2015, hlm. 35). Namun demikian, upaya reformasi terhenti pada tahun 1811 karena Belanda harus memberikan kekuasaannya kepada Inggris. Akan tetapi, keberadaan Inggris di nusantara hanya seumur jagung karena pada tahun 1814, kekuasaan dikembalikan lagi kepada Belanda yang menunjuk Komisaris Jenderal untuk merancang reformasi peradilan. Sayangnya, meskipun konstitusi Belanda tahun 1815 mencantumkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Komisaris Jenderal berpendapat bahwa independensi kekuasaan yudikatif tidak perlu diterapkan secara ketat di Hindia Belanda. Adapun kekuasaan kehakiman yang terlalu merdeka justru akan mencederai wibawa pemerintah kolonial di mata kawula pribumi (Kees Briët, 2015, hlm. 316). Prinsip ini dijadikan acuan dalam pendirian Hooggerechtshof sebagai lembaga kehakiman tertinggi di Hindia Belanda yang pada akhirnya ditetapkan oleh Komisaris Jenderal dalam keputusannya (Besluiten) tanggal 10 Januari 1819. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya terlihat dari kewenangan Gubernur Jenderal untuk memindahkan atau memberhentikan hakim apabila dianggapnya perlu (Kees Briët, 2015, hlm. 105). Prinsip ini terus dianut hingga dicantumkan dalam Staatsblad Nomor 23 tahun 1847 tentang Reglement op de Regterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie, yang menjadi landasan kekuasaan kehakiman di Hindia Belanda hingga Belanda pada akhirnya menyerahkan kekuasaan di Indonesia kepada Jepang pada tahun 1942.Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Tertinggi di Hindia BelandaPada awal berdirinya, Hooggerechtshof memiliki fungsi utama sebagai lembaga peradilan tertinggi, dan pengawas pelaksanaan peradilan yang baik. Fungsi sebagai pengadilan tertinggi, yang salah satunya disebut sebagai Revisie, memberikan kewenangan untuk mengurangi, atau membatalkan pemidanaan yang diputus pengadilan di bawahnya. Adapun fungsi ini sejatinya ditujukan sebagai sarana untuk memoderasi (verzachtend middel) penerapan hukum yang amburadul oleh pegawai administratif Belanda (Thermorshuizen-Arts Revisie en Herziening, De Continuïteit in de Indonesische Rechtspleging, Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde, 150, (1994), hlm. 341).Meskipun independensi peradilan tidak diterapkan konsekuen, pada perkembangannya prinsip ini tetap diusahakan untuk diimplementasikan. Pada tahun 1869, Menteri Koloni Belanda mengupayakan agar kewenangan pemerintah dalam peradilan pribumi diserahkan sepenuhnya kepada hakim profesional (C. Fasseur, De Indologen, Ambtenaren voor de Oost, 1825-1950, Uitgeverij Bert Bakker, Amsterdam, 1993, hlm. 240-241). Namun, sedikitnya petugas kehakiman yang memiliki kompetensi hukum membuat prinsip ini tidak dapat diterapkan. Pada tahun 1879 hanya terdapat tiga puluh sembilan sarjana hukum pada pengadilan pribumi. (C. Fasseur, 1993, hlm. 241). Dengan kata lain, pegawai administratif kolonial tetap memegang kendali dalam urusan peradilan.Dalam iklim semacam itu, keadaan ini tidak berarti kekuasaan kehakiman selalu diwarnai intervensi. Pada praktiknya, hakim Hooggerechtshof menjalankan fungsi yudisialnya dengan idealismenya tersendiri yang membuatnya bertentangan dengan kekuasaan kolonial (Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 339). Hooggerechtshof kerap menggunakan kewenangannya untuk melindungi penduduk pribumi dari penerapan hukum yang tidak layak oleh pegawai pemerintah. Uniknya, sikap hakim kolonial semacam ini membuat geram pengambil kebijakan di Belanda sehingga muncul usulan di Parlemen Belanda untuk membubarkan badan peradilan ini (R.H.T. Jansen, Het Hof is Dood, Leve het Hof! Over de Ontbinding en de Heroprichting van het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (1901), Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 185, 1, (2024), hlm.12). Lebih unik lagi, usulan ini diterima Parlemen Belanda sehingga Hooggerechtshof memang dibubarkan pada tanggal 24 Agustus 1901, tetapi didirikan kembali pada hari yang sama dengan pengurangan jumlah hakim dan pegawainya.Pengawas Pelaksanaan Peradilan Ada satu fungsi unik Hooggerechtshof yang bahkan tidak dikenal di Hoge Raad Belanda, yakni pengawasan dengan surat edaran. Pasal 157 Staatsblad Nomor 23 tahun 1847 tentang Reglement op de Regterlijke Organisatie memberikan fungsi pengawasan terhadap setiap bentuk peradilan kolonial melalui edaran (rondgaande brieven) yang disebut circulaire. Surat edaran ini dapat mencakup petunjuk dalam mengisi kekosongan hukum, ataupun penafsiran kaidah hukum tertentu. Berbeda dengan Hoge Raad di Belanda, karakteristik peradilan di Hindia Belanda menuntut adanya kontrol yang lebih ketat dari Hooggerechtshof terhadap pengadilan yang lebih rendah (PH. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indië, De Bussy, Amsterdam, 1933, hlm. 273). Kewenangan pengawasan ini memainkan peran penting hingga disebut sebagai “wetgeving per circulaire”, atau pembentukan undang-undang melalui surat edaran (Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 338). Keberadaan circulaire sesungguhnya serupa dengan kewenangan Mahkamah Agung saat ini dalam memberikan pengaturan atau petunjuk terhadap hal yang diperlukan untuk kelancaran jalannya peradilan dalam berbagai SEMA dan PERMA. Thermorshuizen-Arts menyebut kewenangan semacam ini merupakan sebuah kewenangan yang bahkan tidak akan berani dimimpikan sekalipun oleh Hoge Raad Belanda (waarvan de Nederlandse Hoge Raad niet zou durven dromen, Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 336).Gedung lama Hooggerechtshof yang sempat ditempati Mahkamah Agung (1980)Sumber: collectie.wereldmuseum.nlLembaga Kehakiman yang TerlupakanHooggerechtshof terus menjalankan fungsinya hingga Belanda angkat kaki dari Indonesia setelah kalah dari Jepang pada tahun 1942. Setelah perang dunia usai, Belanda, yang berusaha menancapkan kembali kukunya di nusantara, sempat mendirikan kembali lembaga ini pada tahun 1947 (Hanneke van Katwijk & Albert Dekker, Nederlands-Indische Jurisprudentie, Register op de Geannoteerde Rechtspraak in het Indisch Tijdschrift van het Recht en de Mededelingen van het Documentatiebureau voor Overzees Recht, KITLV Uitgeverij, Leiden, 1993, hlm. 24). Namun, penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949 menjadi penanda definitif berakhirnya riwayat keberadaan Hooggerechtshof sebagai badan peradilan tertinggi kolonial di Indonesia.Demikian sejarah singkat pendahulu Mahkamah Agung ini. Pada hakikatnya, Hooggerechtshof dapat dibilang lahir sebagai bentuk upaya memisahkan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan kehakiman di masa kolonial. Penelaahan terhadap sejarahnya mengajarkan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prinsip universal yang tidak lekang oleh waktu, bahkan dalam konteks kolonial sekalipun. Meskipun prinsip ini tidak berhasil diwujudkan sepenuhnya, namun Hooggerechtshof tetap berupaya mewujudkan fungsinya sebagai pucuk lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan pemerintah. Dengan cara demikian, Hooggerechtshof sejatinya telah memberikan warna tersendiri dalam khazanah sejarah hukum Indonesia yang masih sedikit diketahui orang. Penelusuran lebih lanjut terhadap sejarah lembaga ini, sesungguhnya menarik, namun masih kurang dilakukan. Sayangnya, putusan atau pun arsip yang berhubungan dengan Hooggerechtshof yang mungkin masih tersimpan di Jakarta sudah musnah dimakan rayap (Kees Briët, 2015, hlm. 17). Sebagaimana yang disebut Kees Briët,  Hooggerechtshof tidak lain adalah sebuah lembaga kehakiman yang terlupakan (vergeten rechtscollege).Gedung Hooggerechtshof saat ini menjadi bagian dari kompleks Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng (2023)Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/Daftar Referensi: Anne Doedens & Liek Mulder, De Memoires van Hendrik Breton ofwel de Duistere Zijde van de VOC, De Prom, Amsterdam, 2003.C. Fasseur, De Indologen, Ambtenaren voor de Oost, 1825-1950, Uitgeverij Bert Bakker, Amsterdam, 1993.H.T. Jansen, Het Hof is Dood, Leve het Hof! Over de Ontbinding en de Heroprichting van het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (1901), Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 185, 1, (2024).Hanneke van Katwijk & Albert Dekker, Nederlands-Indische Jurisprudentie, Register op de Geannoteerde Rechtspraak in het Indisch Tijdschrift van het Recht en de Mededelingen van het Documentatiebureau voor Overzees Recht, KITLV Uitgeverij, Leiden, 1993.J. La Bree, De Rechterlijke Organisatie en Rechtsbedeeleing te Batavia in de XVIIe Eeuw, Nijgh & Van Ditmar N.V., Rotterdam, 1951.Kees Briët, Het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië 1819-1848, Potret van een Vergeten Rechtscollege

Cerita Dari Larantuka 1928 saat Raja Larantuka Mengasingkan Para Pembunuh “Soeanggi”

article | History Law | 2025-02-14 16:05:00

Saat itu Larantuka masih dipimpin oleh seorang raja yang bernama A.B.de Rozari dan pengadilan di bawah pemerintahan Belanda baru saja terbentuk, setidaknya beberapa tahun sebelumnya. Kisah ini diambil dari arsip berkas perkara dari Pengadilan Negeri Larantuka yang bersampul “No. 23/1928  Raad Van Landshoofden te Larantoeka”. Di beberapa buku sejarah tentang kota Larantuka salah satunya yang ditulis oleh Felix Fernandez (Bupati Flores Timur 2000-2005), pengadilan di Larantuka dikenal dengan nama pengadilan Swapradja. Sewaktu Belanda datang pengadilan ini diberi nama Raad Van Landshoofden atau RVL. Uniknya di tempat lain, contohnya di Kalimantan RVL ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikhususkan untuk mereka bangsa timur asing atau Tionghoa.Kenapa Felix menjelaskan bahwa pengadilan sebagai swapradja ? karena waktu itu hakim-hakim yang bertugas adalah para raja yang menguasi wilayah Kabupaten Flores Timur. Kita kembali kepada kasus No. 23/1928, duduk sebagai majelis hakim:1.     Voorzitter: A.B.de Rozari radja van Larantoeka2.     Leden: Kapitan Poera radja van Trong3.     Gorang Solang kapitan van Lewo Tolo4.     Adviseur: Bapa Ana kapitan van Adoenara5.     Leider: W.J.Houwing fd Controleur van Oost Flores Dakwaan (dikutip langsung dari putusan)Para Terdakwa dituduh dengan Pasal 340 WvS, bahwa pada suatu hari sekitar pukul 08.00 pagi dalam bulan Februari tahun 1927, tanggal pastinya sudah tidak diingat lagi, dengan sengaja dan direncanakan sebelumnya telah menghilangkan nyawa Doea Basa dan istrinya, Somi Nogo, serta tiga anaknya yang bernama Kasihan Doea, Dai Doea, dan Ola Does, yang berada di ladang milik Doea Basa di bagian Kampung Lemaniat, Gemeente, dan landschap Adonara. Selain itu, terdakwa juga membunuh dua anak lainnya, yakni Killa Doea dan Lesoe Doea, di dekat pohon-pohon nira milik Doea Basa di sekitar ladangnya, yang juga terletak di bagian Kampung Lamaniat, Gemeente, Adonara. Faka Hukum Terungkap Selama PemeriksaanDi Muka persidangan diperiksa lima orang saksi yang bernama Saksi Waleng Boli, Saksi Bastian Dian, Saksi Mello Fernandez dan Saksi Kopong Barek. Dari pemeriksaan hakim menyimpulkan telah memperoleh fakta hukum:Terdakwa Belang Tewololong pada suatu pagi di bulan Februari 1927, pada tanggal yang tidak lagi diketahui, telah memanggil anggota keluarganya, yaitu Bala Tewololong, Hering Tewololong, Bela Sengadji, dan Kene Ola Laba, ke rumah kecilnya di luar kampung Lamaniat. Di sana, ia memberi tahu mereka bahwa Doca Basa beserta istri dan anak-anaknya pasti menjadi penyebab kematian istrinya. Hal ini karena pada pagi hari saat istrinya mengalami persalinan yang sangat sulit, Terdakwa Belang Tewololong telah menampar wajah Somi Nogo karena ia telah mencuri jagungnya. Dengan kata lain, Terdakwa percara bahwa istrinya telah disihir (Soeanggi) oleh keluarga Somi Nogo tersebut, sehingga istrinya meninggal dunia tiga hari setelah melahirkan.Setelah kejadian itu, Belang Tewololong membujuk para terdakwa lainnya untuk membunuh seluruh keluarga Soeanggi tersebut. Para terdakwa lainnya, yang percaya bahwa keluarga itu adalah penyebabnya, menerima usul tersebut dan bersama Belang Tewololong pergi ke rumah ladang Doca Basa, masing-masing membawa parang. Sesampainya di sana, Belang Tewololong dan Bala Sengadji memasuki rumah ladang Doca Basa, sementara Bala Tewololong, Hering Tewololong, dan Kene Ola Laba berjaga di luar rumah.Setelah masuk, Belang Tewololong langsung menebas leher Somi Nogo dengan parangnya hingga hampir putus, sehingga wanita tersebut langsung meninggal dunia. Pada saat yang bersamaan, Bala Sengadji menebas leher Doca Basa dengan parangnya hingga kepalanya terpenggal sepenuhnya.Sementara itu, tiga anak kecil yang juga berada di dalam rumah melarikan diri ke luar. Namun, Hering Tewololong mengejar dan langsung menebas punggung anak bernama Kasihan Doea, sehingga anak tersebut langsung tewas. Pada saat yang sama, Bala Tewololong menebas leher anak bernama Emi Doea, yang juga langsung meninggal dunia. Kene Ola Laba menebas leher anak bernama Ola Doea hingga kepalanya terpenggal.Terdakwa mengetahui bahwa Doca Basa memiliki lima orang anak, sehingga mereka mencari dua anak lainnya. Akhirnya, mereka menemukan kedua anak tersebut di dekat pohon-pohon milik Doca Basa. Hering Tewololong, yang paling cepat berlari untuk menangkap salah satu anak, menebas punggung anak bernama Kia Doea hingga anak itu langsung meninggal. Secara bersamaan, Bala Sengadji menebas pinggul kiri anak bernama Lesos Doen hingga mengenai tulang belakangnya, menyebabkan anak tersebut langsung tewas.Lima hari kemudian, para terdakwa menguburkan mayat-mayat tersebut. Jasad Doca Basa, Somi Nogo, Kasihan Doea, Emi Doea, dan Ola Doea dikuburkan dalam satu lubang di dekat rumah ladang mereka, sedangkan Kia Doea dan Lesos Doea dikuburkan di lubang lain di dekat pohon-pohon milik Doca Basa. PERTIMBANGAN HAKIMMenimbang bahwa dari pengakuan para terdakwa dapat dipastikan adanya unsur kesengajaan dan perencanaan, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pembunuhan. Namun, sebagai faktor yang meringankan, harus diperhitungkan keyakinan kuat para terdakwa terhadap keberadaan Soeanggi, sebagaimana diyakini oleh seluruh penduduk di pulau-pulau ini. AMAR PUTUSANBerdasarkan adat yang berlaku, dalam kasus seperti ini, para terdakwa sebenarnya tidak akan dituntut atas pembunuhan terhadap Soeanggi, tetapi atas pelanggaran terhadap adat. Sebab, adat telah menetapkan bahwa Soeanggi harus dipindahkan ke pulau lain dalam wilayah ini, bukan dibunuh. Oleh karena itu, para terdakwa dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup ke pulau lain dalam wilayah ini.

Pengadilan Era Kolonial Belanda dari Landraad Sampai Hooggerechtshof

article | History Law | 2025-02-06 18:35:19

Tahun 2025 ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan memasuki usia ke-80 tahun. Usia yang sama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta. Namun, sejarah menunjukkan bahwa jauh sebelum itu, sebenarnya lembaga pengadilan sudah hadir di Bumi Pertiwi. Kegiatan mengadili yang identik dengan menentukan salah-benarnya seseorang sesungguhnya sudah ada dari jaman dahulu. Sebut saja masa Kerajaan Mataram (abad ke-9 Masehi) sudah mengenal sistem peradilan seperti yang dijelaskan dalam Prasasti Jayapatra. Adapun bentuk peradilan modern yang kita kenal saat ini sebenarnya lahir di era kolonial, sekitar tahun 1800-an.Hooggerechtshof / Pengadilan Tertinggi (Kasasi)Berbagai sumber sejarah menjelaskan Indonesia mengalami masa kolonialisme sejak tahun 1596. Mulai saat itu bangsa asing seperti Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Prancis hingga Jepang datang silih berganti ke Indonesia hingga 350 tahun berikutnya. Catatan tertua mengenai sistem peradilan modern di Indonesia mulai terlacak pada saat Belanda membentuk majelis pengadilan College van Scheepenen pada 24 Juni 1620. Sayangnya karena keterbatasan bukti tertulis dan saksi sejarah tidak banyak yang bisa diceritakan di masa-masa tersebut, hingga kemudian baru dapat terlacak kembali ke awal tahun 1800-an.Badan Pembinaan Hukum Nasional mencatat bahwa pada tahun 1819 telah didirikan mahkamah tertinggi Hindia Belanda yang diberi nama Hooggerechtshof. Dari penelusuran tim Dandapala, catatan ini tidak sepenuhnya keliru. Sebab sejak tahun 1811 Indonesia sempat dijajah oleh Inggris. Baru setelah adanya Konvensi London, mulai tahun 1816 secara berangsur-angsur negara-negara jajahan Hindia Belanda yang sempat diduduki oleh Inggris dikembalikan. Setelah itu pemerintah Kolonial secara bertahap menyusun kembali pemerintahannya yang lewat Staatsblad (Stb.) 1819 No. 20 mengatur kembali mengenai penerapan hukum acara pidana dan perdata di Jawa dan Madura.Dugaan mengenai mulai berfungsinya mahkamah tertinggi ini pada sekitar tahun 1819 juga diperkuat dengan fakta seputar pembangunan Istana Deandels. Gedung pertama Hooggerechtshof ini dibangun di kawasan Istana Deandels yang sekarang dikenal dengan Gedung AA Maramis. Kawasan ini mulai dibangun pada tahun 1809 dan rampung pada tahun 1828. Namun, sebelum rampungpun wilayah yang digunakan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels sebagai kompleks pemerintahan ini sudah mulai beroperasi. Perlu pembaca ketahui juga bahwa Hogeraad atau lembaga pengadilan tertinggi di Belanda, secara resmi lahir pada tanggal 1 Oktober 1838. Sehingga ada pula spekulasi kedua yakni Hooggerechtshof yang berkedudukan di Nederlands(ch)-Indië lahir atau dibentuk setelah tahun 1838 tersebut.                                                                                                                                       Gambar: Kondisi gedung Hooggerechtshof masa kini, terletak di Jl. Lapangan Banteng Timur 1, Jakarta Pusat Dokumen resmi pertama yang menunjukkan eksistensi Hooggerechtshof dapat ditelusuri melalui Keputusan Gubernur Jeneral Hindia Belanda pada 3 Desember 1847 yang diberlakukan pada 1 Mei 1848 melalui Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (S. 1847-23 jo. S. 1848-57). Kebijakan ini merupakan bagian dari tindak lanjut Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) tanggal 30 April 1847 termuat dalam Staatsblad (Stb) 1847 No. 23. Pada Pasal 18 AB disebutkan bahwa semua tindakan hukum baik itu pidana ataupun perdata akan diputuskan oleh pengadilan. Kemudian lewat Pasal 1 RO, ketentuan Pasal 18 AB tersebut dipertegas mengenai bentuk-bentuk badan peradilan yang ada di bawah hooggerechtshof sebagai berikut: PribumiBangsa Eropa Hukum Perdata1.     Landgerecht2.     Districtsgerecht3.     Regentschapsgerecht4.     Landraad5.     Raad van Justitie6.     Hooggerechtshof       1.     Residentiegerecht       2.     Raad van Justitie       3 .    Hooggerechtshof Hukum PidanaIdem         1.     Landgerecht       2.     Landraad       3.     Raad van Justitie       4.     Hooggerechtshof         Secara sederhana Hooggerechtshof memiliki fungsi yang sama dengan Mahkamah Agung saat ini, yakni pengadilan tingkat akhir dan mengurusi hal-hal terkait kekuasaan kehakiman (pembinaan hakim, pengawasan/voorpost, keadministrasian dll.). Seperti Mahkamah Agung, hooggerechshoft juga hanya berjumlah satu yang berkedudukan di pusat pemerintahan yakni Batavia (Jakarta). Namun, terdapat perbedaan yang cukup mencolok dengan kewenangan Mahkamah Agung saat ini. Selain sebagai pengadilan banding dan tingkat akhir (kasasi), Hooggerechtshof juga menjadi pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang dilakukan oleh subjek hukum tertentu berdasarkan jabatannya. Contohnya kejahatan yang dilakukan oleh wakil ketua dan anggota Dewan Hindia Belanda, para anggota Volksraad (lembaga perwakilan rakyat Hindia Belanda), kepala departemen pemerintahan sipil, gubernur dan residen, termasuk juga kejahatan oleh ketua dan hakim pengadilan.  Raad Van Justitie / Pengadilan TinggiPeradilan tingkat berikutnya di bawah Hooggerechtshof ada Raad van Justitie atau RvJ. Pengadilan ini berfungsi sebagai pengadilan tingkat banding (Appelraad) di masa Hindia Belanda bagi putusan landraad dan residentiegerecht. RvJ berjumlah enam di seluruh Hinda Belanda yang terletak di Medan, Padang, Batavia, Surabaya, Semarang dan Makassar. Wilayah hukum RvJ Jakarta meliputi Jawa Barat, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Wilayah hukum RvJ Surabaya meliputi Jawa Timur dan Madura, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Wilayah hukum RvJ Semarang meliputi Jawa Tengah. Wilayah hukum RvJ Padang meliputi Sumatera Barat, Tapanuli, dan Bengkulu. Wilayah hukum RvJ Medan meliputi Sumatera Timur, Aceh, dan Riau. Dan wilayah hukum RvJ Makassar meliputi Sulawesi, Timor, dan Maluku. Gambar: Raad Van Justitite Padang dibangun pada 1833Gambar: Gedung Raad Van Justitie Surabaya yang dibangun pada 1891 Selain sebagai pengadilan banding, RvJ juga memiliki wewenang untuk mengadili perkara tertentu di tingkat pertama. Untuk perkara pidana RvJ berwenang menangani pada tingkat pertama tindak pidana berkaitan dengan perbudakan, pembajakan, tindak pidana yang dilakukan di luar negeri, serta beberapa tindak pidana ekonomi. Sedangkan untuk perkara perdata RvJ menangani perkara yang memiliki nilai gugatan lebih dari f500 (lima ratus gulden) atau setidak-tidaknya perkara perdata yang tidak masuk dalam wewenang Residentiegerecht. Pengadilan Tingkat PertamaUntuk kaum pribumi ada tiga jenis pengadilan tingkat pertama, baik untuk perkara pidana maupun perdata sebagai berikut:Jenis PengadilanKewenanganPidanaPerdataDistrictsgerechtPribumi sebagai Terdakwa yang diancam maksimal pidana denda f3 (tiga gulden)Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20(dua pulung gulden)RegenschapgerechtPerkara pidana dengan ancaman maksimal penjara 6 (enam) hari atau denda f3-f10 (tiga sampai dengan sepuluh gulden)perkara perdata untuk orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga f20-f50 (dua puluh sampai dengan lima puluh gulden)sebagai pengadilan banding untuk keputusan-keputusan DistrictsgerechtLandraadSemua perkara di luar wewenang Districtsgerecht dan Regenschapgerecht atau perkara pidana dengan ancaman denda di atas f25 (dua puluh lima gulden)Perkara dengan nilai gugatan di atas f50 (lima puluh gulden)pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan bandingGambar: lukisan perkara pidana dengan terdakwa pribumi yang diadili oleh Landraad Pati, 1865 Untuk bangsa Eropa atau yang lebih sering disebut Europese Groep, pengadilan tingkat pertama terdapat dua jenis yakni Residentiegerecht dan Landraad. Untuk Golongan Eropa yang menjadi tergugat dalam perkara perdata maka diajukan kepada Residentiegerecht, sedangkan jika mereka menjadi terdakwa dalam perkara pidana maka diajukan kepada Landraad. Terdapat beberapa kualifikasi perkara perdata yang masuk ke Residentiegerecht antara lain yang nilai gugatannya kurang dari f500 (lima ratus gulden), sengketa ketenagakerjaan, gugatan terhadap pengerusakan barang oleh hewan piaraan, dll. Perlu diperhatikan bahwa Residentiegerecht berkedudukan atau berkantor di gedung yang sama dengan Landraad. Gambar: Peresmian gedung Landraad Bandung, 1905 Kemudian terdapat lembaga pengadilan polisi atau yang disebut Landgerecht. Pengadilan ini menangani kasus dengan subjek hukum pribumi dan eropa atau tidak membeda-bedakan golongan. Berdasarkan Pasal 116 RO, jenis perkara yang ditangani adalah tindak pidana ringan atau pelanggaran dalam Buku III Wetboek van Strafrecht. Hukum acara pemeriksaannya adalah acara cepat yang diatur dalam Staatsblad 1914-317.Di luar badan peradilan yang sudah disebutkan di atas sebenarnya masih ada beberapa lembaga lain seperti Rechtspraak fer Politierol/Politierol, Raad Van Landshofden (R.V.L), ataupun Rechtbank van Omgang. Namun badan-badan peradilan ini tidak bertahan lama, ada yang kemudian dilebur dengan Residentiegerecht ataupun dengan Landraad yang saat itu jumlahnya paling banyak di seluruh wilayah Hindia Belanda.PeninggalanWalaupun sudah berlalu hampir 250 tahun silam, namun peninggalan-peninggalan pengadilan kolonial Belanda masih bisa kita rasakan sampai hari ini. Selain banyak meninggalkan gedung-gedung landraad yang menjadi cagar budaya, pengadilan era kolonial juga mewariskan budaya lain kepada kita. Seperti sistem mutasi hakim yang berwawasan nusantara sudah mulai diterapkan oleh landraad saat itu. Kisah Raden Mas Gondowinoto yang merupakan orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor hukum di Belanda. Setelah lulus tahun 1918, Gondowinoto kembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Districtsgerecht Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi (Districtsgerecht) di Makassar. Dari Makassar, Gondowinoto kemudian di-TPM ke Kalimantan. Bahkan sistem mutasi hakim landraad juga dilakukan bak TPM kita saat ini. Dimana mutasi mereka juga diumumkan secara terbuka yang saat itu dilakukan lewat surat kabar. Contohnya kutipan Koran HET NIEUWS VAN DEN DAG tanggal 27 April 1931, yang mengumumkan mutasi A. E. H. Kouwenhoven dari Ketua Landraad Pekalongan menjadi Ketua Landraad Manado. Gambar: Potongan Koran HET NIEUWS VAN DEN DAG, Pengumuman Mutasi Hakim Landraad, 27 April 1931 Sumber Referensi:Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB)Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO)Mahkamah Agung RI, Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1986Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan, 2012)Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Peninggalan Kolonial Belanda, 2015Daniel S. Lev, Colonial Law and The Genesis Of The Indonesian StateBlog Kanggurumalas, https://kanggurumalas.com/2015/09/08/sekilas-tentang-sejarah-struktur-lembaga-pengadilan-masa-kolonial-hindia-belanda-dan-penjajahan-jepang/https://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sistem_Kehakiman_Indonesiahttps://www.wikiwand.com/id/articles/Gedung_AA_Maramishttps://pn-surabayakota.go.id/sejarah-pengadilan/https://www.pt-makassar.go.id/tentang-pengadilan/profil-pengadilan/sejarah-pengadilanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Landraadhttps://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_Indieshttps://web.archive.org/web/20120331063401/http://www.virtueelindie.nl/index.php?pagina=virtueelindie&locatie=7&fotos=Yhttps://resources.huygens.knaw.nl/retroboeken/persoonlijkheden/#source=1&page=179&accessor=accessor_index&accessor_href=https%3A%2F%2Fresources.huygens.knaw.nl%2Fretroboeken%2Fpersoonlijkheden%2Faccessor_index%2Findex_html%3Fpage%3D179%26source%3D1%26id%3Daccessor_index&view=imagePanehttps://www.hukumindo.com/2020/10/mr-rm-gondowinoto-sarjana-hukum-pribumi.htmlhttps://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=landraad&coll=ddd&identifier=ddd:010229173:mpeg21:a0066&resultsidentifier=ddd:010229173:mpeg21:a0066&rowid=6

Hukum di Era Majapahit: Pejabat Kerajaan Divonis Mati Bila Korupsi!

article | History Law | 2025-01-31 15:45:37

Kerajaan Majapahit, yang berjaya pada abad ke-13 hingga 14 Masehi, tidak hanya meninggalkan jejak gemilang dalam politik dan ekspansi wilayah, tetapi juga mencatatkan aturan hukum yang mengatur kehidupan masyarakatnya secara tegas. Salah satu peninggalan hukum tersebut adalah Kutaramanawadharmacastra, atau yang dikenal sebagai Kitab Perundang-undangan Agama. Kitab ini menjadi pedoman utama dalam sistem hukum pidana Majapahit.Dikutip dari kompas.id dalam artikel yang berjudul Hukum Pidana Era Majapahit: Dari Menebang Pohon hingga Korupsi Menteri. Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya Perundang-undangan Madjapahit (1967), tidak ada catatan pasti mengenai waktu penyusunan kitab ini. Namun, berbagai bukti menunjukkan bahwa hukum pidana yang dikenal dengan Kitab Kutaramanawa Dharmasastra (KMD) ini berasal dari era pemerintahan Prabu Radjasanagara. Kitab ini terdiri dari 19 bagian yang mencakup berbagai aspek baik hukum perdata maupun pidana, mulai dari pembunuhan, jual beli, utang piutang, hingga perkawinan dan pegadaian.Gambar Perundang-undangan Majapahit Sumber :Litbang Kompas, Copyright to Ismawadi/KompasSeperti hukum yang saat ini berlaku, Hukum di Majapahit juga mengenal pembagian hukuman pidana pokok dan pidana tambahan. pidana pokok terdiri dari hukuman mati, potongan bagian tubuh yang bersalah, denda dang anti rugi. sedangkan dalam pidana tambahan terdapat hukuman tebusan, penyitaan dan juga pemulihan keadaan seperti pembeliaan obat untuk pengobatanKesamaan Setiap Orang didepan Hukum dalam Aspek Pidana dan PerdataHukum Majapahit menjadi begitu istimewa karena ada nilai ketegasan tanpa pandang bulu tanpa menbedakan kasta dan status social dalam penerapan hukumanya. Pasal 6 bagian kedua dari astadusta menyebutkan bahwa pejabat kerajaan yang terbukti mencuri atau corah dapat dihukum mati. Bahkan, jika pejabat tersebut dibunuh akibat perbuatannya, pelaku pembunuhan tidak akan digugat, karena dianggap telah menegakkan keadilan. Salah satu kisah menarik yang menjadi bukti autentik ditemukan dalam Kidung Sorandaka, yang menceritakan hukuman mati terhadap Demung Sora yang mempunyai jabatan sebagai seornag menteri karena membunuh Mahisa Anabrang. Hukuman ini didasarkan pada aturan astadusta, bagian dari kitab perundang-undangan yang mengatur pidana pembunuhan.Hukuman mati juga dapat dijatuhi pada pejabat kerajaan dapat dikenai hukuman mati jika ia terbukti melakukan pencurian atau corah yang disebutkan dalam Pasal 6 di bagian kedua tentang astadusta. Kasus pencurian oleh para pejabat, jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, juga dapat dipahami sebagai korupsi. Artinya, pada era Kerajaan Majapahit, tidak ada toleransi sekecil apa pun bagi pejabat yang melakukan kejahatan, terutama mencuri.Gambar. Salah satu relief Karmawibhangga menunjuan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum, mencuri hingga berkelahiPrinsip keadilan ini juga dapat terlihat dalam pasal 11 pada bab astadusta, di mana hukuman mati diberlakukan bagi berbagai kalangan tanpa terkecuali, termasuk cendekiawan, guru, kaum lansia, dan kaum Brahmana, jika terbukti melakukan enam kesalahan berat yang disebut sebagai tatayi. Kesalahan tersebut membakar rumah orang dan rumah raja yang berkuasa, meracuni sesama manusia, mengamuk, menenung atau mencelakai seseorang dengan ilmu hitam, fitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan.Kerajaan Majapahit sudah mengatur sistem hukum dalam aspek keperdataan. Persoalan utang makanan, misalnya, seseorang yang berutang, jika tidak mampu membayar dengan cara bekerja, maka ia tetap dikenakan kewajiban untuk membayar senilai harga makanan yang dimakan. Dalam aturan ini, tidak ada bunga atau biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh orang berutang selain nilai pokok dari utang yang dimilikiPerlindungan terhadap Norma Sosial dan LingkunganTidak hanya perlindungan terhadap manusia saja namun hukum pidana Majapahit juga memperhatikan perlindungan lingkungan. Pasal 92 dalam bagian sahasa atau paksaan menyebutkan bahwa menebang pohon tanpa izin dapat berujung pada hukuman mati jika dilakukan pada malam hari. Pada siang hari, pelaku diwajibkan mengganti pohon yang ditebang sebanyak dua kali lipat.Persoalan moral seperti perselingkuhan juga mendapat perhatian khusus dalam kitab ini. Prasasti Cangu (1358 M) mencatat adanya sanksi berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut strisanggrahana. Dalam Kitab Agama, terdapat bab porodora yang mengatur hukuman bagi pelaku pelecehan terhadap perempuan. Besaran denda bergantung pada kasta korban: perempuan kasta tinggi dikenai denda dua lokso, kasta menengah satu lokso, dan kasta rendah lima toli. Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam buku Perempuan Jawa dikutp dari laman historia.id dalam artikel yang berjudul Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno, denda ini dibayarkan kepada suami korban, dan jika pemerkosa tertangkap basah oleh suami korban, ia boleh dibunuh.Gambar. Arca yang menceritakan seorang perempuan yang diganggu, lalu mengadu kepada pengadilan di jaman MajapahitMenjadi Warisan Nilai untuk Bangsa IndonesiaPengaturan hukum pidana dalam era Majapahit membuktikan bahwa Majapahit telah memiliki konsep keadilan yang menempatkan semua warga di hadapan hukum secara setara. Meskipun kerajaan ini mayoritas berbasis agama Hindu yang umumnya memiliki sistem kasta, aturan hukum yang diterapkan justru meniadakan diskriminasi berdasarkan status sosial. Konsep hukum yang diterapkan Majapahit ini menjadi refleksi penting bagi Indonesia saat ini, yang masih berupaya menemukan sistem hukum pidana yang ideal setelah sekian lama mengadopsi warisan kolonial. Prinsip-prinsip hukum yang dipegang teguh oleh kerajaan Majapahit masih relevan hingga kini, terutama dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum bagi semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

43 Tahun Lahirnya KUHAP

article | History Law | 2025-01-11 21:25:54

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lahir tanggal 31 Desember 1981, saat ini sudah memasuki usia 43 tahun. Bilamana dibaratkan usia seorang manusia, maka telah tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa berkat kritik atau nasehat yang mewarnainya. Pembentukan KUHAP merupakan langkah progresif dalam menciptakan kesatuan hukum acara pidana nasional yang terkodifikasi. Bahkan KUHAP dinilai sebagai karya agung atau produk monumental era pemerintahan Presiden Soeharto. Hal ini dikarenakan pasca kemerdekaan Indonesia sampai akhir tahun 1981 pelaksanaan proses peradilan pidana masih menggunakan hukum acara warisan Kolonial yakni Herziene Inlandsche Reglement atau HIR. Secara historis pemberlakukan HIR dalam rangkaian peradilan pidana Indonesia diatur ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945, kemudian diperkuat orde lama melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Maka pembentukan KUHAP  upaya negara membuat hukum acara pidananya sendiri yang sesuai dengan cita-cita hukum nasional. Bahkan perlindungan atas Hak Asasi Manusia diakui keberadaannya dan mendapatkan kedudukan layak pada proses peradilan pidana dalam KUHAP, dimana hal demikian tidak ditemukan pada HIR.Sebagai contoh, HIR mengadopsi sistem inkuisitur dengan menjadikan Tersangka/Terdakwa sebagai objek pemeriksaan sehingga memberikan ruang pemaksaan pengakuan bersalah atau kekerasan terhadap Tersangka/Terdakwa. Sedangkan KUHAP menggunakan pendekatan sistem akusator, dimana Tersangka/Terdakwa sebagai subjek dalam proses peradilan sehingga mendapatkan kesataraan dihadapan hukum dan terlindungi hak asasinya seperti berhak didampingi oleh penesehat hukum, hak mendapatkan kunjungan dari keluarganya seandainya dilakukan penahanan, hak untuk menguji upaya paksa terhadap dirinya melalui lembaga praperadilan dan hak dasar lainnya yang diatur KUHAP.Namun setelah 43 tahun timbul desakan dari berbagai kalangan untuk dilakukan perubahan atas KUHAP, baik dari kalangan akademisi ataupun praktisi hukum.Salah satu keinginan perubahan dalam KUHAP tersebut, perlu diadopsinya penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif  (restorative justice). Bahkan KUHAP telah tertinggal dari kebijakan Mahkamah Agung RI yang memberikan pedoman kepada Hakim dalam menyelesaikan perkara melalui pendekatan Keadilan Restoratif melalui Perma Nomor 1 Tahun 2024.Usia 43 tahun, KUHAP juga telah beberapa kali dilakukan yudisial review ke MK dengan putusan ada mengabulkan berbagai pasal di KUHAP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti Pasal 83 ayat (2) dan Pasal 263 ayat (3) KUHAP,  maupun konstitusional bersyarat seperti Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65 Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a, serta lainnya.

Gedung PN Surakarta: Bekas Landraad dan Kini Menjadi Cagar Budaya

article | History Law | 2025-01-03 20:40:38

Surakarta. Bangunan Pengadilan Negeri Surakarta kelas IA khusus terletak di Jalan Slamet Riyadi 290 Sriwedari, Kota Surakarta merupakan bekas Landraad dan Landgrecht yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda.“Bangunan PN Surakarta ditetapkan menjadi cagar budaya,” demikian tertuang dalam Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Tata Kota Surakarta Nomor 646/40/I/2014. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari terpenuhinya kriteria cagar budaya dalam UU RI Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.Status sebagai bangunan cagar budaya, ditegaskan kembali dalam surat keterangan benda cagar budaya/situs Nomor 1393/101.SP/BP.3/P-VI/2010. “Tinggalan purbakala yang dilindungi dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,” sebagaimana tercantum dalam surat yang ditandatangani Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Jawa Tengah (9/6/2010).Awalnya, bangunan menghadap ke Jalan Dr. Soepomo Nomor 2-4 Surakarta. Terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu Landraad dan Landgrecht. Penambahan bangunan pada halaman depan  diantara keduanya, dipergunakan sebagai Pengadilan Tentara.Dalam sejarahnya, bangunan yang terletak di sebelah selatan, dipergunakan sebagai Landraad/Landgrecht Sragen, Wonogiri dan Karanganyar Sukoharjo di Surakarta. Setelah kemerdekaan, kemudian berubah menjadi Pengadilan Negeri Sragen Wonogiri dan Karanganyar Sukoharjo. Sejak tahun 1966 terpisah menjadi Pengadilan Negeri Sragen, Wonogiri, Karanganyar dan Sukoharjo di daerahnya masing-masing.Sejak saat itu, gedung PN Surakarta yang tadinya menghadap jalan Dr. Soepomo diubah menjadi menghadap Jalan Slamet Riyadi Nomor 290 Surakarta.  Bangunan PN Surakarta yang merupakan bekas Landraad dan merupakan benda cagar budaya tetap kokoh berdiri sampai sekarang. (SEG)

1 Januari 1918: Berlakunya KUHP Belanda di Nusantara

article | History Law | 2025-01-01 13:25:27

Januari 1918 atau 107 tahun lalu, penjajah menerapkan KUHP di seluruh wilayah Nusantara. Saat itu masih bernama Wetboek van Strafrecht atau disingkat WvS.Berdasarkan naskah akademik RUU KUHP yang dikutip DANDAPALA, Rabu (1/1/2025), norma dalam WvS merujuk sistem hukum Romawi yang telah berusia ribuan tahun."Asas legalitas sebelum menjadi bagian dari hukum materil dewasa ini mempunyai sejarah yang panjang. Sejarah asas legalitas ini barangkali dimulai dari hukum Romawi yang diketahui mempengaruhi hukum di Eropa Kontinental," demikian bunyi Naskah Akademik RUU KUHP.WvS sendiri adalah bagian dari Code Napoleon Perancis tahun 1810. Di mana Prancis pernah menjajah Belanda dan memberlakukan KUHP. Kolononisasi itu juga berlaku di Belanda. Code Napoleon Perancis berlaku di Negeri Kincir Angin pada tahun 1881 dan dibawa ke Indonesia. Efektif KUHP berlaku secara nasional sejak tahun 1918."Lahirnya doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali adalah sebagai bagian dari perjuangan masyarakat di Perancis untuk perlindungan HAM dari kemungkinan perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa," ujarnya.Pada saat yang sama, di Italia Cesare Beccaria menulis 14 bahwa 'If a judge is compelled to make, or makes of his own free will, even two syllogism, he opens the door to uncertainty'. Kemudian dilanjutkan bahwa, "Nothing is more dangerous than the common axiom that we should 'consult the spirit of the law'.""Artinya di Italia juga diberlakukan asas legalitas yang sama pada saat yang sama," ujarnya.Setelah berlaku satu abad lebih, DPR dan Pemerintah akhirnya membuat KUHP Nasional pada 2023 dan akan berlaku 3 tahun setelahnya atau pada 2 Januari 2026. Sehingga KUHP peninggalan penjajah Belanda tersisa 1 tahun lagi.Sejumlah norma pidana lokal dikenalkan dalam KUHP Nasional. Di antaranya diakuinya hukum adat, delik zina dengan meluaskan pihak pengadu hingga pasal orang yang mendeklarasikan diri bisa menyantet.

1900 Vs 2024: Dua Zaman Ruang Sidang Pengadilan di Lampung

article | History Law | 2024-12-21 11:00:37

Jauh sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah eksis. Salah satunya di Lampung.Karena belum merdeka, sistem hukum masih di bawah penjajah Belanda. Hal itu terlihat dalam sebuah foto yang mengabadikan persidangan tahun 1900 sebagaimana dilansir website wereldmuseum  (https://collectie.wereldmuseum.nl/#/query/6d0797b8-ec34-4732-b70f-bd6b7bc3a244)Altar hakim berlatarbelakang Ratu Belanda, Wilhelmina yang menduduki takhta sejak 1880 hingga 1962. Bukan Burung Garuda Pancasila seperti saat ini. Tampak hakim tunggal yang seorang berkebangsaan Belanda. Sedangkan panitera pengganti merupakan warga lokal.Setelah kemerdekaan, aroma penjajahan Belanda dihapus. Kini di persidangan hanya ada Burung Garuda , lambang negara Indonesia. Posisinya di tengah, di atas Ketua Majelis. Bahkan foto Presiden dan Wapres juga tidak ada dalam ruang sidang. Hal itu untuk menunjukan independensi pengadilan dalam mengadili perkara, tidak bisa diintervensi Kepala Negara sekali pun. "Oleh sebab itu, kemerdekaan merupakan pencapaian yang tidak bisa diganti oleh apapun selain harus dipertahankan dengan darah dan air mata," kata Humas PN Tanjungkarang, Dedy Wijaya Susanto,  kepada Dandapala, Jumat (13/12/2024).