article | History Law | 2025-02-18 07:25:19
Pranata hukum tidaklah dapat dilepaskan dari sejarah. Ia tidak berdiri di ruang kosong, melainkan beranjak secara berkesinambungan dari konstelasi normatif sebelumnya. Demikian halnya sistem hukum Indonesia mewarisi karakteristik dari sistem hukum kontinental yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Baik kodifikasi hukum semacam Wetboek van Strafrecht, Burgerlijk Wetboek, maupun berbagai konsep yang akrab di telinga, seperti onrechtmatige daad, atau derden verzet, berasal dari khazanah hukum Belanda yang telah disesuaikan dalam tatanan hukum Indonesia. Bagi pengemban profesi hukum, Hoge Raad atau Mahkamah Agung Belanda, juga tidaklah asing. Putusannya yang dikenal sebagai Arrest kerap dijadikan referensi. Begitu pun pimpinan Mahkamah Agung melakukan studi ke Hoge Raad Belanda untuk mempelajari sistem kamar di pucuk lembaga peradilan Belanda ini. Namun demikian, ada padanan Hoge Raad yang dulu pada masa kolonial pernah ada di Indonesia yang jarang terdengar gaungnya, yakni Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië. Pertama kali menjalankan fungsinya pada 1 Februari 1819, Hooggerechtshof menjadi lembaga peradilan tertinggi di Hindia Belanda sampai dengan kedatangan Jepang di Indonesia pada Maret 1942. Bagaimanakah cikal bakal lembaga ini dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari riwayat keberadaannya di nusantara?Berawal dari Upaya Mewujudkan Kemandirian PeradilanAlkisah, pada akhir abad ke-18, Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), yang menguasai wilayah nusantara selama hampir dua abad, menjadi ambyar karena merugi. Perang yang berkepanjangan dan korupsi mengakibatkan kinerjanya centang perenang. (Anne Doedens & Liek Mulder, De Memoires van Hendrik Breton ofwel de Duistere Zijde van de VOC, De Prom, Amsterdam, 2003, hlm. 24-27). Meskipun sempat adikuasa di awal berdirinya, maskapai multinasional pertama di dunia ini harus dibubarkan sehingga segala asetnya diambil negara Belanda, termasuk fungsi pemerintahan di nusantara. Urusan peradilan yang dijalankan VOC juga setali tiga uang. Sebagai maskapai dagang, penerapan hukum disesuaikan untuk memenuhi kepentingan dagang (J.La Bree, De Rechterlijke Organisatie en Rechtsbedeeleing te Batavia in de XVIIe Eeuw, Nijgh & Van Ditmar N.V., Rotterdam, 1951, hlm. 73). Meskipun terdapat prekursor lembaga peradilan seperti Raad van Justitie, Gubernur Jenderal tetap memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu mendirikan dewan peradilan tersendiri. Pada tahun 1609, Gubernur Jenderal bahkan memperoleh kewenangan mengurusi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga pemisahan kekuasaan praktis tidak dikenal pada era VOC (N.S. Efthymiou, De Organisatie van Regelgeving voor Nederlands Oost-Indië: Stelsels en Opvattingen (1602-1942), disertasi, Universiteit van Amsterdam, 2005, hlm. 51). Setelah VOC gulung tikar pada tahun 1795, pemerintah Belanda mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan. Pembahasan mengenai lembaga kehakiman turut menjadi perdebatan penting. Dirk van Hogendorp, seorang mantan pejabat tinggi kolonial, dalam laporannya pada 1799, menuliskan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang baik, dibutuhkan hakim yang melalui penggajian yang layak akan menjadi benar-benar terbebas dari pemerintah (Kees Briët, Het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië 1819-1848, Potret van een Vergeten Rechtscollege, Amsterdam University Press B.V., Amsterdam, 2015, hlm. 27-28).Usulan tersebut memantik diskusi hangat perihal lembaga kehakiman yang mandiri. Menarik bahwa lebih dari dua ratus tahun yang lalu, konsep independensi peradilan sudah digodok bahkan dalam tatanan kolonial sekali pun. Saat itu, komisi untuk mereformasi peradilan menyebutkan bahwa lembaga peradilan harus diatur secara terhormat sehingga pemerintah tidak dapat memengaruhinya (Kees Briët, 2015, hlm. 33).Demikian halnya dengan Hooggerechtshof, sebagai pucuk lembaga kehakiman, ia harus mendapatkan kepercayaan paripurna (absoluut vertrouwen) dari seluruh penduduk Hindia Belanda. Dalam kiasan puitis, perancang reformasi bahkan menuliskan: “Het moest met één woord, het Palladium der Gerechtigheid [zijn], in dat gedeelte der waereld”. (Dalam satu kata, lembaga ini harus menjadi Garda Keadilan di bagian dunia tersebut, Kees Briët, 2015, hlm. 35). Namun demikian, upaya reformasi terhenti pada tahun 1811 karena Belanda harus memberikan kekuasaannya kepada Inggris. Akan tetapi, keberadaan Inggris di nusantara hanya seumur jagung karena pada tahun 1814, kekuasaan dikembalikan lagi kepada Belanda yang menunjuk Komisaris Jenderal untuk merancang reformasi peradilan. Sayangnya, meskipun konstitusi Belanda tahun 1815 mencantumkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Komisaris Jenderal berpendapat bahwa independensi kekuasaan yudikatif tidak perlu diterapkan secara ketat di Hindia Belanda. Adapun kekuasaan kehakiman yang terlalu merdeka justru akan mencederai wibawa pemerintah kolonial di mata kawula pribumi (Kees Briët, 2015, hlm. 316). Prinsip ini dijadikan acuan dalam pendirian Hooggerechtshof sebagai lembaga kehakiman tertinggi di Hindia Belanda yang pada akhirnya ditetapkan oleh Komisaris Jenderal dalam keputusannya (Besluiten) tanggal 10 Januari 1819. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya terlihat dari kewenangan Gubernur Jenderal untuk memindahkan atau memberhentikan hakim apabila dianggapnya perlu (Kees Briët, 2015, hlm. 105). Prinsip ini terus dianut hingga dicantumkan dalam Staatsblad Nomor 23 tahun 1847 tentang Reglement op de Regterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie, yang menjadi landasan kekuasaan kehakiman di Hindia Belanda hingga Belanda pada akhirnya menyerahkan kekuasaan di Indonesia kepada Jepang pada tahun 1942.Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Tertinggi di Hindia BelandaPada awal berdirinya, Hooggerechtshof memiliki fungsi utama sebagai lembaga peradilan tertinggi, dan pengawas pelaksanaan peradilan yang baik. Fungsi sebagai pengadilan tertinggi, yang salah satunya disebut sebagai Revisie, memberikan kewenangan untuk mengurangi, atau membatalkan pemidanaan yang diputus pengadilan di bawahnya. Adapun fungsi ini sejatinya ditujukan sebagai sarana untuk memoderasi (verzachtend middel) penerapan hukum yang amburadul oleh pegawai administratif Belanda (Thermorshuizen-Arts Revisie en Herziening, De Continuïteit in de Indonesische Rechtspleging, Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde, 150, (1994), hlm. 341).Meskipun independensi peradilan tidak diterapkan konsekuen, pada perkembangannya prinsip ini tetap diusahakan untuk diimplementasikan. Pada tahun 1869, Menteri Koloni Belanda mengupayakan agar kewenangan pemerintah dalam peradilan pribumi diserahkan sepenuhnya kepada hakim profesional (C. Fasseur, De Indologen, Ambtenaren voor de Oost, 1825-1950, Uitgeverij Bert Bakker, Amsterdam, 1993, hlm. 240-241). Namun, sedikitnya petugas kehakiman yang memiliki kompetensi hukum membuat prinsip ini tidak dapat diterapkan. Pada tahun 1879 hanya terdapat tiga puluh sembilan sarjana hukum pada pengadilan pribumi. (C. Fasseur, 1993, hlm. 241). Dengan kata lain, pegawai administratif kolonial tetap memegang kendali dalam urusan peradilan.Dalam iklim semacam itu, keadaan ini tidak berarti kekuasaan kehakiman selalu diwarnai intervensi. Pada praktiknya, hakim Hooggerechtshof menjalankan fungsi yudisialnya dengan idealismenya tersendiri yang membuatnya bertentangan dengan kekuasaan kolonial (Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 339). Hooggerechtshof kerap menggunakan kewenangannya untuk melindungi penduduk pribumi dari penerapan hukum yang tidak layak oleh pegawai pemerintah. Uniknya, sikap hakim kolonial semacam ini membuat geram pengambil kebijakan di Belanda sehingga muncul usulan di Parlemen Belanda untuk membubarkan badan peradilan ini (R.H.T. Jansen, Het Hof is Dood, Leve het Hof! Over de Ontbinding en de Heroprichting van het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (1901), Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 185, 1, (2024), hlm.12). Lebih unik lagi, usulan ini diterima Parlemen Belanda sehingga Hooggerechtshof memang dibubarkan pada tanggal 24 Agustus 1901, tetapi didirikan kembali pada hari yang sama dengan pengurangan jumlah hakim dan pegawainya.Pengawas Pelaksanaan Peradilan Ada satu fungsi unik Hooggerechtshof yang bahkan tidak dikenal di Hoge Raad Belanda, yakni pengawasan dengan surat edaran. Pasal 157 Staatsblad Nomor 23 tahun 1847 tentang Reglement op de Regterlijke Organisatie memberikan fungsi pengawasan terhadap setiap bentuk peradilan kolonial melalui edaran (rondgaande brieven) yang disebut circulaire. Surat edaran ini dapat mencakup petunjuk dalam mengisi kekosongan hukum, ataupun penafsiran kaidah hukum tertentu. Berbeda dengan Hoge Raad di Belanda, karakteristik peradilan di Hindia Belanda menuntut adanya kontrol yang lebih ketat dari Hooggerechtshof terhadap pengadilan yang lebih rendah (PH. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indië, De Bussy, Amsterdam, 1933, hlm. 273). Kewenangan pengawasan ini memainkan peran penting hingga disebut sebagai “wetgeving per circulaire”, atau pembentukan undang-undang melalui surat edaran (Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 338). Keberadaan circulaire sesungguhnya serupa dengan kewenangan Mahkamah Agung saat ini dalam memberikan pengaturan atau petunjuk terhadap hal yang diperlukan untuk kelancaran jalannya peradilan dalam berbagai SEMA dan PERMA. Thermorshuizen-Arts menyebut kewenangan semacam ini merupakan sebuah kewenangan yang bahkan tidak akan berani dimimpikan sekalipun oleh Hoge Raad Belanda (waarvan de Nederlandse Hoge Raad niet zou durven dromen, Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 336).Gedung lama Hooggerechtshof yang sempat ditempati Mahkamah Agung (1980)Sumber: collectie.wereldmuseum.nlLembaga Kehakiman yang TerlupakanHooggerechtshof terus menjalankan fungsinya hingga Belanda angkat kaki dari Indonesia setelah kalah dari Jepang pada tahun 1942. Setelah perang dunia usai, Belanda, yang berusaha menancapkan kembali kukunya di nusantara, sempat mendirikan kembali lembaga ini pada tahun 1947 (Hanneke van Katwijk & Albert Dekker, Nederlands-Indische Jurisprudentie, Register op de Geannoteerde Rechtspraak in het Indisch Tijdschrift van het Recht en de Mededelingen van het Documentatiebureau voor Overzees Recht, KITLV Uitgeverij, Leiden, 1993, hlm. 24). Namun, penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949 menjadi penanda definitif berakhirnya riwayat keberadaan Hooggerechtshof sebagai badan peradilan tertinggi kolonial di Indonesia.Demikian sejarah singkat pendahulu Mahkamah Agung ini. Pada hakikatnya, Hooggerechtshof dapat dibilang lahir sebagai bentuk upaya memisahkan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan kehakiman di masa kolonial. Penelaahan terhadap sejarahnya mengajarkan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prinsip universal yang tidak lekang oleh waktu, bahkan dalam konteks kolonial sekalipun. Meskipun prinsip ini tidak berhasil diwujudkan sepenuhnya, namun Hooggerechtshof tetap berupaya mewujudkan fungsinya sebagai pucuk lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan pemerintah. Dengan cara demikian, Hooggerechtshof sejatinya telah memberikan warna tersendiri dalam khazanah sejarah hukum Indonesia yang masih sedikit diketahui orang. Penelusuran lebih lanjut terhadap sejarah lembaga ini, sesungguhnya menarik, namun masih kurang dilakukan. Sayangnya, putusan atau pun arsip yang berhubungan dengan Hooggerechtshof yang mungkin masih tersimpan di Jakarta sudah musnah dimakan rayap (Kees Briët, 2015, hlm. 17). Sebagaimana yang disebut Kees Briët, Hooggerechtshof tidak lain adalah sebuah lembaga kehakiman yang terlupakan (vergeten rechtscollege).Gedung Hooggerechtshof saat ini menjadi bagian dari kompleks Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng (2023)Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/Daftar Referensi: Anne Doedens & Liek Mulder, De Memoires van Hendrik Breton ofwel de Duistere Zijde van de VOC, De Prom, Amsterdam, 2003.C. Fasseur, De Indologen, Ambtenaren voor de Oost, 1825-1950, Uitgeverij Bert Bakker, Amsterdam, 1993.H.T. Jansen, Het Hof is Dood, Leve het Hof! Over de Ontbinding en de Heroprichting van het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (1901), Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 185, 1, (2024).Hanneke van Katwijk & Albert Dekker, Nederlands-Indische Jurisprudentie, Register op de Geannoteerde Rechtspraak in het Indisch Tijdschrift van het Recht en de Mededelingen van het Documentatiebureau voor Overzees Recht, KITLV Uitgeverij, Leiden, 1993.J. La Bree, De Rechterlijke Organisatie en Rechtsbedeeleing te Batavia in de XVIIe Eeuw, Nijgh & Van Ditmar N.V., Rotterdam, 1951.Kees Briët, Het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië 1819-1848, Potret van een Vergeten Rechtscollege