article | Opini
| 2025-04-02 13:05:25
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian terhadap posisi dan pemenuhan hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana telah mengalami perkembangan yang cukup bagus. Salah satu konsep yang bertujuan untuk mengakomodasi hak-hak korban adalah dengan adanya penerapan victim impact statement (VIS). Konsep VIS ini muncul pertama kali setelah peristiwa tragis yang terjadi pada 20 Juli 1969 di California, Amerika Serikat (AS), yaitu pembunuhan massal yang dilakukan oleh pengikut Charles Manson, yang menyebabkan tujuh orang tewas, termasuk aktris Sharon Tate yang sedang hamil delapan bulan. Kejadian ini mempengaruhi ibu Sharon, Doris Tate, yang menderita depresi dan menjauh dari dunia luar selama lebih dari sepuluh tahun. Pada tahun 1982, Doris mengetahui bahwa salah satu terpidana, Leslie Van Houten, dijadwalkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Doris yang merupakan seorang aktivis, kemudian mendirikan Coalition for Victims’ Equal Rights, yang memperjuangkan pengesahan Victims’ Bill of Rights pada tahun 1982 di California. Salah satu poin penting dari undang-undang ini adalah hak bagi korban untuk menyampaikan pernyataan di pengadilan. Jika korban meninggal, hak ini diberikan kepada anggota keluarga. Sebelumnya, korban hanya bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dari pengacara.Sebagaimana dalam penelitian Booth Robert dan Edgar menyatakan bahwa : “VIS allow victims (i.e. individuals directly targeted by the crime and family members of directly targeted individuals who died as a result of the crime) to tell legal decision makers (i.e. jury members and/or judges), either orally – live on audio, or on video – or in written format. Adapun kalimat tersebut dapat diartikan bahwa VIS memberikan ruang bagi korban kejahatan, termasuk anggota keluarga korban yang meninggal, untuk berkomunikasi secara langsung dengan pembuat putusan hukum (juri dan/atau hakim) tentang dampak kejahatan terhadap kehidupan mereka. Hal ini dapat dilakukan secara lisan, baik secara langsung, melalui rekaman audio atau video, atau dalam bentuk tertulis. VIS ini menggambarkan apa saja akibat yang diterima korban secara langsung sebagai akibat dari tindak pidana yang telah dialami dan sekaligus untuk membantu hakim dalam mempertimbangkan hukuman sebelum menjatuhkan vonis bagi terdakwa.Berkaitan dengan konsep VIS telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana (PERMA 1/2022). Namun sebelum lebih jauh memahami VIS dan peranannya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia maka harus dipahami dahulu apa itu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana limitasi penulis akan mengaitkan VIS dengan korban tindak pidana kekerasan seksual dalam pengajuan restitusi baik selama proses persidangan maupun pasca persidangan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap (BHT) dan Model Rekomendasi VIS yang tepat yang bisa digunakan oleh korban atau keluarga korban dalam pengajuan permohonan baik secara langsung atau tertulis. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU TPKS bahwa TPKS adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam UU ini. Adapun definisi korban pada Pasal 1 ayat 4 UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan TPKS. Sedangkan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.VIS dengan restitusi sangat berkaitan karena keduanya bertujuan untuk memberikan pemulihan kepada korban tindak pidana. VIS memungkinkan korban untuk menyampaikan dampak yang mereka alami akibat kejahatan tersebut, baik secara fisik, psikologis, sosial, maupun ekonomi, yang menjadi dasar bagi Hakim di pengadilan untuk menentukan jumlah restitusi yang adil. Restitusi sendiri merupakan hak yang diberikan kepada korban untuk mengganti kerugian yang dialami, dan VIS memberikan informasi yang diperlukan agar restitusi yang diberikan sesuai dengan dampak yang ditanggung oleh korban. Dengan kata lain, VIS berfungsi sebagai alat yang membantu hakim menetapkan besaran restitusi yang proporsional dan mencerminkan kerugian korban secara menyeluruh. Adapun bentuk restitusi yang diatur dalam Pasal 4 PERMA 1/2022 meliputi: ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti rugi materiil dan immateriil akibat penderitaan langsung dari tindak pidana, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta ganti rugi atas kerugian lain akibat tindak pidana. Selanjutnya syarat permohonan restitusi menurut Pasal 5 PERMA 1/2022 mencakup identitas pemohon, identitas korban (jika pemohon bukan korban itu sendiri), uraian tindak pidana, identitas terdakwa/termohon, uraian kerugian yang diderita, dan besaran restitusi yang diminta. Mengenai syarat permohonan restitusi untuk korban anak, permohonan dapat diajukan oleh orang tua, keluarga, wali, ahli waris, kuasa hukum, atau LPSK secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Permohonan diajukan langsung kepada ketua pengadilan atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum.Lalu? Bagaimana cara pengajuan restitusi itu sendiri, Pertama, pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Vide Pasal 8 s/d 10 PERMA No 1 Tahun 2022. Permohonan ini dapat diajukan langsung oleh korban, atau melalui LPSK, penyidik, atau Penuntut Umum. Dalam hal permohonan diajukan melalui penyidik atau LPSK, mereka wajib menyampaikan berkas permohonan kepada Penuntut Umum, baik sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, atau paling lambat sebelum Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana. Jika korban tidak mengajukan permohonan restitusi, hakim wajib memberitahukan hak korban untuk memperoleh restitusi, yang dapat diajukan sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan atau setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dalam putusannya, hakim harus memuat pernyataan mengenai diterima atau tidaknya permohonan restitusi, beserta alasan untuk menerima atau menolak permohonan tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya. Selain itu, hakim juga wajib mencantumkan besaran restitusi yang harus dibayarkan oleh terdakwa, atau oleh orang tua terdakwa jika yang bersangkutan adalah anak, dan/atau oleh pihak ketiga yang berkaitan. Restitusi yang diputuskan oleh hakim bertujuan untuk memulihkan kerugian yang dialami korban, baik dalam bentuk materiil maupun immateriil.Permohonan restitusi tidak menghapuskan hak korban, keluarga, ahli waris, atau wali untuk mengajukan gugatan perdata. Hal ini dapat dilakukan apabila terdakwa diputus bebas atau lepas, atau jika terdapat kerugian yang diderita korban yang belum dimohonkan restitusi kepada pengadilan, atau yang telah dimohonkan tetapi tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Oleh karena itu, meskipun restitusi diberikan, korban tetap memiliki hak untuk menuntut ganti rugi melalui jalur gugatan perdata jika terdapat kerugian yang belum terakomodasi. Kedua, permohonan restitusi juga dapat diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap Vide Pasal 11 s/d 15 PERMA No 1 Tahun 2022, dengan waktu pengajuan paling lama 90 hari sejak Pemohon mengetahui putusan tersebut. Dalam hal ini, terpidana menjadi pihak termohon dalam permohonan restitusi, sementara Jaksa Agung atau Jaksa bertindak sebagai pihak terkait dalam proses permohonan tersebut. Dengan demikian, meskipun restitusi dapat diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, proses pengajuannya tetap dilakukan melalui mekanisme yang jelas untuk memastikan hak-hak korban tetap terlindungi.Sebagaimana inti Pasal 8 ayat 4 PERMA 1/2022 apabila korban tidak mengajukan permohonan restitusi, maka hakim wajib memberitahukan hak korban untuk memperoleh restitusi, maka disini peranan VIS masuk dalam menyuarakan hak-hak korban yang bisa secara langsung membuat permohonan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum Pasal 5 ayat 4 PERMA 1/2022. VIS menjadi jembatan bagi korban untuk mengungkapkan secara resmi dan terstruktur dampak yang mereka alami akibat tindak pidana, sekaligus memungkinkan mereka untuk mengajukan permohonan restitusi dengan lebih mudah dan jelas.Berikut merupakan Model VIS yang diusulkan oleh penulis di mana dalam model ini, penulis merujuk pada Pasal 4 dan 5 PERMA 1/2022, yang mengatur tentang restitusi bagi korban kejahatan. Selain itu, VIS harus memuat syarat-syarat permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, yaitu: “identitas Pemohon, identitas Korban (jika pemohon bukan korban langsung), uraian Tindak Pidana, identitas Terdakwa/Termohon, uraian Kerugian yang diderita, besaran Restitusi yang diminta.”Gambar 1.1Model Victim Impact Statement (Pernyataan Dampak Korban)Model VIS yang diusulkan bertujuan untuk memberikan panduan yang jelas dalam melindungi hak-hak korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. Model ini digunakan apabila LPSK tidak mengajukan rekomendasi penetapan restitusi kepada Penuntut Umum atau Pengadilan. Dengan adanya format yang terstruktur, VIS dapat dengan mudah dipergunakan oleh korban atau perwakilannya untuk menyampaikan dampak yang mereka alami.Selain itu, VIS juga memberikan kemudahan bagi hakim dalam memahami tingkat penderitaan korban, sehingga putusan yang diambil bisa lebih adil dan berpihak pada korban (victim centered-oriented). VIS ini sangat penting di mana tidak hanya untuk mengakomodir penderitaan korban, tetapi juga dalam aspek pemulihan yang harus diterima oleh korban akibat dari tindak pidana tersebut. Restitusi yang tercantum dalam VIS mencakup berbagai bentuk pemulihan, baik finansial maupun psikologis. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, dampak yang dialami sering bersifat jangka panjang dan dapat mempengaruhi aspek sosial dan pendidikan korban. Oleh karenanya penggantian biaya medis dan psikologis menjadi bagian vital dalam VIS, agar korban memperoleh perawatan yang diperlukan.VIS juga berfungsi untuk memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dalam proses peradilan. Identitas pemohon dan korban yang tercantum dalam VIS bertujuan untuk memberikan kepastian tentang siapa yang berhak mengajukan pernyataan ini, yang sangat penting dalam kasus korban di bawah umur. VIS dapat diajukan oleh orang tua, wali, atau pihak yang mendampingi korban secara hukum. Kejelasan ini mempermudah proses hukum dan menghindari penyalahgunaan hak korban dalam sistem peradilan. Uraian tindak pidana dalam VIS memiliki peranan untuk menjelaskan kronologi kejadian yang dialami korban secara rinci dan sistematis, sehingga dapat menggambarkan dampak nyata dari kejahatan tersebut. Informasi tentang identitas terdakwa atau termohon dalam VIS juga krusial untuk memastikan bahwa tuntutan restitusi diarahkan pada pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.Selain itu, uraian tentang kerugian yang diderita korban dalam VIS harus dijelaskan secara spesifik, meliputi dampak fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Penjelasan yang detail akan menjadi bahan pertimbangan utama bagi hakim dalam menentukan jenis pemulihan yang paling tepat untuk korban. Terakhir, besaran restitusi yang diminta dalam VIS harus dijelaskan dengan jelas dan didukung oleh bukti yang relevan, seperti kwitansi pengobatan, laporan psikologis, atau dokumen lain yang mendukung klaim korban. Dengan VIS yang terstruktur dan standar yang jelas, diharapkan keadilan bagi korban kekerasan seksual pada anak dapat lebih terwujud dalam sistem hukum Indonesia.