Cari Berita

Titik Temu Sewagheian dalam Hukum Adat Lampung dan Keadilan Restoratif

M. Hendra Cordova Masputra-Hakim PN Sampang - Dandapala Contributor 2025-06-15 13:00:44
Dok. Pribadi.

Penerapan keadilan restoratif dalam sistem hukum modern semakin diakui sebagai alternatif untuk mengelola sengketa karena bertujuan untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan kerugian yang timbul akibat kejahatan, bukan hanya menghukum pelanggar. Konsep ini sejalan dengan kearifan lokal, terutama dalam Hukum Adat Lampung Sewagheian. Dalam bahasa lampung “Waghei” artinya “saudara”, secara makna “Sewagheian” atau “Pewagheian” atau “Mewagheian” atau “Angkon Mewaghei” berarti bermakna menganggap saudara atau bersaudara.

Sebagaimana dikutip dari laman https://www.investigasimabes.com/berita/27142/muwaghei-adat-di-selagai-nyampir-tuan-suttan-pemimpin-negara/halaman/2. Menurut Suttan Pengiran Ratu Sebuay Subing, tradisi angkon mewaghei telah berlangsung sejak zaman dahulu dan biasanya dilakukan atas dasar tiga alasan utama. Pertama, karena kebaikan yang melebihi batas hubungan darah; kedua, karena kesetaraan ilmu atau kemampuan yang tidak dapat dikalahkan satu sama lain; dan ketiga, sebagai jalan damai setelah konflik atau pertikaian tanpa melibatkan hukum negara. Angkat saudara dilakukan bukan semata karena hubungan biologis, tetapi karena ada nilai kebaikan, kesetaraan, dan penyelesaian damai yang menjadi dasar kuat dalam adat.

Baca Juga: Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi

Hukum Adat Lampung “Angkon Mewaghei” atau dalam tulisan ini penulis menyebutnya “Sewagheian” yang bermakna “menganggap sebagai saudara”, menurut penulis sebagai seorang yang tumbuh dan dibesarkan dengan Adat Lampung, Sewagheian mengandung filosofi yang sangat menghargai nilai-nilai persaudaraan dan harmoni kebersamaan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Lampung yang berkaitan dengan resolusi konflik atau penyelesaian masalah yang ada dan terjadi di tengah masyarakat lampung.

Hukum Adat Lampung Sewagheian berusaha untuk menyembuhkan ikatan yang terputus akibat konflik, yang sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif yang berusaha mengembalikan hubungan antara korban, pelanggar, dan masyarakat. Kesungguhan pelaku untuk bertanggung jawab, dan keikhlasan korban adalah kunci terjadinya penyelesaian masalah melalui Hukum Adat Lampung Sewagheian dan sama-sama berikrar (bersumpah) sebagai saudara.

Terdapat beberapa contoh penerapan Hukum Adat Lampung Sewagheian, misalkan ada seseorang pengendara mobil yang mengantuk kemudian menabrak seorang perempuan di salah satu wilayah yang menerapkan Hukum Adat Lampung, kemudian korbannya mengalami luka-luka dan perawatan di rumah sakit. Dalam Hukum Adat Lampung Sewagheian si pelaku akan bermusyawarah dengan pihak korban dan keluarga korban, dengan dipandu dan ditengahi oleh tokoh adat yang dituakan (penyimbang adat) dalam suatu proses mediasi bersama atau dikenal dengan istilah (rembuk pekon), permintaan maaf, ketulusan dan keseriusan pelaku juga akan dinilai bersama oleh masyarakat, tokoh adat serta korban dan keluarganya. Kemudian pelaku memberikan ganti kerugian dan biaya perawatan yang wajar dan disepakati bersama. Setelahnya maka akan diadakan semacam upacara dan makan bersama yang dihadiri oleh pelaku beserta korban dan keluarganya untuk sama-sama berikrar sebagai saudara yang akan saling tolong menolong dan membela;

Persimpangan Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian dapat terjadi dalam beberapa elemen, di mana Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian dapat bertemu, karena keduanya berfokus pada Restorasi atau pemulihan kembali hak-hak orang yang menjadi korban. Baik Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian tidak memprioritaskan siapa yang salah dan apa hukuman yang tepat untuk dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai gantinya, mereka hanya akan fokus pada upaya pemulihan untuk kerugian yang dialami oleh korban, sebagai peringatan dan koreksi terhadap perilaku pelanggar, dan pemulihan perdamaian bagi masyarakat.

Peran Masyarakat dan Musyawarah Mufakat dalam Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian sama sama menjadi faktor yang menentukan, masyarakat memiliki peran aktif dalam penyelesaian konflik, yang paralel dengan Hukum Adat Sewagheian, di mana tokoh adat, tetua, dan anggota masyarakat berperan langsung baik pelaku maupun korban bersama-sama untuk mencari solusi damai. Mediator dan dialog menjadi inti keadilan restoratif.

Hukum Adat Sewagheian juga menekankan pentingnya musyawarah mufakat untuk mencapai kesepakatan bersama sebagai metode utama dalam menyelesaikan sengketa. Melalui dialog yang mendalam, masing-masing pihak diajak untuk saling memahami perspektif mereka dan menemukan kesepakatan bersama. Hal ini memberikan penekanan pada Harmoni Sosial: Tujuan akhir “restorative justice” adalah mengembalikan harmoni sosial yang terganggu. Hukum Adat Lampung “Sewagheian” menekankan bahwa meskipun ada perselisihan, pihak-pihak yang terlibat tetap "saudara" yang hubungan nya perlu dijaga. Jika perselisihan dapat diselesaikan, status "saudara" tersebut akan semakin kuat.

Mengintegrasikan pendekatan “restorative justice” dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Hukum Adat Lampung Sewagheian memberikan sejumlah manfaat penting, diantaranya  Penyelesaian Konflik yang Menyeluruh, Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan masalah di permukaan, tetapi juga menuntaskan akar permasalahan dan memastikan pemulihan secara psikologis dan sosial bagi semua pihak, agar tidak ada lagi dendam dan justru menumbuhkan rasa persaudaraan yang tinggi yang akan dirasakan baik oleh pelaku maupun korban.

Selain itu dengan mengedepankan prinsip "sewagheian", masyarakat didorong untuk menjaga dan bahkan memperkuat ikatan persaudaraan meskipun pernah mengalami konflik, sehingga keadilan menjadi lebih bermakna bagi korban, keadilan bukan hanya berarti hukuman bagi pelaku, tetapi juga pemulihan kerugian dan pengakuan atas penderitaan mereka. Sedangkan untuk pelaku, ada kesempatan untuk bertanggung jawab dan diterima kembali dalam masyarakat serta memiliki satu orang saudara baru dalam kehidupannya.

Penerapan “restorative justice” dapat sejalan dengan Hukum Adat Lampung Sewagheian, yang juga berkontribusi dalam melestarikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Lampung yang relevan di tengah-tengah tantangan zaman di era modern yang semakin berkembang.

Implementasi “restorative justice” dan semangat Hukum Adat Lampung Sewagheian merupakan model ideal untuk menyelesaikan sengketa. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun sistem keadilan yang lebih manusiawi, berfokus pada pemulihan, dan selalu memperkuat kembali hubungan persaudaraan.

Hukum Adat Lampung Sewagheian saat ini adalah masih berupa alternatif penyelesaian sengketa “non penal” atau diluar dari sarana “penal” yang berupa Sistem Peradilan Pidana, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang ada pada saat ini masih belum mengakomodir adanya penyelesaian sengketa melalui hukum adat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat adat di luar daripada hukum positif yang ada.

Untuk itu Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan keadilan restoratif, menjawab kekosongan hukum yang belum terakomodir dalam peraturan perundang-undangan, tentunya dengan tujuan mengintegrasi keadilan restoratif dan hukum positif yang ada pada saat ini yang kriterianya diatur secara khusus dalam Pasal 6 PERMA tersebut.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), dalam Pasal 2 Ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Sementara dalam Ayat (2) menyatakan Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

Dalam Pasal 2 KUHP Baru yang akan mulai berlaku pada Tahun 2026 baru diperkenalkan prinsip penting mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat atau sering disebut juga dengan hukum adat dalam Sistem Peradilan Pidana. Namun, batasan yang jelas dan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah dan juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP Baru) yang baru agar dapat mengakomodir Hukum Adat termasuk Hukum Adat Lampung Sewagheian menjadi krusial untuk mencegah ketidakpastian hukum, mencegah terjadinya praktik koruptif dan memastikan penerapan yang sesuai dengan koridor HAM, koridor adat, dan ketahanan sosial serta nilai-nilai dasar negara. (LDR/YPY)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI