Labirin Hyperreality
“Mengapa korupsi sering terjadi meski dilarang ya pak?” tanya seorang bocah saat menonton acara berita pada suatu senja di ujung nusantara. "Karena enak, dan hukumannya enteng," jawab sang ayah sambil menikmati pisang goreng hasil panen di kebun milik sendiri. Jawaban sederhana ini jika dipahami lebih dalam menjelaskan bagaimana hyperreality menurut Baudrillard dan jouissance (jouissance akan lebih banyak dibahas pada sub-judul selanjutnya) ala Lacan bekerja dalam konteks korupsi dengan bahasa yang sangat sederhana (1994: 10).
Norma hukum yang seharusnya menjadi panduan sering kali hanya menjadi sebuah simulacra (simbol) yang menciptakan ilusi keadilan dan ketertiban (1994: 10). Dalam dunia yang dipenuhi ketidakstabilan politik dan ekonomi norma hukum kerap memberi kesan seolah-olah setiap persoalan bisa diatasi hanya dengan menerapkan pasal-pasal. Padahal kenyataannya norma hukum sering hanya menjadi smibol dan bukan solusi yang menyentuh akar persoalan. Ia sekedar sebagai pagar yang menjaga citra hukum dengan seolah mengatakan bahwa keadilan masih mungkin hadir.
Ketika subjek terjebak dalam hyperreality hukum, mereka terdistraksi dari realitas sejati yang luar biasa kompleks. Korupsi sebagai contoh, lebih sering dilihat dari besaran vonis atau pasal yang diterapkan oleh penegak hukum, seolah-olah keadilan sudah terpenuhi jika hukuman berat dijatuhkan, publik sering kali puas dengan vonis maksimal namun segera melupakan kasus tersebut ketika hukuman diringankan di tingkat banding atau kasasi, fenomena ini menunjukkan bagaimana fokus pada simbol hukum acap kali mengalihkan perhatian dari penyebab mendalam mengapa korupsi terjadi, seperti sistem yang rusak atau budaya permisif kurang menarik untuk diulas dalam diskursus masyarakat.
Korupsi dalam labirin hyperreality menjadi lebih dari sekedar pelanggaran hukum pidana, ia adalah bagian dari simulasi besar di mana hukum hanya berperan sebagai panggung drama untuk memuaskan tuntutan sosial. Dengan memahami ini, kita dapat keluar dari jebakan ilusi hukum dan mulai melihat korupsi sebagai fenomena kompleks yang membutuhkan pendekatan lebih dari sekedar hukuman simbolis melalui tuntutan atau vonis hakim yang merujuk ke norma/pasal pada peraturan perundang-undangan.
Jouissance, Heroism, dan Penjara Zimbardo
Ketika hukum hadir sebagai simbol dalam dunia kehidupan, Jouissance hadir sebagai unsur pendorong subjek untuk menabrak aturan atau simbol tersebut, Jouissance adalah istilah Lacan yang banyak disebutkan dalam seminar-seminarnya yang dituliskan dalam beberapa cetakan, Jouissance adalah kutub yang bersebrangan dengan isitilah desire dalam bahasa Inggris (Jean, dkk, 2003:102).
Berbeda dengan padanannya, jouissance bukan hanya tentang menikmati, tetapi tentang melampaui atau menembus batas-batas simbolik, moral, atau bahkan hukum menurut pandangan Jacques-Alain Miller (1992:191). Jouissance hadir sebagai sesuatu yang ambigu, menyenangkan sekaligus merusak. Sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia, jouissance merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya terjadi tindak pidana tidak terkecuali perilaku korupsi, dari titik ini kita akan melihat korupsi bukan lagi sekedar nominal uang yang bombastis atau tokoh yang tersohor melainkan cerminan dari sisi jouissance dalam diri manusia, sebuah usaha untuk melihat sisi lain dari perilaku korupsi, perspektif ini menjelaskan jika di balik aliran dana yang fantastis ada rasa puas yang sulit untuk digambarkan secara jela, semacam kemenangan diam-diam atas sistem yang dianggap mengekang oleh seorang subjek.
Dalam korupsi, pelaku tidak hanya mengejar keuntungan materi an sich, dalam pandangan Lacan mereka juga tenggelam dalam hasrat yang lebih dalam yakni hasrat untuk melawan, merusak dan untuk berdiri di atas hukum dan menginjak-injaknya sambil tertawa. Muncul sensasi nakal semacam pembangkangan yang mirisnya justru terasa nikmat dan disukai oleh subjek (Jouissance).
Jika diringkas, Lacan hendak mengingatkan kita jika korupsi bukan hanya perihal adanya hukum yang dilanggar atau moralitas yang dilupakan oleh pelaku melainkan pertempuran paling purba dalam diri manusia antara hasrat liar mengenai kenikmatan yang sulit untuk dihentikan.
Lacan melalui pemikirannya mendobrak simulacra dari perilaku korupsi yang disimbolkan dalam pasal-pasal dengan mengulas unsur invisible yang jarang dibahas. Dalam negara hukum dorongan untuk merusak tatanan norma ini dihalangi oleh batasan yang dipaksakan hukum dan subjek sering kali terdorong untuk melanggar itu semua.
Selanjutnya pada bayangan Lacan, manusia kerap menjadi sosok pembangkang yang tidak mengenal takut meskipun akhirnya mereka adalah korban dari keinginan mereka sendiri (sebagaimana kita lihat tidak sedikit pelaku korupsi yang menangis dan menyesali perbuatannya).
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Becker, dalam "The Denial of Death", mengungkapkan bahwa manusia menciptakan berbagai mekanisme untuk menyangkal kematian, menurut Becker (1973:9) ketakutan akan kematian adalah salah satu ketakutan paling fundamental yang menghantui setiap insan.
Untuk menghadapi ketakutan ini psikologi manusia menciptakan apa yang disebut sebagai "heroism", yaitu usaha untuk menemukan makna dan tujuan hidup yang dianggap abadi (Becker, 1973:9), namun heroism yang seharusnya memberikan makna dan tujuan hidup justru bisa berubah menjadi arena kejahatan, hal ini senada dengan inti dari tulisan Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (2007:19) yang berpesan jika tidak ada orang baik atau jahat, semua tergantung daripada bagaimana lingkungan membentuk mereka.
Berdasarkan pandangan tersebut terlihat paradoks besar dari kedua pemikir ini. Jika Becker menunjukkan bahwa upaya psikologis manusia untuk menolak kematian bisa mengarah pada tindakan-tindakan heroik yang membawa kebaikan, namun Zimbardo memperingatkan bahwa dalam situasi yang tidak dikontrol dengan baik bisa membuat heroism berubah menjadi tindakan jahat.
Dalam dunia modern seperti sekarang ini, dengan segala tekanan dan godaannya, heroism dapat berubah menjadi sesuatu yang sangat buruk seperti korupsi, tindakan korupsi tidak hanya mencerminkan kerakusan, tamak, hanyalah satu sisi mata uang dari perilaku korup. Merujuk pendapat Becker, perilaku ini juga dapat dilihat sebagai ambisi manusia untuk melawan ketakutan terbesar mereka yaitu ketidak-berartian, keinginan untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan agar diakui sebagai orang yang memiliki harta yang luar biasa banyak, keinginan untuk dikenal berkuasa atas hukum, serta keinginan untuk yang membuat legacy sering sekali harus dibayar dengan melanggar norma-norma hukum dan moral itu sendiri.
Dalam heroism yang salah ini, mereka meninggalkan jejak yang bukan abadi dalam kebaikan melainkan dalam noda yang sulit dihapuskan oleh waktu sekalipun. Korupsi dengan segala daya tariknya menjadi akhir tragis di mana dorongan manusia untuk menemukan makna dalam hidup berubah menjadi penghianatan besar terhadap tujuannya tersebut.
Kembali kepada Zimbardo, Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect yang disebutkan diatas menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh karakter atau moral pribadi tetapi juga oleh sistem dan situasi yang melingkupinya. Banyak pelaku kejahatan berat seperti korupsi beroperasi dalam konteks sistem yang korup, baik hukum, politik, sosial dan budaya tempat ia muncul. Dalam sistem yang korup ini, heroism yang salah tumbuh subur dan berbuah rimbun, seperti gayung bersambut, dirawat baik dan mengakar dalam diri subjek.
Pada akhirnya, dari variasi perspektif ini kita berangsur-angsur melihat korupsi bukan lagi sebatas pelanggaran hukum maupun moral, tetapi sebagai pergulatan yang sangat kompleks. Sementara Baudrillard berpandangan jika hukum sering sekali hanya merupakan simbol dalam dunia yang kompleks, ia hadir sebagai representasi realitas dan sering sekali lebih diperhatikan ketimbang realitas itu sendiri. Begitupun Lacan yang ikut mengatakan jika Jouissance hidup dalam diri manusia dan merupakan alasan mengapa banyak orang berpotensi melampaui simbol-simbol/norma, kemudian Becker hadir menimpali dengan mengatakan, “tidak selesai disana, manusia juga dituntun oleh heroism, mencari makna kehidupan terus menerus”, Zimbardo mengacungkan tangan dengan berargumen, ya benar, dan semua itu akan ditentukan oleh dimana heroism itu muncul, lingkungan yang baik atau buruk.
Korupsi adalah cerminan Jouissance, heroism yang salah arah, dan efek negatif dari lingkungan. Untuk memberikan solusi kita membutuhkan lebih dari hanya ribuan pasal dan vonis, kita harus melepaskan diri dari hyperreality, kita membutuhkan pemahaman yang lengkap tentang manusia, sistem dan bagaimana keduanya saling membentuk dan berkelindan. (LDR)