article | History Law | 2025-05-15 08:10:01
Tahun 2004, Dedi dkk mengajukan gugatan perwakilan (Class Action) terhadap pemerintah buntut longsor di kawasan Hutan Gunung Mandalawangi, Garut. Hasilnya, hakim melakukan inovasi dengan memintai pertanggungjawaban perdata lingkungan hidup strict libility. Peta hukum Indonesia berubah total. Bagaimana ceritanya? Sebagaimana dikutip DANDAPALA berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1794 K/Pdt/2004 pada Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), yang dikutip pada hari Minggu (22/5/2025), kejadian bermula pada tanggal 28 Januari 2003 sekitar pukul 21.30 Wib terjadi longsor di kawasan Hutan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut yang menyebabkan tertimpanya kawasan pemukiman rumah penduduk tersebut dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda sebagai berikut: Korban jiwa meninggal : 20 orang (11 orang laki-laki dan 9 orang perempuan)Yang belum diketemukan : 1 (satu) orangRumah Permanen/non permanen hancur : 165 buah Rumah rusak berat : 67 buah Rumah rusak ringan : 44 buah Rumah terancam longsor susulan : 104 buah Madrasah: 2 buah Mesjid : 3 buah Kebun : 25 Hektar Sawah : 70 Hektar Kolam : 1 Hektar Ternak Domba : 150 Ekor Ternak Ayam dan Itik : 5000 Ekor Ikan : 3000 Kg Selain akibat di atas juga membuat penduduk yang terkena longsoran Gunung Mandalawangi terpaksa mengungsi dan hanya mengharapkan bantuan/sumbangan dan ditampung di dalam posko-posko yaitu: 1) pos I Rumah H. Atri S Kampung Cilageni, 217 KK = 1.069 Jiwa 2) pos II Balai Desa Mandalasari, 45 KK = 261 Jiwa 3) pos Ill Madrasah AI-Hikmah Kp. Sindangmulya, 78 KK = 240 Jiwa 4) pos IV Madrasah Baitul Muklis : 22 KK = 98 Jiwa 5) pos V RW. 10 Kp. Pintu (Baetul Mutaqin), 14.KK = 128 Jiwa Jumlah: 376KK = 1.769 Jiwa Selain itu, total kerugian materil dan imateril para penggugat ditaksir mencapai Rp 50.417.200.000. Atas dasar kerugian tersebut membuat sejumlah masyarakat korban longsor mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Gugatan ini dilayangkan dengan dasar pertanggungjawaban perdata yaitu pertanggungjawaban mutlak (strict libility). Di mana Penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan dari Tergugat I atas terjadinya longsor tersebut karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari Tergugat I selaku pengelola hutan di Kawasan Hutan Mandalawangi. Selanjutnya gugatan perwakilan tersebut diadili PN Bandung. Lalu pada tanggal 4 September 2003 Tergugat I (Direksi Perum Perhutani) cq Kepala Unit III Perum Perhutani Jawa Barat, Tergugat III (Menteri Kehutanan), Tergugat IV (Pemerintah Daerah TK.I Jawa Barat) dan Tergugat V Pemerintah Daerah Tk. II Garut) dinyatakan bertanggung jawab secara mutlak (Strict Liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan Hutan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Putusan PN Bandung tersebut selanjutnya diajukan upaya hukum banding dan dikuatkan dengan perbaikan di tingkat banding pada tanggal 08 Februari 2004. Lalu kasus ini pun berlanjut sampai ke tingkat kasasi. Bagaimana kata MA? “Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit Iii Jawa Barat, 2. Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq. Gubernur Propinsi Jawa Barat, 3. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Menterl Kehutanan Republik Indonesia, 4. Dedi, 5. Hayati, 6. Entin, 7. Oded Sutisna, 8. Ujang Ohom, 9. Dindin Holidin, 10. Aceng Elim Dan 11. Mahmud Tersebut”, demikian bunyi putusan kasasi yang diketok oleh ketua Majelis Harifin A Tumpa dengan anggota Atja Sondjaja dan I Made Tara. Putusan itu diputus dalam rapat pemusyawaratan hakim pada hari senin, tanggal 22 Januari 2007 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga. Dalam memori kasasinya. Para Tergugat pada pokoknya beralasan : Judex Facti telah salah menerapkan prinsip strict liability karena seharusnya menerapan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan 283 RBg dengan tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) karena seseorang tidak dapat dihukum untuk membayar ganti kerugian tanpa adanya hubungan kausalitas dengan unsur kesalahan atau perbuatan melawan hukum. Selain itu prinsip strict liability hanya dapat diterapkan secara selektif yaitu hanya terhadap kegiatan usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.Kegiatan Para Tergugat tidak termasuk kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta tidak menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, Peristiwa longsornya Gunung Mandalawangi merupakan bencana alam dalam bentuk banjir bandang yang disebabkan curah hujan di atas normal dan oleh karena itu pula merupakan keadaan memaksa (overmacht) di luar kemampuan manusia yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional Kegiatan Tergugat I bersumber pada Peraturan Pemerintah R.I. No. 2 Tahun 1978 jo. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1986, dan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999 tidak menimbulkan kerusakan sama sekali terhadap kawasan hutan MandalawangiPenerapan precautionary principle, prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konferensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference on Environment and Development) yang belum merupakan hukum positif yang berlaku di Republik Indonesia. Semua tindakan-tindakan Pemohon Kasasi semula Pembanding/Tergugat I di Gunung Mandalawangi sarat dengan kepentingan negara Republik Indonesia dan bukan merupakan kegiatan yang sewenang-wenang, melainkan kegiatan yang telah terprogram dalam program-program Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang dan segala hasil-hasil yang diperolehnya merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang pada akhirnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan serta kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia;Keputusan Judex Facti yang menghukum Pemohon Kasasi semula Pembanding/ Tergugat I dengan hukuman ganti kerugian merupakan putusan yang bertentangan dengan prinsip keadilan itu sendiri (ex aequo et bono), karena secara tidak langsung akan membebani keuangan negara yang pada akhirnya membebani seluruh rakyat Indonesia; Namun MA menolak argumen itu dengan alasan: Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, oleh karena berdasarkan fakta-fakta hukum Perum. Perhutani adalah pengelola kawasan hutan di Jawa Barat termasuk gunung Mandalawangi dimana telah terjadi bencana tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda penduduk. Dari hasil penelitian kejadian longsor tersebut adalah disebabkan antara lain kerusakan/ pencemaran lingkungan karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan peruntukannya, sebagai kawasan hutan lindung. Fakta ini mempunyai hubungan kausal dengan terjadinya tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Fakta-fakta tersebut menimbulkan pertanggungjawaban (Strict Liability) bagi Tergugat, dan Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya.Bahwa Hakim tidak salah menerapkan hukum apabila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup adalah untuk mengisi kekosongan hukum (Rechts vinding), pendapat para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan, karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum Internasional. Bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional, apabila telah dipandang sebagai “ius cogen” ;Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian, justru Negara berkewajiban melindungi dan memelihara lingkungan dalam kehidupan masyarakat. Negara i.c Pemohon Kasasi berkewajiban untuk memberi ganti rugi kepada masyarakat termasuk rakyat yang mengalami kerugian akibat perbuatannya. Pemohon Kasasi tidak dapat bersandar pada kebijaksanaan, karena akibat dari kebijakan hukum yang merugikan masyarakat, tidak dapat ditolerir. (ASP/LDR)