Cari Berita

Tantangan MA dan Peluang Menuju Peradilan Modern Berintegritas

article | Opini | 2025-04-17 17:00:56

Manajemen sebuah organisasi tentunya terdapat suatu dinamika yang dinamis dengan tujuan menuju ke arah perubahan yang lebih baik, namun dalam aplikasinya tentunya mengalami berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.Begitu juga dengan Mahkamah Agung (MA) mengalami berbagai dinamika yang pada akhirnya menjadi sebuah tantangan untuk mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misinya menuju peradilan modern yang berbasis teknologi.Isu suap merupakan salah satu isu hangat yang senantiasa menjadi perhatian serius yang harus diantisipasi dan penanganannya dilakukan baik secara konvensional maupun berbasis teknologi modern, serta kerja sama antar lembaga guna untuk meminimalisir setiap tindakan yang bertentangan atau melanggar etika. Secara khusus seperti suap dan pelanggaran Kode Etik Pedoman Prilaku Hakim (KEPPH) bila ditinjau secara umum.Penanganan setiap peristiwa hukum yang bertentangan dengan KEPPH dilakukan secara konsisten dan terukur dengan menghormati proses hukum yang sedang berjalan hingga putusan yang berkekuatan hukum tetap dan azas praduga tidak bersalah guna memberikan penyelesaian masalah secara adil tanpa mendatangkan masalah lain secara hukum dan ketentuan perundangan-undangan.Setiap langkah yang ditempuh selanjutnya akan dilakukan evaluasi dalam bentuk laporan yang dilaporkan kepada publik setiap tahunnya dalam bentuk laporan yang di dalamnya memuat statistik. Mulai dari penyelesaian perkara secara teknis yudisial dan non teknis yudisial sebagai dasar acuan transparansi dan akuntabilitas peradilan modern yang kemudian dijadikan barometer kebijakan kedepan untuk jangka pendek, menengah maupun panjang.Pelaporan terkait KEPPH juga menjadi hal penting yang dilaporkan oleh Ketua MA dihadapan Presiden dalam setiap kegiatan Laporan tahunan (Laptah) yang di agendakan oleh MA dan laporan tersebut mencakup jumlah laporan KEPPH yang ditangani dan hasil tindaklanjutnya dinyatakan bersalah dengan hukuman tingkat berat, sedang dan ringan juga yang dinyatakan tidak bersalah dengan pemulihan nama baik yang kesemuanya di jatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.Dalam hal pelaporan tersebut untuk melakukan penilaian mandiri dan merupakan bahan penilaian secara umum dari instansi yang berwenang dengan pertimbangan yang holistik untuk memberikan reward atau punishment terhadap setiap organisasi dan juga MA.Ada segelintir pihak yang merasa malu terhadap kinerja hakim yang telah mencoreng profesi hakim secara profesi dan ada yang merasa pantas untuk di hakimi secara adat dan ada pula bertindak objektif dengan berbagai pertimbangan yang tidak menuhankan manusia dan dilandasi kajian yang holistik dan berkeadilan.Pelaporan dalam Laptah Tahun 2024 dari Ketua MA dihadapan Presiden mendapatkan apresiasi dari Presiden dengan beberapa langkah perubahan antar lembaga yang direncanakan kedepan. Mulai dari modernisasi peradilan berbasis IT guna mendukung Asta Cita Pemerintah, peningkatan dan pemenuhan hak hakim serta fasilitas pendukung lainnya seperti fasilitas rumah dinas, sarana transportasi dan uang kemahalan serta kesehatan yang dirasakan oleh hakim di daerah yang dirasakan oleh pembuat kebijakan dirasakan masih memprihatinkan.Komitmen tersebut sudah mulai berjalan dan secara objektif tidak dapat dijadikan penghenti langkah perubahan, namun harus terus dijadikan bahan evaluasi apakah dalam bentuk robotik sistem dalam penunjukan majelis hakim yang menangani sebuah perkara (terlepas dari pro dan kontra atas kewenangan Ketua baik di tingkat Pertama maupun Banding), sistem promosi dan mutasi hakim serta berbagai permasalahan lain non yudisial terkait besaran APBN yang akan di peruntukan kepada MA disamping tata kelola anggaran di internal MA yang terdiri dari 4 lingkungan peradilan yang berkeadilan dan akuntabel yang dilandasi kehati-hatian dalam tata kelola permerintahan yang baik dan profesional.Semua pihak menjadi penentu kebijakan dan kemajuan bangsa. Karenanya diperlukan perencanaan, proses, pelaporan dan evaluasi serta tindak lanjut nyata menuju Indonesia yang lebih baik dan dihargai di mata dunia.Komitmen MA untuk melakukan perubahan dan meningkatkan kinerjanya sudah mulai berjalan. MA juga melakukan evaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan efektif dan efisien. Dengan demikian, MA dapat mewujudkan peradilan modern yang transparan dan akuntabel berbasis teknologi dan berintegritas.Karenanya keseluruhan hasil evaluasi kinerja MA menunjukkan bahwa lembaga khususnya MA telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir kekurangan dan meningkatkan kinerjanya dan mewujudkan peradilan modern yang berbasis teknologi. Namun, masih ada tantangan yang dihadapi dan perlu diatasi untuk mencapai tujuan tersebut sehingga harus terus berbenah dan dengan komitmen serta evaluasi yang terus-menerus, MA dapat mewujudkan peradilan yang adil dan transparan bagi masyarakat Indonesia.

Absurditas Hukum dalam Novel Letranger Karya Albert Camus

article | Opini | 2025-04-17 08:20:33

Summum ius, summa iniuria adalah sebuah adagium klasik dalam tradisi ilmu hukum. Secara historis, adagium ini diajukan oleh Cicero untuk mengkritik penegakan hukum yang legalistik dan formalistis di era Romawi. Secara harfiah, summum ius, summa iniuria diartikan sebagai: keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi.Apa maksud adagium itu? Secara ideal, setiap hakim dalam memutus perkara pasti yakin bahwa putusannya berdasarkan keadilan. Namun secara realistis, dari sudut pandang terdakwa, korban, atau publik, putusan tersebut dapat dianggap tidak adil. Artinya, hukum itu relatif. Relativitas hukum ini bahkan diamini oleh Prof. J.E. Sahetapy, yang pernah menyatakan: Law is the art of interpretation (hukum adalah seni menafsirkan). Bahkan dengan gaya satir, Beliau mengumpamakan hukum seperti kecantikan. Kecantikan tergantung mata yang memandang.Potret keadilan yang bersifat relatif bahkan absurd digambarkan secara jelas, dramatis, dan tragis oleh Albert Camus dalam novelnya The Stranger (L’Étranger), yang terbit pada 1942 di Prancis. Terjemahan Indonesianya berjudul Orang Asing, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Novel tersebut berkontribusi besar dalam membawa Camus meraih penghargaan Nobel Sastra pada 1957, dan mencatatkan namanya sebagai seorang filsuf absurditas, sejajar dengan Sartre dan Kafka. Novel L’Étranger mengisahkan seorang tokoh bernama Meursault, yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena dinyatakan bersalah telah membunuh seorang pria Arab di pantai. Namun, jika kita membaca novel tersebut dengan pendekatan ilmu hukum pidana modern, kita akan menilai bahwa Meursault bukanlah pembunuh yang layak dijatuhi hukuman mati. Mengapa? Karena hakim tidak menghukum Meursault berdasarkan alat bukti yang kuat atau saksi mata yang melihat langsung pembunuhan. Meursault justru dihukum karena hakim menilai moralnya tidak wajar. Ia dianggap “tidak berperasaan” karena tidak menangis atau menunjukkan kesedihan saat ibunya meninggal di panti jompo. Karena itu, ia dianggap tidak memiliki simpati. Dan karenanya, ia pasti tega membunuh pria Arab secara berencana. Sesederhana itu!Padahal, Camus menggambarkannya Meursault sebagai seseorang yang tengah mengalami krisis eksistensial (keterasingan). Ia adalah pribadi yang mempertanyakan segala nilai hidup: mengapa manusia harus hidup? Apa makna hidup? Ia tidak bersedih bukan karena tidak mencintai ibunya, melainkan karena ia sendiri tidak lagi menemukan titik makna dalam hidup. Ia tidak bisa berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan. Di tengah absurditas tersebut, ia justru diadili dan dihukum bukan semata karena perbuatannya, tetapi karena cara ia menjalani hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi sosial.Camus melalui tokoh Meursault memperlihatkan betapa kehidupan yang absurd dapat berakhir tragis dalam sistem hukum yang rigid dan hitam-putih. Meursault dianggap melakukan pembunuhan berencana, padahal jika ditelaah dari narasi peristiwa, ia menembak karena dorongan spontan dan situasi yang membingungkan, bahkan disebutkan karena silau matahari—sebuah metafora dari absurditas itu sendiri.Melalui novel L’Étranger, Camus menunjukkan bahwa dalam hidup manusia yang absurd, manusia harus berhadapan dengan hukum yang tak kalah absurd: bersifat rigid, objektif, dan mengabaikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mengalami kebimbangan, kesepian, dan keterasingan. Novel seperti L’Étranger adalah pelajaran fiksi hukum yang wajib direnungkan. Sebab tantangan hukum modern, seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, adalah: hukum modern tidak menjamin bahwa yang benar akan menang dan yang salah akan kalah. (LDR)

Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian

article | Opini | 2025-04-16 09:05:03

TUJUAN perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun ada kalanya suatu perkawinan tidaklah berjalan sesuai harapan. Permasalahan yang timbul terlalu kompleks hingga tidak ada ujungnya menyebabkan perceraian sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri ikatan perkawinan. Secara normatif perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Adapun yang menjadi alasan perceraian adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut dijelaskan terdapat 6 (enam) alasan seseorang mengajukan gugatan perceraian.Dari beberapa alasan perceraian dalam Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 penulis tertarik untuk membahas alasan pengajuan gugatan perceraian yang sering digunakan oleh Penggugat yaitu Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 mengenai adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri secara terus menerus hingga tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam membina rumah tangga. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana jika gugatan tersebut pada sidang pengadilan dapat didamaikan oleh mediator atau gugatan tersebut telah mendapat putusan dengan amar ditolak karena Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada kemudian hari permasalahan yang sama muncul hingga Penggugat mengajukan kembali gugatan pada pengadilan dengan alasan yang sama serta para pihak yang sama pula. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai nebis in idem? Dalam hukum pengajuan gugatan dengan pokok permasalahan yang sama disebut dengan istilah nebis in idem. Nebis in idem merupakan salah satu asas dalam hukum perdata yang telah dijelaskan pada Pasal 1917 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa sebuah perkara tidak boleh diperiksa kembali untuk kedua kalinya oleh pengadilan yang sama dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) jika objek perkara, para pihak serta tuntutan didasarkan pada alasan yang sama;Untuk menghindari adanya pengulangan perkara dengan objek dan subjek yang sama serta telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara Yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem. SEMA tersebut tidak membahas secara khusus mengenai nebis in idem dalam gugatan perceraian, namun masih secara umum sebagai rambu-rambu bagi pejabat pengadilan mulai dari Panitera untuk lebih cermat memeriksa berkas perkara, ketua pengadilan memberi catatan untuk majelis hakim mengenai keadaan tersebut dan majelis hakim diberikan kewajiban untuk mempertimbangkan baik pada putusan eksepsi maupun pada pokok perkara, mengenai perkara serupa yang pernah diputus di masa lalu. Tidak adanya peraturan khusus mengenai pedoman mengadili gugatan perceraian untuk menghindari adanya perkara nebis in idem berakibat pada adanya inkonsistensi putusan pengadilan tentang penerapan asas tersebut dalam perkara gugatan perceraian; Menurut penulis pengajuan gugatan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan sebagaimana Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 harus dicermati lebih dalam, sehingga hakim tidak serta merta menyatakan bahwa gugatan tersebut nebis in idem. Hakim dalam menerima perkara tentunya akan membaca gugatan agar mengetahui akar permasalahan apa yang timbul sehingga menyebabkan seorang mengajukan sebuah gugatan di pengadilan. Meskipun pengajuan gugatan perceraian diajukan dengan alasan yang sama, maka hakim harus menilai apakah terdapat peristiwa hukum baru dalam pengajuan gugatan perceraian tersebut;Apabila diresapi lebih dalam, seorang yang mengajukan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan yang sama memperlihatkan bahwa Penggugat tidak mampu lagi untuk mempertahankan perkawinannya karena berbagai faktor. Beberapa faktor penyebab perselisihan yang sering muncul yaitu faktor ekonomi, agama, pendidikan, komunikasi, stres, pengaruh keluarga, serta permasalahan keluarga lainnya. Gugatan perceraian tentunya tidak dapat disamakan dengan gugatan perdata yang lain. Hal tersebut karena masalah perceraian melibatkan permasalahan hati nurani, emosi dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Perselisihan yang terjadi secara terus menerus dikarenakan faktor-faktor tersebut tentunya menyebabkan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat tercapai;Menurut penulis, alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 huruf f tidak menjelaskan secara rinci faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pertengkaran secara terus menerus. Hal tersebut tentunya dapat menjadi celah bagi hakim untuk menggali lebih dalam fakta hukum yang sebenarnya terjadi, sehingga hakim dapat memberikan keadilan seadil-adilnya dalam putusan gugatan perceraian meskipun dengan alasan perceraian yang sama. Karena meskipun dengan alasan perceraian yang sama bisa jadi faktor utama penyebab perselisihan yang terjadi akan berbeda. Sebagai contoh pada saat pengajuan gugatan pertama pertengkaran tersebut bermula karena faktor ekonomi, namun oleh mediator dapat didamaikan atau pengajuan perceraian ditolak oleh pengadilan. Kemudian karena muncul permasalahan yang baru berakibat terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus. Peristiwa hukum baru dalam perselisihan dan pertengkaran pasca pengajuan permohonan gugatan perceraian yang ditolak oleh pengadilan bukan nebis in idem, tetapi merupakan kelanjutan peristiwa hukum yang mendeskripsikan puncak perselisihan sehingga tidak dapat rukun kembali. Tentunya alasan-alasan yang lebih mendasar itulah yang menjadikan objek alasan perceraian dapat bergeser.Hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan untuk menentukan bagaimana akhir dari perkara yang ditanganinya. Hakim dapat menggunakan hati nuraninya untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hanya sekedar formalitas untuk mengakhiri sebuah perkara. Sehingga untuk menolak sebuah perkara dengan alasan nebis in idem harus dinilai lebih mendalam apakah akan bermanfaat jika gugatan tersebut ditolak dengan pertimbangan karena alasan perceraian yang digunakan adalah sama dengan perkara yang telah mendapat putusan sebelumnya, sedangkan dalam sebuah putusan, hakim bukan hanya memberikan formalitas untuk mengakhiri sebuah gugatan namun juga memberikan putusan yang dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat. Dari pandangan tersebut menurut hemat penulis meskipun dasar alasan perceraian adalah sama, namun faktor utama yang mendasari adanya pertengkaran terus menerus antara suami istri adalah berbeda, maka alasan tersebut bukanlah nebis in idem. Dalam gugatan perceraian asalkan Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya maka amar putusan dapat menjadi putusan yang positif, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tentunya dapat diterima bagi para pihak. Untuk menghindari adanya inkonsistensi putusan gugatan perceraian dengan alasan yang sama, maka diperlukan pengaturan khusus tentang nebis in idem dalam gugatan perceraian yang dapat dituangkan dalam bentuk SEMA untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan dalam perkara gugatan perceraian. (ASN/LDR)Iva Amiroch (Calon Hakim PN Jepara)

Perubahan Iklim, Yurisprudensi dan Hukum Lingkungan Pakistan

article | Opini | 2025-04-15 12:05:05

SHAZIB Saeed, adalah seorang Hakim Distrik dan Sidang Pakistan, yang saat ini bertugas di Bahawalnagar. Beliau memiliki pengalaman akademis dan profesional yang luas. Di antaranya sebagai Staf pengajar tamu di Akademi Yudisial Punjab, Kolese Hukum Kinnaird, dan Kolese Hukum Quaid-e-Azam, Instruktur Senior, Direktur Riset, dan Direktur Administrasi di Akademi Yudisial Punjab. Selain itu, Shazib Saeed merupakan Ketua Pengadilan Lingkungan Punjab, dan menjadi Anggota Komite Penasihat Pengadilan Tinggi Yang Terhormat untuk Kehakiman Distrik. Beliau juga berkontribusi dalam membuat Kompilasi penilaian yang dilaporkan dan tidak dilaporkan dari Pengadilan Lingkungan Punjab yang kemudian diterbitkan sebagai "Keputusan Pengadilan Lingkungan Punjab". Shazib Saeed adalah penulis berbagai penilaian yang dilaporkan di bidang hukum lingkungan sehingga banyak berkontribusi pada pengembangan yurisprudensi lingkungan di Pakistan. Keahlian dan komitmen Shazib Saeed terhadap hukum lingkungan telah memberikan dampak yang signifikan terhadap lanskap peradilan Pakistan. Pada artikel ini, Shazib Saeed akan memaparkan isu krusial tentang Perubahan Iklim dan Hukum, Perkembangan Yurisprudensi dalam Kerangka Lingkungan Pakistan (Climate Change and the Law, Jurisprudential Developments in Pakistan's Environmental Framework). Berikut artikel lengkapnya:Shazib Saeed (Hakim Distrik Bahawalnagar, Pakistan)It is said Environment is no one’s property but everyone’s responsibility Pakistan is a country which is “more sinned against than sinning” on environmental issue. Since it contributes less than 01 percent in global carbon emission but stands amongst the vulnerable countries. Climate change has become a unique human rights issue of epic proportion for Pakistan. Recent floods are harbinger of Goliath lurking to strike. It is no exaggeration to say that right to life is blatantly threatened by menace of climate emergency which is catastrophic. It is ensnaring death trap for human civilization.The environmental hazards posed to the region due to rapid industrialization, urbanization, and agricultural development has led to common problems such as pollution of rivers; a rise in industrial waste and vehicle emissions; handling, storage, and transportation of dangerous goods; contamination of water, land, and coastal resources; air pollution; waterlogging; increase in the use of agrochemicals; and deforestation. All these threats to the environment call for an integrated approach.Word environment is not mentioned in our constitution however article 9 of the Constitution dealing with a fundamental rights provides that no person shall be deprived of life or liberty save in accordance with law. The word `life' has been interpreted in the case reported as Ms. Shehla Zia v. WAPDA (PLD 1994 SC 693) as under: "The word `life' in the Constitution has not been used in a limited manner. A wide meaning should be given to enable a man not only to sustain life but to enjoy it."However, it is now an internationally recognized principle that if there is conflict between a personal right and environment, the personal right must yield in favour of environment (1993 SCMR 1451).Judicial Activism in Developing Environmental JurisprudenceThe most significant feature in the environmental landscape of Pakistan is the judicial activism that has responded to public interest environmental litigation. The superior courts have been liberally responsive to environmental issues and complaints, including on the jurisdictional issue of locus standi, the main body of environmental jurisprudence in Pakistan has been laid down by the Supreme Court and the High Courts.Landmark Green PrecedentsIn the landmark decision in Shehla Zia vs. WAPDA,[PLD 1994 Supreme Court 693] the Supreme Court of Pakistan held that the right to a clean and healthy environment was part of the Fundamental Right to life guaranteed by Article 9 of the Constitution and the Fundamental Right to dignity provided in Article 14.  In this case, the Supreme Court also introduced the precautionary principle of environmental law, with specific reference to its inclusion in the Rio Declaration on Environment and Development, into Pakistani jurisprudence.In the Khewra Mines Case [1994 SCMR 2061] petitioners sought enforcement of the right of the residents to have clean and unpolluted water against coal mining activities in an upstream area. The Supreme Court affirmed its expansive approach to Article 184(3) and stated that 'the right to have unpolluted water is the right of every person wherever he lives.In dealing with noise pollution, the Supreme Court in Islamudin Case, [PLD 2004 SC 633) restrained the defendants from creating public nuisance in their workshops, stating that even noise made in carrying on a lawful trade, if injurious to the comfort of the community, is a public nuisance.The Supreme Court took suo moto action [Suo Motu case No. 13 of 2005, Report 2005-2006, SC of Pakistan, Golden Jubilee Edition, 106] in Islamabad Chalets and Pir Sohawa Valley Villas, restraining the construction of chalets and villas situated at a distance of two kilometers of the Margalla Hills, where the housing scheme was launched. The housing scheme in question would have had a direct bearing on the eco-system of the Margalla Hills.The Supreme Court also took suo moto action in the New Murree Project case [2010 SCMR 361] which posed grave environmental hazard as its initiation would have destroyed 5,000 acres of forest. The project was ultimately disbanded and the court reiterated the global environmental law principles of intergenerational equity as well as sustainable development in order to achieve goal of healthy environment, not only for present population but also for future generations.In the IMAX Cinema Case [2006 SCMR 1202] the Supreme Court opined that conversion of a public park into a shopping mall and setting up of the IMAX cinema without observing the codal formalities of the legal framework in particular non filing of the initial environmental examination was grossly illegal and was an offence under the Act.In the Canal Road Expansion Case [2011 SCMR 1743] the question before the Supreme Court was the environmental impact of widening the 14 km road along the banks of the canal that runs through Lahore. It was contended that not merely would the scheme devastate the green belt along both sides of the canal, but would even fail to achieve its stated objective of improving traffic flow in order to reduce traffic congestion in the city. The Court while holding that green belt around both sides of the canal was a public trust resource and hence could not be converted into private or any other use also observed that widening of the road was in fact a public purpose and as minimum area was being affected and project conformed with the Act thus the Doctrine of Public Trust, in circumstances, could not be said to have been compromised. Courts have recognized that there can be multiple stresses on the environment and there is sometimes a dynamic tension involved, which may mean that it may not be possible to redress one without to a certain extent leaving others unaddressed.The aim is not necessarily a perfect environment but a balanced one and the above referred judgment show that in such cases, the judicial approach has been appropriately nuanced. Later on in [2015 SCMR 1520], Supreme Court again examined the case to ensure that no direction of the court were being violated.In Land mark judgement Imrana Tiwana Case [P L D 2015 Lahore 522] full bench of the High Court raised concern about the legality of the environmental process adopted to review the EIA filed by the LDA in the light of Article 140A of the Constitution. It was observed that it the time to move on Environment and its protection has come to take center stage in the scheme of constitutional rights. It was held that EIA is nature’s first man made check post, nothing adverse to the environment is allowed to pass through it. It is through the tool of EIA that the authority gets to regulate and protect the environment and as a result the life, health, dignity and well-being of the people who inhabit the environment.In a recent case of C.P.L.A/2022; The Monal Group of Companies, Islamabad v. Capital Development Authority, the Supreme Court of Pakistan made significant observations regarding environmental protection. The court emphasized that the establishment and operation of restaurants within the Margalla Hills Park violate the Islamabad Wildlife (Protection, Preservation, Conservation and Management) Ordinance 1979. These observations reflect the judiciary’s commitment to upholding environmental laws and ensuring that development does not come at the cost of ecological integrity.The above referred precedents reinforce the fact that that the Courts have taken a broad and expansive view of their jurisdiction in relation to environmental issues.The road ahead for environmental Justice1. Judges and the judiciary at all levels need to be sensitized to environmental issues. Resolution of environmental issues is an integral aspect of delivering social justice which judiciary needs to keep in mind.2. To effectively address environmental issues within the framework of environmental law, judges must adopt an innovative and adaptable approach. The existence of a single Environmental Tribunal for the Province of Punjab is insufficient to tackle the extensive problem of climate degradation. A dynamic and multi-tiered approach is urgently needed. One crucial step is to amend existing legislation to empower District and Sessions Judges in the field across Punjab to handle environmental appeals and complaints within their respective districts. This decentralization will facilitate more localized and immediate responses to environmental concerns, addressing problems at the grass-root level.  In addition, judges should receive specialized training in environmental law through Punjab Judicial academy. Their approach to handling environmental cases should be flexible and open-minded.3. The current system may not be providing sufficient deterrence to prevent environmental violations. One significant problem with the current environmental tribunal and environmental magistrates is that it may lack effective deterrence. If fines on the basis of plea of guilt are too low or penalties are not stringent, they may not effectively discourage individuals or companies from violating environmental regulations. The practice of imposing nominal fines, especially when coupled with plea deals, can undermine the seriousness of environmental offenses. When fines are minimal, they may be viewed merely as a cost of doing business rather than a genuine consequence of unlawful actions. Tribunal is empowered by the legislature to impose substantial fines and penalties, even sentence of imprisonment in case of previous conviction that reflect the severity of the environmental harm caused. Instead of allowing offenders to settle for minor penalties, the tribunal could adopt a more rigorous approach to ensure that penalties are commensurate with the harm done.4. Proper enforcement mechanisms and increasing monitoring can help ensure that violations are detected and addressed more effectively. This might include more frequent inspections, better data collection, and improved reporting systems to track compliance and the effectiveness of penalties. As suggested earlier this can be conveniently done by the District and Sessions Judges working in the field if they are empowered through legislation5. Raising public awareness where remedy lies and the consequences of environmental violations can also help foster a culture of compliance. Public at large is not aware where the remedy lies in case of any environmental violation and they choose wrong forum, got exhausted and discouraged Educating stakeholders about the importance of adhering to environmental regulations and the potential consequences of non-compliance can contribute to better environmental practices. Legislative changes may be necessary to provide the tribunal with broader powers and more robust mechanisms for enforcement. This could involve updating laws to ensure that penalties are adequate and that the tribunal and the environmental magistrates have the authority to address violations effectively.6. All judicial academies need to develop curriculum for environmental law training. The concept of pre‐trial negotiations may be introduced in the proceedings before the Tribunals to enable the polluter to come up with, if possible, a mechanism for resolving the acts complained against, thus eliminating the environmental violation. EpilogBerdasarkan penjelasan di atas, pokok pikiran Shazib Saeed menekankan bahwa untuk penanganan masalah lingkungan hidup khususnya tentang perubahan iklim maka:1. Hakim dan lembaga peradilan di semua tingkatan perlu peka terhadap isu-isu lingkungan hidup karena penyelesaian permasalahan lingkungan hidup merupakan aspek integral dalam mewujudkan keadilan sosial yang perlu diperhatikan oleh peradilan.2. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup secara efektif, hakim harus menggunakan pendekatan yang inovatif dan mudah beradaptasi.3. Pengadilan diberi wewenang oleh badan legislatif untuk menjatuhkan denda dan hukuman yang besar bahkan pidana penjara, sebagai bentuk pendekatan yang lebih ketat untuk memastikan hukuman pelaku kerusakan lingkungan sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan.4. Peningkatan kepatuhan masyarakat untuk cinta lingkungan hendaknya dipicu oleh kesadaran masyarakat tentang konsekuensi pelanggaran hukum lingkungan hidup.5. Mekanisme penegakan hukum yang tepat dan peningkatan pemantauan dapat membantu memastikan bahwa pelanggaran terdeteksi dan ditangani dengan lebih efektif.6. Semua akademis peradilan perlu mengembangkan kurikulum untuk pelatihan hukum lingkungan hidup. (MCNB/LDR).Shazib SaeedDistrict and Sessions Judge Bahawalnagar. Served as Senior Instructor, Director Research and Director Admin, Punjab Judicial Academy. Remained Chairperson Punjab Environmental Tribunal and author of many reported judgments in the field of environment. Has complied reported and unreported judgments of the environmental tribunal.

Habis Liburan? Simak Tips Kembali Bekerja di Pengadilan

article | Opini | 2025-04-10 10:35:05

Tips. Usainya libur jangka panjang seperti dalam rangka Hari Raya Idul Fitri cenderung menyebabkan aparatur peradilan mengalami post-holiday blues yaitu rasa kesedihan dan kesulitan fokus pada kinerja. Fenomena tersebut memang wajar terjadi, namun ada hal yang dapat dilakukan untuk membantu kembali fokus kinerja khusus dalam administrasi perkara. Bagi panitera pengganti, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengingat dan pemeriksaan ulang untuk tertib administrasi perkara, seperti: Habisnya masa tahanan;Kelengkapan berkas perkara upaya hukum yang hendak dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung;Tanggal persidangan pada berita acara yang dibuat untuk persidangan sebelum libur;Memastikan keberadaan berkas (apakah berada di panitera pengganti atau majelis hakim); Bagi majelis hakim, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengingat dan pemeriksaan ulang untuk tertib administrasi perkara, seperti: Habisnya masa tahanan.Surat permohonan perpanjangan penahanan.Sesuainya tanggal penetapan hari sidang (one-day court date).Telah terunggahnya penetapan hari sidang, petikan putusan, dan putusan pada e-Berpadu; Bagi juru sita, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengingat dan pemeriksaan ulang untuk tertib administrasi perkara, seperti: Memastikan relaas panggilan telah tersampaikan pada pihak yang dipanggil;Relaas panggilan yang disampaikan melalui surat tercatat (Pos) diperiksa atau tracing untuk mengetahui posisi terakhir;Membuat berita acara relaas dan melampirkan dalam berkas perkara; Saran-saran ini hanyalah beberapa hal yang dapat diingat untuk memudahkan aparatur peradilan untuk tetap optimal dalam berkinerja terkait administrasi perkara, khususnya dalam perkara pidana. Tentunya, petunjuk dan arahan dari atasan tetap dapat dijadikan pedoman utama. Selamat kembali bekerja, aparatur peradilan! (NP)

Strategi Jadi Mediator Perkara Lingkungan Hidup yang Profesional

article | Opini | 2025-04-10 06:30:37

MEDIATOR adalah pihak netral dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Tapi bagaimana bila dalam kasus lingkungan hidup?Merujuk Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi diatur Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Sertifikat Mediator menjadi syarat yang harus dimiliki oleh seseorang apabila bertindak sebagai mediator di pengadilan. Namun syarat ini tidak bersifat kaku karena apabila tidak ada mediator bersertifikat di suatu pengadilan maka ketua pengadilan dapat menunjuk hakim yang tidak bersertifikat untuk menjalankan fungsi mediator.Sertifikat Mediator ini berupa dokumen yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung atau Lembaga Sertifikasi Mediator yang pada pokonya menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi Mediator. Khusus untuk Lembaga Sertifikasi Mediator adalah Lembaga yang telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Dalam pelatihan sertifikasi mediator, seseorang akan dilatih dan didik 4 (empat) kompetensi utama yaitu kompetensi interpersonal, kompetensi proses mediasi, kompetensi pengelolaan mediasi dan kompetensi etis dan pengembangan diri mediasi. Kompetensi interpersonal bertujuan agar melatih seseorang mediator dapat membina hubungan yang saling percaya dengan para pihak dalam mediasi. Selanjutnya kompetensi proses mediasi bertujuan untuk melatih mediator dapat menggunakan keterampilan dan teknik mediasi sesuai kebutuhan guna membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa. Kemudian kompetensi pengelolaan mediasi bertujuan agar mediator dapat menciptakan lingkungan yang membuat para pihak memiliki kesempatan terbaik dalam mencapai penyelesaian. Terakhir adalah kompetensi etis dan pengembangan diri mediasi. Kompetensi ini bertujuan agar seseorang mediator menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik dan norma praktek mediator serta mediator melakukan pengembangan diri baik melalui training, variasi penanganan kasus, seminar, forum diskusi dan media serta sumber pembelajaran lainnya. Kumpulan 4 (empat) kompetensi tersebut disebut dengan Rumah Mediator. Di mana minat dan motivasi sebagai dasar dari Rumah Mediator tersebut.  Dinding berupa 2 (dua) kompetensi yang menjadi tembok yang kukuh yaitu kompetensi interpersonal, kompetensi proses mediasi. Plafon berupa kompetensi pengelolaan mediasi dan atap berupa kompetensi etis dan pengembangan diri mediasi yang menaungi kompetensi-kompetensi lain. Lalu bagaimana dengan kompetensi mediator dalam perkara lingkungan hidup? Sebagai seorang mediator, tugas utama yang dilaksanakan dalam setiap perkara yang dimediasi adalah  mendorong para pihak untuk mencari pilihan-pilihan penyelesaian yang adil dan terbaik bagi para pihak. Selain itu tentunya pilihan penyelesaian itu dapat dilaksanakan oleh para pihak dan tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, kesusilaan dan tidak merugikan pihak ketiga. Selain harus memiliki 4 (empat) kompetensi diatas dalam penanganan perkara lingkungan hidup, selanjutnya, dalam Pasal 41 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup diatur bahwa seorang mediator dalam membantu merumuskan kesepakatan perdamaian wajib memastikan kesepakatan perdamaian tidak merugikan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena kesepakatan perdamaian harus dipastikan oleh mediator tidak merugikan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup maka lantas seorang mediator dalam perkara lingkungan hidup harus memahami terlebih dahulu bagaimana aturan main perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.  Sehingga baik tektok maupun perdebatan dalam perumusan kesepakatan perdamaian dapat dibantu oleh mediator dengan menjelaskan pagar-pagar aturan seputar perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu sangat penting bagi seorang mediator dalam perkara lingkungan hidup memiliki kompetensi dalam memahami aturan-aturan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup baik sesuai jenis kasus lingkungan yang dimediasi maupun asas-asas hukum dalam penanganan perkara lingkungan hidup. Sehingga nantinya komunikasi Mediator dapat nyambung dengan para pihak dalam merumuskan opsi-opsi penyelesaian sengketa dan perkara lingkungan hidup pun dapat diselesaikan dengan perdamaian yang nantinya menjaga dan melindungi lingkungan. Seperti misalnya pemahaman Mediator akan asas kehati-kahatian sebagaimana diatur pasal 1 angka 10 Perma Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Disni Mediator dalam merumuskan kesepakatan perdamaian harus memfasilitasi para pihak akan opsi-opsi kesepakatan perdamaian yang mengutamakan tindakan pencegahan mengingat ketidakpastian pembuktian akan dampak serius yang akan terjadi dari pilihan-pilihan kesepakatan yang diambil oleh para pihak. Pemahaman mediator akan aturan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup tentunya dapat diperoleh baik melalui training baik yang diselenggarakan MA, seperti pelatihan singkat lingkungan hidup maupun pelatihan dari lembaga negara atau organisasi swasta yang menaungi lingkungan hidup. Selain itu selayaknya mediator tetap profesional untuk update pengetahuan dengan belajar dari berbagai media dan sumber seputar lingkungan hidup. Yosep Butar ButarMediator Hakim PN Teluk Kuantan

Potensi Pelanggaran Etik Hakim di Penggunaan AI dalam Bikin Putusan

article | Opini | 2025-04-09 17:50:56

Tren penggunaan kecerdasan buatan (AI) semakin meningkat di kalangan masyarakat. Perkembangan ini turut merambah pelayanan publik yang adaptif, termasuk di lingkungan lembaga peradilan. Sejarah mencatat, konsep kecerdasan buatan telah muncul sejak tahun 1955-1956 dengan program awal bernama Logic Theorist. Namun, adopsi masif terhadap AI baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kemunculan ChatGPT dari OpenAI. Produk ini memperkenalkan antarmuka interaktif yang mudah diakses, memungkinkan masyarakat umum merasakan langsung pengalaman berinteraksi dengan sistem AI. Berbagai pembaruan fitur membuat teknologi ini semakin menjanjikan, bahkan membuka peluang penggunaannya dalam penyusunan putusan pengadilan. Namun demikian, mengingat fungsi lembaga peradilan yang sangat prudent, analisa terhadap potensi pelanggaran etik menjadi krusial sebelum adopsi AI diterapkan dalam praktik peradilan. Bagaimana Kecerdasan Buatan Bekerja?Untuk memahami potensi pelanggaran etik, harus dipahami terlebih dahulu cara kerja kecerdasan buatan. Secara umum, teknologi ini mampu menyelesaikan persoalan menggunakan prinsip dasar logika premis jika–maka. Konsep ini menyerupai pola berpikir manusia dalam menarik kesimpulan berdasarkan kejadian tertentu. Seiring waktu, pendekatan tersebut berkembang menjadi lebih kompleks melalui penggunaan basis data yang luas dan pola-pola probabilistik. Kompleksitas ini mengaburkan batas premis sederhana dan menjadikan AI mampu menghasilkan kesimpulan yang kontekstual.Dalam konteks ChatGPT, setidaknya ada empat syarat agar AI dapat berfungsi sebagaimana mestinya:Basis data yang besar. AI dilengkapi dengan miliaran kata dari beragam sumber teks.Kemampuan memahami pola dan asosiasi antar data. AI tidak hanya menyimpan, tetapi juga memaknai konteks antar basis data.Kemampuan memahami instruksi (prompt). AI menerjemahkan pertanyaan, perintah, maupun sanggahan.Kemampuan merespons secara kontekstual dan dinamis. AI menyesuaikan jawaban dengan konteks dan dapat diperbaiki bila ada klarifikasi.Bagaimana dengan AI berbasis gambar, suara, atau animasi? Prinsip kerjanya serupa, hanya saja basis datanya berbeda. Misalnya, dalam pengolahan gambar, AI mengenali gaya (style) visual yang umum muncul. Gaya ini menjadi dasar penilaian terhadap elemen dalam gambar, seperti wajah, tubuh, atau latar belakang. Dengan demikian, instruksi seperti “hapus latar belakang” akan dieksekusi berdasarkan identifikasi pola visual. Prinsip yang sama berlaku pada AI yang memproses suara, animasi, dan lainnya. Bagaimana Hakim Menyusun Putusan?Penyusunan putusan oleh hakim dimulai dengan musyawarah untuk meneguhkan fakta hukum yang diperoleh dari pembuktian kemudian menentukan pertimbangan hukum untuk menuju pada amar putusan. Setelah musyawarah selesai, hakim menyusun putusan sesuai dengan konsep dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022. Dalam praktiknya, hakim akan memindahkan isi penting dari berita acara persidangan ke dalam konsep putusan, menuliskan pertimbangan hukum dan menuliskan amar dalam konsep tersebut. Setelah disusun, putusan direviu untuk menghindari kesalahan redaksional, lalu dibacakan dan ditandatangani. Bagaimana AI Dapat Mengambil Alih Penyusunan Putusan?AI berpotensi mengambil alih penyusunan putusan jika dipenuhi empat prasyarat tadi, dengan tambahan bahwa AI diberi akses pada data hukum dan yurisprudensi. Simulasi berikut menggambarkan skenario tersebut:Hakim mengunggah berita acara persidangan ke AI, dan AI diminta menyimpulkan fakta hukumnya. AI yang telah mempelajari alat bukti dan kekuatan pembuktian, akan menampilkan hasil berupa fakta hukum.Hakim memerintahkan AI menyusun pertimbangan dan amar putusan berdasarkan fakta tersebut. AI yang telah mempelajari berbagai dokumen hukum, akan menampilkan hasil berupa pertimbangan dan amar putusan. Hakim memerintahkan AI menyusun putusan lengkap sesuai format SK KMA. AI yang telah mempelajari konsep putusan, akan menampilkan hasil putusan yang siap dibacakan. Apakah Menyusun Putusan dengan AI Melanggar Etika?Etika hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam konteks ini, ada dua butir etika yang patut diperhatikan:Pelanggaran Etika Bertanggungjawab (Butir 6.2 KEPPH)Hakim dilarang mengungkap atau menggunakan informasi rahasia di luar tugas peradilan. Meski penyusunan putusan adalah tugas peradilan, ketika proses tersebut diserahkan pada sistem eksternal seperti ChatGPT, timbul potensi eksploitasi data. Terlebih, dalam Terms of Use ChatGPT (per-11 Desember 2024), dinyatakan bahwa input pengguna dapat digunakan untuk pengembangan layanan, termasuk kemungkinan dibaca oleh pihak manusia. Risiko kebocoran data—terutama dalam perkara asusila atau yang menyangkut rahasia negara—menjadi ancaman nyata terhadap integritas peradilan. Pelanggaran Etika Bersikap Profesional (Butir 10.4 KEPPH)Hakim wajib menghindari kekeliruan dalam membuat putusan. Namun, ChatGPT sendiri menyatakan bahwa output-nya tidak selalu akurat dan tidak dapat dijadikan sumber kebenaran tunggal. Dengan demikian, AI tidak bisa menjadi pengganti otoritas profesional hakim tanpa melanggar prinsip etik ini.Bagaimana Bersikap Adaptif terhadap AI?Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa AI memiliki keunggulan. Sikap adaptif dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:Baca Ketentuan PenggunaanKetahui batasan dan kebijakan layanan sebelum memakai AI. Jika bertentangan dengan etika hakim, sebaiknya dihindari.Gunakan Akun AnonimGunakan identitas acak agar penyedia layanan tidak mengaitkan identitas pengguna dengan data perkara. Selain itu, gunakan juga opsi pengecualian dalam melakukan perekaman data jika disediakan oleh penyedia.Hindari Mengunggah Dokumen PersidanganDokumen persidangan baik sebagian maupun seluruhnya yang dimasukkan, bisa masuk ke dalam basis data AI dan dapat muncul dalam sesi lain.Bangun AI Internal SendiriMasalah etika bukan pada teknologinya, melainkan pada siapa yang mengendalikannya. Lembaga peradilan sebaiknya membangun sistem AI sendiri, dengan jaminan keamanan dan kontrol terhadap data yang diproses. OpenLLM menjadi salah satu AI yang dapat dibangun dengan sumber daya internal.Jadikan AI Sebatas Rekan DiskusiKelebihan AI ada pada basis datanya, semakin banyak basis datanya maka semakin luas pemahamannya. Namun diantara seluruh kelebihan itu, masih dimungkinkan terdapat kekeliruan dalam pemahaman yang dirangkai oleh AI. Itu artinya, AI tidak dapat digunakan untuk menggantikan kecerdasan murni. Meskipun demikian, seluruh pemahaman yang dimiliki oleh AI dapat dimanfaatkan dalam nuansa rekan diskusi.Sebagai rekan diskusi, AI dapat digunakan untuk men-challenge logika hakim sebelum penyampaian pendapat ketika bermusyawarah. AI dapat juga digunakan untuk menjabarkan dasar hukum, itupun dengan verifikasi penuh oleh hakim. Rekan diskusi berbasis AI ini, selama anonimitas hakim terjaga, dapat menjadi gaya baru sebagai bahan musyawarah-penyusunan putusan hakim. AI secara umum tidak memiliki kepentingan untuk memberikan pendapat/penilaian, sehingga lebih netral dalam memberikan sudut pandang tertentu. PenutupAI memberikan banyak peluang untuk efisiensi kerja, namun dalam konteks penyusunan putusan oleh hakim, kehati-hatian menjadi hal yang mutlak. Etika, kerahasiaan, dan tanggung jawab profesi tetap menjadi pilar utama yang tidak boleh dikompromikan. Referensi Gugerty, Leo. (2006). Newell and Simon's Logic Theorist: Historical Background and Impact on Cognitive Modeling. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting. 50. 880-884. 10.1177/154193120605000904.Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022https://openai.com/policies/privacy-policy/https://openai.com/policies/row-terms-of-use/

Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP

article | Opini | 2025-04-07 14:05:02

KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht/KUHP) yang berlaku di Republik Indonesia selama ini merupakan warisan kolonial Belanda dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Wetboek Van Strafrecht dilandasi oleh aliran klasik yang terfokus pada perbuatan atau tindak pidana terjadi, sehingga dalam perkembangannya sudah tertinggal jauh dan tidak lagi mengakomodir kepentingan pelaku. Sementara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), mendasarkan pada pemikiran Neo Klasik yang terfokus menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan faktor subjektif (sikap batin), dimana tidak hanya tertuju pada perbuatan atau tindak pidana namun tertuju pada aspek individual pelaku.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat maka tingkat kejahatan semakin kompleks sehingga perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana materiil sudah dilakukan pemerintah dengan mengesahkan dan mengundangkan KUHP Baru pada tanggal 2 Januari 2023, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026, sedangkan pembaharuan hukum pidana formil (Rancangan KUHAP) saat ini masih dalam tahap pembahasan. Dalam Pasal 54 ayat (2) KUHH Baru memperkenalkan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Secara expressis verbis ketentuan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menyatakan,”ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Menurut Penulis, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) merupakan putusan yang dijatuhkan Majelis hakim kepada Terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan namun Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) berasal dari Negara Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa Negara yang telah menggunakan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Tujuan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana yang sifatnya ringan sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia namun hakim wajib menegakan hukum dan keadilan. Dimana pemidanaan merupakan ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum. Selain itu, dengan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) untuk mengurangi overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini terjadi. Berpedoman dalam ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 serta Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, terdapat tujuan pemidanaan salah satunya adalah menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Kemudian dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Sehingga tujuan pemidanaan sangat relevan dengan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Bahwa Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dapat dilihat dari 3 (tiga) kategori yakni: Ringannya perbuatanKeadaan pribadi pelakuKeadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian. Dalam KUHP Baru, untuk frasa ringannya perbuatan diatur dalam beberapa pasal yaitu: Tindak Pidana Penghinaan Ringan, diatur dalam Pasal 436, menyatakan penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis  yang dilakukan terhadap orang lain baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang  yang dihina tersebut  secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan  dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penganiayaan Ringan, diatur dalam Pasal 471, menyatakan selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana denda paling lama banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Pencurian Ringan, diatur dalam Pasal 478, menyatakan dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penggelapan Ringan, diatur dalam Pasal 487, menyatakan jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak pidana Penipuan Ringan, diatur dalam Pasal 494, menyatakan dipidana karena penipuan ringan dengan pidana denda paling banyak kategori II jika barang yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 bukan ternak, bukan sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau nilai keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 493. Selanjutnya untuk frasa keadaan pribadi pelaku  dapat  berpedoman dalam Pasal 70  Ayat (1) KUHP Baru,  berbunyi dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan: Terdakwa adalah Anak;Terdakwa berumur di atas 70 (tujuh puluh) tahun;Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;Terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;Korban tindak pidana mendorong  atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut;Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;Pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga dan/ atau;Tindak pidana terjadi karena kealpaan. Selanjutnya keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian.   Menurut Penulis  frasa keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian sebagai alasan pemaafan hakim  (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Bary, dimana  maksud frasa ini apakah perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) atau tindak pidana tersebut dilakukan dengan kesengajaan (dolus) atau dilakukan karena kelalaian (culpa), kalau tindak pidana dilakukan dengan kelalaian (culpa) maka termasuk tindak pidana ringan, kemudian apakah tindak pidana tersebut masuk dalam tindak pidana percobaan (poging) atau tindak pidana yang merupakan delik yang selesai baik tindak pidana formil (menitik beratkan pada perbuatan dilarang) dan materil (menitik beratkan pada akibat dilarang), apabila tindak pidana dilakukan merupakan percobaan (poging) maka termasuk tindak pidana ringan dan selanjutnya apakah tindak pidana tersebut masuk dalam kategori tindak penyertaan yakni pleger, doen pleger, medepleger, uitloking, atau masuk dalam membantu tindak pidana (medeplictige), kalau ternyata pelaku hanya berperan sebagai medeplictige maka termasuk kategori tindak pidana ringan. Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) di Negara Belanda selain diatur dalam hukum pidana materiil juga diatur dalam hukum pidana formil. Di Negara Belanda mengenal 4 (empat) jenis putusan yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dan putusan pemaafan. KUHP yang saat ini berlaku (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) termasuk KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), sama sekali tidak mengatur mengenai konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon), sehingga ada kekosongan norma. Selama ini Hakim dalam menjatuhkan Putusan Perkara Pidana terhadap Terdakwa mengenal 3 (tiga) bentuk Putusan yakni: Putusan Pemidanaan (verrordeling). Jika Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 Ayat 1 KUHAP).Putusan bebas (vrij spraak). Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP).Putusan lepas (onslag van recht vervolging). Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP). Penulis mencermati adanya pertentangan antara Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dimana konsep pemafaan hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru, menyatakan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat menjadi dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenai tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam arti Majelis Hakim dalam putusan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana namun Terdakwa tidak dikenakan atau dijatuhi pidana baik pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Sedangkan dalam KUHAP saat ini, ketika Hakim dalam putusannya menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Hakim dalam putusannya terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana atau tindakan. Apabila salah satunya tidak ada dijatuhi pidana atau tindakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP. Sehingga pengaturan terhadap Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) tidak dapat hanya diatur dalam KUHP Baru yang hanya memuat hukum pidana materil, namun pengaturan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP, sehingga adanya kepastian hukum. Sehingga konsep pemaafan hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru perlu diharmonisasikan dalam Rancangan KUHAP menjadi:Pemidanaan (verrordeling)Putusan Bebas (vrij spraaak),Putusan lepas (onslag van recht vervolging);Putusan pemaafan Hakim (rechterlik pardon)

Ini Cara Panitera Pengganti Membuat Berita Acara Sidang Berbasis AI

article | Opini | 2025-04-07 09:00:38

Pada hari Kamis, 6 Maret 2025 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan telah berhasil mengimplementasikan Grok AI dalam proses pembuatan putusan. Hal tersebut merupakan inovasi yang luar dalam menggali potensi LLM AI (Large Language Model Artificial Intelligence). Selain dapat digunakan dalam pembuatan putusan oleh para hakim, LLM AI juga dapat digunakan oleh para panitera pengganti dalam membuat berita acara sidang (BAS). Dalam tulisan ini Penulis akan membuat skenario dimana LLM AI akan diminta untuk menganalisa sebuah BAS, BAS yang digunakan adalah BAS rekaan yang diisi dengan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam praktik persidangan. Dalam skenario ini Penulis menggunakan LLM AI yang berbeda dengan yang digunakan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Penulis menggunakan DeepSeek R1 dengan pertimbangan Deepkseek R1 relatif lebih hemat sumber daya ketika dijalankan secara lokal. Idealnya, LLM AI untuk lembaga peradilan dijalankan pada server khusus. Hal ini krusial mengingat dokumen persidangan sering memuat data sensitif, seperti informasi pribadi atau masalah keamanan negara.Berikut adalah 3 skenario yang dapat digunakan oleh Para Panitera Pengganti dalam membuat BAS:Skenario 1. Kesalahan pengetikan pada perkara perdataPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan dalam pengetikan.Respon DeepSeek R1: “Berikut adalah hasil pemeriksaan dan perbaikan untuk dokumen BAS yang Anda kirimkan. Perbaikan mencakup penyesuaian ejaan dan tata bahasa:"Fotocopy" → "Fotokopi" (sesuai KBBI)."bukrti" → "bukti" (paragraf ke-4)."mahssiawa" → "mahasiswa" (pada identitas saksi ke-2)."dilahkrn" → "dilahirkan" (jawaban saksi ke-2)."Pemohin" → "Pemohon" (terdapat di beberapa bagian)."tohan lahir" → "tahun lahir" (pertanyaan Hakim kepada saksi ke-2).”Skenario 2. Kesalahan diksi pada perkara perdataPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan diksi.Respon DeepSeek R1Berikut hasil pemeriksaan konsistensi dan perbaikan untuk dokumen Berita Acara Sidang:“Meskipun dalam berita acara akhir disebutkan perubahan ijazah sekolah (yang tidak tercantum dalam permohonan awal), hal ini kemungkinan merupakan kesalahan administratif. Oleh karena itu, penetapan harus dipastikan hanya mencakup perubahan nama, bulan lahir, dan jenis kelamin sesuai permohonan asli.”Skenario 3. Kesalahan diksi pada perkara pidanaPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan diksi.Respon DeepSeek R1:“Berikut hasil pemeriksaan konsistensi dan alur perkara untuk dokumen Berita Acara Sidang ketiga (perkara pidana):Barang bukti yang disebutkan (pahat, palu, jaket, topi) konsisten di seluruh dokumen. Namun, pada keterangan saksi ke-3 , disebutkan barang bukti berupa "alat GPS dan Radio Orari milik M. Isa". Ini tidak konsisten dengan barang bukti sebelumnya.→ Rekomendasi: Perjelas apakah barang bukti ini relevan dengan perkara.Pertanyaan Hakim kepada Saksi ke-3:"Sehubungan dengan masalah apa Saksi dihadapkan kepersidangan ini?"Jawaban: "Sehubungan dengan masalah Terdakwa telah melakukan percobaan pencurian sarang motor honda."→ Ketidakkonsistenan: Perkara yang dibahas adalah pencurian sarang burung walet, bukan motor honda.→ Rekomendasi: Perbaiki jawaban saksi agar sesuai dengan konteks perkara.”Dari ketiga skenario di atas, dapat disimpulkan bahwa AI memiliki manfaat signifikan dalam proses pembuatan BAS, terutama dalam memeriksa kesalahan penulisan dan alur perkara. Para Panitera Pengganti dapat lebih mendalami potensi LLM AI dengan memanfaatkannya untuk tugas-tugas yang lebih kompleks, seperti analisis konsistensi fakta atau penyusunan dokumen hukum.Keberhasilan penggunaan LLM AI bergantung pada kemampuan prompting (pemberian perintah). Misalnya, perintah 'Periksa kesalahan ejaan dalam BAS berikut' akan menghasilkan output berbeda dengan 'Identifikasi ketidakkonsistenan fakta antara kesaksian dan dakwaan.' Untuk itu, pelatihan teknis bagi panitera dalam merumuskan perintah yang spesifik dan terstruktur menjadi kunci efektivitas LLM AI.;LLM AI tidak sepenuhnya menghasilkan jawaban yang tepat, Panitera Pengganti tetap berperan sebagai pemeriksa akhir dari sebuah berita acara sidang maka dari itu dibutuhkan kekritisan dalam menelaah produk LLM AISampai saat ini Mahkamah Agung Republik Indonesia belum memiliki LLM AI khusus, yang tersedia adalah yang sifatnya umum seperti Grok, Deepseek dan ChatGPT yang memiliki resiko pada keamanan data. Jika Para Panitera Pengganti ingin memanfaatkan LLM AI umum tersebut lebih baik menghapus dulu data-data penting yang ada didalam BAS. Penggunaan LLM AI dalam praktek persidangan adalah fondasi baru bagi peradilan modern dengan mengurangi beban kerja dan meningkatkan kualitas dari produk Pengadilan. Mari kita bersama terus berinovasi untuk mewujudkan peradilan yang unggul dan tangguh. (FAC)*Hakim Pengadilan Negeri Bobong

Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi

article | Opini | 2025-04-06 14:10:59

Dalam perkembangan penegakan hukum dan penyelesaian perkara tindak pidana saat ini, masing-masing instansi penegak hukum telah menggaungkan atau berlomba-lomba melakukan penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice). Berkaitan dengan penyelesaian perkara tindak pidana melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice) tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkap Tentang Keadilan Restoratif dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja tentang Keadilan Restoratif serta untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana  Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma tentang Keadilan Restoratif). Dalam Perma tersebut pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan. Berkaitan dengan penjelasan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, lalu timbul pertanyaan yakni bagaimana seandainya apabila ternyata Penyidik Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim pada Pengadilan berhasil menyelesaikan perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif? Apakah perkaranya bisa dihentikan pada tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun Pengadilan? Menurut Penulis jawabannya yakni kalau pada tingkat Penyidikan atau Penuntutan, baik Penyidik maupun Penuntut Umum dapat melakukan langkah hukum/prosedur penghentian penyidikan/penuntutan melalui aturan internal Kepolisian Negara Republik Indonesia/Kejaksaan Agung Republik Indonesia, salah satunya yaitu Perkap tentang Keadilan Restoratif dan Perja tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan melalui pendekatan keadilan restoratif? Berdasarkan Perma tentang Keadilan Restoratif pada pokoknya menerangkan apabila tercapai penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif dengan mengedepankan perdamaian antara pelaku dan korban serta pihak terkait, maka hanya menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa/pelaku dalam menjatuhkan putusan dan tidak serta-merta menghentikan perkaranya. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, kesimpulannya yakni ternyata masing-masing instansi penegak hukum seperti Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki aturan tersendiri mengenai penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif (Restorative Justice). Sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus tentang jenis-jenis perkara pidana apa saja yang bisa diselesaikan melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) serta bagaimana syarat dan tata cara (Hukum Acara) penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, karena Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana saat inipun belum mengatur bagaimana tata cara/mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif tersebut, sehingga perlu dibentuk payung hukum berupa Undang-undang atau aturan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum dan keseragaman dalam penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa bagi instansi penegak hukum termasuk pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Keadilan Restoratif dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum UU SPPA dengan menyebutkan Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka menurut pendapat Penulis, apabila suatu Instansi Kepolisian/Kejaksaan/Pengadilan berhasil melakukan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif sebaiknya sama halnya dengan melakukan penyelesaian perkara yang pelakunya anak yakni melalui keadilan restoratif dan juga “diversi”, sehingga apabila penyelesaian perkara pidana tersebut berhasil melalui keadilan restoratif dan juga “diversi” dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan, maka sebaiknya hal tersebut dilaporkan kepada Ketua Pengadilan untuk selanjutnya dikeluarkan Penetapan. Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan tersebut, menurut pendapat penulis sama halnya dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, artinya meskipun penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa berhasil dilakukan dengan keadilan restoratif dan diversi maka tersangka/terdakwa dianggap telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, sehingga apabila tersangka/terdakwa mengulanginya maka terhadap tersangka/terdakwa tersebut tidak bisa dilakukan penyelesaian perkaranya melalui keadilan restoratif maupun diversi karena telah berulang melakukan suatu tindak pidana. Dengan demikian penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi ini selain bertujuan untuk mencapai keadilan dimasyarakat tentunya sebagai sarana pencegahan bagi tersangka/terdakwa itu sendiri, supaya tidak berulang melakukan tindak pidana. Dalam kesepakatan perdamaian melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut juga, jika berhasil sebaiknya mengenai barang bukti apabila dalam perkara tindak pidananya terdapat barang bukti, maka harus dimuat juga mengenai status barang bukti tersebut dalam Penetapan Diversi. Dengan tercapainya penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan yang dilaporkan serta dikuatkan dengan Penetapan oleh Ketua Pengadilan setempat sebagaimana penyelesaian perkara pidana melalui “Diversi” dalam perkara pidana yang pelakunya “Anak”, maka Penulis berpendapat itulah keadilan yang sesungguhnya yang memenuhi Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfatan dan Asas Keadilan serta Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara tindak pidana.   Sejalan dengan hal tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa Instansi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik indonesia dapat bersama-sama untuk menyelaraskan aturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif yang dituangkan dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif dengan dukungan penuh dari lembaga eksekutif atau setidak-tidaknya dibuat aturan yang mengikat bagi masing-masing instansi penegak hukum yang dapat mengadopsi aturan penyelesaian perkara pidana melalui “keadilan restoratif” dan “diversi” yang termuat dalam UU SPPA. Penulis berpendapat penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat memungkinkan juga untuk diselesaikan melalui Diversi (Pengalihan Penyelesaian Perkara dari Proses Peradilan ke Proses di Luar Peradilan Pidana). Mengapa demikian? karena ketika sudah terjadi perdamaian dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif melalui pemulihan keadaan semula yang dituangkan dalam kesepakatan perdamaian yang dapat dilakukan dengan atau tanpa ganti kerugian. Misalnya bentuk pemulihan terhadap korban dalam perkara tipiring pencurian buah kelapa sawit yang pelaku/tersangka/terdakwanya tertangkap tangan bersama barang bukti berupa buah kelapa sawit, maka hal tersebut tentunya tidak membawa kerugian yang signifikan bagi korban, sehingga penyelesaiannya dapat ditempuh melalui diversi dengan mengupayakan keadilan restoratif yang melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang dianggap perlu dengan dibantu fasilitator diversi dengan penyelesaian/perdamaian tanpa ganti rugi tetapi dengan syarat para pihak harus saling memaafkan atau pelaku diberikan sanksi sosial untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi khalayak umum seperti membersihkan/melakukan pelayanan di tempat ibadah/fasilitas umum dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk/bagian yang termasuk keadilan restoratif yang bertujuan untuk mempererat hubungan baik para pihak (hubungan sosial) agar tidak ada dendam, artinya keadilan restoratif ini jangkauan dan manfaatnya sangat luas terutama dalam hal pencegahan tindak pidana atau misalnya dalam perkara penganiayaan ringan dimana pelaku dan korban sudah saling memaafkan dengan perdamaian melalui ganti rugi biaya pengobatan, maka contoh-contoh perkara tersebut sebaiknya dapat diselesaikan melalui diversi yang pelakunya sudah dewasa sebagaimana diversi dalam perkara pidana anak artinya penyelesaiannya tidak mesti melalui persidangan. Selain itu, apabila memungkinkan dibentuknya undang-undang atau setidak-tidaknya aturan hukum yang mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum mengenai penyelesaian perkara tindak pidana melalui keadilan restoratif dan diversi bagi pelaku yang sudah dewasa. Maka hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana yakni asas ultimum remedium yang pada pokoknya memiliki arti bahwa pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia. Apabila suatu perkara tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain dengan cara kekeluargaan, negosiasi, mediasi dan lain sebagainya yang dapat berujung pada perdamaian para pihak yang berperkara pidana, maka hendaknya cara-cara tersebutlah yang harus terlebih dahulu dilakukan apalagi dalam penanganan perkara tindak pidana ringan yang kategori ancaman hukuman maupun akibat perbuatan pelaku tindak pidana dalam kategori ringan. Penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat perlu diselesaikan tidak hanya melalui proses keadilan restoratif (restorative justice) akan tetapi dapat mengacu dan mengadopsi penyelesaian perkara pidana melalui “diversi” sebagaimana penyelesaian perkara pidana yang pelakunya “Anak”. Hal inilah yang menjadi alasan penting untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut. Penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa dan memenuhi persyaratan atau kualifikasi untuk diupayakan melalui keadilan restoratif dan diversi ini menurut Penulis juga merupakan salah satu bentuk implementasi terhadap nilai-nilai Pancasila dan  Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 karena budaya masyarakat Indonesia yaitu menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah untuk mufakat mencari solusi penyelesaian terbaik. Sehingga harus dibuat aturan khusus mengenai hukum acara pidana terkait penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa melalui aturan undang-undang/aturan hukum lainnya yang berlaku mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum di negara indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan sesuai dengan keadaban publik saat ini dimana penanganan perkara pidana pada masing-masing instansi penegak hukum harus mudah dijangkau oleh masyarakat/pencari keadilan dan bersifat transparan.

Perma Restorative Justice: Jalan Moderat Di Tengah Kekosongan Hukum

article | Opini | 2025-04-06 09:00:43

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan, yang merupakan anti tesis dari sistem pemidanaan yang hanya befokus pada Terdakwa.Dalam konteks negara hukum penyelesaian perkara pidan melalui pendekatan restorative justice memerlukan legimitasi yuridis agar pemberlakuannya mempunyai daya ikat, menciptakan kesatuan hukum, kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam pelaksanaannya, selain itu dasar hukum juga diperlukan untuk memberi batasan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif.Sejalan dengan itu Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) pada tanggal 02 Mei 2024 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang secara resmi diundangkan pada tanggal 07 Mei 2024, dan bila merujuk pada konsideran menimbang dalam Perma 1 tahun 2024 tersebut. Terdapat dua alasan utama yang menjadi latar belakang terbitnya Perma 1/2024, pertama, pergeseran sistem pemidaaan dari yang semula semata-mata hanya beroerientasi pada pemidaan Terdakwa bergeser ke arah penyelarasan kepentingan pemulihan korban. Kedua, Pendekatan keadilan restoratif telah menjadi diskurus pada proses peradilan tetapi belum cukup diatur dalam sistem peradilan pidana terutama mengenai jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya dalam proses peradilan yang termuat pendekatan keadilan restoratif.Kebijakan Mahkamah Agung tentang Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara PidanaSyarat suatu tindak pidana dapat diadili berdasarkan Perma 1/2024, meliputi:Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.b. Tindak pidana merupakan delik aduan.c. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;d. Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.e. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.2. Terdakwa harus mengakui perbuatan/pengakuan bersalah (plea bargaining) pada tingkap pemeriksaan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), meliputi pengakuan akan perbuatan tanpa disertai keberatan atas berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan, proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Ketentuan ini menegaskan bahwa harus ada pembenaran atas perbuatan untuk bisa dilakukan mekanime retoratif justice, sehingga keberatan baik untuk sebagaian atau seluruhnya dengan sendirinya menggugurkan penggunaan mekanisme retoratif justice berdasarkan Perma 1/2024.3. Hakim Berwenang Melakukan Koreksi kesepakatan perdamaian diatur dalamPasal 9 ayat (1) yang memberi wewenang kepada hakim untuk memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban tujuannya adalah untuk menghindari adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan serta penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak.4. Pembuatan atau Pembaruan kesepakatan dengan prakarsa hakim, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 15, di mana dalam konteks pembaruan kesepakatan sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh Hakim dalam hal Terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat sebelum pemeriksaan perkara. Sementara dalam konteks Pasal 15 bila sebelumnya belum ada kesepakatan damai. Hakim dalam mengupayakan kesepakatan baru menggali informasi berupa, dampak tindak pidana terhadap Korban, kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan dikeluarkan Korban, kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan, ketersediaan layanan untuk membantu pemulihan Korban dan/atau Terdakwa; dan/atau informasi lain yang menurut Hakim perlu untuk diperiksa dan dipertimbangkan.5. Kesepakatan perdamaian menjadi pertimbangan dalam putusan Hakim (vide Pasal 12 ayat (3)) sebagai alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi dasar pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 19) serta dalam perkara delik aduan kesepakatan dapat berupa pencabutan pengaduan sepanjang masih dalam tenggang waktu yang secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim (vide Pasal 14).6. Bentuk kesepakatan perdamaian, meliputi:a. Terdakwa mengganti kerugian;b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atauc. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.7. Larangan dalam kesepakatan perdamaiana. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.b. Melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia.c. Merugikan pihak ketiga; ataud. Tidak dapat dilaksanakan.8. Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidanaKetentuan Pasal 3 ayat (2) dalam Perma 1/2024 menegaskan ciri klasik dari hukum pidana yang kita anut, di mana perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, karena penindakan pelanggaran pidana yang inisiatifnya dari negara bertujuan untuk melindungi ketertiban umum, bukan kepentingan korban semata.9. Hakim tidak berwenang menerapkan Perma 1/2024, dalam hal:a. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian.b. Terdapat Relasi Kuasa.c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.Manfaat Restorative Justice Bagi Pengadilan1. Dapat menyelesaikan perkara secara sederhana, cepat dan biaya murahSejalan dengan prinsip penyelesaian perkara sederhana, cepat dan biaya murah, penerapan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif menyiapkan mekanisme yang lebih sederhana dan mendekati model plea bargaining. Kecepatan dalam penanganan perkara serta penjatuhan pidana yang ringan atau penjatuhan pidana selain pidana penjara juga dapat menghemat biaya yang timbul selama penahanan, persidangan serta pembinaan sebagai narapida di lembaga pemasyarakatan.2. Dapat mendorong Akuntabilitas dan Transparasi Penjatuhan PidanaMelalui penerapan restorative justice penjatuhan pidana bisa lebih transparan dan akuntabel, artinya pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif pastilah berbeda dengan pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya tidak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.3. Memberi kepastian pada arah putusan hakimMekanisme keadilan restoratif yang dijalankan secara benar dan konsekuen, pastilah akan melahirkan suatu gambaran mengenai putusan yang predictable (dapat diprediksi), sehingga Terdakwa atau keluarga Terdakwa tidak perlu ragu untuk membuat komitmen perdamaian dengan korban tindak pidana, karena komitmen tersebut akan meringankan hukuman Terdakwa.PenutupPerma 1/2024 merupakan jalan yang paling moderat yang diambil oleh Mahkamah Agung di tengah kekosongan hukum mengenai restorative justice pada tingkat peradilan.Perma 1/2024 menyeragamkan pandangan mengenai keberlakuan pendekatan keadilan restoratif selama proses peradilan, sekaligus memberi dasar bagi hakim untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. (SNR, MNJ, FAC)*Hakim pada Pengadilan Negeri Bangkalan, sejak tanggal 05 Agustus 2024.

Profesi Hakim: Refleksi Etika, Keadilan dan Kebijaksanaan

article | Opini | 2025-04-05 14:05:44

Momen Idulfitri selalu menghadirkan kisah-kisah reflektif yang menggugah perasaan. Salah satunya adalah peristiwa sederhana namun sarat makna: seorang pria bertato yang tanpa diminta menunjukkan jalan kepada seorang hakim menuju pintu masjid. Sekilas, kejadian ini mungkin tampak sepele, tetapi jika dilihat lebih dalam, ia menyimpan pesan kuat tentang keadilan, etika profesi hakim, dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.Pengalaman Penulis di Masjid  Jami Al Barokah, Bojong Larang GarutSebagai seorang hakim, pengalaman ini dialami sendiri oleh penulis ketika mudik ke kampung istri di kabupaten Garut. Saat hendak menunaikan salat Idulfitri yang berolokasi di Masjid Jami Al Barokah, Bojong Larang, penulis sedikit kebingungan mencari pintu masuk utama masjid karena ramainya jamaah yang memadati area sekitar. Tiba-tiba, seorang pria bertato yang berdiri di dekat gerbang dengan ramah menunjukkan arah yang benar.Awalnya, penulis sempat terkejut karena pria tersebut memiliki penampilan yang mungkin bagi sebagian orang akan dianggap mencurigakan atau kurang pantas berada di lingkungan masjid. Namun, sikapnya yang penuh keramahan dan keikhlasan membuat penulis tersadar bahwa kebaikan bisa datang dari siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau penampilan fisik. Momen ini menjadi refleksi mendalam bagi penulis, sebagai seorang yang sehari-hari bergelut dengan hukum dan keadilan, bahwa sering kali kita terjebak dalam prasangka tanpa sadar.Hakim dan Kewajiban Menegakkan Keadilan Tanpa PrasangkaHakim adalah simbol keadilan dan kebijaksanaan. Dalam tugasnya, ia harus menegakkan hukum secara adil, tanpa pengaruh prasangka atau stereotip. Prinsip ini tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang mengamanatkan hakim untuk menjunjung tinggi nilai kemandirian, integritas, kepantasan, kesopanan, dan profesionalisme. Selain itu, pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebut kewajiban hakim untuk bersikap adil terhadap pihak-pihak yang berperkara dan tidak memihak.Namun, dalam realitas sosial, sering kali terdapat kecenderungan untuk menilai seseorang berdasarkan penampilan atau latar belakangnya. Stigma terhadap pria bertato, misalnya, masih kerap muncul di masyarakat. Padahal, seperti dalam kisah ini, kebaikan tidak selalu datang dari sosok yang tampak “ideal” menurut standar sosial. Hal ini sejalan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan prinsip equality before the law yang menegaskan bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya dan memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi.Lebaran: Momentum Perenungan bagi Hakim dan MasyarakatIdulfitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga kesempatan untuk merenungkan nilai-nilai moral yang mendasari kehidupan. Peristiwa ini memberikan pelajaran bagi seorang hakim bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan di ruang sidang, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari. Seorang hakim yang baik harus memiliki kepekaan sosial dan moral, serta mampu menilai seseorang secara adil, tanpa terjebak oleh prasangka.Di sisi lain, kisah ini juga mengajarkan kepada masyarakat bahwa nilai-nilai kebaikan dapat ditemukan di tempat yang tak terduga. Pria bertato yang menunjukkan jalan menuju pintu masjid menggambarkan bagaimana setiap orang, terlepas dari tampilan luar atau label yang diberikan oleh masyarakat, tetap memiliki potensi untuk melakukan kebaikan.Refleksi: Menjadi Masyarakat yang Lebih Adil dan InklusifKisah ini tidak hanya relevan bagi hakim, tetapi juga bagi kita semua. Di era modern ini, penting untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, tanpa diskriminasi berbasis penampilan atau latar belakang sosial. Stigma dan prasangka hanya akan menghambat keharmonisan sosial dan keadilan yang sejati.Sebagai penutup, kisah pria bertato yang membantu hakim menuju pintu masjid menjadi pengingat bahwa keadilan sejati tidak hanya diukur dari hukum tertulis, tetapi juga dari sikap dan perlakuan kita terhadap sesama. Lebaran mengajarkan kita untuk membuka hati, menerima perbedaan, dan menilai seseorang bukan dari tampilan luar, tetapi dari nilai-nilai moral yang mereka bawa dalam kehidupan sehari-hari.

Hukuman Disiplin dan Ruang Refleksi Diri

article | Opini | 2025-04-05 09:00:45

Dalam perjalanan hidup, manusia sering kali dihadapkan pada berbagai rintangan dan ujian. Tidak terkecuali bagi para hakim dan aparatur peradilan, yang mengemban amanah besar sebagai penegak keadilan. Di dunia peradilan, kedisiplinan bukan sekadar tuntutan formalitas, tetapi roh yang menjaga marwah institusi hukum itu sendiri. Tanpa kedisiplinan, kepercayaan publik akan runtuh, dan hukum hanya menjadi bayang-bayang keadilan yang semu.Hukuman disiplin bagi hakim dan aparatur peradilan adalah sebuah keniscayaan dalam sistem hukum yang sehat. Dalam setiap sistem yang menjunjung tinggi akuntabilitas, selalu ada mekanisme kontrol yang memastikan bahwa setiap roda keadilan berputar dengan lurus. Mahkamah Agung RI melalui Badan Pengawasan secara berkala mengumumkan sanksi disiplin yang dijatuhkan, baik dalam kategori ringan, sedang, maupun berat. Ini bukan sekadar daftar nama dan hukuman, melainkan cerminan dari upaya terus-menerus menjaga integritas dan profesionalisme peradilan. Disiplin: Pilar Kehormatan ProfesiSeorang hakim bukanlah sekadar seorang pemutus perkara; ia adalah simbol keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap peradilan harus dijaga dengan sebaik mungkin. Filsuf Romawi, Seneca, pernah berkata, "Hanya mereka yang belajar untuk menguasai dirinya sendiri yang dapat menguasai orang lain dengan adil." Dalam konteks ini, disiplin bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan formal, tetapi juga mengenai pengendalian diri dan kesadaran moral.Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa dalam praktiknya, selalu ada individu yang tergelincir. Pelanggaran kode etik dan disiplin yang terjadi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari tekanan pekerjaan, godaan eksternal, hingga kelemahan pribadi. Apa pun alasannya, setiap pelanggaran harus ditindak tegas. Ketegasan ini bukanlah bentuk kebencian, melainkan bagian dari pendidikan moral. Sebab, seperti kata pepatah, "dibalik bencana pasti ada kencana." Hukuman yang diberikan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan peluang untuk introspeksi dan perbaikan diri.Hukuman Bukan Akhir, Tetapi Awal yang BaruBanyak yang menganggap hukuman sebagai aib dan akhir dari karier. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, hukuman disiplin bisa menjadi titik balik menuju kebangkitan. Sejarah telah membuktikan bahwa banyak individu besar yang pernah jatuh, tetapi kemudian bangkit menjadi lebih kuat. Seperti yang dikatakan oleh seorang filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, "Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat." Hal demikian dapat dimaknai sebagai penegasan bahwa penderitaan dapat membuat seseorang menjadi lebih tangguh. Penegasan bahwa seseorang dapat tumbuh dan memaksimalkan potensinya di tengah kesulitan. Hukuman, sejatinya, adalah peluang untuk berefleksi, belajar, dan memperbaiki diri agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.Seorang hakim atau aparatur peradilan yang terkena sanksi disiplin seharusnya tidak berkecil hati. Justru ini adalah momen untuk merenung dan menata ulang langkah. Dunia tidak berakhir hanya karena sebuah hukuman. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menghadapi dan bangkit dari keterpurukan itu.Refleksi Diri: Jalan Menuju PerubahanSetiap manusia pernah berbuat salah. Bahkan hakim yang paling bijaksana sekalipun tidak luput dari kelemahan. Namun, yang membedakan seseorang adalah bagaimana ia menyikapi kesalahannya. Orang bijak belajar dari kesalahannya, sementara orang bodoh terus mengulanginya. "Kesalahan adalah guru terbaik," kata Konfusius. Jika demikian, hukuman disiplin bisa menjadi sarana pembelajaran yang sangat berharga. Bagi mereka yang terkena sanksi, inilah saatnya untuk merenung: Apa yang membuat saya sampai pada titik ini? Apa yang bisa saya lakukan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Bagaimana saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik? Refleksi yang jujur akan menghasilkan jawaban yang mengarah pada perubahan positif. Sebagai bagian dari sistem peradilan, setiap hakim dan aparatur memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kehormatan profesi. Hukuman yang diberikan bukan sekadar teguran, tetapi juga panggilan untuk kembali ke jalan yang benar. Dengan introspeksi yang mendalam, seseorang bisa bangkit dengan semangat baru dan komitmen yang lebih kuat terhadap integritas.Motivasi untuk Melangkah MajuSetiap ujian dalam hidup membawa hikmah tersendiri. Hukuman disiplin bukanlah kutukan, melainkan ujian untuk menilai sejauh mana seseorang mampu bangkit dari keterpurukan. Kegagalan hanya menjadi akhir bagi mereka yang menyerah. Sebaliknya, bagi mereka yang berani bangkit, kegagalan adalah batu loncatan menuju kesuksesan yang lebih besar. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, "Di tengah kesulitan, selalu ada peluang." Hal ini memiliki kedalaman makna bahwa di saat segala sesuatu tampak sulit, selalu ada kesempatan untuk membalikkan keadaan. Hukuman disiplin bisa menjadi titik awal bagi seseorang untuk menemukan kembali jati dirinya, memperbaiki kesalahannya, dan membangun kembali integritasnya. Yang terpenting adalah sikap mental dalam menghadapi cobaan ini. Jangan biarkan satu kesalahan mendefinisikan siapa kita selamanya. Sebaliknya, jadikan itu sebagai pelajaran berharga untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.PenutupHukuman disiplin dalam dunia peradilan bukanlah sekadar hukuman, tetapi juga bentuk pembelajaran. Setiap hakim dan aparatur peradilan yang menerima sanksi harus melihatnya sebagai peluang untuk refleksi diri dan perbaikan. Disiplin bukan sekadar aturan yang harus dipatuhi, tetapi nilai yang harus dijunjung tinggi demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Seperti kata pepatah lama, "Tak ada gading yang tak retak." Namun, retakan itu bisa diperbaiki dengan kesadaran, tanggung jawab, dan tekad untuk berubah. Dalam setiap bencana, selalu ada kencana. Hukuman bisa menjadi batu sandungan, tetapi juga bisa menjadi batu loncatan bagi mereka yang berani mengambil pelajaran darinya. Yang terpenting adalah bagaimana kita meresponsnya: dengan keputusasaan, atau dengan semangat untuk menjadi lebih baik. Sebab, pada akhirnya, hanya mereka yang mau belajar dan berkembang yang akan bertahan dalam ujian waktu. 

Hakim: Bukan Sekadar Pengadil, Tetapi Juga A Healer

article | Opini | 2025-04-04 15:05:49

MENJADI seorang Hakim adalah panggilan jiwa yang luhur, profesi yang terbilang sangat mulia. Hakim tidak dipilih hanya sebatas pada kepintarannya, tetapi Tuhanlah yang memilihnya bahwa ia layak dan mampu menjalankan tanggungjwab yang berat itu. Tidaklah mudah menyandang predikat Yang Mulia dimata para pencari keadilan. Bahkan orang menyebut Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan atau wakil Tuhan, ditangan Hakimlah berada nasib seseorang ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum. Dalam menangani suatu perkara Hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat. Profesi Hakim telah lama dianggap sebagai profesi penyembuh konflik manusia. Seorang Hakim dianggap sebagai figur yang bertugas memulihkan martabat seseorang dan mengatasi kondisi yang tidak diinginkan. Peran atau perspektif ini sepenuhnya konsisten dengan filosofi humanistik atau kemanusiaan yang telah dipegang oleh banyak Hakim. Seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya dintutut untuk memiliki sifat yang jujur tanpa cela, sikap adil yang tegas dan kemampuan yudisial yang mumpuni. Hakim dituntut untuk bersikap obyektif dan tidak boleh membiarkan emosi pribadinya masuk ke dalam proses pengambilan keputusan. Namun, pada saat yang sama, seorang Hakim diharapkan untuk berbelas kasih, pemaaf, dan penuh pengertian, terutama ketika menerapkan kebijaksanaan yudisial. Nilai-nilai yang dipegang seorang Hakim dapat terlihat setiap kali keputusannya muncul. Proses pengambilan keputusan itu sendiri sangat penting dan sulit. Tanggung jawab Hakim terhadap putusannya serta berbagai pengawasan yang dilakukan terhadap Hakim sering kali membatasi keinginan atau kemampuan Hakim untuk bersikap humanis pada saat yang sama. Ditambah proses pengambilan keputusan adalah tugas yang terstruktur dan dilakukan dalam konteks terbatas pada fakta-fakta dan hukum yang berlaku. Dalam proses peradilan yang menuntut objektivitas tinggi dari sang pengambil keputusan yang diharuskan bersikap netral, seorang Hakim dapat dibenarkan untuk menghindari menunjukkan perspektif apa pun yang dapat digunakan oleh pengamat untuk menentukan pandangan atau keprihatinan pribadi Hakim. Berdasarkan hal tersebut Hakim biasanya memilih untuk tetap sedekat mungkin tidak terlihat, cenderung menjaga jarak, kaku dan tetap tidak mencolok. Dalam banyak latar belakang sejarah, peran pengadilan dipandang sebagai penyembuh. Meskipun saat ini seringkali arahan atau tuntutan khususnya di bidang administratif kepada Hakim lebih banyak mementingkan keterampilan manajerial dan administratif, namun masih ada ruang untuk mempertimbangkan perspektif humanistik atau kemanusiaan sebagai salah satu alat yang paling penting bagi Hakim. Persepsi masyarakat pada umumnya tentang Hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang Hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang Hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum. Posisi Hakim sangat strategis dalam upaya penegakan hukum. Hakim adalah benteng terakhir, bila hakim hancur maka tidak ada gunanya segala pranata dan sistem hukum walaupun sangat baik. Di tangan hakim tempat keluarnya keadilan, Ia ibarat krain yang menyalurkan keadilan dari sumber- sumber keadilan terdalam dan tersembunyi dari pandangan masyarakat awam. Oleh karenanya hakim bukan corong peraturan perundang-undangan atau sekedar penerap hukum namun lebih daripada itu hakim juga diharapkan sebagai a healer atau penyembuh. Adagium klasik “Ius est ars boni et aequi,” memiliki arti hukum adalah seni dari kebaikan dan keadilan. Adagium ini mengingatkan kita bahwa hukum lebih dari sekedar pasal yang kerap kali dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku dan teknis. Padahal, hukum adalah seni yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara moralitas dan legalitas. Meskipun adagium ini terlihat sangat sederhana, sebenarnya adagium ini memiliki makna yang sangat mendalam. Hukum bukan hanya sekadar alat untuk menghukum atau mengatur, tetapi sebuah seni untuk membawa kebaikan dan memastikan keadilan ditegakkan. Misalnya, seorang Hakim tidak hanya menerapkan undang-undang secara tekstual, yakni membaca dan menerapkan pasal demi pasal secara literal. Hakim juga dituntut untuk memahami konteks sosial dan moral yang melingkupi sebuah perkara. Dapat disimpulkan, seorang Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat, yang kerap kali tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh bunyi aturan. Dalam kasus pidana ringan seperti pencurian kecil yang dilakukan karena kebutuhan yang mendesak, jika menerapkan hukum hanya berdasarkan aturan yang tertulis besar kemungkinan pelaku akan mendapatkan hukuman berupa penjara sesuai dengan pasal yang berlaku. Namun, jika hakim melihat dari sudut pandang rasa keadilan masyarakat, keputusan yang lebih manusiawi seperti mediasi atau rehabilitasi dapat lebih diterima. Hal ini sejalan dengan adagium “Ius est ars boni et aequi,” di mana hukum dipraktikkan tidak hanya untuk menghukum tetapi juga untuk mengembalikan harmoni sosial dan melindungi martabat manusia. Pendekatan ini menegaskan bahwa seorang Hakim memiliki peran sebagai seniman keadilan. Hakim menggunakan intuisi, empati, kebijaksanaan, serta berbagai pertimbangan matang lainnya untuk memastikan hukum tidak hanya terlihat adil, tetapi juga dirasakan adil oleh semua pihak yang terlibat. Dalam konteks modern, adagium ini tetaplah relevan. Sebagai contoh, diterapkannya keadilan restoratif di Indonesia pada beberapa kasus pidana ringan yang di mana menunjukkan bahwa hukum dapat mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Di era teknologi dan globalisasi ini, adagium ini menjadi pengingat bahwa hukum harus adaptif, tetapi tetap memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Ada masa dimana seorang Hakim mengikuti aturan Hukum yang telah ada guna memberi kepastian hukum bagi masyarakat, ada masa menyimpanginya, ada masa dituntut untuk memahami sendiri aturan yang telah ada, ada masa menciptakan aturan hukum yang belum ada. Jadi seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum melihat dan menilai berbagai aspek keadilan. Mengadili sebuah perkara butuh keilmuan yang tidak hanya berdasarkan satu sisi pertimbangan. Seorang dokter misalnya, dalam mendiagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasien sebelum diberikan dosis obat yang tepat harus terlebih dahulu menganalisa berdasarkan teori yang pernah dipelajari atas gejala apa yang terlihat pada pasien tersebut. Beda halnya dengan seorang Hakim. Kasus yang sama tidak mesti diputus berdasarkan hukum dan pertimbangan yang sama. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutus perkara. Tidak semata-mata berdasarkan hukum tertulis yang ada, tetapi dituntut untuk menggali hukum yang tidak tertulis, misalnya adab dan budaya masyarakat setempat. Tugas berat ini sangat jelas tertera dalam pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Setiap Hakim selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Terkadang ia tidak selalu bisa bertanya pada orang lain tentang kesulitan yang dihadapinya, oleh karena itu ia dituntut untuk mengasah kepekaaan nurani dan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. Putusan yang dibuatnya bisa jadi menyembuhkan masyarakat namun bisa juga melemahkan dan mengecewakan. Untuk itu seorang Hakim diharapkan tidak hanya semata-mata mengadili, ia harus punya sensivitas sosial. ia harus paham kondisi dan situasi yang dialami zaman. Ia mempunyai kewajiban yang besar untuk membela mereka-mereka yang seringkali terpinggirkan dan tertindas. Namun yang tak kalah penting ialah Makna Hakim sebagai penyembuh atau "the judge as a healer" di mana Hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang memberikan putusan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan berkeadilan, tetapi juga berupaya untuk memperbaiki hubungan sosial dan emosional antara para pihak yang berkonflik. Konsep ini berorientasi pada keadilan yang holistik, di mana Hakim menjadi sosok yang membantu menyembuhkan luka sosial dan emosional yang timbul akibat konflik hukum. Perubahan paradigma yang terjadi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari retributif menuju restoratif mendorong munculnya pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada keadilan substantif. Hal ini memberikan kesempatan kepada para Hakim untuk dapat lebih aktif berperan dalam membantu mengurangi ketegangan emosional para pihak yang berperkara, mendorong mediasi, dan menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Dengan pendekatan yang lebih humanis, Hakim dapat membantu mencegah dampak sosial yang lebih luas, seperti dendam, trauma, atau ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem peradilan. Salah satu kualitas yang sangat penting dimiliki seorang Hakim sebagai penyembuh atau a healer adalah empati. Bagaimana perlakuan Hakim terhadap semua yang terlibat dalam ruang sidang, termasuk staf, pengacara, saksi serta pihak yang berperkara untuk menunjukkan adanya kepedulian yang lebih jauh terhadap kebutuhan manusia (memanusiakan manusia). Empati adalah elemen dasar dari semua penyembuhan. Empati yang dimiliki oleh seorang Hakim khususnya terhadap pihak yang berperkara, dapat ditunjukkan dengan beberapa cara. Seperti dengan memperhatikan kata-kata yang dipilih dan cara penyampaiannya pada saat persidangan, kemudian kemampuan untuk mendengarkan para pihak yang berperkara sehingga mereka merasa dihargai, gerak tubuh, proses atau keputusan Hakim yang sekali lagi menunjukkan bahwa orang lain memiliki nilai di mata pengadilan. Saran ini tidak mengharuskan Hakim untuk mengabaikan prosedur beracara yang rigid, tetapi hanya menyarankan bahwa ketika tiba saatnya pihak berperkara berbicara Hakim berusaha mendengarkan. Seorang Hakim yang secara aktif mendengarkan akan menunjukkan sikap tenang dan penuh perhatian. Bagi sebagian orang, bersikap empatik adalah sesuatu yang naluriah dan alamiah. Bagi sebagian lainnya, keinginan untuk bekerja dari dasar ketidakpahaman mungkin membutuhkan upaya yang gigih untuk "menempatkan diri mereka diposisi orang lain." Terakhir Maimonides pernah menulis: "Adalah kewajiban positif bagi hakim untuk mengatakan kepada para pihak di awal kasus, 'Apakah Anda benar-benar ingin mengajukan kasus ini, atau tidakkah Anda lebih suka menyelesaikannya secara damai.” Hakim yang ideal adalah hakim yang tidak hanya memberi sanksi, tetapi juga membangun. Sebab pada akhirnya, seni dari Hakim terletak pada kemampuannya untuk merajut kebaikan dan keadilan dalam setiap putusannya. Namun, dalam sistem pengadilan saat ini, tampaknya sulit bagi para hakim untuk menciptakan dan mempraktikkan peran sebagai penyembuh. Jumlah kasus yang sangat banyak dan rumit yang harus ditangani serta tekanan untuk mengikuti prosedur hukum yang cenderung menghilangkan nilai-nilai humanis. Namun, dengan adanya pergeseran paradigma sistem peradilan di Indonesia saat ini dari retributif menuju restoratif serta melalui perubahan sikap yang dilakukan secara sadar, baik secara individu maupun kolektif, Hakim tetap dapat mempertahankan dan menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dihargai oleh masyarakat. Dengan menjalankan peran sebagai penyembuh, Hakim dapat meningkatkan kualitas proses pengadilan sehingga memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat.Diana Melati PakpahanCalon Hakim PN Wonosobo

Antara Antrapologi dan Filosofi Tradisi Carok Di Suku Madura

article | Opini | 2025-04-04 13:15:37

Carok, sebuah tradisi duel di Madura, Jawa Timur,  telah lama menjadi bagian dari sejarah dan budaya masyarakat setempat. Dalam pandangan akademis, tradisi ini erat kaitannya dengan dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Madura. Profesor Khoirul Rosyadi, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), menjelaskan bahwa carok bukan sekadar aksi kekerasan, melainkan juga sebuah fenomena budaya yang memiliki akar dalam sejarah Madura. Sebagai informasi, carok merupakan pertarungan antara orang Madura dengan senjata tajam yang biasanya berupa celurit untuk memulihkan harga diri seseorang. Lalu, bagaimaan sejarah kemunculan tradisi carok? Mungkin dilestarikan tanpa adanya korban jiwa?   Akar Sejarah Carok di Madura Menurut jurnal Tradis Carok Adat Madura dalam Perspektif Kriminologi dan Alternatif Penyelesaian Perkara Menggunakan Prinsip Restorative Justice, yang dituis Aina Aurora Mustikajati, Alif Rizqi Ramadhan, dan Riska Andi Fitrioni terbit November 2021, carok berarti perkelahian dalam bahasa Kawi Kuno. Carok merupakan duel tradisional yang menggunakan celurit sebagai senjata utama. Penulis menelusuri awal mula kemunculan carok yang terjadi sejak abad ke-19. Berdasarkan buku yang dituliskan oleh dua antropolog Belanda De Jonge dan Touwen Bouswma, carok dipercaya berawal dari seorang mandor kebun tebu bernama R. Sakera. Sakera melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda menggunakan celurit, senjata khas Madura. Tindakan Sakera yang berani menginspirasi masyarakat Madura untuk melawan penjajah, meskipun hanya menggunakan senjata tradisional. Dari sinilah, carok mulai diidentifikasi sebagai sarana penyelesaian konflik di kalangan masyarakat Madura, khususnya terkait masalah kehormatan, persengketaan tanah, atau balas dendam. Dalam masyarakat Madura, kehormatan adalah nilai yang sangat tinggi, sehingga tindakan yang dianggap merendahkan harga diri seseorang dapat berujung pada duel carok. Carok sebagai Penyelesaian Konflik Pada awalnya, carok digunakan sebagai mekanisme penyelesaian konflik antar-kelompok atau antar-individu, terutama dalam lingkup keluarga. Duel ini diyakini memberikan solusi yang adil bagi pihak yang berselisih, dengan melibatkan keberanian dan rasa tanggung jawab. Dalam konteks sosiologis, carok juga dipandang sebagai cara untuk menjaga keseimbangan sosial dan mempertahankan norma-norma lokal. Masyarakat Madura, yang hidup di bawah tekanan ekonomi dan politik kolonial pada masa itu, sering kali melihat carok sebagai upaya mempertahankan hak-hak mereka. Namun, carok juga memiliki konsekuensi serius, yakni korban jiwa. Banyak duel carok berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak. Meskipun dalam beberapa kasus, carok tidak dimaksudkan untuk mematikan, tetapi sifat duel yang melibatkan senjata tajam membuat risiko kematian sangat tinggi. Filsafat Budaya dan Tradisi Carok Dari perspektif filsafat budaya, tradisi carok bisa dilihat sebagai simbol keberanian, harga diri dan perjuangan melawan ketidakadilan. Dalam masyarakat tradisional, carok seringkali dipandang sebagai tindakan yang melibatkan keberanian moral dan fisik dalam membela kehormatan. Filosofi di balik carok menekankan pentingnya membela martabat keluarga atau kelompok, yang sering kali dianggap sebagai tugas yang melekat pada individu dalam masyarakat. Namun, dalam perkembangan zaman, nilai-nilai yang diusung oleh tradisi carok mulai dipertanyakan. Masyarakat modern cenderung mengkritisi carok sebagai tindakan kekerasan yang tidak lagi relevan dengan norma hukum yang ada yang mana banyak carok, mengingat zaman sekarang istilah carok tidak asing didengar masyarakat indonesia karena banyak di viralkan oleh media baik cetak maupun media sosial. Filosofi carok yang berfokus pada kekerasan fisik mulai digeser oleh pendekatan penyelesaian konflik yang lebih damai, seperti mediasi atau negosiasi.                          Kesimpulan Tradisi duel ini sudah menelan banyak korban. Selama kurun waktu tahun 2024 silam. Salah satu peristiwa terjadi pada tanggal 12 Januari 2024, setidaknya enam orang terlibat carok di Bangkalan, Madura. Hal ini terjadi karena timbulnya rasa tersinggung. Mereka lantas menyelesaikan konflik dengan cara carok sebagai cara penyelesaian konflik, fatalnya insiden tersebut menewaskan empat orang. Penulis berharap upaya pemerintah Pusat dan Daerah sama sama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Madura untuk menggantikan tradisi carok dengan bentuk yang lebih aman seperti dialog, mediasi dan menyerahkan penyelesaian konflik yang terjadi ke ranah hukum agar budaya carok yang cenderung main hakim sendiri mengatasnamakan budaya tidak akan terjadi. Refrensi Arianto, H., & Krishna. (2013). Tradisi Carok Pada Masyarakat Madura. Diakses melalui https://www.esauggul.ac.id/tradisi-carok-pada-masyarakat-adat-madura/   Aisyah, B., & Muttaqin, D. (2021). Aspek-aspek psikologis dalam budaya Carok. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, diakses melalui https://doi.org/10.32528/ins.v17i2.2059.

Pengadilan, Rule of Law dan Kesejahteraan

article | Opini | 2025-04-04 09:00:46

Di tahun 2024 panitia hadiah nobel ekonomi memberikan hadiah nobel ekonomi kepada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson atas kontribusinya yang menjelaskan bagaimana peran institusi terhadap kesejahteraan di suatu negara. Penjelasan mengenai hubungan institusi terhadap kesejahteraan dibahas dengan lugas di dalam buku Why Nations Fail yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Pada intinya, buku ini mencoba mematahkan anggapan umum bahwa kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh posisi geografis (berhubungan dengan sumber daya alam) dan kultur (berhubungan dengan agama atau etos kerja) negara tersebut. Di dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson berpandangan bahwa institusi yang inklusif mendorong terciptanya kesejahteraan di dalam suatu negara (lead to prosperity) dibandingkan dengan institusi yang ekstraktif yang hanya menciptakan kesejahteraan di kalangan para elit dan tersentralisasinya kekuasaan oleh segelintir orang (lead to poverty). Institusi yang ekstraktif hanya akan menjadikan suatu negara menjadi negara yang gagal. Dalam hal ini, ciri-ciri dari institusi yang inklusif yaitu institusi yang mendorong partisipasi yang demokratis, mendorong supremasi hukum dan keadilan, dan mampu melindungi hak milik. Sementara itu, institusi yang ekstraktif yaitu institusi yang dikuasai oleh segelintir elit, tidak ada partisipasi yang demokratis, dan tidak bisa menyediakan insentif untuk inovasi dan investasi. Pengadilan dan Rule of LawSalah satu aspek yang menjadi sorotan dalam menghasilkan institusi yang inklusif adalah bagaimana penegakan hukum atau rule of law diberlakukan di masyarakat. Perihal institusi ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa eropa di abad ke-15. Di dalam praktiknya, bangsa eropa melakukan dua jenis pendekatan terhadap negara atau wilayah yang dijajah. Pertama, pendekatan ekstraktif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi masyarakat lokal dan sumber daya alam demi keuntungan negara penjajah. Kedua, pendekatan inklusif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan tujuan jangka panjang karena wilayah tersebut nantinya akan dijadikan tempat tinggal oleh bangsa eropa. Pengadilan sebagai salah satu cabang kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu pada praktiknya selalu dimarjinalkan dalam pembangunan institusi. Hal ini terlihat ketika bangsa Belanda menjajah nusantara ide-ide revolusioner yang salah satunya adalah ide pemisahan kekuasaan sebagaimana yang diterapkan di Perancis tidak pernah diterapkan secara komperhensif di tanah jajahan. Sebagaimana yang dituliskan oleh Sebastiaan Pompe di dalam buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung bahwa upaya pemerintah kolonial untuk menerapkan doktrin pemisahan kekuasaan secara formal diawali dengan Laporan Nederburgh tahun 1803. Pada prinsipnya Laporan Nederburgh menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan otoritas politik terhadap jalannya peradilan dan campur tangan administratif hanya diperbolehkan untuk hal-hal tertentu saja. Namun, dalam praktiknya kolonialisme selalu ingin tampil dominan dibandingkan doktrin pemisahan kekuasaan. Gubernur Jenderal sebagai penguasa tanah kolonial seringkali menggunakan kewenangannya secara sepihak tidak melibatkan peran pengadilan. Bahkan, seorang Gubernur Jenderal mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang berbahaya atau tidak bagi ketertiban umum secara sepihak tanpa ada proses yudisial. Kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal secara eksplisit memang tidak mengubah doktrin pemisahan kekuasaan namun membuat peran pengadilan menjadi kerdil dan terbatas. Peran pengadilan yang kerdil dan terbatas kemudian terus berlanjut setelah kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Baru pada era setelah reformasi, kekuasaan yudisial diperkuat secara struktural dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang kekuasaan yudisial, dan sistem satu atap di Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengatur para hakim yang berada di badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kondisi yang secara struktur sudah ideal namun di dalam praktiknya masih terdapat kendala. Salah satu fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah dengan adanya prasangka kekuasaan yudisial digunakan oleh kekuasaan eksekutif untuk melegitimasi kebijakan kekuasaan eksekutif yang dirasa bermasalah oleh publik. Padahal, seharusnya kekuasaan yudisial menjadi kekuasaan yang mengoreksi kebijakan kekuasaan eksekutif apabila bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai keadilan. Fenomena ini secara signifikan berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap penerapan rule of law atau supremasi hukum di Indonesia. Memperkuat Institusi Kekuasaan YudisialSalah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar penerapan rule of law atau supremasi hukum dapat berjalan dengan baik adalah dengan memperkuat institusi kekuasaan yudisial. Bagaimana pun institusi kekuasaan yudisial adalah institusi yang terbuka bagi seluruh warga negara. Hanya di pengadilan seorang warga negara bisa menggugat kebijakan atau perbuatan negara yang dirasa merugikan warga negara dan menang. Hal ini dikarenakan secara historis dan filosofis institusi kekuasaan yudisial lahir untuk melindungi warga negara dan menegakan hak asasi manusia. Upaya penguatan yang bisa dilakukan terhadap kekuasaan yudisial yaitu: 1. Menjamin kemerdekaan kekuasaan yudisial baik secara fungsi, organisasi, maupun finansial/anggaran. Dalam hal ini secara fungsi dan organisasi kekuasaan yudisial di Indonesia sudah terlepas dari kekuasaan eksekutif namun belum untuk finansial. Institusi kekuasaan yudisial masih harus meminta anggaran kepada kekuasaan eksekutif yang mana hal tersebut secara tidak langsung membuka ruang untuk intervensi kepada kekuasaan yudisial.2. Meningkatkan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Apabila menggunakan pendekatan sistem yaitu input, process, dan output maka hakim yang berkualitas sudah bisa diperoleh dari sisi hulu yaitu rekrutmen hakim. Dari sisi input harus ada upaya yang dapat dilakukan agar para sarjana hukum terbaik di fakultas hukum terkemuka di Indonesia tertarik menjadi hakim. Faktanya, para sarjana hukum terbaik di Indonesia lebih memilih menjadi advokat dibandingkan menjadi hakim; 3. Evaluasi berkala terhadap hakim. Bagaimana pun profesi hakim dijalankan oleh manusia yang tidak bebas dari kesalahan. Oleh sebab itu, perlu dibuat mekanisme yang objektif, transparan, dan akuntabel dalam menilai kinerja seorang hakim. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah eksaminasi putusan. Putusan hakim yang merupakan produk pemikiran dari seorang hakim harus bisa dijadikan dasar dalam menilai apakah hakim ini berkompeten atau tidak.

Memaknai Status “Kawin Belum Tercatat” pada Dokumen Kependudukan

article | Opini | 2025-04-03 08:10:40

Akhir-akhir ini khususnya dalam perkara Permohonan sering para Hakim menemui dokumen Kartu Keluarga yang diajukan sebagai bukti dalam persidangan pada status perkawinan tertulis "kawin belum tercatat” hal tersebut merupakan sesuatu yang tergolong baru mengingat bahwa sebelumnya pada Kartu Keluarga (KK) di kolom status perkawinan yang sering ditemui hanya terdapat status “kawin” atau “belum kawin”. Selain itu jika kita mengamati lebih lanjut terhadap KK yang berstatus "kawin belum tercatat” akan ditemui pada kolom status hubungan keluarga untuk yang laki-laki paling atas tertulis “kepala keluarga” sedangkan yang perempuan di bawahnya tertulis “istri” selanjutnya di bawahnya tertulis juga “anak”. Jika dibaca sekilas maka terasa adanya kontradiktif antara kolom status hubungan dalam keluarga (sudah tertulis kepala keluarga, istri, anak) dengan status perkawinan yang dinyatakan belum tercatat. Oleh karena itu menarik untuk dikaji bagaimana sebenarnya makna kawin belum tercatat tersebut agar Hakim di Pengadilan tidak salah menentukan hubungan hukum dan akibat hukum bagi pihak-pihak yang berstatus kawin belum tercatat.Keabsahan Perkawinan menurut UU PerkawinanPasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut UU Perkawinan) menjelaskan bahwa “perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, ini berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan telah memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam agamanya maka perkawinan tersebut telah dianggap sah menurut agama dan kepercayaan yang bersangkutan. Sedangkan Pada ayat (2) nya menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan harus dimaknai secara kumulatif, yang artinya komponen-komponen dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dari hal tersebut bisa disimpulkan meskipun pernikahan telah dilangsungkan secara sah berdasarkan hukum agama, tetapi jika belum dicatatkan maka instansi yang berwenang baik Kantor Urusan agama untuk yang beragama Islam atau kantor catatan sipil untuk non Islam, maka perkawinan tersebut belum bisa di akui oleh negara.Sebenarnya pencatatan perkawinan itu tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi untuk menyatakan bahwa peristiwa perkawinan tersebut memang ada dan terjadi. Dalam penjelasan umum UU Perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian. Pencatatan perkawinan memiliki tujuan sebagai memberikan kepastian dan perlindungan untuk para pihak yang melangsungkan perkawinan, yang dapat memberikan kekuatan buku otentik yang telah terjadi peristiwa pernikahan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan Hukum. Sebaliknya tidak dicatatkannya perkawinan, jika pernikahan telah dilangsungkan oleh pihak maka mereka tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan perkawinan yang diakui oleh negara atau yang dianggap sah oleh negara adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama atau kepercayaannya dan telah dicatatkan.Latar belakang dan Makna status “kawin belum tercatat”Saat ini dokumen kependudukan menjadi sangat penting bagi masyarakat karena hampir setiap kegiatan membutuhkan dokumen kependudukan, setidaknya KTP yang selalu diminta atau dilihat untuk mengkonfirmasi identitas seseorang. Tidak hanya KTP dalam perbuatan seperti mendaftar sekolah, mendaftar pekerjaan, mendapatkan program bantuan pemerintah dan lain sebagainya dibutuhkan dokumen kependudukan yang lebih lengkap yaitu KTP, KK dan Akta Kelahiran. Tidak lengkapnya dokumen tersebut atau adanya kesalahan pada isi dokumen tersebut menjadikan yang bersangkutan akan kesusahan saat melakukan perbuatan tertentu. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Nomor 24 Tahun 2013 mendefinisikan Kartu keluarga selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.Pada awalnya dalam KK untuk status perkawinan terbagi menjadi empat kategori yaitu “Kawin”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan “Cerai Hidup”, kategori tersebut diatur dalam lampiran formulir-formulir pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Formulir Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, namun dalam perkembangannya setelah munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Permendagri Nomor 108 tahun 2019), dalam formulirnya status perkawinan berubah menjadi berubah dan terbagi menjadi enam kategori yaitu “Kawin Tercatat”, “Kawin Belum Tercatat”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati”, “Cerai Hidup dan “cerai hidup belum tercatat”.Untuk mengetahui makna kategori kawin belum tercatat tersebut maka perlu di lihat pada Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 pada Pasal 10 ayat (2) menyatakan “Penerbitan KK Baru karena membentuk keluarga baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden mengenai persyaratan dan tata cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan dilengkapi dengan syarat lainnya berupa surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat”.  Sedangkan yang dimaksud surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) dijelaskan dalam Permendagri Nomor 109 tahun 2019 yaitu Formulir surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan/perceraian dalam KK bagi Penduduk yang tidak mempunyai dokumen perkawinan berupa buku nikah, akta perkawinan atau kutipan akta perceraian. Dalam format SPTJM tersebut dibuat dua pihak yang pada pokoknya mereka menyatakan sebagai suami isteri yang telah terikat perkawinan dengan mencantumkan tanggal perkawinannya dan mencantumkan juga nama anak-anaknya serta ditandatangani oleh 2 orang Saksi.Uraian Pasal 10 ayat (2) Permendagri Nomor 108 tahun 2019 dihubungkan dengan penggunaan dan substansi SPTJM maka pada pokoknya aturan tersebut mengatakan bahwa pasangan suami istri yang sudah melangsungkan perkawinan namun belum tercatat atau tidak memiliki buku nikah dapat juga mendapatkan KK baru dengan melengkapi syarat-syarat pembuatan KK ditambah dengan menandatangani SPTJM Perkawinan Belum Tercatat. Dengan menambahkan SPTJM tersebut maka dapat diterbitkan KK dengan kalimat tambahan yang menerangkan status perkawinan yang bunyinya “Kawin belum tercatat”. Jadi status kawin belum tercatat tersebut pada intinya adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah dilakukan secara sah berdasarkan agamanya namun belum dicatatkan.Lebih lanjut, berdasarkan status kawin belum tercatat tersebut berimplikasi juga dengan akta kelahiran anak dari pasangan tersebut, pada Akta kelahiran anak yang dilahirkan dari perkawinan yang belum tercatat tersebut, maka pada kutipan akta kelahiran akan tetap tertulis nama ibu kandung dan ayah kandung, dengan menambahkan frasa "yang perkawinannya belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan”, karena sebelumnya jika pasangan tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan maka pada akta anak hanya tertulis nama ibunya saja.Ketentuan adanya status “kawin belum tercatat” tersebut menurut Dirjen Dukcapil kementerian Dalam Negeri dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa ada lebih dari 34 juta pasangan suami istri yang sudah menikah namun masih belum tercatat dengan alasan tidak adanya bukti akta perkawinan atau buku nikah, sehingga mereka tidak membuat akta kelahiran dengan alasan kalau membuat akta kelahiran hanya ditulis sebagai anak ibu saja. Atas hal tersebut Dukcapil Kemendagri mencari solusi untuk melindungi istri-istri dan anak-anaknya agar mendapatkan kepastian hukum, Dukcapil  tidak melegalkan perkawinan akan tetapi hanya mendata siapa yang nikah siri siapa yang nikah tercatat dan pendataan itu dimasukkan kedalam kartu keluarga dengan syarat melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) perkawinan belum tercatat.Sebelumnya, jika seseorang yang telah menikah tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan maka pada saat pasangan tersebut memiliki anak dan bermaksud membuat kartu keluarga maka nama ayah dari anak tersebut tidak dapat dicantumkan pada kartu keluarga maupun pada akta kelahiran anak yang bersangkutan, sehingga yang tertulis hanya nama Ibu anak tersebut. Pasal 36 UU Nomor 23 tahun 2006 menyatakan “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”  sedangkan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Dari kedua pasal tersebut dihubungkan dengan penerbitan KK maka apabila pasangan suami isteri tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan maka untuk mengesahkan perkawinannya harus mendapatkan penetapan terlebih dahulu dari Pengadilan, yaitu bagi muslim mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama sedangkan yang beragama selain islam memohon penetapan untuk mencatatkan perkawinan terlambat dicatatkan. Dengan penetapan tersebut barulah pada kartu keluarga bisa tertulis “kawin” dan nama ayah juga dapat ditulis pada KK. Beberapa Konsekuensi dari Status “Kawin belum tercatat” Khususnya sebagai Hakim yang terpenting adalah bagaimana secara hukum memahami status “kawin belum tercatat” tersebut, karena salah dalam memahami makna dari status tersebut maka akan salah dalam memahami hubungan hukum lainnya. Terhadap status kawin belum tercatat tersebut terdapat isu hukum dari segi perdata dan pidana yang perlu dibahas.Meskipun dalam KK seorang laki-laki dan seorang perempuan pada kolom status hubungan dalam keluarga telah tertulis “kepala keluarga” sedangkan si perempuan tertulis “istri” serta pada status perkawinan telah tertulis “Kawin belum tercatat” namun sebagaimana telah diuraikan diatas arti dari kawin belum tercatat tersebut adalah pernikahan sah secara agama namun belum dicatatkan ke Negara sehingga perkawinan yang demikian tidak diakui oleh Negara atau dalam islam biasa disebut nikah sirri. Akibatnya juga akan berpengaruh terhadap anak yang dilahirkannya, Pasal 42 UU Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berdasarkan pasal tersebut meskipun pada KK nama ayah dari anak tersebut tertulis begitupun juga pada akta kelahiran anak tersebut, namun karena pada dasarnya perkawinan yang demikian belum diakui negara maka anak yang dilahirkan tersebut bukan merupakan anak yang sah sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya. Bagitu juga mengenai kewarisan, karena anak yang dilahirkan pada perkawinan yang belum diakui oleh negara maka anak tersebut bukan merupakan ahli waris dari ayahnya.Lebih jauh perlu dianalisis hubungan perkara Pidana dengan status perkawinan belum tercatat, dalam KUHP terdapat delik-delik yang menggantungkan unsurnya pada adanya perkawinan. Misalnya dalam pasal perzinahan yaitu Pasal 284 KUHP, apabila untuk membuktikan unsur adanya perkawinan dalam pasal tersebut menggunakan KK yang tertulis berstatus “kawin belum tercatat” maka sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa perkawinan yang demikian belum diakui oleh negara maka unsur adanya perkawinan menjadi tidak terbukti.KesimpulanStatus kawin belum tercatat tersebut pada intinya adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah dilakukan secara sah berdasarkan agamanya namun belum dicatatkan, sehingga perkawinan tersebut belum diakui Negara. Tujuan adanya status tersebut semata-mata agar seluruh penduduk yang menikah namun tidak dicatatkan (Nikah secara agama saja) memiliki KK dan juga Akta kelahiran bukan pengesahan sebuah perkawinan. Adapun konsekuensi dari kawin belum tercatat tersebut antara lain anak yang dilahirkan bukan merupakan anak yang sah dalam perkawinan sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, begitu juga dalam perkara pidana status “kawin belum tercatat” pada KK tidak dapat membuktikan unsur adanya suatu perkawinan dalam suatu pasal pidana.

Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022

article | Opini | 2025-04-02 13:05:25

Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian terhadap posisi dan pemenuhan hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana telah mengalami perkembangan yang cukup bagus. Salah satu konsep yang bertujuan untuk mengakomodasi hak-hak korban adalah dengan adanya penerapan victim impact statement (VIS). Konsep VIS ini muncul pertama kali setelah peristiwa tragis yang terjadi pada 20 Juli 1969 di California, Amerika Serikat (AS), yaitu pembunuhan massal yang dilakukan oleh pengikut Charles Manson, yang menyebabkan tujuh orang tewas, termasuk aktris Sharon Tate yang sedang hamil delapan bulan. Kejadian ini mempengaruhi ibu Sharon, Doris Tate, yang menderita depresi dan menjauh dari dunia luar selama lebih dari sepuluh tahun. Pada tahun 1982, Doris mengetahui bahwa salah satu terpidana, Leslie Van Houten, dijadwalkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Doris yang merupakan seorang aktivis, kemudian mendirikan Coalition for Victims’ Equal Rights, yang memperjuangkan pengesahan Victims’ Bill of Rights pada tahun 1982 di California. Salah satu poin penting dari undang-undang ini adalah hak bagi korban untuk menyampaikan pernyataan di pengadilan. Jika korban meninggal, hak ini diberikan kepada anggota keluarga. Sebelumnya, korban hanya bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dari pengacara.Sebagaimana dalam penelitian Booth Robert dan Edgar menyatakan bahwa : “VIS allow victims (i.e. individuals directly targeted by the crime and family members of directly targeted individuals who died as a result of the crime) to tell legal decision makers (i.e. jury members and/or judges), either orally – live on audio, or on video – or in written format. Adapun kalimat tersebut dapat diartikan bahwa VIS memberikan ruang bagi korban kejahatan, termasuk anggota keluarga korban yang meninggal, untuk berkomunikasi secara langsung dengan pembuat putusan hukum (juri dan/atau hakim) tentang dampak kejahatan terhadap kehidupan mereka. Hal ini dapat dilakukan secara lisan, baik secara langsung, melalui rekaman audio atau video, atau dalam bentuk tertulis. VIS ini menggambarkan apa saja akibat yang diterima korban secara langsung sebagai akibat dari tindak pidana yang telah dialami dan sekaligus untuk membantu hakim dalam mempertimbangkan hukuman sebelum menjatuhkan vonis bagi terdakwa.Berkaitan dengan konsep VIS telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana (PERMA 1/2022). Namun sebelum lebih jauh memahami VIS dan peranannya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia maka harus dipahami dahulu apa itu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana limitasi penulis akan mengaitkan VIS dengan korban tindak pidana kekerasan seksual dalam pengajuan restitusi baik selama proses persidangan maupun pasca persidangan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap (BHT) dan Model Rekomendasi VIS yang tepat yang bisa digunakan oleh korban atau keluarga korban dalam pengajuan permohonan baik secara langsung atau tertulis. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU TPKS bahwa TPKS adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam UU ini. Adapun definisi korban pada Pasal 1 ayat 4 UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan TPKS. Sedangkan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.VIS dengan restitusi sangat berkaitan karena keduanya bertujuan untuk memberikan pemulihan kepada korban tindak pidana. VIS memungkinkan korban untuk menyampaikan dampak yang mereka alami akibat kejahatan tersebut, baik secara fisik, psikologis, sosial, maupun ekonomi, yang menjadi dasar bagi Hakim di pengadilan untuk menentukan jumlah restitusi yang adil. Restitusi sendiri merupakan hak yang diberikan kepada korban untuk mengganti kerugian yang dialami, dan VIS memberikan informasi yang diperlukan agar restitusi yang diberikan sesuai dengan dampak yang ditanggung oleh korban. Dengan kata lain, VIS berfungsi sebagai alat yang membantu hakim menetapkan besaran restitusi yang proporsional dan mencerminkan kerugian korban secara menyeluruh. Adapun bentuk restitusi yang diatur dalam Pasal 4 PERMA 1/2022 meliputi: ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti rugi materiil dan immateriil akibat penderitaan langsung dari tindak pidana, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta ganti rugi atas kerugian lain akibat tindak pidana. Selanjutnya syarat permohonan restitusi menurut Pasal 5 PERMA 1/2022 mencakup identitas pemohon, identitas korban (jika pemohon bukan korban itu sendiri), uraian tindak pidana, identitas terdakwa/termohon, uraian kerugian yang diderita, dan besaran restitusi yang diminta. Mengenai syarat permohonan restitusi untuk korban anak, permohonan dapat diajukan oleh orang tua, keluarga, wali, ahli waris, kuasa hukum, atau LPSK secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Permohonan diajukan langsung kepada ketua pengadilan atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum.Lalu? Bagaimana cara pengajuan restitusi itu sendiri, Pertama, pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Vide Pasal 8 s/d 10 PERMA No 1 Tahun 2022. Permohonan ini dapat diajukan langsung oleh korban, atau melalui LPSK, penyidik, atau Penuntut Umum. Dalam hal permohonan diajukan melalui penyidik atau LPSK, mereka wajib menyampaikan berkas permohonan kepada Penuntut Umum, baik sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, atau paling lambat sebelum Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana. Jika korban tidak mengajukan permohonan restitusi, hakim wajib memberitahukan hak korban untuk memperoleh restitusi, yang dapat diajukan sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan atau setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dalam putusannya, hakim harus memuat pernyataan mengenai diterima atau tidaknya permohonan restitusi, beserta alasan untuk menerima atau menolak permohonan tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya. Selain itu, hakim juga wajib mencantumkan besaran restitusi yang harus dibayarkan oleh terdakwa, atau oleh orang tua terdakwa jika yang bersangkutan adalah anak, dan/atau oleh pihak ketiga yang berkaitan. Restitusi yang diputuskan oleh hakim bertujuan untuk memulihkan kerugian yang dialami korban, baik dalam bentuk materiil maupun immateriil.Permohonan restitusi tidak menghapuskan hak korban, keluarga, ahli waris, atau wali untuk mengajukan gugatan perdata. Hal ini dapat dilakukan apabila terdakwa diputus bebas atau lepas, atau jika terdapat kerugian yang diderita korban yang belum dimohonkan restitusi kepada pengadilan, atau yang telah dimohonkan tetapi tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Oleh karena itu, meskipun restitusi diberikan, korban tetap memiliki hak untuk menuntut ganti rugi melalui jalur gugatan perdata jika terdapat kerugian yang belum terakomodasi. Kedua, permohonan restitusi juga dapat diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap Vide Pasal 11 s/d 15 PERMA No 1 Tahun 2022, dengan waktu pengajuan paling lama 90 hari sejak Pemohon mengetahui putusan tersebut. Dalam hal ini, terpidana menjadi pihak termohon dalam permohonan restitusi, sementara Jaksa Agung atau Jaksa bertindak sebagai pihak terkait dalam proses permohonan tersebut. Dengan demikian, meskipun restitusi dapat diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, proses pengajuannya tetap dilakukan melalui mekanisme yang jelas untuk memastikan hak-hak korban tetap terlindungi.Sebagaimana inti Pasal 8 ayat 4 PERMA 1/2022 apabila korban tidak mengajukan permohonan restitusi, maka hakim wajib memberitahukan hak korban untuk memperoleh restitusi, maka disini peranan VIS masuk dalam menyuarakan hak-hak korban yang bisa secara langsung membuat permohonan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum Pasal 5 ayat 4 PERMA 1/2022. VIS menjadi jembatan bagi korban untuk mengungkapkan secara resmi dan terstruktur dampak yang mereka alami akibat tindak pidana, sekaligus memungkinkan mereka untuk mengajukan permohonan restitusi dengan lebih mudah dan jelas.Berikut merupakan Model VIS yang diusulkan oleh penulis di mana dalam model ini, penulis merujuk pada Pasal 4 dan 5 PERMA 1/2022, yang mengatur tentang restitusi bagi korban kejahatan. Selain itu, VIS harus memuat syarat-syarat permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, yaitu: “identitas Pemohon, identitas Korban (jika pemohon bukan korban langsung), uraian Tindak Pidana, identitas Terdakwa/Termohon, uraian Kerugian yang diderita, besaran Restitusi yang diminta.”Gambar 1.1Model Victim Impact Statement (Pernyataan Dampak Korban)Model VIS yang diusulkan bertujuan untuk memberikan panduan yang jelas dalam melindungi hak-hak korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. Model ini digunakan apabila LPSK tidak mengajukan rekomendasi penetapan restitusi kepada Penuntut Umum atau Pengadilan. Dengan adanya format yang terstruktur, VIS dapat dengan mudah dipergunakan oleh korban atau perwakilannya untuk menyampaikan dampak yang mereka alami.Selain itu, VIS juga memberikan kemudahan bagi hakim dalam memahami tingkat penderitaan korban, sehingga putusan yang diambil bisa lebih adil dan berpihak pada korban (victim centered-oriented). VIS ini sangat penting di mana tidak hanya untuk mengakomodir penderitaan korban, tetapi juga dalam aspek pemulihan yang harus diterima oleh korban akibat dari tindak pidana tersebut. Restitusi yang tercantum dalam VIS mencakup berbagai bentuk pemulihan, baik finansial maupun psikologis. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, dampak yang dialami sering bersifat jangka panjang dan dapat mempengaruhi aspek sosial dan pendidikan korban. Oleh karenanya penggantian biaya medis dan psikologis menjadi bagian vital dalam VIS, agar korban memperoleh perawatan yang diperlukan.VIS juga berfungsi untuk memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dalam proses peradilan. Identitas pemohon dan korban yang tercantum dalam VIS bertujuan untuk memberikan kepastian tentang siapa yang berhak mengajukan pernyataan ini, yang sangat penting dalam kasus korban di bawah umur. VIS dapat diajukan oleh orang tua, wali, atau pihak yang mendampingi korban secara hukum. Kejelasan ini mempermudah proses hukum dan menghindari penyalahgunaan hak korban dalam sistem peradilan. Uraian tindak pidana dalam VIS memiliki peranan untuk menjelaskan kronologi kejadian yang dialami korban secara rinci dan sistematis, sehingga dapat menggambarkan dampak nyata dari kejahatan tersebut. Informasi tentang identitas terdakwa atau termohon dalam VIS juga krusial untuk memastikan bahwa tuntutan restitusi diarahkan pada pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.Selain itu, uraian tentang kerugian yang diderita korban dalam VIS harus dijelaskan secara spesifik, meliputi dampak fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Penjelasan yang detail akan menjadi bahan pertimbangan utama bagi hakim dalam menentukan jenis pemulihan yang paling tepat untuk korban. Terakhir, besaran restitusi yang diminta dalam VIS harus dijelaskan dengan jelas dan didukung oleh bukti yang relevan, seperti kwitansi pengobatan, laporan psikologis, atau dokumen lain yang mendukung klaim korban. Dengan VIS yang terstruktur dan standar yang jelas, diharapkan keadilan bagi korban kekerasan seksual pada anak dapat lebih terwujud dalam sistem hukum Indonesia.

Paradigma Restorative Justice dalam Peradilan Pidana Modern

article | Opini | 2025-04-02 08:10:01

Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, restorative justice atau keadilan restoratif adalah istilah yang sangat jamak digunakan pada konteks penegakan hukum pidana. Dari hasil penelusuran Google Trends misalnya, kata kunci “restorative justice” mulai menunjukkan tren peningkatan pada tahun 2012. Salah satu penyebabnya karena UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang terbit pada tahun tersebut. Beleid ini merupakan aturan positif yang pertama kali memperkenalkan istilah “keadilan restoratif”. Prinsip keadilan restoratif terwujud dalam bentuk diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana. Walaupun kini merupakan terminologi ilmu hukum, akan tetapi embrio awal restorative justice justru ditulis oleh psikolog bernama Albert Eglash. Dalam publikasi tahun 1958 bertajuk Creative Restitution. A Broader Meaning for an Old Term, Eglash mengemukakan upaya restitutif pada proses penghukuman sebagai “bentuk pendekatan mental, membangun kekuatan diri, mengembangkan ego yang sehat”. Kerangka ini dikembangkan lebih lanjut pada tahun 1990 oleh kriminolog asal Amerika Serikat Howard Zehr melalui Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Zehr yang kini dikenal luas sebagai the grandfather of restorative justice mengkritik paradigma sistem peradilan retributif (pembalasan) karena hanya cenderung menghukum pelaku tanpa memperhatikan kebutuhan korban. Maka dari itu, restorative justice hadir untuk mengakomodasi kepentingan korban dan mendorong pemulihan keadaan seperti semula.Di Indonesia, restorative justice memang merupakan paradigma penegakan hukum yang relatif baru. Pendekatan ini mulai diperhatikan pada sekitar tahun 2012 pasca kasus pencurian kakao Mbok Minah yang kala itu benar-benar menggegerkan publik. Minah, 55 tahun, dijatuhi pidana penjara selama 1 bulan dan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan karena terbukti mencuri 3 buah kakao. Perkara inilah yang selanjutnya melahirkan memorandum Nota Kesepahaman Mahkumjakpol tahun 2012 mengenai penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana ringan. Di samping itu, Mahkamah Agung juga menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Pada ketentuan ini, seluruh nilai denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali lipat agar sesuai dengan inflasi, sedangkan nilai kerugian pada beberapa delik tindak pidana ringan disesuaikan menjadi Rp2,5 juta.Pada tanggal 7 Mei 2024, Mahkamah Agung meluncurkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam aturan tersebut, terdapat beberapa poin penting yang akan mengubah lanskap praktik hukum acara pidana. Pertama, mekanisme restorative justice tidak bisa diterapkan jika tak ada kesepakatan antara terdakwa dan korban, merupakan pengulangan tindak pidana sejenis dalam jangka waktu tiga tahun, serta jika terdapat relasi kuasa. Timpangnya kedudukan antara pelaku dan korban karena relasi kuasa inilah yang kerap luput dari perhatian penegak hukum. Akibatnya, korban terpaksa menyetujui kesepakatan damai disebabkan intimidasi, eksploitasi, atau kesenjangan hierarki status sosial. Hal ini terjadi contohnya dalam penghentian perkara kasus pelecehan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan alasan korban telah dinikahkan dengan pelaku. Kedua, mekanisme restorative justice di persidangan dimulai setelah penuntut umum membacakan surat dakwaan. Apabila terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan dan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi), maka hakim melanjutkan agenda sidang dengan pemeriksaan saksi korban. Hakim kemudian menanyakan tentang kronologis tindak pidana yang dialami, kerugian yang timbul dan kebutuhan korban, serta adanya perdamaian dengan terdakwa sebelum persidangan, termasuk realisasinya. Pada tahap ini, hakim memiliki peran aktif untuk menggali informasi mengenai dampak tindak pidana, kerugian ekonomi, dan biaya medis korban serta kemampuan terdakwa dalam melaksanakan kesepakatan perdamaian. Dengan menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing, terdakwa dan korban akan terlihat sebagai individu yang lebih manusiawi. Melalui paradigma restorative justice, korban dapat mengerti apa motif dan tujuan seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan terdakwa memahami bagaimana dampak perbuatannya akan mempengaruhi kehidupan seseorang.Ketiga, kesepakatan perdamaian antara korban dan terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berupa pidana bersyarat/pengawasan (voorwaardelijke straf). Demi memastikan terdakwa melaksanakan kesepakatan perdamaian, hakim juga dapat memasukkannya sebagai syarat khusus dalam diktum putusan. Dengan demikian, restorative justice dapat mendorong alternatif pemidanaan selain pidana penjara dan berpotensi mengurangi tingkat overcrowding lapas/rutan yang kini telah menyentuh angka 92%. Hal ini sekaligus membantah kekeliruan umum bahwa tujuan restorative justice pasti bermuara ke penghentian perkara. Padahal, penerapan prinsip keadilan restoratif sama sekali tidak menihilkan pertanggungjawaban pidana.Restorative justice merupakan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan keadaan dan kondisi korban dengan melibatkan peran serta pelaku. Pada sistem peradilan pidana modern, restorative justice menuntut peran sentral hakim dalam proses penegakan hukum yang lebih humanis. Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2024, tugas hakim kini bukan hanya sekedar menjatuhkan hukuman, akan tetapi juga turut mengupayakan kesepakatan perdamaian. Dengan demikian, proses peradilan dapat memastikan agar hak-hak korban terpenuhi, mendorong partisipasi pelaku, serta membuka alternatif pemidanaan selain penjara.

Mengawal Masa Depan: Peran Hukum dalam Memastikan Kemajuan Teknologi yang Etis

article | Opini | 2025-04-01 08:10:47

Dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi, kita menghadapi peluang besar sekaligus dilema etis. Inovasi ini menjanjikan transformasi dalam kesehatan, pertanian, dan berbagai aspek kehidupan. Namun, juga menghadirkan risiko atas hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Kerangka hukum yang kuat berbasis etika manusia-sentris dan lingkungan sangat penting untuk menjawab tantangan zaman yang baru ini.Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan teknologi sering melampaui regulasi hukum. Akibatnya, masyarakat menghadapi konsekuensi inovasi yang tidak terkendali. Potensi kerusakan lingkungan (akibat pemakaian energi yang kian tinggi seiring meningkatnya kecanggihan teknologi) dan ketidaksetaraan sosial adalah beberapa contohnya. Kini, dengan perkembangan pesat AI dan bioteknologi, taruhannya semakin tinggi. Perlindungan hukum diperlukan untuk memastikan teknologi ini menguntungkan seluruh umat manusia, bukan hanya segelintir orang beruntung yang kebetulan sudah terlanjur kaya.Etika Manusia-sentris dalam Regulasi TeknologiSelaras dengan pendapat John Rawls, hukum jelas harus melindungi hak individu dan menegakkan keadilan sosial. Lebih lanjut, Martha Nussbaum pun menekankan pentingnya meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan manusia. Dengan memprioritaskan kerangka etis ini, kita dapat mengembangkan regulasi yang melindungi martabat manusia dan memperjuangkan kebaikan bersama.Etika Lingkungan dan Dampak TeknologiHans Jonas pada prinsipnya menekankan kewajiban mempertimbangkan dampak jangka panjang tindakan kita terhadap generasi mendatang dan lingkungan. Prinsip ini relevan dengan regulasi AI dan bioteknologi. Lebih lanjut, Aldo Leopold pun memandang manusia sebagai anggota komunitas ekologi yang lebih luas. Pendapat-pendapat tersebut dapat membimbing pembuatan perundang-undangan yang melindungi lingkungan alam kita. Bahkan sejak zaman dahulu, perspektif spiritual dalam banyak kepercayaan animisme pun memiliki penghormatan khusus terhadap alam dan kesakralan elemen alami. Kita sebaiknya menghormati dan melindungi lingkungan sebagai entitas hidup, dan dengan demikian berusaha untuk seoptimal mungkin menyelaraskan kemajuan teknologi dengan preservasi alam semesta.Mengatasi Ketidakadilan Sosial dalam Penggunaan TeknologiAda beberapa jenis teknologi yang bersifat selaras dengan semangat keadilan sosial, seperti contohnya internet. Orang yang sangat kaya kini boleh jadi menikmati hiburan yang sama dengan anggota kelas menengah pada umumnya, selama mereka sama-sama memiliki gawai. Dengan hanya bermodalkan wi-fi, anggota kelas menengah yang memiliki pendapatan minimum kabupaten sudah dapat menikmati film seri yang sama dengan yang ditonton oleh miliuner ibukota di Netflix.Namun ada juga jenis teknologi yang boleh jadi memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin. Misalnya terkait rekayasa genetika. Selama ini kita tahu bahwa belum tentu orang kaya secara karakter maupun kecerdasan lebih baik dari orang miskin. Namun apabila dengan rekayasa genetika si orang kaya dapat menentukan sendiri keturunan macam apa yang dia inginkan. Misalnya memiliki potensi tinggi badan, otot seperti atlet namun disertai dengan potensi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual setara para pemimpin besar dunia. Apabila teknologi seperti CRISPR hanya dapat diakses oleh orang kaya karena harganya yang mahal, boleh jadi ketidaksetaraan genetik akan terjadi. Apabila tidak diatur dengan baik, bisa jadi di masa depan orang kaya memang akan selalu lebih baik (dalam hal bentuk fisik, karakter, dan kecerdasan) dibandingkan dengan orang miskin. Terkait hal ini, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memperingatkan tentang ketimpangan kekuasaan dan kekayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.Kita memerlukan perundang-undangan yang memastikan akses adil terhadap kemajuan teknologi. Ini termasuk mengatur harga penggunaan CRISPR dan bioteknologi lainnya agar lebih terjangkau. Sedangkan terhadap AI, pedoman lebih ketat juga diperlukan untuk menghilangkan bias dalam pengkodean dan penerapannya.Kerangka Hukum Indonesia dan InternasionalMengkaji kerangka hukum yang ada penting untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan area yang perlu diperbaiki. Perjanjian internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Deklarasi Universal UNESCO tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia boleh jadi memberikan prinsip-prinsip dasar yang diperlukanDi Indonesia sendiri masih diperlukan perundang-undangan yang lebih spesifik tentang masalah etika terkait dengan AI dan bioteknologi. Ada kebutuhan mendesak untuk kerangka hukum komprehensif yang mengintegrasikan etika manusia-sentris dan lingkungan dalam tata kelola teknologi.Tujuan Akhir InovasiTujuan akhir inovasi adalah meningkatkan kebahagiaan manusia dan menjawab misteri alam semesta. Berdasarkan kerangka hukum pada etika manusia-sentris dan lingkungan, serta menangani risiko sosial ekonomi dalam teknologi ini, kita memastikan manfaat dari AI dan bioteknologi dibagikan secara adil dan berkelanjutan.Masa depan perkembangan teknologi ada di tangan kita. Terserah kita untuk memastikan bahwa itu dipandu oleh prinsip-prinsip yang mencerminkan standar etika tertinggi dan penghormatan terdalam kita terhadap jalinan kehidupan yang saling terkait.

Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian

article | Opini | 2025-03-31 08:10:06

Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah salah satu konsep pendekatan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang telah dikenal oleh sistem hukum negara-negara dunia maupun di Indonesia. Terminologi Restorative justice berasal dari kata dasar “restore” berarti mengembalikan, memulihkan atau memperbaiki. Lebih lengkap "restorative justice" berasal dari gabungan dua kata yaitu "restorative" (pemulihan) dan "justice" (keadilan). Istilah "restorative" mengacu pada proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan yang rusak atau terganggu ke kondisi semula atau lebih baik. Dalam konteks keadilan, ini berarti memulihkan kerugian yang diderita oleh korban dan memperbaiki dampak kejahatan terhadap masyarakat dan pelaku. Sedangkan istilah “justice” adalah prinsip moral dan hukum yang memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan cara yang benar, adil, dan setara. Ini melibatkan pemberian hak yang sesuai dan penanganan yang adil terhadap pelanggaran hukum. Konsep Restorative justice secara garis besar berfokus pada pemulihan kerugian yang dialami oleh korban, rehabilitasi pelaku, dan pemulihan hubungan sosial di masyarakat yang terganggu akibat perilaku tindak pidana. Tahun 2024 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengukuhkan prinsip-prinsip restorative justice ini dalam sistem peradilan Indonesia. Sebelum restorative justice disebutkan secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, konsep restorative justice telah ditemukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).Ketentuan pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan” dilanjutkan pada Pasal 5 ayat (1) UU SPPA berbunyi” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. bunyi pasal tersebut menjelaskan dalam sistem peradilan pidana anak mengutamakan pendekatan restoratif dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku.Selang sewindu setelah konsep pendekatan restorative justice sering didengungkan, institusi-institusi penegak hukum menerbitkan peraturan internal mereka antara lain Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum) Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan beberapa ketentuan lain yang tidak secara langsung mengatur restorative justice tetapi pengaturannya telah menggunakan pendekatan yang lebih restoratif.Empat tahun setelah Badilum menerbitkan pedoman tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut dengan tujuan mendukung kelancaran penyelenggaraan peradilan, mengisi kekosongan dalam hukum dan sebagai letigimasi pengaturan restorative justice. Pasal 1 angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2024 menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma tersebut menjelaskan pada pokoknya restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidana ringan, delik aduan, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara, pelaku anak yang diversinya tidak berhasil, dan tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan. Namun, Pasal 6 ayat (2) Perma tersebut juga membatasi kewenangan Majelis Hakim pada perkara yang tidak dapat menerapkan restorative justice, antara lain jika korban atau terdakwa menolak perdamaian, terdapat relasi kuasa, atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun.Mekanisme yang diatur dalam Perma ini singkatnya adalah pada sidang pertama, jika terdakwa membenarkan perbuatan dan tidak ada nota keberatan, proses dilanjutkan dengan mekanisme restorative justice (vide Pasal 7). Majelis hakim memeriksa kehadiran korban dan meminta keterangannya mengenai kronologis tindak pidana, kerugian, dan perdamaian sebelumnya (vide Pasal 8). Jika sudah ada perdamaian, majelis hakim memeriksa kesepakatan tersebut dan menjadikannya pertimbangan dalam putusan (vide Pasal 9).Jika perdamaian belum terjadi atau belum dilaksanakan sepenuhnya, majelis hakim mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh kedua belah pihak. Kesepakatan harus dicapai tanpa kesesatan, paksaan, atau penipuan (vide Pasal 10-13).Dalam kasus delik aduan, kesepakatan antara terdakwa dan korban dapat berupa terdakwa melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan penarikan pengaduan. Jika ditandatangani di hadapan majelis hakim, penuntutan dianggap gugur. Jika belum ada perdamaian, majelis hakim akan menganjurkan terdakwa dan korban untuk mencapai kesepakatan. Jika disetujui, majelis hakim membantu mencapai kesepakatan (vide Pasal 14-15).Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum memanggil pihak terkait, seperti tokoh agama atau masyarakat, untuk mendukung kesepakatan perdamaian. Mekanisme restorative justice harus dilakukan sebelum tuntutan pidana diajukan, dengan memperhatikan masa penahanan terdakwa dan jangka waktu penyelesaian perkara (vide Pasal 16-17).Implementasi dalam putusan majelis hakim setelah mekanisme mengadili berdasarkan restorative justice telah dilalui sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kesepakatan perdamaian yang berisi penggantian kerugian, pelaksanaan atau tidak melaksanakan perbuatan tertentu adalah majelis hakim menerapkan dalam putusan menjadi pertimbangan yang meringankan hukuman atau sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan (vide Pasal 18-19). Adapun tanda pengukuhan bahwa restorative justice telah diterapkan yaitu majelis hakim akan mencantumkan ketentuan peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya (vide Pasal 21).Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang lebih komprehensif daripada sekadar perdamaian. Namun, sering kali ditemukan dalam praktik peradilan pidana, baik pada tahapan sejak penyidikan hingga penuntutan di persidangan, ditemukan terjadi pergeseran pemahaman dimana restorative justice menjadi sekadar upaya untuk mencapai perdamaian antara pelaku dan korban. Dalam beberapa kasus, pendekatan restorative justice diinterpretasikan sebagai mediasi sederhana tanpa adanya upaya untuk mengatasi dampak-dampak dari kejahatan yang terjadi. Misalnya, dalam kasus tertentu, pelaku dan korban lebih ditekankan untuk berdamai tanpa menekankan upaya untuk memperbaiki kerugian yang dialami korban atau rehabilitasi bagi pelaku, ketika ada permaafan dari korban. Pencapaian restoratif berupa pemulihan seolah menjadi asesor. Seolah ada atau tidak ada ketentuan pemulihan yang ditetapkan tidak menjadi masalah asalkan perdamaian telah tercapai.Contoh keresahan mengenai pergeseran paradigma mengenai restorative justice antara lain dapat dilihat dalam tulisan Nurul Nur Azizah yang berjudul “Riset Komnas Perempuan: Restorative Justice Harus Berperspektif Korban, Realitasnya Belum” (2023). Ia menyebutkan bahwa restorative justice tidak seharusnya dianggap sebagai upaya untuk mendamaikan korban dan pelaku demi melupakan kasus atau menyelesaikan kasus dengan menikahkan pemerkosa dan korbannya.Dalam tulisan Nurul Nur Azizah tersebut juga menyajikan data dari riset Komnas Perempuan bahwa dari 68 responden, 45 orang merasa belum pulih, sementara 21 lainnya merasa lebih pulih dengan hasil atau kesepakatan yang dicapai. Jumlah korban yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah, tetapi yang merasa belum pulih lebih banyak di wilayah timur (18 orang) dibandingkan dengan wilayah barat (15 orang) dan tengah (12 orang). Data tersebut menunjukkan masih banyak divergensi persepsi akan penerapan restorative justice yang ditunjukkan dari riset hasil yang dirasakan oleh korban-korban.Tercapainya suatu perdamaian bukanlah hal buruk dalam suatu perkara pidana karena sejak dahulu dalam praktik peradilan pidana, perdamaian juga sering disebutkan sebagai keadaan yang meringankan terdakwa.  Akan tetapi, apabila membahas mengenai perkara yang dinyatakan telah menerapkan pendekatan restorative justice hanya ketika perdamaian telah tercapai adalah belum tepat sepenuhnya karena konsep tercapainya perdamaian dibandingkan penerapan restorative justice adalah berbeda. Restorative justice semestinya memiliki mekanisme yang bertujuan untuk mengedepankan bentuk pemulihan kepada korban. Hal itu merupakan kesatuan dari perdamaian, keterlibatan pihak terkait, batasan syarat, batasan waktu pelaksanaan, mekanisme proses berjalan, memperhatikan hak korban dan tanggung jawab Terdakwa, sehingga mencapai pemulihan yang berkeadilan.Restorative justice dalam perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2024 memberikan uraian baik teknis maupun administratif dalam Sistem Peradilan Pidana, terkhusus kepada para hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan restoratif. Artinya, restoratif dianggap telah diterapkan ketika mekanisme telah dilaksanakan sesuai ketentuan tersebut hingga pelaksanaan bentuk pemulihan yang dihadirkan kepada seluruh pihak terkhusus bagi korban. Selanjutnya, pergeseran paradigma keadilan restoratif berupa anggapan restorative justice telah diterapkan bila pencapaian perdamaian telah terlaksana tetapi tanpa menekankan pemulihan masih perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan oleh restorative justice. Di sisi lain beberapa kalangan memandang kehadiran Perma tersebut dirasa membatasi ruang gerak untuk menerapkan restorative justice dalam beberapa perkara karena pengaturan batasan kategori-kategori dan mekanisme yang cukup kompleks. Pada akhirnya, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai penerapan restorative justice, kehadiran Perma tersebut dengan segala ketentuan yang terkandung di dalamnya, membantu mempertahankan paradigma mengenai restorative justice agar tetap sesuai dan tidak diartikan sederhana sekadar perdamaian.

Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak

article | Opini | 2025-03-30 13:00:01

Pendahuluan Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengalami pembaharuan. Terakhir pembaharuannya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Tujuan pembaharuan ini adalah untuk mendedikasikan sistem peradilan yang lebih berfokus pada perlindungan hak-hak anak, kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Namun, dalam pelaksanaannya, masih terdapat kendala, yaitu belum diterapkannya pidana peringatan oleh hakim yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a Jo. Pasal 72 UU SPPA. Hal ini disebabkan karena masih adanya kekaburan hukum mengenai jenis tindak pidana dan bentuk template putusan pidana peringatan ini sendiri. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara (Nashriana, 2014). Dengan demikian anak seharusnya mendapatkan pembinaan dan perlindungan, mengingat keadaan fisik dan mentalnya masih labil, yang dalam banyak hal perlu mendapat perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan yang dapat merugikan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan diri si anak. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pengaturan anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 3 UU SPPA menyatakan bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, terdapat perubahan jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) dan (2) UU SPPA, yaitu: Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga; 2.  Pelayanan masyarakat; atau 3.  Pengawasan. c.   Pelatihan kerja; d.  Pembinaan dalam lembaga; dan e.  Penjara. 2.  Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat. Dari sekian jenis pidana yang menjadi perhatian penulis adalah pidana peringatan yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA. Selanjutnya Pasal 72 UU SPPA menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak”. Pidana peringatan selain diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) Jo. Pasal 72 UU SPPA juga diatur dalam Pasal 115 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) dan Pasal 4 huruf a Jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak. Berbeda dengan pidana peringatan dalam Pasal 71 UU SPPA, KUHP Nasional tidak menyebutkan definisi pidana peringatan. Namun disisi lain terdapat persamaan antara Pasal 71 UU SPPA dengan Pasal 115 huruf a KUHP Nasional yang hanya menyebutkan “cukup jelas” dalam penjelasan UU tersebut. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71 Ayat (5) dan Pasal 82 Ayat (4) UU SPPA, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak (PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak) yang mengatur mengenai pidana peringatan dalam Pasal 7 dengan ketentuan sebagai berikut: Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak.Pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dijatuhkan kepada Anak dengan tujuan agar Anak tidak mengulangi perbuatannya.Putusan pemidanaan yang memuat pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diucapkan Hakim dalam persidangan.Dalam hal putusan pidana peringatan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilakukan oleh Jaksa dengan cara membacakan peringatan dari putusan pengadilan kepada Anak yang didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan/atau orangtua/wali. Dalam penjelasan dari Pasal 7 Ayat (2) PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak disebutkan bahwa “Pidana peringatan antara lain berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran”. Dalam praktiknya terdapat banyak putusan yang telah menerapkan pidana peringatan terhadap anak, diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor 7/Pid.Sus-Anak/2024/PN Gst yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 72/PID.SUSAnak/2024/PT MDN tanggal 12 Desember 2024 dan Putusan Nomor 2189 K/Pid.Sus/2025 tertanggal 3 Maret 2025. Penempatan pidana peringatan pada urutan ke-1 (kesatu) dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA bukanlah tanpa maksud, hal tersebut dimaksudkan sebagai salah satu bentuk proteksi terhadap anak pelaku tindak pidana serta memberikan alternatif jenis pidana bagi hakim dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada anak selain pidana penjara. Pidana penjara sendiri diletakkan pada posisi terakhir dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA yang berarti pidana penjara adalah sebagai upaya terakhir dalam penjatuhan pidana (ultimum remedium). Pembahasan Penjelasan atas UU SPPA menyatakan bahwa prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan hasil ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun kemudian UU Pengadilan Anak ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga digantikan oleh UU SPPA yang dilakukan dengan tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Hakim dalam memeriksa suatu perkara akan menuangkan hasil pemeriksaannya di dalam putusan, termasuk apabila hakim memutus perkara pidana anak yang menjadi pelaku pidana. Putusan pengadilan ini adalah ujung dari proses perkara dimana perkara tersebut gagal dilakukan upaya diversi dalam setiap tingkat penanganan perkara, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan. Aturan tentang penjatuhan pidana terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sangatlah beragam dan telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari KUHP, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU SPPA yang jika dibandingkan aturan pidana pokoknya dapat dilihat dari tabel berikut: KUHP Lama UU 3 Tahun 1997 Pasal 10 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tututan Pasal 23 Ayat (2) a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan UU 11 Tahun 2012 UU 1 Tahun 2023 (KUHP Nasional) Pasal 71 Ayat (1) a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga 2. Pelayanan masyarakat 3. Pengawasan c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Penjara Pasal 65 Ayat (1) a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda e. Pidana kerja sosial   Pasal 115 a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga 2. Pelayanan masyarakat 3. Pengawasan c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Pidana penjara   Dari perbandingan dan pembaharuan jenis pidana pokok pada kolom di atas, terdapat hal yang menarik perhatian, yaitu adanya pidana peringatan dalam UU 11 Tahun 2012 atau UU SPPA dan UU 1 Tahun 2023 atau UU KUHP Nasional yang memberikan perubahan dalam hal perlindungan terhadap anak. Mengapa pidana peringatan ini menjadi menarik perhatian untuk dibahas? Hal ini dikarenakan pidana peringatan sebelumnya tidak ada di dalam KUHP Lama maupun di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian peringatan menurut Kamus Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional adalah 1) nasihat (teguran dsb) untuk memperingatkan, 2) kenang-kenangan; sesuatu yang dipakai untuk memperingati, 3) catatan, 4) ingatan, 5) hal memperingati (mengenang dsb). Sedangkan definisi pidana sendiri memiliki berapa unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno yang terdiri dari: Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Priyatno, 2006). Setelah dijelaskan dan dipahami unsur-unsur atau ciri-ciri pidana, maka dapat dijelaskan mengenai pengertian pemidanaan itu sendiri. Menurut Muladi, pemidanaan adalah sinonim dari penghukuman yang dapat diartikan bahwa penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim (Muladi dan Barda Nawawi, 2005). Tujuan pemidanaan menurut UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional yang akan berlaku Januari 2025) adalah: Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Jika kita berkaca kembali ke dalam Pasal 72 UU SPPA yang menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak”, maka dapat disimpulkan bahwa pidana peringatan itu bentuknya dapat berupa teguran dan peringatan yang diterima oleh anak yang menjadi pelaku pidana agar anak tersebut tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan yang dapat merugikan atau menyakiti orang lain.  Penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak mempunyai maksud untuk melindungi dan menghindarkan anak dari penjatuhan pidana penjara. Menurut Nurini Aprilianda, dengan adanya pidana penjara pada pilihan akhir dalam urut-urutan jenis sanksi pidana pokok, harapannya hakim memprioritaskan penjatuhan jenis sanksi pidana pokok yang lain (Nurini Aprilianda, 2017). Pasal 71 Ayat (5) UU SPPA menyebutkan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana peringatan diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu dengan terbitnya PP tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak. Ketentuan tentang pidana peringatan dalam PP tersebut diatur dalam Pasal 4 Jo. Pasal 7 PP Nomor 58 Tahun 2022.  Pidana peringatan dapat berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran. Dalam praktiknya putusan penjatuhan pidana peringatan membuat hakim cenderung menjatuhkan pidana pokok lainnya terhadap anak, terutama menjatuhkan pidana penjara daripada pidana peringatan. Menurut pendapat penulis, penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak dapat dilakukan oleh hakim apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut: Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian korban bernilai tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.Tindak pidana merupakan delik aduan.Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.Tindak pidana yang berupa pelanggaran, atauTindak pidana tanpa korban. Ketentuan jenis tindak pidana yang dapat dikenakan pidana peringatan terhadap Anak yang telah dijabarkan di atas sebenarnya telah terdapat juga dalam UU SPPA dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (PERMA RJ). Perlunya dilakukan pengaturan mengenai template dan pedoman penulisan putusan bagi hakim yang akan menjatuhkan pidana peringatan terhadap Anak. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kemudahan dan keseragaman bagi seluruh hakim yang menangani perkara Anak dan akan menjatuhkan pidana peringatan. Saat ini aturan terkait template dan pedoman penulisan putusan diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan Dibawah Mahkamah Agung (SK KMA 359). Namun nyatanya dalam SK KMA 359 tersebut belum mengatur mengenai template dan pedoman penulisan putusan pidana peringatan ini. Berikut adalah contoh amar putusan pidana peringatan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak, yaitu: Mengadili Menyatakan Anak tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ……………………… sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum.Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Anak dengan pidana peringatan berupa ……….. (teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran).Memberikan peringatan kepada Anak agar menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana.dst. Jika melihat posisi peletakan pidana peringatan di dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA, maka seharusnya pidana peringatan ini menjadi jenis pidana pokok yang utama dapat dijatuhkan kepada anak yang menjadi pelaku pidana dibandingkan dengan menjatuhkan sanksi pidana penjara yang berada di urutan kelima (terakhir) pidana pokok dalam UU SPPA atau sebagai upaya terakhir penjatuhan pidana (ultimum remedium) dalam penyelesaian perkara anak. Dengan adanya jenis pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap Anak merupakan salah satu pembaharuan sistem pemidanaan terhadap Anak dalam sistem peradilan pidana anak agar terciptanya sistem peradilan pidana anak sesuai yang diatur dalam UU SPPA yang mana dalam Pasal 2 UU SPPA dinyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas perlindungan, asas kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.   Penutup Pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sebagaimana dalam UU SPPA memberikan perubahan dalam hal perlindungan hukum terbaik bagi anak. Pidana penjara ditempatkan pada urutan terakhir pidana pokok dengan tujuan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian perkara Anak (ultimum remedium), namun dalam praktiknya hakim lebih cenderung dan lebih banyak menjatuhkan pidana penjara terhadap Anak. Selain itu, secara konkrit juga saat ini belum ditegaskan tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi dengan sanksi berupa pidana peringatan. Dalam pembuatan putusan juga, belum ada bentuk template putusan pidana peringatan. Sehingga diperlukan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk menjadi pedoman dan mengisi kekosongan dalam mengadili perkara Anak khususnya mengenai sanksi berupa pidana peringatan. Refrensi Aprilianda, Nurini. 2017. Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Teori dan Praktik. PERSADA Universitas Brawijaya. Muladi & Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni Nashriana. 2014. Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT. Relika Aditomo. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.

Harmoni di Balik Palu Keadilan: Simfoni Indah dalam Menjalankan Peradilan

article | Opini | 2025-03-30 08:10:41

Di balik setiap ketukan palu di ruang sidang, ada alunan simfoni yang tidak selalu terdengar. Hakim, sebagai maestro keadilan, memimpin jalannya peradilan dengan kebijaksanaan dan ketegasan. Setiap putusan yang diambil bukan sekadar hasil dari pemikiran seorang diri, tetapi merupakan buah dari kerja kolektif yang terjalin harmonis di dalam sistem peradilan. Di sisi lain, ada tangan-tangan tak terlihat yang memastikan bahwa setiap dokumen tersusun rapi, administrasi berjalan tanpa hambatan, serta pelayanan terhadap masyarakat tetap prima. Mereka adalah aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di kepaniteraan dan kesekretariatan, tulang punggung yang menopang keagungan mahkota keadilan. Hakim adalah pilar utama yang menegakkan hukum, pewaris kebijaksanaan, dan penjaga marwah keadilan. Keberanian dan keteguhan seorang hakim tidak sekadar terletak pada kemampuannya membaca dan menerapkan hukum, tetapi juga pada ketulusannya dalam mendengar, mempertimbangkan, dan memutuskan perkara dengan hati yang jernih. Setiap keputusan yang diambil adalah cerminan nurani dan integritas, sebuah wujud tanggung jawab yang tak hanya kepada negara, tetapi juga kepada kemanusiaan itu sendiri. Namun, seagung apa pun tugas hakim, ia tidak bisa berjalan sendirian. Seperti bintang yang bersinar indah di langit malam, sinarnya menjadi lebih terang karena ada hamparan langit luas yang menjadi latarnya. ASN dalam kepaniteraan dan kesekretariatan adalah cakrawala itu—memastikan setiap proses administrasi hukum berlangsung dengan ketertiban dan ketepatan. Kepaniteraan dan kesekretariatan bukan sekadar roda penggerak administrasi, tetapi juga jantung yang memastikan peradilan tetap berdetak dengan ritme yang sempurna. ASN yang bekerja di kepaniteraan bertanggung jawab dalam memastikan setiap berkas perkara tersusun rapi, sidang berjalan sesuai jadwal, serta setiap putusan terdokumentasi dengan baik. Sementara itu, ASN di kesekretariatan memastikan keberlangsungan sistem birokrasi yang mendukung kelancaran tugas peradilan. Mereka adalah para penjaga ketertiban di balik layar, memastikan bahwa panggung besar peradilan tetap megah dan berjalan sesuai hukum yang berlaku. Namun, harmoni dalam peradilan tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari kesadaran bersama bahwa setiap peran, sekecil apa pun, adalah bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Sinergi antara hakim dan ASN bukan hanya sekadar hubungan struktural dalam institusi peradilan, tetapi sebuah kemitraan yang harus dijaga dan dipupuk. Forum-forum diskusi yang melibatkan hakim dan ASN menjadi jembatan yang mempererat hubungan profesional sekaligus membangun rasa saling menghormati. Dalam ruang-ruang pelatihan bersama, mereka tidak hanya berbagi ilmu dan pengalaman, tetapi juga merajut kebersamaan dalam menjalankan amanah keadilan.Pendidikan bersama menjadi fondasi penting dalam menciptakan pemahaman yang lebih mendalam tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing. Dengan mengikuti pelatihan yang sama, baik dalam aspek hukum maupun administrasi, hakim dan ASN dapat melihat peradilan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Selain itu, kerja sama dalam peningkatan kualitas layanan peradilan juga menjadi kunci utama dalam membangun sistem yang lebih transparan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Peradilan yang harmonis adalah peradilan yang bekerja dalam satu irama. Layaknya sebuah orkestra, hakim dan ASN memiliki peran masing-masing, tetapi hanya dengan kebersamaan mereka dapat menciptakan simfoni yang indah. Di ruang sidang, hakim adalah pemegang kendali utama dalam menegakkan hukum, tetapi di baliknya ada ASN yang memastikan bahwa panggung itu tetap berdiri kokoh. Tidak ada nada yang lebih tinggi atau lebih rendah, karena setiap nada memiliki perannya sendiri dalam menciptakan harmoni. Pada akhirnya, keberhasilan peradilan bukan hanya dinilai dari seberapa tegas palu diketuk, tetapi juga dari seberapa baik semua elemen di dalamnya bekerja dalam satu kesatuan. Hakim, dengan kebijaksanaan dan keteguhannya, bersama ASN, dengan dedikasi dan ketelitiannya, adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Mereka adalah penjaga keadilan yang bekerja dalam kesunyian, tetapi dampaknya bergema luas di tengah masyarakat. Semoga sinergi ini terus terjaga, tidak hanya sebagai kewajiban profesional, tetapi sebagai bentuk pengabdian yang tulus bagi negeri ini. Sebab, di balik setiap putusan yang diambil, ada kerja keras yang tak terlihat, ada harmoni yang harus terus dirawat, dan ada tanggung jawab besar yang diemban bersama. Inilah wajah peradilan yang sesungguhnya—tempat di mana keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirayakan dalam semangat kebersamaan dan kehormatan.

Kewenangan Hakim Mengoreksi Dominus Litis Penuntut Umum

article | Opini | 2025-03-29 13:10:00

PendahuluanDalam sistem peradilan pidana, jaksa sebagai penuntut umum memegang peran penting untuk mewakili kepentingan negara dalam menuntut pelaku/terdakwa yang diduga telah melakukan tindak pidana. Peran penting ini sering kali dikaitkan dengan konsep dominus litis, yaitu pihak yang memiliki kuasa untuk mengendalikan jalannya suatu perkara dalam proses hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur kewenangan penuntut umum menentukan jenis delik yang diancam kepada terdakwa. Namun, bagaimana apabila delik yang didakwa dalam surat dakwaan tidak terbukti akibat ketidakcermatan & kelalaian penuntut umum sendiri, sedangkan fakta pemeriksaan persidangan menunjukkan perbuatan terdakwa terbukti dalam jenis delik yang lain yang tidak didakwakan? Apakah Terdakwa dapat begitu saja dibebaskan tanpa mempertimbangkan aspek kerugian korban/keadilan masyarakat? Apalagi Terdakwa sudah mengakui perbuatannya? Disisi lain, KUHAP juga telah menetapkan batasan Hakim dalam menjatuhkan vonis. Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP telah mengatur bahwa dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, Hakim/Majelis Hakim tetap mendasarkan pada fakta hukum yang terbukti di persidangan dan musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan.Asas dominus litisAsas dominus litis berasal dari istilah latin yang berarti "pemilik perkara". Dalam konteks peradilan pidana, dominus litis adalah pihak yang berhak untuk menentukan arah dari proses hukum, baik itu dalam bentuk penuntutan, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara, serta mengambil keputusan strategis lainnya terkait dengan jalannya perkara. Dalam sistem hukum Indonesia yang berlaku saat ini, jaksa sebagai penuntut umum bertanggung jawab atas proses penuntutan tindak pidana yang rincian fungsi utamanya sebagai berikut: Mengawasi dan mengendalikan penyidikan: Jaksa memiliki peran untuk memeriksa dan mengawasi jalannya penyidikan oleh pihak kepolisian, serta memberikan petunjuk dan keputusan apakah penyidikan harus dilanjutkan atau dihentikan.Mengajukan dakwaan: Setelah penyidikan selesai, jaksa berhak untuk memutuskan apakah dakwaan akan diajukan ke pengadilan atau tidak. Jaksa juga memiliki kewenangan untuk memilih dakwaan yang akan digunakan berdasarkan bukti yang ada.Menuntut di pengadilan: Jaksa mempresentasikan dakwaan di persidangan dan bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa.Menuntut hukuman: Jaksa berperan dalam meminta hukuman yang sesuai dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Perlukah kewenangan mengoreksi dominus litis penuntut umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai?Hakim memiliki peran sentral dalam menentukan nasib terdakwa. Peran itu meliputi sebagai kewenangan untuk menilai alat bukti yang diajukan dipersidangan, menentu kebenaran materiil, dan memberikan putusan berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam menjalankan tugas utama tersebut, tidak jarang hakim menemukan situasi tertentu yang sifatnya debatable, seperti kebenaran materiil yang terungkap di persidangan merupakan delik yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum. Sebagai contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 1 Juli 1986 yang mana Terdakwa didakwa atas dakwaan primer Pasal 365 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP dan subsider Pasal 362 jo. 55 KUHP. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan putusan dan menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP (yang notabene tidak didakwa oleh Penuntut Umum). Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung juga menegaskan kembali apabila Terdakwa didakwa dan terbukti melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Pasal 365 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHP), artinya delik pencurian dalam arti lain yang lebih ringan (Pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP) sudah termasuk di dalamnya (meski tidak didakwakan). Lebih lanjut, putusan ini telah menjadi yurisprudensi yang memuat kaidah hukum bahwa "Pengadilan dapat menjatuhkan vonis diluar dakwaan penuntut umum sepanjang satu rumpun dan jenis delik yang lebih ringan". Kaidah hukum ini kemudian diterapkan pada putusan Nomor 404/Pid.B/2013/PN.Jr tanggal 2 Oktober 2013 yang memeriksa perkara narkotika dengan dakwaan Pasal 112 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hingga muaranya Hakim menjatuhkan vonis diluar pasal/delik yang didakwa oleh penuntut umum dengan menyatakan Terdakwa terbukti sebagai penyalahguna narkotika. Namun, praktik ini kemudian disikapi oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang menyatakan “dalam hal yang terbukti di persidangan pasal 127 Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor  35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan, Terdakwa  terbukti sebagai pemakai dan jumlah relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus”.Kemudian, hal itu ditegaskan kembali oleh Mahkamah Agung dalam Pada Point 2 huruf a Rumusan Hukum Kamar Pidana SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dengan menyatakan “dalam hal Penuntut Umum tidak mendakwa Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung tetap konsisten pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 angka 1, sebab selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap mendasarkan putusanya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan, musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP”.Dua situasi tersebut cukup jelas menunjukkan adanya dualisme pandangan hakim dalam memutus perkara yang kebenaran materiilnya diluar delik/pasal yang didakwa penuntut umum. Aktualnya, Putusan Nomor 14/Pid.B/2025/PN Bkl tanggal 26 Februari 2025 yang memuat perbedaan pendapat akibat Penuntut Umum hanya menyusun dakwaan tunggal pencurian (Pasal 362 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP), namun Majelis Hakim dalam perkara tersebut menilai perbuatan Terdakwa yang terbukti terkualifikasi delik penggelapan yang tidak didakwa Penuntut Umum. Majelis Hakim dalam perkara tersebut juga mengutip pendapat Bernardus Maria Taverne (anggota Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda) yang pada pokoknya menyetujui terhadap putusan hakim yang masih mentolerir kekurangcermatan dalam penyusunan surat dakwaan, asalkan tidak mengganggu tujuan hukum acara pidana yakni mencari kebenaran materil. Selanjutnya, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa "terhadap kelalaian penuntut umum tersebut cukuplah menjadi perhatian dari institusinya agar memperhatikan pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar tidak terulang lagi dikemudian hari, sementara perbuatan Terdakwa tersebut tetap diputus guna perlindungan kepentingan umum dengan menerapkan pendekatan genus yang sama dimana baik kejahatan pencurian maupun kejahatan penggelapan masih termasuk dalam genus yang sama sebagai kejahatan terhadap harta benda”.Momentum Pembahasan RKUHAPErrare Humanum Est, Turpe In Errore Perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan). Penulis berpendapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana belum memberikan ruang bagi hakim untuk melakukan koreksi terhadap implementasi dominus litis Penuntut Umum ketika kebenaran materiil yang terungkap di persidangan merupakan perbuatan yang tidak didakwa penuntut umum. Saat ini, Hakim menyimpangi pasal/delik yang didakwa Penuntut Umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai masih dikualifikasikan sebagai judicial activism. Penulis mengusulkan kewenangan mengoreksi tersebut perlu digagas atau setidaknya dipertimbangkan dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai pengecualian "kaidah musyawarah berdasarkan surat dakwaan" yang bersifat limitatif demi kepentingan korban dan masyarakat umum. Penulis berharap RKUHAP dapat memperkuat kewenangan hakim sebagai tokoh sentral dalam menyeimbangkan aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Selamat Hari Kehakiman Nasional & Dirgahayu IKAHI ke-72.

Saminisme Dalam Semangat Perubahan Satuan Kerja

article | Opini | 2025-03-29 09:00:22

Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki ribuan pulau dan keanekaragaman kebudayaan dimana masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Beberapa budaya yang masih kuat eksistensinya dan masih dilestarikan, salah satunya yaitu budaya pada masyarakat Samin. Masyarakat Samin ini berlokasi di pedalaman Blora, Jawa Tengah, tepatnya pada Kampung Samin Klopoduwur yang beralamat di Dukuh Karangpace, Desa Klopduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Lokasi tersebut berjarak kurang lebih 13 km dari Pengadilan Negeri Blora Kelas IB.Untuk diketahui, Masyarakat Samin sering mendapatkan stereotip dari sebagian masyarakat luar Samin (Blora, Pati, Rembang, Kudus, Bojonegoro). Masyarakat Samin ini sering dianggap sebagai kelompok masyarakat yang ngeyel (keras kepala), tidak bisa diatur, suka membantah dan bertindak sak karepe dhewe (apa maunya sendiri). Kondisi yang menjadikan Masyarakat Samin seperti itu banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah terbentuknya Masyarakat Samin ini.Masyarakat Samin merupakan keturunan  pengikut Samin Soerontiko. Samin Soerontiko ini mengajarkan sedulur sikep, yaitu mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk di luar kekerasan. Sedulur Sikep telah dikenal  tersebar di pantai utara Jawa Tengah, seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi. Samin Soerontiko sering juga dikenal sebagai Raden Kohar. Ia masih berdarah Bangsawan Majapahit yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Karena alasan tertentu, Samin Soerontiko memutuskan meninggalkan gemerlap dunia para bangsawan. Ia mendalami keilmuan spiritual. Dimana keilmuan spiritual saat itu sudah mulai diintervensi oleh kepentingan kelompok tertentu, khususnya agama-agama baru dan tata kehidupan kolonial. Disamping itu, Mbah Samin juga mendalami nilai-nilai budi luhur serta beladiri menentang penjajahan Belanda. Lalu setelah Mbah Samin menguasainya kemudian Ia mengajarkannya kepada para muridnya. Dari penggambaran tersebut, dapat disimpulkan begitu menonjolnya sikap Mbah Samin terhadap tatanan kehidupan saat itu. Oleh karena itu, hingga kini banyak orang yang mengatakan ”dasar orang Samin” pada tindak-tanduk serupa.Ajaran Samin atau Saminisme berkembang dari konsep penolakan terhadap budaya kolonial dan kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan. Saminisme dikenal memiliki prinsip yang terdiri dari pedoman, tuntunan, dan larangan bagi masyarakat Samin. Pedoman dalam ajaran Samin dikenal dengan Kitab Kalimosodo. Sementara enam prinsip dasar Ajaran Samin yang menjadi tuntunan dalam beretika yaitu berupa pantangan, meliputi Drengki (membuat fitnah), Srei (serakah), Panasten (mudah tersinggung), Dawen (mendakwa tanpa bukti), Kemeren (iri hati), dan Nyiyo Marang Sepodo (berbuat nista terhadap sesama). Sedangkan lima pantangan dalam berinteraksi, meliputi Bedok (menuduh), Colong (mencuri), Penthil (mengambil barang yang menyatu dengan alam), Jumput (mengambil barang yang menjadi komoditas di pasar), dan Nemu Wae Ora Keno (pantangan menemukan barang). Masyarakat Samin juga memegang teguh prinsip bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur. Jika diterjemahkan artinya “tidak boleh menyia-nyiakan orang lain, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara”. Selain itu, pokok ajaran Samin yang lainnya yakni:Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan iri hati dan jangan suka mengambil milik orang lain. Bersikap sabar dan jangan sombong. Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur “ketidakjujuran‟ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Sikap konsisten dan eksklusif masyarakat Samin dalam memegang teguh ajaran leluhur tersebut, mendapat berbagai cemooh dan stereotip negatif dari sebagian masyarakat. Namun masyarakat Samin tetap berpegang teguh dalam berinteraksi dengan lingkungan dan alam. Terhadap tekanan eksternal dan masuknya nilai-nilai modernitas, Masyarakat Samin selalu beradaptasi dengan melawannya secara pasif. Yakni, dengan tetap mempertahankan dan berjalan pada cara hidup yang mereka telah dianut sejak dahulu. Masyarakat Samin sekarang ini tidak lagi hanya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian yang telah menjadi andalan mereka sejak dahulu. Namun mereka beralih menjadi pencari ikan di Sungai. Disebabkan, bagi mereka Sungai adalah milik khalayak umum dan dapat digunakan untuk kebutuhan semua orang dan tidak bertentangan dengan ajaran yang dianut. Masyarakat Samin juga berprofesi sebagai pengrajin (anyaman bambu, tukang kayu). Masyarakat Samin ini tidak ingin lagi disebut sebagai orang pemalas, mereka selalu bekerja giat untuk bisa tetap bertahan hidup. Masyarakat Samin selalu berpedoman pada ajaran ”sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni” (artinya: kerjakan sikap sabar dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan). Kemudian untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka pada Masyarakat Samin dikenal istilah “wong urip kudu ngerti uripé” (artinya: manusia harus mengetahui hakikat kehidupan). Selain itu, Masyarakat Samin memiliki kepribadian yang jujur dan polos. Hal ini mereka tunjukkan dengan sikap terbuka kepada siapapun termasuk kepada orang-orang yang bahkan belum mereka kenal sebelumnya. Sementara sifat jujur mereka tercermin dalam perilaku, sikap, maupun bahasa yang digunakan, serta terbuka kepada siapapun. Jujur merupakan salah satu dari sekian wujud sifat masyarakat Samin dari ajaran yang dianutnya. Masyarakat Samin terbuka akan modernisasi, baik dalam hal alat komunikasi ataupun berkehidupan sosial. Munculnya teknologi membuat mereka terbantu untuk mendapatkan pengalaman, terutama dalam pembangunan pertanian maupun program-program pembangunan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kerjasama seperti gotong royong, musyawarah, dan membantu ketika ada yang memerlukan. Kemajuan teknologi seperti komputer, telepon genggam, peralatan elektronik, dan listrik telah mereka gunakan. Namun, meskipun perangkat modern telah masuk ke wilayah mereka, masyarakat Samin tetap mempertahankan nilai luhur yang telah mereka pegang selama ini. Seperti menjunjung tinggi kejujuran, toleransi, kebersamaan, dan gotong royong.Semangat perubahan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai budaya leluhur dari Masyarakat Samin, inilah yang masih relevan dan perlu kita contoh sebagai warga pengadilan baik dalam melaksanakan tugas maupun dalam hidup keseharian kita. Dalam konteks organisasi, penerapan ajaran ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan berikut:Kesederhanaan dalam PengelolaanMenghindari birokrasi yang rumit.Menerapkan struktur organisasi yang sederhana dan fungsional.Fokus pada kebutuhan utama anggota organisasi, bukan pada formalitas yang tidak perlu.Kejujuran dan TransparansiMengutamakan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan.Memberikan akses informasi yang setara kepada semua anggota.Mendorong komunikasi yang jujur dan saling menghormati di antara anggota.Kerja Sama dan KolektivitasMenekankan pentingnya gotong royong dalam mencapai tujuan organisasi.Membuat keputusan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagaimana ajaran Samin menghargai kebersamaan.Penolakan terhadap KetidakadilanMelawan segala bentuk eksploitasi atau penyalahgunaan kekuasaan di dalam organisasi.Membangun budaya organisasi yang inklusif, di mana semua anggota merasa dihargai.Kemandirian dan KetahananMendorong anggota untuk mengandalkan sumber daya internal organisasi terlebih dahulu sebelum mencari bantuan eksternal.Mengembangkan program yang mempromosikan kemandirian anggota, seperti pelatihan keterampilan atau kompetensi.Dengan prinsip-prinsip ini, ajaran Samin dapat memberikan pondasi yang kuat untuk menciptakan satuan kerja yang beretika, inklusif, dan berkelanjutan guna mewujudkan Visi dan Misi Mahkamah Agung RI. (FAC, ZM, MR)Daftar PustakaMumfangati, dkk., 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Bilora. Propinsi Jawa Tengah. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah.Aziz, M. (2012). Identitas kaum Samin pasca kolonia pergulatan negara, agama, dan adat dalam pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Jurnal Kawistara, 2(3), 225-328Suripan Sadi Hutomo, 1996. Tradisi dari Blora. Semarang : Citra Almamater.Mukodi & Burhanuddin, Afid. (2015). Pendidikan Samin Surosentiko. Yogyakarta: Lentera Kreasindo.*Wakil Ketua Pengadilan Negeri Blora

Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis

article | Opini | 2025-03-27 15:15:56

HAKIM memiliki kewajiban untuk menjamin terselenggaranya kepastian hukum. Namun dalam beberapa hal undang-undang tidak menyebutkan secara jelas dan rinci mengenai perkara yang ditanganinya. Di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyebutkan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.  Kemudian di dalam Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat”. Untuk itulah kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa hakim wajib memeriksa suatu perkara meskipun hukumnya tidak jelas baik salah satunya melalui penafsiran guna menangani perkara yang ditanganinya tersebut. Salah satu jenis penafsiran yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Penafsiran Teleologis”. Menurut Prof. Soedikno Mertokusumo, penafsiran teleologis, atau dikenal juga sebagai penafsiran sosiologis, merupakan metode interpretasi hukum yang berorientasi pada maksud dan tujuan pembentukan suatu undang-undang. Penafsiran ini diperlukan ketika terjadi perubahan sosial yang tidak diikuti dengan perubahan norma hukum tertulis, sehingga makna dari suatu ketentuan hukum harus disesuaikan dengan kondisi sosial yang berkembang. Dalam konteks hukum pidana positif, apabila suatu rumusan delik dianggap kurang jelas, hakim dapat melakukan penafsiran teleologis dengan mempertimbangkan tujuan utama pembentukan undang-undang tersebut. Hakim dapat melihat dari sisi tujuan undang-undang tersebut dibentuk. Dalam konteks Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), Tujuan dibentuknya UU tersebut telah diatur dalam Pasal 4, dimana Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan; a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.Keberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) adalah sebagai bagian dari strategi besar pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkotika (vide Pasal 4 huruf c), dengan sasaran keberlakuannya adalah mengarah pada subjek hukum “pengedar” dan “jaringan pengedar” narkotika dalam lingkup pemberantasan peredaran gelap narkotika, serta pada subjek hukum “penyalah guna”, “korban penyalahgunaan” dan “pecandu” narkotika dalam lingkup pemberantasan penyalahgunaan narkotika di mana pada UU Narkotika tersebut telah memilah dengan tegas pengaturan di antara keduanya, yakni dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pemberantasan peredaran narkotika dan prekursor narkotika di satu sisi, dan pasal-pasal  yang mengatur tentang penyalah guna narkotika dan pecandu  narkotika di sisi lainnya (vide Pasal 4 huruf d). Pola diferensiasi tersebut sudah jelas ditujukan dalam esensi pemahaman agar terdapat pola penanganan yang tepat terhadap masing-masing subjek hukum  tersebut, tidak terkecuali penanganan dalam lingkup penegakan hukumnya, karena alih-alih memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, kesalahan dalam fase memilah dan mengidentifikasi makna “perbuatan” dan masing-masing dari subjek hukum yang di maksud, justru akan berakibat pada penanganan dan penegakan hukum yang tidak tepat, yang pada akhirnya malah akan memicu peningkatan intensitas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, karena seorang pengedar atau seseorang dalam jaringan peredaran narkotika yan ditangani sebagai “penyalahguna” jelas tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi Upaya pemberantasan peredaran narkotika, Dimana selain dapat mencampakkan rasa keadilan, juga tidak akan menimbulkan dampak pembelajaran serta efek jera yang maksimal, baik bagi si pelaku tindak pidana maupun bagi Masyarakat luas pada umumnya. Demikian juga dengan seorang penyalahguna atau korban penyalahguna atau pecandu narkotika yang ditangani sebagai “pengedar” atau “bagian dari mata rantai peredaran narkotika”, jelas hal tersebut hanya akan menempatkan si pelaku dalam probabilitas yang tinggi untuk semakin menjadi “tidak baik” dan bukan tidak mungkin malah akan menyeret si pelaku dalam pusaran tindak pidana peredaran narkotika, sehingga pada akhirnya esensi pemberantasan tindak peredaran dan penyalahgunaan narkotika itu sendiri menjadi bias dan absurd.Pola diferensiasi pengaturan pelaku tindak pidana narkotika khususnya di dalam Pasal 114 dan Pasal 112 UU Narkotika  yang kedua pasal tersebut merupakan pasal-pasal yang ditujukan bagi mereka sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang terkualifisir sebagai pelaku tindak pidana dalam lingkup peredaran gelap narkotika, sehingga perbuatan pelaku tersebut harus dibatasi sebagaimana dimaksud dalam kedua ketentuan pasal diatas sebagai “perbuatan dalam mata rantai peredaran narkotika”, “perbuatan dalam lingkup sebagai anggota suatu organisasi kejahatan narkotika”, atau “perbuatan yang bersifat mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika”. Apabila perbuatan-perbuatan yang terbukti di dalam persidangan tidak sebagaimana termasuk dalam batasan di atas, serta narkotika tersebut ditujukan hanya untuk dipergunakan sendiri oleh si pelaku, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikualifisir sebagai perbuatan dalam tindak pidana yang dimaksud dalam pasal-pasal (112 dan 114) tersebut, melainkan harus dikualifisir sebagai perbuatan penyalahgunaan narkotika untuk tujuan digunakan bagi dirinya sendiri sebagaimana rumusan ketentuan Pasal 127 UU Narkotika.Definisi penyalahguna yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 yaitu “orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum” Dimana frasa “menggunakan” dalam pola pendefinisian tersebut sama sekali tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai “memakai atau mengkonsumsi” narkotika semata, karena pemahaman sempit seperti itu dapat mengaburkan esensi atau hakikat dari UU narkotika itu sendiri. Seorang penyalahguna narkotika baru dapat “menggunakan” dalam arti sempit “memakai/mengkonsumsi” narkotika, tentunya setelah terlebih dahulu ia harus melakukan perbuatan-perbuatan lain sebagai cara bagaimana ia mendapatkan narkotika tersebut, perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud seperti “membeli”, “menerima”, “menyimpan”, “menguasai”, “membawa”, atau “memiliki”, karena jelas tidak mungkin seseorang dapat mengkonsumsi narkotika tanpa terlebih dahulu melakukan rangkaian perbuatan di atas. Kemudian yang patut dipertanyakan adalah apakah saat ia (penyalah guna) baru dalam tahapan melakukan perbuatan-perbuatan dalam lingkup sebagai “cara mendapatkan” narkotika  tersebut dan kemudian tertangkap tangan sebelum sama sekali mengkonsumsi narkotika dimaksud, lalu serta merta secara serampangan ia harus dipersalahkan bukan sebagai penyalahguna,  melainkan sebagai pelaku tindak peredaran gelap narkotika? Maka jawabannya adalah tidak, sehingga oleh karenanya frasa “menggunakan” dalam definisi tentang penyalah guna dalam keberlakuan Pasal 127 UU Narkotika adalah harus dimaknai secara luas, tidak hanya menggunakan dalam arti “memakai” atau “mengkonsumsi” melainkan juga segenap perbuatan lain sebagai cara bagaimana narkotika yang akan dipakai / dikonsumsi tersebut sampai kepada si penyalah guna, namun dengan syarat limitatif bahwasanya perbuatan-perbuatan dimaksud adalah murni ditujukan untuk penggunaan narkotika bagi dirinya sendiri;Di dalam bab sanksi (pidana), terdapat diferensiasi dalam hal pengaturan maksimum khusus dan minimum khusus maupun diaturnya sanksi berupa tindakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Bab I-VIII Buku I KUHP berlaku pula terhadap UU Narkotika. Dalam hal UU Narkotika menentukan suatu ketentuan yang sifatnya berlainan dengan ketentuan Bab I-VIII Buku I KUHP, maka ketentuan UU Narkotika yang akan dipergunakan dalam aturan yang khusus. Dalam hal ini, stelsel pidana dalam UU Narkotika mengikuti KUHP. UU Narkotika memberikan ancaman pidana atau Jenis pidana (strafsroot) berupa pidana mati, penjara, kurungan, seumur hidup dan denda. Dari keseluruhan tindak pidana yang diformulasikan dalam UU Tipikor, dapat kita lihat ada pola ancaman pidana dengan model perumusan yang berbeda. Ada pasal yang sanksinya diancam secara alternatif, kumulatif, dan gabungan/campuran. Perumusan pidana dalam UU Narkotika menganut ancaman minimal khusus. Hal ini berarti ketentuan umum pidana penjara dan denda sebagaimana diatur dalam KUHP tidak berlaku. Di dalam UU Tipikor ada ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus di dalam perumusan deliknya. Ancaman pidana minimum dan maksimum khusus ini diterapkan pada pidana penjara dan pidana denda. Dimana masing-masing Pasal memiliki batas pidana minimum khusus dan maksimum khusus yang berbeda-beda. Dalam rumusan delik pada tindak pidana narkotika di dalam Pasal 112 dan 114 terdapat minimum khusus, yang mengandung arti bahwa tindak pidana dari kedua pasal yang termasuk dalam tindak pidana peredaran gelap narkotika tersebut memiliki dampak destruksi yang besar sehingga perumusan sanksi pidananya berat dengan adanya ancaman minimum khusus. Sedangkan terjadi perbedaan terhadap tindak pidana yang termasuk dalam golongan penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika. Rumusan sanksi pidana dari pelaku penyalahguna dan pecandu narkotika selain diatur ancaman pidana maksimum khusus juga diatur sanksi di luar pidana yakni sanksi Tindakan berupa Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (vide Pasal 127). Dilihat dari segi sanksi terdapat diferensiasi yang besar antara rumusan terhadap perbuatan yang termasuk peredaran gelap narkotika yang dirumuskan dengan adanya minimum khusus maupun terhadap perbuatan yang termasuk penyalahguna atau pecandu narkotika yang dirumuskan dengan ancaman pidana maksimum khusus maupun adanya rumusan mengenai Tindakan (rehabilitasi), sehingga penegak hukum khususnya Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana narkotika tidak hanya melihat dari segi gramatikal (rumusan kata pasal per pasal) semata, melainkan dapat menggunakan kacamata sosiologis / teleologis agar dapat mewujudkan penanganan (penegakan hukum) yang tepat terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

Antara Sarinah, Hakim Perempuan dan Istri Hakim

article | Opini | 2025-03-27 09:05:19

Bung Karno dalam bukunya Sarinah menegaskan bahwa perempuan memiliki peran fundamental dalam membangun bangsa. Pemikiran ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman pribadinya bersama sosok Sarinah, seorang perempuan sederhana yang menjadi pengasuhnya di masa kecil. Sarinah bukan hanya merawat Bung Karno, tetapi juga menanamkan kesadaran sosial dalam dirinya. Dari Sarinah, Bung Karno belajar tentang penderitaan rakyat kecil, ketidakadilan sosial, dan betapa beratnya perjuangan perempuan dalam menghadapi kemiskinan dan diskriminasi.  Pelajaran dari Sarinah inilah yang kemudian mengilhami Bung Karno untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam Sarinah, ia menegaskan bahwa perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang, termasuk dalam sistem hukum. Perempuan bukan hanya pelengkap laki-laki, tetapi memiliki kapasitas dan ketangguhan untuk menjadi pemimpin, termasuk dalam bidang peradilan. Prinsip ini sejalan dengan amanat Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.Ratifikasi CEDAW mewajibkan negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam sistem peradilan. Ini berarti bahwa negara harus memastikan hakim perempuan memiliki akses yang sama dalam promosi jabatan, perlindungan dari diskriminasi, serta dukungan dalam menjalankan tugasnya. Sayangnya, dalam praktiknya, hakim perempuan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk stereotip gender yang membatasi peran mereka. Padahal, kehadiran hakim perempuan berperan penting dalam mewujudkan keadilan yang lebih inklusif, terutama dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Oleh karena itu, implementasi prinsip kesetaraan perlu terus diperkuat agar perempuan dalam peradilan benar-benar mendapatkan hak yang dijamin oleh hukum.Di luar aspek formal profesi hukum, ada peran lain yang sering luput dari perhatian, yaitu istri hakim yang mendampingi suami bertugas di daerah terpencil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa suami istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga dan masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, banyak istri hakim harus mengorbankan karier dan kehidupan sosial mereka ketika mengikuti suami bertugas di pelosok negeri. Mereka sering kali meninggalkan pekerjaan, pendidikan, dan lingkungan sosial yang telah mereka bangun, tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari negara.  Istri hakim di daerah terpencil menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan hingga keterpencilan dari jaringan sosial yang dapat mendukung perkembangan diri mereka. Sama seperti Sarinah yang dengan penuh ketulusan mendampingi Bung Karno dan menanamkan nilai-nilai perjuangan dalam dirinya, istri hakim juga berjuang dalam diam untuk memastikan suaminya dapat menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dengan baik.  Namun, kontribusi ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam sistem hukum kita. Negara belum memiliki kebijakan yang secara khusus memberikan dukungan bagi istri hakim di daerah terpencil. Padahal, jika merujuk pada prinsip keadilan sosial dalam Pancasila dan amanat CEDAW, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai hakim maupun sebagai pendamping yang ikut berkorban dalam sistem peradilan.  Bentuk konkret perlindungan, dukungan, dan pengakuan bagi perempuan dalam sistem peradilan dapat diwujudkan melalui berbagai kebijakan. Untuk hakim perempuan, negara harus memastikan kesempatan yang sama dalam jenjang karier dan promosi jabatan, serta perlindungan dari diskriminasi berbasis gender. Regulasi harus diperkuat agar sistem peradilan lebih inklusif, termasuk dengan menyediakan fasilitas kerja yang ramah perempuan, seperti dipermudah dalam mendapatkan cuti melahirkan dan penitipan anak di lingkungan pengadilan, terutama bagi mereka yang bertugas di daerah terpencil.  Bagi istri hakim, negara harus memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menyediakan akses pekerjaan di daerah penugasan suami, memberikan program pemberdayaan ekonomi, serta menjamin pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Salah satu organisasi istri hakim yang diikuti adalah Dharmayukti Karini juga perlu diperkuat dengan dukungan kebijakan agar lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga hakim di daerah terpencil. Selain itu, pemberian insentif tambahan bagi hakim yang bertugas di pelosok negeri juga perlu dipertimbangkan untuk memastikan kesejahteraan keluarga mereka.  Hari Perempuan Internasional menjadi momen yang tepat untuk menegaskan kembali pentingnya peran perempuan dalam hukum dan peradilan. Pemikiran Bung Karno dalam Sarinah harus menjadi inspirasi bagi negara untuk tidak hanya berbicara soal emansipasi dalam konteks formal, tetapi juga memberikan pengakuan nyata terhadap perjuangan perempuan dalam dunia hukum dan peradilan. Kesetaraan gender dalam hukum bukan hanya tentang membuka akses bagi perempuan untuk berkarier sebagai hakim, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap perempuan yang berkontribusi dalam sistem peradilan, termasuk istri hakim di pelosok negeri, mendapatkan perlindungan, dukungan, dan pengakuan yang layak. Implementasi kebijakan ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan dalam sistem peradilan, tetapi juga memperkuat profesionalisme dan integritas lembaga peradilan secara keseluruhan. Selamat Hari Perempuan Internasional! Jadilah pilar keadilan dan sumber inspirasi bagi dunia.Iqbal LazuardiHakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung

Tapak Tilas: Role Model Sekretaris Support Untuk Supporting

article | Opini | 2025-03-26 13:05:04

Suatu pagi di penghujung tahun 2024, tepatnya tanggal 04 Desember 2024 sebuah pesawat mengangkasa dengan rute penerbangan Gorontalo-Solo dengan jarak tempuh kurang lebih 3227 KM, atau 2001 mil. Apabila jarak ini ditempuh dengan  dengan mobil, maka akan menghabiskan waktu 4197 menit, atau 70 jam. Pilihan yang terbaik adalah menggunakan pesawat dengan kecepatan jelajah 750 km/jam sehingga hanya membutuhkan waktu 2 jam dan 10 menit dari Gorontalo untuk sampai di Kota Solo.  Harus diakui Pesawat saat ini mampu menegasikan sebagai sebuah perangkat tercanggih yang bisa terbang di udara, membawa seseorang ke dalamnya. Ketika kita merefleksikan kembali, ide pesawat telah berproses selama berabad-abad, menjelajah mimpi manusia untuk terbang mengangkasa.  Kecerdikan mekanik, ketekunan, dan hasrat mendalam terhadap penerbangan bertemu dalam satu titik dan seiring berjalannya waktu, penemuan pesawat ini merevolusi dunia transportasi, dan mengubah cara orang bepergian dan berhubungan satu sama lain. Pesawat adalah bukti semangat manusia dan upayanya yang tak kenal lelah untuk melampaui batas. Kehadiran pesawat mengundang umat manusia untuk menjelajahi cakrawala baru. Dalam penerbangan Gorontalo-Solo ini, penulis duduk diantara deretan penumpang lainnya sambil mengiringi penerbangan ini dengan doa dan harapan keselamatan. Tak henti-hentinya mulut berzikir dan dari sudut pandang ketinggian sesekali takjub dengan Khasanah Allah SWT. Penerbangan ini dalam acara Penyerahan Penghargaan Sertifikat AMPUH berpredikat UNGGUL dan Penyerahan Penghargaan Abhinaya Upangga Wisesa akhir tahun 2024 lalu. Sebuah kegiatan yang dihelat untuk memberikan apresiasi terhadap Kinerja Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.  Pengadilan Negeri Tilamuta masuk dalam daftar penerima Penghargaan Sertifikat AMPUH berpredikat UNGGUL dan juga penulis selaku Sekretaris Pengadilan Negeri Tilamuta mendapatkan Penghargaan sebagai Role Model Sekretaris Pengadilan Negeri Kelas II Tahun 2024. Di ketinggian 38.000 kaki, teringat kembali momentum proses seleksi Role Model kemarin berdasarkan Surat Dirjen Badilum MA-RI Nomor 1174/DJU/KP3.4/IV/2024 tanggal 19 April 2024 tentang Penilaian Role Model Sekretaris Pada Satuan Kerja Di Lingkungan Peradilan Umum Tahun 2024.  Calon Role model sekretaris harus memenuhi 14 kriteria, yaitu: Berintegritas  dan  mempunyai jiwa  kepemimpinan;Responsif terhadap  kebijakan  Lembaga dan  Pimpinan;Inovatif;Kerja  sama  dan  koordinasi  baik  dengan pihak   internal  maupun  eksternal;Penghargaan  yang  diperoleh satker  di bawah kepemimpinan  calon  Role Model;Impelentasi Nilai-nilai   dasar   Aparatur    Sipil Negara  (ASN) Ber-AKHLAK;Cepat   tanggap   dan   proaktif   dalam    melaksanakan     tugas    dan   fungsi;Nilai   Indikator    Kinerja   Pelaksana    Anggaran    (IKPA) DIPA  01   dan    DIPA  03 periode  bulan    Maret   2024 dengan bobot   nilai   90  ke  atas;Nilai    AKIP pada tahun 2022 minimal   mendapat    kategori  BB  atau   "Sangat   Baik"   (nilai   70  ke  atas;Berperan aktif  dalam  meningkatkan tertib administrasi di bidang Kesekretariatan dan program Mahkamah Agung  antara lain pembangunan ZI dan  AMPUH;Ketepatan dalam    pelaporan LHKPN satuan kerja dan SPT Tahunan seluruh ASN;Pemenuhan    sarana   dan   prasarana    fasilitas   pelayanan    bagi   pencari   keadilan;Laporan   Keuangan    dan   Laporan   Catatan    atas    Laporan   Barang   Milik   Negara (CALBMN)Tahun 2023;Kecakapan   dalam    pengelolaan    teknologi   informasi   di  bidang   Kesekretariatan. Ketertarikan penulis bukan karena merasa sudah layak untuk menjadi Role Model, sekali lagi bukan karena itu, akan tetapi ketertarikan penulis karena melihat tujuan dari kebijakan ini sekaligus didorong oleh semangat untuk memastikan diri ambil bagian dari setiap momentum. Apalagi kegiatan ini diinisiasi langsung oleh Ditjen Badilum tentu penting untuk kita ikuti. Dorongan dari pimpinan pengadilan pada saat itu Jayadi Husain, untuk meyakinkan penulis menyiapkan diri mengikuti kegiatan ini. Dorongan dari Pimpinan ini dan bahkan dari Rekan Kerja lainnya semakin membuat penulis semangat untuk mengikutinya. Sehingga Persiapan pun dilakukan, semua ketentuan dicermati, administrasi dilengkapi dan dengan Bismillah dikirimlah dokumen persyaratan itu ke Panitia Ditjen Badilum, dan kami peserta menunggu menunggu hasil pengumuman Tahap 1 (Administrasi).. Setelah dilakukan verifikasi data dukung, para calon role model menjalani Tahap II yaitu penilaian online/kuis pada aplikasi quiziz. Kegiatan penilaian ini dipimpin langsung Sekretaris Ditjen Badilum, Kurnia Arry Soelaksono. Pada tahap ini peserta diuji pemahamannya tentang tugas dan tanggung jawab sekretaris di pengadilan. Hal yang menjadi catatan saya pada penilaian Online ini adalah disamping kita harus menjawab deretan soal yang berkenaan dengan tusi utama Sekretaris, juga kita dimintai jawaban tentang hal-hal yang menjadi ketentuan pada kegiatan AMPUH Badilum. Setelah dinyatakan lulus pada seleksi Tahap II, dan masuk Seleksi Tahap III (Wawancara). Pada tahapan ini, peserta diwawancarai oleh Dirjen Badilum H. Bambang Myanto, dan Tim. Banyak hal yang ditanyakan, banyak permasalahan yang dikupas, banyak kegiatan yang dikonfirmasi yang pada intinya keadaan ditanya, menjawab dan berdiskusi membalut suasana Wawancara seleksi Tahap III Pemilihan Role Model Sekretaris 2024.  “Para Penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Adi Soemarmo Surakarta mohon untuk tetap berada ditempat, memakai sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan membuka penutup jendela.” Atensi dari Pramugari mengembalikan pikiran saya dari kerja mengingat ngingat ke kerja Riil. Keadaan nyata didepan memaksa penulis untuk menjeda ingatan tentang proses Seleksi Role Model Sekretaris Tahun 2024 silam. Akhirnya Pesawat yang ditumpangi mendarat dengan mulus, perjalanan yang lancar ini penting untuk kita ucapkan Alhamdulillah. Kehadiran penulis di tempat penyelenggaraan acara Penyerahan Penghargaan Sertifikat AMPUH berpredikat UNGGUL dan Penyerahan Penghargaan Abhinaya Upangga Wisesa seakan mengkonfirmasi bahwa Syukur Alhamdulillah penulis terpilih menjadi Role Model Sekretaris Pengadilan Negeri Kelas II tahun 2024. Kegiatan Pemilihan Role Model Sekretaris Pengadilan adalah satu kegiatan positif yang disamping dapat memotret pelaksanaan tugas para Sekretaris, juga untuk memberikan motivasi bagi lingkungan kesekretariatan pengadilan sebagai Supporting Unit di dalam melaksanakan tugasnya dengan baik.  Kesekretariatan merupakan Layanan Pendukung dalam organisasi Pengadilan yang mempunyai fungsi memberikan Support terhadap kegiatan Layanan Utama baik itu kaitannya dengan segala kebutuhan Sarana dan Prasarana kerja, data maupun informasi, urusan  administrasi juga kaitan dengan layanan kesejahteraan Pegawai serta hak-hak kepegawaian lainnya. Fungsi Supporting unit ini menjadi sangat dibutuhkan dalam  rangka pencapaian tujuan   organisasi Pengadilan karena hal tersebut tidak lepas dari kebutuhan mendasarnya terhadap lingkup kegiatan yang diperankan oleh Kesekretariatan. Kesekretariatan bukanlah fungsi utama tapi sangat berperan menghantar yang utama menjadi berfungsi. Kesekretariatan bukanlah penentu jalannya roda peradilan, tapi kesekretariatan harus maksimal menjadikan roda peradilan itu sendiri berputar dengan baik tanpa kendala.  Kesekretariatan harus datang menjadi supporter bukan sebagai penonton. Ada output yang diberikan, ada inpact yang dihasilkan. Bukan sekedar melihat dan menjadi penikmat sebagaimana filosofi penonton.  Oleh Karena itu, dalam implementasi kinerja, seorang sekretaris harus mampu membawa kesekretariatan untuk memahami disaat kapan momentumnya berkinerja: dalam ilustrasi misalnya Sebelum Hakim mengetuk Palu, Kepaniteraan mencatat ketukan Palu maka terlebih dahulu Kesekretariatan memastikan Palu ada di meja persidangan. Kesekretariatan adalah sebuah elemen Penyemangat, yang harus disemangati dalam memberikan semangat. Hingga Semangatnya Sang Penyemangat dapat konsisten hadir dalam kinerja di Pengadilan.

Kode Etik Hakim: Ibarat Perahu Di Tengah Badai

article | Opini | 2025-03-26 07:30:58

Officium Nobile adalah istilah Latin yang berarti "profesi yang mulia" atau "tugas yang mulia." Dalam konteks hukum, istilah ini sering merujuk pada profesi hukum yang dianggap memiliki tanggung jawab etis dan moral yang tinggi dalam menjalankan tugas mereka.Profesi ini disebut "nobile" (mulia) karena fungsinya yang tidak hanya berurusan dengan aturan hukum semata, tetapi juga dengan keadilan, kebenaran, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Mereka yang berada dalam profesi ini diharapkan untuk menjaga integritas, bertindak adil, dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.Salah satu profesi yang menyandang gelar Officium Nobile ini adalah Hakim. Profesi hakim memiliki sejarah panjang yang berakar pada perkembangan sistem hukum dan peradaban manusia. Pada masa peradaban awal, peran hakim sering kali dijalankan oleh pemimpin komunitas, kepala suku, atau tokoh agama yang dihormati. Di bumi Nusantara, pada masa kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya, raja atau pejabat kerajaan bertindak sebagai hakim tertinggi. Hukum adat menjadi dasar peradilan. Memasuki masa penjajahan Belanda, sistem peradilan di Indonesia mulai diatur secara formal oleh pemerintah kolonial. Hakim berasal dari pejabat kolonial dan pribumi yang dilatih. Setelah merdeka, Indonesia membangun sistem peradilan nasional sendiri.Sebagai salah satu profesi tertua di dunia, Hakim memiliki peran penting dalam sistem peradilan. Hakim bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum yang berlaku.Setelah Perang Dunia II, profesi hakim mulai memiliki kode etik yang diakui secara internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) pada Pasal 10 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak. Hal ini menekankan perlunya hakim yang berintegritas.Bangalore Principle yang terbentuk pada tahun 2001 menjadi panduan internasional bagi hakim dan terdiri dari enam prinsip utama. Perumusan prinsip ini dapat diterapkan di berbagai sistem hukum, baik common law maupun civil law. Enam prinsip utama yang dirancang untuk menjaga martabat Hakim dan Peradilan itu adalah independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepatutan (propriety), kesetaraan (equality), serta kompetensi dan ketekunan (competence and diligence). Di Indonesia, keenam prinsip ini berkembang menjadi 10 (sepuluh) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang diatur didalam Keputusan Bersama KMA dan Ketua KY No : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang berlaku sejak tanggal 8 April 2009. Di tahun 2012 Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang diatur didalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 –02/PB/P.KY/09/2012 yang berlaku sejak tanggal 27 September 2012.Sepuluh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut adalah berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap professional.Menjadi hakim ideal dan profesional bukan perkara mudah. Hakim dihadapkan pada berbagai tantangan seperti intervensi pihak luar, kritik masyarakat dan pengaruh media sosial. Terutama juga harus menghadapi perkembangan hukum di tengah kemajuan teknologi pada masa digital saat ini. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam satu genggaman tangan dengan sekali klik, dibantu dengan berbagai aplikasi, artificial intelligence, dan sistem.Tampaknya asas res judicata pro veritate habetur atau putusan Hakim harus dianggap benar, sudah bergeser maknanya dimasa kini. Hakim memang tidak boleh mengomentari putusannya sendiri maupun putusan Hakim lainnya, tetapi tidak ada larangan untuk masyarakat dalam memberikan komentar terhadap putusan Hakim. Oleh karena itu menjadi Hakim bukanlah tugas yang mudah, selain menghadirkan keadilan, Hakim melalui putusannya juga harus mengedukasi masyarakat yang belum tentu semuanya memahami hukum. Di masa kini, masyarakat dapat dengan mudahnya salah paham terhadap putusan Hakim yang dinilainya tidak benar, padahal belum tentu seperti itu kenyataannya. Walaupun Hakim adalah profesi yang hebat, Hakim juga manusia, harus terus belajar agar bisa berkembang menjadi lebih baik. Gelar Wakil Tuhan hanya sebagai kompas moral bagi Hakim, petunjuk arah dan pengingat bagi Hakim dalam berjalan menyeberangi lautan perkara, membawa lentera keadilan untuk menerangi gelapnya ketidakadilan yang terjadi. Lautan perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim itu bukanlah lautan yang selalu tenang, terkadang akan ditemukan badai-badai besar seperti kritikan masyarakat, tekanan dan ancaman dari luar, godaan-godaan dari berbagai pihak yang ingin mengguncang integritas dan menguji keteguhan hati seorang Hakim. Oleh karena itu untuk mengantarkan lentera keadilan itu, diperlukan perahu yang kokoh agar Hakim bisa menyelesaikan tugas-tugas beratnya dengan selamat, perahu itu adalah kode etik. Kode etik Hakim yang pertama adalah berperilaku adil. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan. Kode etik Hakim yang kedua adalah berperilaku jujur. Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).Kode etik Hakim yang ketiga adalah berperilaku arif dan bijaksana. Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.Kode etik Hakim yang keempat adalah bersikap mandiri. Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Kode etik Hakim yang kelima adalah berintegritas tinggi. Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.Kode etik Hakim yang keenam adalah bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.Kode etik Hakim yang ketujuh adalah menjunjung tinggi harga diri. Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.Kode etik Hakim yang kedelapan adalah berdisiplin tinggi. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.Kode etik Hakim yang kesembilan adalah berperilaku rendah hati. Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.Kode etik Hakim yang kesepuluh adalah bersikap professional. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.Menjadi Hakim, merupakan suatu profesi terhormat dan sulit dicapai. Kode etik ini tentunya harus selalu diingat agar dapat menjadi standar dan motivasi dalam bekerja. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui siapapun, penulis pun masih harus banyak belajar, hanya karena kode etik ini merupakan aturan yang bersifat tetap dan melekat pada profesi, maka boleh untuk terus diingat dan disosialisasikan. Tulisan ini merupakan kerangka berpikir dan niatnya sebagai pembangkit semangat dan motivasi bersama untuk terus belajar dan memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan di tengah kondisi apapun baik dalam kondisi yang tenang maupun dalam kondisi ada badai yang menerpa. Sebagai penutup, sebuah quotes dari Sydney Smith: “nations fall when judges are injust, because there is nothing which multitude thing worth defending” -  Bangsa akan runtuh manakala Hakim bertindak tidak adil, karena tidak ada lagi yang layak untuk menjadi pelindung. (FAC, AAR, IPS)*Calon Hakim PN Jambi

AI (artificial intelligence): Alat Bantu Dalam Pengambilan Putusan Hakim

article | Opini | 2025-03-24 08:30:36

Pernahkah kita membayangkan menjadi aparatur peradilan pada tahun 1980an? tentunya semua tugas yudisial harian dilakukan secara manual, baik dari proses registrasi perkara, distribusi, persidangan, pembuatan putusan sampai pemberitahuan putusan. Saat itu mungkin mesin ketik masih dapat dihitung jumlahnya yang tersedia di pengadilan-pengadilan kita. Bandingkan dengan tugas yudisial kita saat ini sudah sangat lekat dengan teknologi dan sistem informasi, bahkan proses manual hanya sebagai backup & mitigasi jika terdapat error pada sistem informasi. Dalam jangka waktu ini pekerjaan teknis yudisial di pengadilan sudah berubah hampir 180 derajat. Perkembangan penggunaan teknologi informasi di pengadilan meningkat pesat semenjak  tahun 2019 sampai saat ini.Terdapat 4 aplikasi utama saat ini terkait proses peradilan yang dipergunakan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan peradilan dibawahnya seperti SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), E-Court, E-Berpadu, dan Direktori Putusan. Selain itu terdapat puluhan aplikasi lain yang beragam bentuk dan penggunaannya. Disadari atau tidak semua aplikasi yang digunakan saat ini masih terbatas pada mempermudah proses mengadministrasikan perkara dan belum menyentuh pada proses pengambilan keputusan hakim.“Ius est ars boni et aequi” hukum adalah seni menerapkan keadilan dan hal-hal yang baik. Adagium ini memberikan pandangan bagi kita bahwa salah satu tugas hakim dalam memutus perkara harus didasari atas “seni”, yang mana seni memerlukan rasa yang bersumber dari hati manusia. Saat ini hakim dituntut harus memiliki kemampuan seni untuk mengolah rasa dan teknologi sesuai perkembangan zaman secara bersamaan. Dalam praktik keseharian kita saat ini, hampir dapat dipastikan hakim mengandalkan referensi hukum dan ketentuan hukum yang didapatkan dari internet, baik yang dikeluarkan secara resmi oleh MA dalam Direktori Putusan, website, dll, maupun dari sumber-sumber lain yang tersedia secara bebas menggunakan peramban seperti “Google”, “Safari” dan yang mungkin lebih canggih lagi yang dilengkapi dengan AI (artificial intelligence) seperti Microsoft Copilot, ChatGPT, BingAI, dll.Perkembangan teknologi yang pesat ini mungkin sekali lagi akan mengubah wajah peradilan kita 10 tahun kedepan yang menyasar kerja-kerja teknis yudisial seperti pengambilan putusan. Hal ini mungkin akan lebih cepat terjadi, mengingat Ketua MA saat itu Muhammad Syarifuddin menyampaikan dalam laporan tahunan MA tahun 2023 pada bulan Februari 2024 bahwa kedepannya MA mengembangkan teknologi AI dalam bentuk  Decision Support System (DSS) yang dapat memberikan informasi kepada hakim jika terdapat kemungkinan kesamaan antara satu perkara dengan lainnya untuk mengurangi disparitas putusan dan aplikasi ini rencananya akan diujicobakan pada bulan September 2024.Perlu diakui kemampuan AI saat ini terus meningkat, pertimbangan etis, teknis, dan praktis tentang apakah AI dapat atau seharusnya mengambil alih atau membantu peran hakim di ruang sidang terus menjadi bahan perdebatan. Perkembangan AI dalam profesi hakim saat ini berkembang terkait dengan pemberian nasihat, membantu dalam analisis data hukum, pemilihan preseden/yurisprudensi, bahkan dalam menyimulasikan putusan pengadilan berdasarkan data historis. Dalam dekade terakhir ini beberapa negara telah mencoba mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan mereka seperti:Aplikasi Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions (COMPAS) yang dikembangkan oleh Equivant, perusahaan teknologi yang bekerja sama dan digunakan oleh pengadilan negara bagian New York di Amerika Serikat. Aplikasi ini menganalisis penilaian yang terstandarisasi yang mencakup penilaian atas residivisme, riwayat kriminal, sikap batin dalam melakukan kejahatan, personalitas terdakwa, latar belakang keluarga, keterikatan sosial terdakwa, latar belakang penggunaan narkoba, dan kesehatan mental yang akan di proses dan menghasilkan analisis referensi bagi hakim untuk menentukan pemidanaan yang cocok diberikan kepada terdakwa. Mahkamah Agung Brazil mengembangkan aplikasi “VICTOR” untuk menganalisis dan menyaring dokumen serta membantu dalam pengambilan keputusan hukum. VICTOR membantu dalam memilah kasus yang relevan untuk dipertimbangkan oleh hakim. Selain itu VICTOR juga membantu hakim dengan mengidentifikasi isu-isu hukum yang dikategorikan sebagai “General Repercussion” yaitu konsep yang digunakan MA Brazil dalam menentukan apakah suatu kasus memiliki dampak yang luas dan signifikan terhadap masyarakat yang melibatkan interpretasi prinsip hukum tertentu yang telah ditentukan. Aplikasi VIKTOR ini juga berhasil mengurangi jumlah perkara kasasi di MA Brazil dari 118.700 perkara pada tahun 2007 menjadi hanya 11.400 perkara pada tahun 2022.Tujuan penggunaan aplikasi-aplikasi ini secara umum adalah untuk memodernisasi sistem adjudikasi dan pengembangan kemampuan membuat putusan oleh hakim. Dengan AI, pengambilan keputusan dapat didasarkan pada analisis data yang objektif dan konsisten. Selain itu memperkecil adanya disinformasi atas suatu ketentuan hukum atau putusan terdahulu serta referensi lainnya yang dapat memperkaya khasanah pertimbangan hakim dalam putusannya. Inovasi-inovasi ini menunjukkan bagaimana teknologi, khususnya AI, dapat diintegrasikan ke dalam struktur hukum tradisional untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan hukum. Namun tetap mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki seorang hakim dalam mempertimbangkan putusan atas suatu pokok permasalahan karena pada akhirnya AI hanya dijadikan alat bantu dalam membuat suatu putusan yang mencerminkan nilai keadilan, kepastian dan kebermanfaatan. Terdapat kritik dan tantangan sistem AI untuk membantu pengambilan keputusan hakim dalam menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi dan keandalannya. Salah satu isu utama adalah kurangnya penjelasan tentang bagaimana rekomendasi dihasilkan oleh algoritma AI. Menurut David Searls Direktur Project VRM Harvard University, algoritma sering kali bertindak sebagai "Black Box”, dengan membuat rekomendasi tanpa menunjukkan bagaimana keputusan tersebut diambil, AI tidak dibuat untuk dapat menjelaskan bagaimana ia menganalisis suatu data, yang dapat dilakukan hanyalah proses dengan memasukan “Input” yaitu data-sata yang menjadi indikator dan akan menghasilkan “Output” berupa rekomendasi tanpa memberikan alasan-alasan kerja yang sering kali dibutuhkan hakim untuk membuat putusannya. Hal ini menimbulkan keraguan tentang apakah keputusan yang dibantu oleh AI dapat diandalkan sepenuhnya, mengingat kurangnya transparansi dapat mempengaruhi kepercayaan publik akan suatu putusan hakim. Penggunaan AI dalam hukum tidak boleh mengurangi peran hakim sebagai "seniman" dalam menilai dan mengolah fakta-fakta kasus. Hakim harus menggabungkan intuisinya yang bertahun diasah dengan analisis AI untuk mencapai putusan yang baik, hakim kedepan perlu melatih kemampuan membaca hasil AI dan menerapkan penilaian moral serta pengetahuan hukum.  Perubahan wajah peradilan kita adalah sebuah kepastian dan nampaknya perubahan itu akan menjadi lebih cepat, begitu pula dengan kerja yudisial didalamnya namun semua perubahan itu harus sejalan dengan nilai-nilai keadilan untuk memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan adil, bermanfaat dan berkepastian. (FAC, YBB, BS)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya

Aplikasi Perkusi Badilum Sebagai Upaya Transparansi Pelaksanaan Eksekusi

article | Opini | 2025-03-23 07:30:20

Eksekusi terhadap putusan perdata yang tidak dilaksanakan secara sukarela merupakan titik paling akhir dan penting dalam proses penyelesaian perkara perdata. Terdapat indikator keberhasilan dalam pelaksanaan eksekusi. Pertama, adanya kepastian dan prediktabilitas atas prosedur. Kedua, adanya pelaksana eksekusi yang memiliki pemahaman dan kompetensi. Ketiga, adanya akses data bagi petugas eksekusi. Keempat, adanya sistem memonitor dan evaluasi pelaksanaan eksekusi secara transparan. Kelima, adanya kepastian waktu dan biaya. Keenam, adanya informasi yang kredibel dan dapat diakses oleh pencari keadilan dalam proses eksekusi.Namun demikian, terdapat beberapa kendala dalam proses pelaksanaan eksekusi sebagaimana hasil penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang berjudul Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa kendala-kendala proses pelaksanaan eksekusi antara lain sebagai berikut:Mekanisme upaya paksa yang saat ini ada kurang efektif, karena biaya dibebankan ke para pihak; Otoritas eksekusi terdesentralisasi ke unit kerja pengadilan terkecil yakni pengadilan negeri. Pengadilan harus melaksanakan sendiri putusan dengan sumber daya untuk melakukan eksekusi terbatas dan cenderung tergantung kepada lembaga eksternal;Tidak ada data terkonsolidasi tentang status pelaksanaan eksekusi, sehingga minim pengawasan tentang kemajuan proses eksekusi;Rendahnya pemahaman pencari keadilan terhadap hak-haknya;Pelaksanaan putusan pengadilan belum mampu mengisolasi pihak yang menolak melaksanakan putusan dari akses terhadap sumber daya dan pelayanan publik;Perspektif bahwa urusan perdata adalah urusan pribadi, sehingga negara tidak perlu terlalu banyak turut campur terhadap urusan individu;Masih banyak pelanggaran etika profesi dari praktisi yang menghambat efektifnya eksekusi.Untuk mengatasi kendala tersebut, sebenarnya Mahkamah Agung cq Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) telah melakukan beberapa upaya optimalisasi pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata, yakni dengan mengeluarkan inovasi berupa aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (Perkusi). Kelebihan dari aplikasi PERKUSI salah satunya adalah karena aplikasi ini bersifat open to public sehingga dapat diakses secara umum pada laman website Ditjen Badilum. Pada menu Pengawasan Eksekusi (PERKUSI) juga terdapat beberapa informasi dan menu yang dapat diakses oleh umum antara lain yakni:Statistik permohonan, aanmaning dan pelaksanaan eksekusi;Persentase jumlah permohonan eksekusi terhadap putusan pengadilan, jumlah permohonan eksekusi hak tanggungan di pengadilan, jumlah pelaksanaan aanmaning, jumlah pelaksanaan eksekusi (pelaksanaan, penyerahan hasil lelang, penetapan non eksekusi dan pencabutan);Informasi 5 (lima) pengadilan dengan permohonan eksekusi paling banyak;Informasi 5 (lima) pengadilan dengan pelaksanaan eksekusi paling banyak;Informasi 5 (lima) jenis perkara terbanyak yang diajukan eksekusi;Informasi tentang publikasi pelaksanaan eksekusi di lingkungan peradilan umum;Rekapitulasi sisa permohonan eksekusi pada tahun sebelumnya, jumlah pendaftaran permohonan eksekusi, pelaksanaan eksekusi dan sisa akhir permohonan eksekusi yang belum dilaksanakan pada seluruh pengadilan dilingkungan peradilan umum;Menu yang dapat digunakan untuk mengetahui tahapan akhir dalam suatu permohonan eksekusi. Berdasarkan informasi dan menu yang terdapat pada aplikasi PERKUSI tersebut, penulis menilai bentuk pengawasan yang dilakukan tersebut adalah pengawasan preventif, yakni dengan cara membuat suatu sistem yang meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi sehingga dapat menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa. Pengawasan preventif tersebut dilakukan dengan cara keterbukaan informasi dan kinerja dari lembaga peradilan dalam hal ini khususnya pengadilan negeri. Pengadilan harus secara tertib dan lengkap dalam pengisian tahapan mulai dari permohonan eksekusi tersebut didaftarkan hingga permohonan eksekusi tersebut dilaksanakan, sehingga masyarakat dapat memantau kinerja dari lembaga peradilan dengan mudah. Di sisi lain secara struktural mulai dari pengadilan tinggi, Ditjen Badilum, dan Mahkamah Agung dapat melaksanakan pengawasan secara real time terhadap perkara permohonan eksekusi di Pengadilan Negeri.  Pengawasan secara elektronik pada aplikasi PERKUSI dimunculkan dalam rangka meningkatkan transparansi lembaga peradilan. Transparansi terhadap permohonan eksekusi akan berhubungan dengan keterbukaan informasi publik mengenai permohonan eksekusi yang disediakan oleh pengadilan. Salah satu prasyarat penting dalam transparansi adalah keterbukaan informasi. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan termasuk dalam tahapan eksekusi dikarenakan minimnya informasi yang bisa diperoleh masyarakat pada saat tahapan eksekusi.  Efektivitas dari pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI dapat dikaji berdasarkan beberapa faktor yakni faktor hukum, faktor sarana prasarana, faktor masyarakat, dan faktor budaya. Faktor HukumDasar hukum yang digunakan dalam proses pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI saat ini yakni Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor 1230/DJU/SK/HM.02.3/4/2021 tentang Pemberlakuan Aplikasi Layanan Elektronik Terpadu (LENTERA), Aplikasi Survei Pelayanan Elektronik (SISUPER) dan Aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (PERKUSI) dilingkungan Peradilan Umum. Menurut hemat penulis dasar hukum yang digunakan masih kurang tepat dan lengkap, perlu adanya aturan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung yang secara khusus mengatur bagaimana sistem atau tata cara pengawasan yang dapat dilakukan melalui aplikasi PERKUSI dalam rangka mendukung transparansi pelaksanaan eksekusi di Pengadilan.Faktor Sarana dan PrasaranaDalam pelaksanaan pengawasan eksekusi secara elektronik harus pula didukung oleh sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan teknologi informasi, dikarenakan segala kegiatan berkaitan dengan eksekusi harus diinput pada menu yang tersedia di aplikasi PERKUSI, tanpa adanya sumber daya manusia yang paham teknologi informasi serta perangkat yang menunjang hal tersebut, maka pengawasan eksekusi secara elektronik tidak dapat berjalan efektif. Sehingga menurut penulis Mahkamah Agung perlu melakukan pelatihan dan pembinaan untuk aparat peradilan guna menunjang keahlian teknologi.Faktor MasyarakatDikutip dari H. Salim seperti yang diutarakan Antony Allot yang mengatakan bahwa suatu hukum akan menjadi hukum yang efektif jika maksud dibuatnya hukum dan implementasinya dapat mencegah aktivitas yang tidak diinginkan dan bisa menghapus sebuah kekacauan. Apabila dikaitkan dengan pengawasan eksekusi secara elektronik, masyarakat menyikapi munculnya aplikasi PERKUSI adalah sebuah titik terang dalam proses eksekusi. Mulai dari internal pengadilan hingga masyarakat pencari keadilan. Aplikasi PERKUSI merupakan sarana pengawasan bagi masyarakat untuk mengawal proses pelaksanaan eksekusi di pengadilan, sehingga diharapkan keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi yang berbelit-belit dan tidak transparan dapat diatasi.Faktor BudayaPada faktor budaya, Mahkamah Agung perlu melakukan pembinaan terkait proses pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI tersebut, dikarenakan saat ini masih banyak pengadilan yang belum mengetahui urgensi pengawasan eksekusi secara elektronik tersebut, sehingga banyak ditemukan data pengisian yang kurang update pada aplikasi PERKUSI, hal ini sekaligus menjadi suatu kelemahan yang perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan secara berkala kepada pengadilan.*Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Magetan

Buah Beracun dalam Sistem Peradilan Pidana itu Bernama Penyiksaan

article | Opini | 2025-03-22 12:20:51

PENYIKSAAN hanya buah dari sebab “fruit of the poisenous tree”. Selama “pohonnya” tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Advokat Senior dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi Penyiksaan dalam Peradilan Pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan REVISI, pada 21 Maret 2025. Luhut juga melanjutkan pernyataannya bahwa penyiksaan dan peradilan ini secara diametral saling bertentangan. Karena jika berbicara Peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu pengayoman yang religius. Oleh karena itu adanya “penyiksaan” dalam peradilan, yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi hal yang tidak masuk akal.Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.Dalam acara yang sama, Ichzan Zikry (Direktur Eksekutif REVISI) memaparkan bahwa dari 150 putusan yang diindeksasi, tercatat hanya 63 perkara yang klaim penyiksaannya diperiksa oleh Pengadilan. Dari 63 perkara hanya 19 perkara yang klaimnya diterima Pengadilan. Data ini didapatkan dari proses indeksasi dan analisa atas 313 putusan pada tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam kurun waktu 2005-2021. Zikry memandang perbedaan sikap Pengadilan ini dalam memeriksa atau tidak memeriksa klaim tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memeriksa klaim penyiksaan bahwa keterangan pihak pengaku yang diperoleh merupakan dari tindakan kekerasan.Perihal klaim penyiksaan dan kekerasan yang dialami Terdakwa, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan yang menerima klaim tersebut dan berujung pada bebasnya Terdakwa.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/PID/2013, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:putusan Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa saksi kunci SUANTO Bin SAIFUL HAQ dan saksi ROBY SUGARA Bin SUMADEN telah mencabut keterangan mereka di muka penyidik karena unsur tertekan dan takut, pencabutan keterangan itu beralasan karena mereka ditembak di kaki dalam keadaan mata tertutup. Sedangkan di muka persidangan kedua orang saksi ini menerangkan tidak pernah mencuri dua sepeda motor tersebut dan tidak pernah menyerahkannya kepada Terdakwa untuk dijual, bahkan kedua orang saksi ini telah diadili selaku Terdakwa kasus pencurian dua sepeda motor tersebut dengan putusan bebasDalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak kasasi Penuntut Umum yang mengajukan permohonan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya adalah Putusan Nomor 109 K/Pid/2019, Mahkamah Agung menyatakan:Bahwa di persidangan Terdakwa menolak dan menyangkal dengan keras tidak pernah melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya, sewaktu pemeriksaan pendahuluan di penyidikan Terdakwa terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan oknum penyidik, Terdakwa dipukuli, ditendang dan bahkan direndam dalam bak mandi;Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah tepat membebaskan Terdakwa dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 1905 K/Pid.Sus/2017. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:Saksi Afrizon telah mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan Polisi (BAP Polisi), demikian juga Terdakwa juga telah mencabutkan keterangannya di BAP Polisi, karena baik Terdakwa maupun saksi Afrizon masih mengalami trauma karena setelah ditangkap Terdakwa dan saksi Afrizon telah dibawa ke suatu tempat dan dipukuli oleh Polisi yang menangkap sehingga pada saat pemeriksaan oleh Penyidik masih merasa tertekan dan ketakutan;Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah membebaskan Terdakwa. (YPY)

Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum

article | Opini | 2025-03-21 13:00:37

Bicaralah kebohongan secara terus menerus, maka kebohongan itu akan menjadi kebenaran. Sebuah penggalan kalimat yang tentu sudah sangat sering kita dengar. Dalam bahasa yang lebih ilmiah hal diatas disebut sebagai Illusory Truth Effect, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang sering diulang meskipun informasi tersebut salah. Teori Illusory Truth Effect ditulis dalam jurnal yang berjudul Frequency And The Conference Of Referential Validity terbitan tahun 1977 yang diteliti oleh Lynn Hasher, David Goldstein, dan Thomas Toppino. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang salah sebagai benar setelah paparan berulang. Illusory Truth Effect menjadi tantangan signifikan di era informatika seperti sekarang ini. Jika dikaitkan dalam konteks penegakan hukum, efek ini dapat berakibat terpengaruhinya opini publik terhadap suatu perkara yang sedang berjalan, legitimasi putusan hakim, atau bahkan kredibilitas institusi hukum. Informasi yang salah atau bias, jika terus-menerus disebarkan melalui media, dapat menciptakan persepsi yang keliru di masyarakat tentang suatu peristiwa hukum yang terjadi namun dianggap sebagai suatu kebenaran dalam masyarakat. Berhati- Hati dalam Menyebarkan InformasiPenyebab utama Illusory Truth Effect adalah dari tindakan aparatur penegak hukum tersebut sendiri terhadap pengelolaan informasi kepada masyarakat. Konferensi pers yang sering kali menyampaikan informasi dengan detail kejadian yang terjadi, motif pelaku, siapa saja yang terlibat atau bahkan sudah melakukan klaim sepihak terhadap besarnya kerugian Negara. Seluruh penegak hukum harusnya memahami hal-hal tersebut hanya dapat dipastikan kebenarannya melalui proses persidangan yang transparan dan imparsial.Selain penyebab utama di atas, kurangnya respon cepat dari aparat penegak hukum untuk menangkis pemberitaan yang keliru dapat menjadi penyebabnya. Dalam era informatika seperti sekarang ini, dalam hitungan detik seluruh informasi dapat menyebar dengan cepat sehingga perlu adanya tindakan yang responsif untuk mengatasi hal tersebut. Disisi lain media juga sering kali menggunakan narasi yang menarik perhatian untuk meningkatkan jumlah pembaca atau penonton dengan judul yang clickbait atau substansi berita yang didramatisir. Masyarakat dalam hal ini tentunya harus meningkatkan literasi hukum untuk menghindari dampak dari Illusory Truth Effect.Tekanan untuk Aparat Penegak HukumIllusory Truth Effect juga dapat menimbulkan tekanan pada aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Jika penegak hukum tidak dapat menjawab harapan masyarakat tersebut maka citra buruk dan narasi negatif akan dicap kepada lembaga tersebut. Padahal harapan tersebut dapat jadi bersumber dari informasi yang salah namun karena disampaikan berulang akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Semisal dalam praktik, tindakan penuntut umum yang melakukan konferensi pers menjelaskan tentang informasi detail substantif dalam perkara, padahal informasi harus diuji terlebih dahulu kebenarannya melalui sebuah proses persidangan. Namun, informasi tersebut kemudian disampaikan berulang-ulang dan pada akhirnya membentuk sebuah opini dan harapan di masyarakat. Dalam proses persidangan ternyata terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sehingga terdakwa dinyatakan bebas. Harapan masyarakat yang bersumber pada konferensi pers tersebut akan menjadi sirna dan tentunya hal ini kemudian dapat mencoreng kinerja lembaga tersebut yang gagal membuktikan klaimnya sendiri dalam konferensi pers. Tindakan dengan sengaja menciptakan fenomena Illusory Truth Effect dalam penegakan hukum bukanlah hal yang arif dan bijaksana. Seluruh pihak harusnya menahan diri dan menghormati proses penegakan hukum yang berlaku. Konferensi pers bukanlah ajang untuk membentuk opini sehingga dapat mendongkrak popularitas semu suatu lembaga. Bahkan, jika dikaji lebih jauh lagi, dapat mencederai semangat supremasi hukum dalam Negara. Pengadilan Sebagai Otoritas Tunggal Penafsir KebenaranPengadilan berperan sebagai institusi negara yang memiliki wewenang untuk menafsirkan dan memutuskan kebenaran berdasarkan hukum yang berlaku. Kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip negara hukum, bahwa segala perselisihan ataupun perkara harus diselesaikan melalui mekanisme hukum sesuai pasal 1 ayat 3 UUD 1945.Dalam hal memutuskan suatu perkara di pengadilan, para pihak di proses persidangan menghadirkan alat bukti masing- masing. Alat bukti tersebut kemudian diuji dan dilakukan konstatir oleh hakim yang kemudian dituangkan menjadi fakta hukum dalam putusan. Fakta hukum inilah yang harus diyakini sebagai kebenaran menurut hukum positif yang berlaku karena melalui proses yang transparan, imparsial dan sesuai dengan aturan perundang-undangan.Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum terdapat asas res judicata pro veritate habetur yang berarti putusan hakim harus dianggap benar. Hal ini kemudian memberi penegasan terhadap legitimasi putusan hakim dalam sebuah peristiwa terkait sengketa kebenaran dalam sistem hukum Indonesia. Demi Tercapainya Tujuan HukumGustav Radbruch, seorang filsuf hukum menyatakan bahwa ada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam konteks pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran juga dimaksudkan demi tercapainya kepastian hukum di tengah masyarakat. Tanpa kepastian hukum maka sistem hukum akan menjadi kacau, dapat jadi semua pihak akan mengklaim kebenaran mereka sendiri. Semua pihak merasa berhak untuk melakukan segala hal atas kebenaran yang mereka klaim sendiri. Jika hal tersebut sudah terjadi, banyak konflik yang akan terjadi di tengah masyarakat. Tanpa kepastian hukum maka dapat jadi Negara dalam keadaan bahaya. Dalam kaitannya dengan kemanfaatan hukum, pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran bertujuan agar adanya kesatuan pemahaman hukum sehingga proses hukum  dapt segera diselesaikan secara efektif dan tidak berlarut- larut, sehingga bermanfaat bagi proses rekonsiliasi secepatnya di masyarakat dan dapat memberikan solusi yang dapat diimplementasikan oleh para pihak dan mencegah terjadinya perselisihan serupa di masa depan. Dalam kaitannya dengan keadilan maka pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut dikarenakan proses persidangan mengedepankan prinsip- prinsip ideal dalam hukum yaitu prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence), prinsip mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), prinsip transparansi dan prinsip independensi.Semangat Penegakan Hukum yang Integratif sebagai SolusiSemangat penegakan hukum yang integratif menjadi pendekatan strategis untuk menghadapi tantangan Illusory Truth Effect. Penegakan hukum yang integratif melibatkan sinergitas antara berbagai elemen dalam sistem hukum, yaitu KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan juga Pengadilan. Dengan semangat integrasi, tiap lembaga penegakan hukum memahami bahwa ada batas- batas kewenangan yang dimiliki dalam penyampaian informasi. Penyampaian informasi dalam konferensi pers juga tentunya dibatasi pada hal yang sifatnya formal prosedural bukan pada informasi substansi yang secara hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan. Pemahaman terhadap batas kewenangan masing-masing antar lembaga penegak hukum, transparansi proses hukum, serta edukasi publik yang baik menjadi pilar penting untuk memastikan bahwa masyarakat memahami dan menghormati prinsip hukum yang berlaku, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh Illusory Truth Effect. Dengan demikian, keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan secara objektif untuk menghalau Illusory Truth Effect di tengah kompleksitas era digital (FAC, AAR, Yunus)*Hakim PN Kefamenanu

Hikmah Ramadan: Puasa Sebagai Refleksi Integritas Bagi Insan Peradilan

article | Opini | 2025-03-19 10:45:23

Sudah lebih dari separuh bulan Ramadan berjalan menemani dan hadir di tengah-tengah kesibukan kita sebagai insan peradilan. Di antara tumpukan berkas perkara, jadwal sidang yang padat, dan tanggung jawab memberikan keadilan bagi masyarakat, bulan suci ini senantiasa menyapa dengan lembutnya. Kami sangat bersyukur bisa dipertemukan kembali dan ditemani bulan Ramadan. Bagi kami yang bekerja di institusi Mahkamah Agung RI, Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan momentum berharga untuk berkontemplasi dan memperkuat fondasi integritas dalam mengemban amanah.Sederhana Namun Sarat MaknaSetiap pagi selama Ramadan, sebelum memeriksa jadwal persidangan dan membuka berkas-berkas perkara, kami memulai hari dengan niat berpuasa. Hal yang sederhana namun penuh dengan makna. Sebuah tekad pribadi untuk menahan lapar, dahaga, dan segala keinginan hawa nafsu, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kesederhanaan inilah yang justru sarat akan makna mendalam bagi kami seorang Hakim.Ketika seorang Hakim menahan hausnya kerongkongan di tengah persidangan yang panjang, seorang panitera yang tetap teliti mencatat jalannya sidang meski perut kosong, atau seorang pegawai pengadilan yang tetap melayani dengan ramah walau tenggorokan kering, di situlah integritas kita masing-masing dalam beribadah diuji dan dilatih secara nyata. Barangkali semua biasa terjadi tanpa adanya pengawasan CCTV, tanpa tatapan atasan, bahkan tanpa pengetahuan rekan kerja sekalipun.Bayangkan bagaimana seseorang yang berhasil menahan diri dari seteguk air minum di ruangannya yang sepi, padahal tak seorang pun akan tahu bila ia meminumnya. Bukankah orang seperti ini sudah seharusnya bisa lebih kuat menolak amplop suap yang disodorkan kepadanya secara diam-diam? Bukankah latihan spiritual ini dapat menjadi benteng integritas terkuat dalam melawan godaan?Melampaui Prosedur, Menggapai EsensiDi ruang sidang, kami terbiasa dengan prosedur. Ada hukum acara yang bersifat limitatif dan imperatif yang harus diikuti. Tahapan persidangan yang tak boleh dilewati, formalitas acara yang mesti dipenuhi. Namun kami sadar, terkadang kebiasaan mengikuti prosedur secara berlebihan bisa jadi membuat kami lupa pada esensi.Hal yang serupa terdapat pada puasa. Rasa-rasanya mudah bagi kami—sebagai orang dewasa—untuk sekadar “tidak makan dan minum” selama jam kerja. Namun jika demikian semata yang dirasa, pastilah kami akan kehilangan esensi pengendalian diri yang sesungguhnya. Sebagaimana puasa tanpa penghayatan hanya akan menghasilkan rasa lapar dan dahaga, begitu juga proses peradilan yang terpaku pada prosedur tanpa penghayatan nilai-nilai kode etik profesi, hanya akan menghasilkan pekerjaan atau putusan tanpa makna.Ketika azan Magrib berkumandang di masjid maupun surau-surau terdekat, kami merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang tidak hanya berasal dari waktunya berbuka, akan tetapi lebih dari itu, yaitu kesadaran diri bahwa kami telah bekerja dengan baik dan tetap menjaga integritas. Putusan telah dijatuhkan dengan adil, pelayanan telah diberikan dengan prima, dan godaan telah ditepis dengan tegas. Inilah berbuka yang sesungguhnya bagi insan peradilan.Refleksi dari Ruang SidangBulan Ramadan memberi kami ruang yang lebih dalam untuk muhasabah atau introspeksi diri. Membaca berkas dan memeriksa perkara di persidangan sambil menahan lapar dan dahaga membangkitkan sensitivitas rasa tersendiri dalam memahami dinamika batin para pihak yang berperkara. Setiap lembar tumpukan berkas, setiap keterangan saksi, dan setiap alat bukti terasa memiliki dimensi makna tersendiri ketika pikiran dan tubuh dilatih untuk bersabar.Puasa juga mengajarkan kita untuk mempertajam rasa kemanusiaan dan keadilan. Bagi seorang Hakim, pelajaran ini sangat penting dalam memutus sebuah perkara. Hakim harus mampu menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Inilah yang oleh Sir Wendell Holmes dikatakan sebagai, “the life of law has not been logic, it has been experience.” (Abdul Ghofur Anshori: 2018). Kondisi fisik yang tengah menahan lapar dan dahaga justru harus mendorong fokus yang lebih tajam, mencegah keputusan yang tergesa-gesa, dan menghadirkan pertimbangan yang lebih jernih, arif, dan bijaksana.Integritas dari Kesadaran DiriSetiap saat kami menyusun putusan dengan diawali kalimat, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat ini bukan sekadar formalitas sebuah dokumen putusan semata, melainkan pengingat bahwa setiap keputusan yang kami ambil harus dipertanggungjawabkan, tidak hanya kepada institusi dan masyarakat, tetapi yang lebih utama adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.Selama Ramadan, kesadaran ini terasa lebih nyata. Ketika perut kosong dan tenggorokan kering, pikiran justru menjadi lebih jernih untuk membedakan antara kewajiban menegakkan hukum dan keadilan dan kepentingan pribadi (baca: haq dan bathil). Sebagaimana pernah disampaikan dalam suatu kesempatan oleh K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau populer dikenal sebagai Gus Baha, tentang tingkatan derajat antara takwa dan syukur, kami menyadari bahwa menjaga integritas bukan hanya bentuk upaya meraih ketakwaan, tetapi juga wujud syukur atas amanah yang dipercayakan.Integritas yang tumbuh dari kesadaran diri jauh lebih tangguh jika dibandingkan dengan yang dipaksakan oleh pengawasan eksternal. Sudah seharusnya para insan peradilan menjaga integritas bukan semata karena takut pada sanksi atau sorotan media dan pengawasan, tetapi lebih kepada keyakinan diri bahwa setiap tindakan kita selalu diawasi oleh Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.Transformasi Diri, Transformasi InstitusiTransformasi peradilan telah menjadi agenda urgen yang sejak lama didengungkan. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari pembaruan regulasi hingga penerapan teknologi-informasi. Namun kami menyadari, transformasi terdalam memang harus dimulai dari diri sendiri.Puasa di bulan Ramadan ini benar-benar memberikan model transformasi diri yang efektif. Dari latihan menahan diri, tumbuh kemampuan untuk mengendalikan ego pribadi. Dari kesederhanaan berbuka, tumbuh kepedulian dan kepekaan terhadap sesama. Dari ibadah yang konsisten, tumbuh etos kerja dan disiplin yang penuh komitmen. Hal ini sejalan dengan apa yang kurang lebih disampaikan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Bapak H. Bambang Myanto, S.H., M.H., dalam tulisan beliau di rubrik Dandapala Digital (27/02/2025), bahwa sudah seharusnya, nilai atau hikmah dari puasa di bulan Ramadan dapat diinternalisasi oleh seorang Hakim dalam bertindak sehari-hari.Ketika setiap insan peradilan berhasil mencapai transformasi diri semacam ini, perlahan namun pasti, Mahkamah Agung RI dan seluruh peradilan di bawahnya pun akan bertransformasi menjadi lebih baik. Dengan demikian, budaya integritas akan tumbuh dengan sendirinya, bukan karena dipaksakan, melainkan karena telah mendarah daging dalam diri setiap personilnya. Penutup: Pelajaran dari RamadanTidak lama lagi, bulan Ramadan akan berlalu. Namun, hal yang tak boleh luput bagi kita semua adalah hikmah atau pelajaran di dalamnya yang harus tetap hidup dalam keseharian kita sebagai insan peradilan. Kebiasaan menahan diri selama sebulan penuh harus ditransformasi menjadi wujud integritas yang konsisten sepanjang hayat.Bagi kami insan peradilan Indonesia, khususnya umat muslim, Ramadan adalah momentum sakral, bulan tarbiyah atau pendidikan yang intensif untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa, tak terkecuali integritas di dalamnya. Dari pengalaman spiritual ini, kami bertekad dan berharap dapat membangun Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di bawahnya menjadi institusi peradilan yang bermartabat dan dipercaya oleh masyarakat.Saat Ramadan berakhir, nilai-nilai yang telah ditempa selama sebulan penuh sebelumnya harus menjadi suluh dalam setiap langkah di tengah kegelapan zaman. Dengan begitu, irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam putusan, dapat diaktualisasikan secara nyata melalui komitmen menegakkan hukum dan keadilan yang berintegritas. Itulah kiranya harapan dan warisan bulan suci Ramadan bagi insan peradilan di Indonesia. (LDR)* Hakim Pengadilan Negeri Putussibau

Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP

article | Opini | 2025-03-19 10:30:01

RUU KUHAP saat ini menjadi perbincangan hangat, mengingat keberadaanya masuk kedalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2025, sehingga perlu untuk diikuti perkembangan dan pembahasannya baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat. Dengan segala pro dan kontra yang ada, RUU KUHAP ini didorong sebagai wujud respon dari perubahan sistem ketatanegaraan, perkembangan hukum dalam Masyarakat, dan kemajuan teknologi yang sudah tidak sesuai, sehingga diperlukan penggantian yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru.RUU KUHAP saat ini, dimana penulis menggunakan rancangan per tanggal 3 Maret 2025, Terdiri atas 20 (dua puluh) BAB dan 334 (tiga ratus tiga puluh tiga) Pasal. Salah satu hal yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan diskusi yaitu terkait dengan pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP mengenai apa saja yang diatur, dan apa perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku saat ini. Perlu diketahui, konsep Praperadilan pada dasarnya berawal dari prinsip habeas corpus yang terdapat dalam sistem Anglo Saxon. Habeas Corpus Act 1679 menuntut pejabat polisi atau jaksa mengeluarkan perintah penahanan yang sah melalui surat perintah pengadilan. Hal ini bertujuan agar memberikan jaminan fundamental terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama dalam hal-hak kemerdekaan. Dengan demikian, terhadap dasar dari lahirnya Praperadilan, timbulah suatu perdebatan apakah KUHAP saat ini sudah mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut sebagaimana dasar semangat lahirnya Praperadilan.Dengan demikian, demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana maka selanjutnya undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Dikarenakan Tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh instansi penegak hukum termasuk kedalam bagian dari pembatasan kemerdekaan atas hak asasi manusia, maka Tindakan tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Dengan demikian, diperlukan Lembaga atau proses pengawasan yang dapat mencerminkan perlindungan atas hak asasi manusia tersebut akibat dari adanya upaya paksa. Lantas, bagaimana pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP saat ini? apakah pengaturan Praperadilan sudah memenuhi prinsip perlindungan atas hak asasi manusia? Apa saja poin penting perbedaannya?RUANG LINGKUP PRAPERADILANRuang lingkup praperadilan terhadap objek yang dapat diperiksa dan diputus diatur dalam ketentuan Pasal 149 dimana telah diakomodirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana sah atau tidaknya pelaksanaan upaya paksa termasuk kedalam ruang lingkup yang dapat dimintakan Praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan upaya paksa sendiri juga diatur dalam Pasal 84 RUU KUHAP yang meliputi; (i) Penetapan Tersangka; (ii) Penangkapan; (iii) Penahanan; (iv) Penggeledahan; (v) penyitaan; (vi) penyadapan; (vii) pemeriksaan surat; dan (ix) larangan bagi Tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dimana istilah upaya Paksa tidak diatur dalam KUHAP hanya saja dapat diidentikan dengan segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun, Dimana diantaranya adalah (i) penangkapan; (ii) penggeledahan; (iii) penyitaan; (iv) dan pemeriksaan surat. Ketentuan Praperadilan dalam RUU KUHAP memberikan definisi dan ruang lingkup terhadap upaya paksa yang jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dengan demikian segala jenis upaya paksa yang terdapat dalam Pasal 84 RUU KUHAP dapat dijadikan objek praperadilan. Tidak hanya terhadap penetapan tersangka saja sebagaimana putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, melainkan juga termasuk didalamnya larangan bagi tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia dan penyadap. Akan tetapi, dalam penjelasan Pasal 149 ayat (1) RUU KUHAP terdapat pembatasan upaya paksa yaitu terhadap upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk kedalam objek praperadilan.GUGURNYA PRAPERADILANPengaturan dalam UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, didalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d dikatakan “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Hal ini ditindaklanjuti oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dimana pada pokoknya dikatakan “Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.” Artinya adalah pengaturan KUHAP saat ini mengatur gugurnya praperadilan apabila terhadap perkara pokok telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara.Hal ini berbeda dengan apa yang diatur oleh RUU KUHAP dimana terdapat pengaturan yang sebaliknya. Disebutkan dalam Pasal 154 ayat (1) RUU KUHAP huruf d bahwa selama pemeriksaaan praperadilan belum selesai maka pemeriksaan pokok perkara di pengadilan tidak dapat diselenggarakan. Artinya adalah, dibenarkan bagi penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan kemudian disidangkan oleh Pengadilan Negeri apabila terhadap permohonan Praperadilan ini belum selesai dilakukan pemeriksaan. Hal ini berbanding terbalik dengan aturan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP saat ini. Dimana dalam RUU KUHAP tidak diatur gugurnya Praperadilan melainkan sebaliknya memberikan Batasan kepada Aparat Penegak Hukum untuk tidak memeriksa pokok perkara selama proses pemeriksaan praperadilan masih berlangsung. Dengan demikian, dua perbedaan diatas merupakan perbedaan yang cukup fundamental didalam proses pemeriksaan Praperadilan Dimana terdapat 2 (dua) perbedaan yang sangat penting yaitu terkait dengan ruang lingkup atau objek praperadilan dan mengenai gugurnya praperadilan. Selanjutnya, terhadap pembaruan tersebut, Kembali pada pertanyaan dalam pendahuluan di atas, apakah pembaruan praperadilan dalam RUU KUHAP ini sudah mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana yang diperjuangkan dari konsep praperadilan? atau dirasa kurang untuk memenuhi perlindungan atas hak asasi manusia itu sendiri? Tentunya ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik didalam tataran dunia akademis dan praktis.

Demarginalisasi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

article | Opini | 2025-03-14 18:50:35

Konstruksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia pada awalnya memang mengalami marginalisasi atau peminggiran secara normatif. Marginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana dilatarbelakangi oleh eksistensi hukum pidana materil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) yang beraliran daad-dader-strafrecht sehingga definisi korban pun tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP. KUHP Nasional yang diberlakukan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibentuk pada tahun 1881 dan diberlakukan tahun 1886 yang masih sangat kuat beraliran daad-strafrecht (fokus pada perbuatan) dan kemudian daad-daader strafrecht (fokus perbuatan dan orang) dengan paradigma retributif yang kuat sehingga hal ini menyebabkan korban tidak mendapatkan atensi dan termarginalisasi dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan dalam konteks hukum acara pidana, sebelum eksistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka yang berlaku adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang merupakan operasionalisasi paradigma retributif (fokus pada orang dan perbuatan) dari KUHP dengan atensi pada kecepatan penegakan hukum pidana sehingga hak-hak hukum pelaku seringkali tidak diperhatikan dan dilanggar. Kemudian keberlakuan KUHAP juga belum memberikan perhatian terhadap peran dan perlindungan terhadap korban mengingat spirit pembentukan KUHAP adalah memperkuat due process of law dalam hal ini terkait perlindungan hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana) dan akuntabilitas mekanisme kinerja penegak hukum. Fokus KUHAP adalah melindungi tersangka/terdakwa/terpidana dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum sebagaimana yang terjadi saat berlakunya HIR. Kondisi ini menyebabkan perhatian kepada hak dan perlindungan korban menjadi sangat minim dan termarginalkan. Secara historis, dinamika perkembangan korban dalam sistem peradilan pidana pada dasarnya dapat dilihat dalam tiga periodesasi hukum pidana Indonesia. Pertama, hukum pidana yang berorientasi pada pembalasan semata (retributif/absolut)/daad-strafrecht. Merupakan periodesasi di saat konsep pemasyarakatan belum dikenal dalam tata hukum Indonesia dan hukum acara pidana masih menggunakan HIR. Istilah pemasyarakatan sendiri dikenal pertama kali tahun 1963 yang dicetuskan oleh DR. Saharjo (Menteri Hukum dan Kehakiman saat itu) dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia. Secara formal konsep pemasyarakatan mulai memiliki landasan yuridis formal sejak diundangkannya UU Pemasyarakatan tahun 1995. Kedua, hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan tertentu (relatif/gabungan)/daad-dader-strafrecht. Periodesasi sejak UU Pemasyarakatan mulai diterapkan. Pada periodesasi ini, sanksi pidana tidak sekadar dijadikan alat pembalasan melainkan sebagai sarana reformasi untuk memperbaiki narapidana (resosialisasi). Pemasyarakatan merupakan obat bagi orang 'sakit' yakni narapidana agar sembuh dan dapat melebur kembali ke dalam masyarakat sebagai pribadi yang baik untuk mendukung pembangunan bangsa. Dalam periodesasi kedua ini pusat perhatian dalam penegakan hukum pidana terletak pada pelaku sehingga kemudian pada tahap ini dikenal konsep mengenai individualisasi pidana. Akan tetapi, dalam realitasnya, konsep pemasyarakatan mengalami disfungsi karena faktor over capasity akibat core pemenjaraan masih menjadi arus utama penyelesaian perkara pidana. Kemudian muncul pemikiran kontemporer agar penyelesaian perkara pidana tidak semua harus dengan sanksi perampasan kemerdekaan yang terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat kejahatan dan juga mengabaikan kepentingan korban. Lalu munculah pemikiran periodesasi ketiga yang mengkonstruksikan konsep pemidanaan yang meletakkan peran strategis pada kepentingan korban. Sanksi pidana diarahkan untuk kepentingan korban. Ketiga, hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban. Jika pada periodesasi satu dan dua, sanksi pidana hanya berfokus pada perbuatan dan pelaku tindak pidana, pada periodesasi ketiga ini, sanksi pidana mulai memberikan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang paling terdampak dari terjadinya tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka tahun 2006 menjadi mailstones eksistensi hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban, dari sinilah melembaga konsep restitusi dan kompensasi yang berfokus pada pemulihan hak-hak dan kepentingan hukum korban yang sebelumnya terampas akibat suatu tindak pidana. Meskipun demikian, sebelum UU Perlindungan Saksi dan Korban, konsep mengenai restitusi dan kompensasi telah dikenal dalam UU Pengadilan HAM namun hanya terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat. Setelah lahirnya UU Perlindugan Saksi dan Korban, konsep restitusi dan kompensasi melembaga dalam berbagai aturan pidana khusus seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU Sistem Peradilan Anak tahun 2012 melembagakan konsep diversi dalam penyelesaian perkara anak yang merupakan pelembagaan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak dengan titik tumpu pada tanggungjawab pelaku, pemenuhan hak dan kepentingan korban serta restorasi hubungan antara pelaku dan korban dengan minimalisasi pemenjaraan. Transformasi demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana kemudian menjadi semakin bertumbuh dengan pembentukan peraturan-peraturan internal penegak hukum yang besifat keadilan restoratif dengan spirit keberpihakan pada korban seperti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntuan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Walaupun peraturan-peraturan internal penegak hukum tersebut masih memiliki berbagai kekurangan namun spirit untuk mengkonstruksikan korban dalam posisi centre of attention menjadi sebuah angin segar bagi perkembangan hukum pidana kedepan. Demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana sendiri akan semakin kuat dengan berlakunya KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pada 2 Januari 2026 mendatang ditambah dengan pemberlakuan revisi KUHAP yang akan mengatur secara lebih rinci hak dan perlindungan korban dalam hukum acara pidana. KUHP baru membawa tiga spirit keadilan secara integral dengan meletakkan korban sebagai salah satu subyek utama dalam operasionalisasinya yakni keadilan korektif, (bagi pelaku) keadilan rehabilitatif (bagi korban dan pelaku), dan keadilan restoratif (bagi korban). Sanksi pidana diletakkan dalam kerangka keseimbangan antara kepentingan dan tanggungjawab pelaku, perlindungan dan pemulihan korban serta pemenuhan aspek partisipatif-edukatif. Jenis-jenis sanksi pidana pun bergeser dari core utama perampasan kemerdekaan menjadi ke arah korektif, rehabilitatif, dan restitutif/restoratif. Sehingga pendekatan daad-dader-strafrecht mulai bergeser menjadi daad-dader-victim-strafrecht. Sanksi fisik yang hanya menyasar pelaku kini diseimbangkan dengan pendekatan edukatif (pidana pengawasan/rehabilitasi) serta pendekatan materil dan imateril kepada korban berupa restitusi (ganti rugi) dan rehabilitasi yang memiliki manfaat direct bagi pemulihan hak dan kepentingan korban.

Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

article | Opini | 2025-03-14 08:10:12

Pengantar Sengketa hak milik atas tanah yang diajukan ke pengadilan seringkali mempermasalahkan antara Sertipikat Hak Milik (SHM) dengan alat bukti bekas hak milik adat berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir atau Verponding Indonesia namun tidak terbatas pada istilah itu saja. Masyarakat yang tidak memahami secara utuh tentang pengaturan hak atas tanah seringkali menjadi sasaran dari praktik-praktik mafia tanah, akibatnya sering timbulnya sebuah SHM tanpa sumber perolehan yang jelas di atas tanah bekas milik adat yang dikuasai secara nyata turun temurun oleh masyarakat. Pertentangan tersebut seringkali diajukan sebagai sengketa di pengadilan karena terdapat benturan hak atas tanah sehingga menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Sangat perlu dipahami dan disebarluaskan mengenai eksistensi alat bukti bekas hak milik adat terhadap bidang tanah agar praktik-praktik mafia tanah tidak semakin terorganisir dan menciderai nilai-nilai keadilan bagi pemegang hak atas tanah yang dilindungi oleh hukum. Penyelesaian sengketa di pengadilan haruslah menyelesaikan seluruh pokok permasalahan sampai ke akar-akarnya, namun akhir-akhir ini pengadilan seringkali dihadapkan pada problematika maupun kompleksitas, terutama yang mengandung sebuah penyelundupan hukum yang terorganisir, khususnya mengenai sengketa keabsahan kepemilikan hak atas tanah. Dalam hal yang demikian, sangat diperlukan kecermatan dan kesungguhan seorang Hakim dalam mengadili sengketa hak atas tanah, agar terhindar dan tidak tergelincir dengan uraian-uraian manipulatif dalam persidangan. Oleh karena itu, perlu diketahui dan dipahami bersama dasar hukum maupun penerapan khususnya mengenai alat bukti bekas hak milik adat. Dasar Hukum Pada tanggal 02 Februari 2021, Jokowi Widodo selaku Presiden Republik Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 96 peraturan tersebut menyebutkan bahwa: (1) Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini; (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah. Masih dalam peraturan tersebut, Pasal 97 menyebutkan bahwa surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah. Selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 2021, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menerbitkan sebuah peraturan yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 76A peraturan tersebut menyebutkan bahwa: (1)  Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perseorangan berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dinyatakan tidak berlaku setelah 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah berlaku; (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka: a. alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah; dan b. status tanah tetap tanah bekas milik adat; (3) Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme pengakuan hak. (4) Permohonan pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan surat pernyataan penguasaan fisik dari pemohon dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa: a.  Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya merupakan tanah bekas milik adat bukan tanah Negara; b.  Tanah tersebut dikuasai secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut; c.   Penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; d.  Tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki dan/atau tidak dalam keadaan sengketa; e.  Tidak terdapat keberatan dari pihak Kreditur dalam hal tanah dijadikan jaminan sesuatu utang; dan f.    Bukan merupakan aset Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan tidak berada dalam kawasan hutan; (5) Unsur itikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri dari kenyataan secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan dan memelihara tanah secara terus menerus dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (6) Surat pernyataan penguasaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan ketentuan: a.   Disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan merupakan benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut; dan b. Dibuat berdasarkan keterangan yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana apabila di kemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam peranyataannya; (7)  Surat Pernyatan Penguasaan fisik dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Disamping apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), kedua peraturan tersebut di atas harus menjadi rujukan dan pisau analisis dalam menangani sengketa hak atas tanah yang didalamnya menyoalkan mengenai alat bukti bekas hak milik adat demi mewujudkan kepastian hukum dan melindungi masyarakat dari praktik buruk yang dilakukan oleh mafia tanah. Oleh karena itu, pemaknaan alat bukti bekas hak milik adat dalam sengketa hak atas tanah yaitu dinyatakan berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak 02 Februari 2021 sampai dengan 02 Februari 2026 yang wajib didaftarkan dan dinyatakan tidak berlaku apabila melewati jangka waktu tersebut tidak didaftarkan yang akibat hukumnya tidak dapat digunakan sebagai pembuktian Hak Atas Tanah sehingga hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah. Perlu diperhatikan dengan seksama bahwasanya terdapat perbedaan mengenai kualitas sebagai alat bukti antara Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dengan Surat Keterangan Tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis, yaitu yang diakui eksistensinya menurut hukum sebagai alat pembuktian adalah Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain, sedangkan Surat Keterangan Tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis hanya diakui sebagai petunjuk dalam pendaftaran tanah, sebagaimana yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.   Best Practice Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Fenomena yang terjadi di pengadilan seringkali membentuk kesadaran maupun pemahaman masyarakat mengenai suatu sengketa yang diselesaikan melalui putusan pengadilan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan minimnya literasi mengakibatkan suatu persengketaan diadili tidak membawa keadilan bagi para pencari keadilan. Dewasa ini yang menjadi persoalan bukan hanya soal menang dan kalah di pengadilan, melainkan bagaimana Hakim menerapkan hukum dalam suatu sengketa yang diajukan kepadanya. Ketidaksesuaian penerapan hukum seringkali membawa akibat yaitu turunnya trust public terhadap badan peradilan, hal ini sebuah tanda serius bahwa Hakim harus benar-benar mewujudkan asas ius curia novit pada setiap perkara yang ditanganinya. Sudah tidak asing lagi di telinga bahwa masyarakat acapkali menganggap Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya tidak dapat mengalahkan Sertipikat Hak Atas Tanah (SHM/SHGB/SHGU). Sebab utama dari paradigma yang demikian adalah maksud dan tujuan dari sertipikat hak atas tanah memang untuk memberikan kepastian hukum bagi siapapun yang menjadi pemegang haknya, selain itu sering kali terlewat untuk dipertimbangkan bagaimana cara perolehan dari sertipikat tersebut, apakah diperoleh secara patut menurut hukum ataukah justru dari praktik-praktik yang melawan hukum. Berbicara mengenai sumber perolehan hak atas tanah, disinilah letak isu utama dari sebuah sengketa hak atas tanah. Mengapa demikian? Bahwasanya perlu dipahami segala sesuatu yang dilindungi dan dijamin oleh hukum haruslah diperoleh dengan cara-cara yang ditentukan hukum serta tidak diperbolehkan dengan cara yang melawan hukum. Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara melawan hukum maka membawa akibat menjadi batal demi hukum. Hakim dalam melihat pokok persengketaan keabsahan kepemilikan atas adanya pertentangan antara Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan Sertipikat Hak Atas Tanah harus mampu merumuskan apa yang menjadi permasalahan utamanya, peraturan mana yang berlaku, merumuskan fakta-fakta yuridis, menganalisa dengan menerapkan hukum yang berlaku dan mengambil kesimpulan untuk menjatuhkan putusan sebagai wujud penyelesaian perkara. Hakim dalam perkara perdata sebenarnya juga harus mewujudkan kebenaran materiil, namun apabila tidak dapat menemukan kebenaran materiil maka diperbolehkan untuk menjatuhkan putusan dengan dasar kebenaran formil. Sehingga maknanya bukan berarti Hakim dalam sengketa perdata tidak boleh menjatuhkan atas kebenaran materil, melainkan apabila tidak dapat tercapai maka diperbolehkan dengan basis legal formil. Hal ini sangat penting dengan kaitannya sengketa perdata yang mengandung unsur manipulatif, yakni mafia tanah seringkali sudah memiliki sertipikat hak atas tanah terhadap objek sengketa, namun secara materiil sumber perolehan haknya dilakukan dengan cara melawan hukum dengan tidak menghiraukan pemegang hak alat bukti bekas hak milik adat. Praktik terbaik penyelesaian sengketa perdata mengenai hak atas tanah harus dengan pendeketan yang komprehensif agar tidak tergelincir dengan mengedepankan legal formil semata. Dapat dikatakan bahwa alat bukti bekas hak milik adat memiliki kualitas pembuktian di atas sertipikat hak atas tanah dalam hal terungkap fakta bahwa pemegang hak dari alat bukti bekas hak milik adat memang secara nyata turun temurun menguasai dengan itikad baik dan tercatat dalam buku tanah desa setempat dimana tidak pernah ada pengalihan dari pemegang hak selaku orang yang berwenang melakukan perbuatan hukum terhadap tanah tersebut, serta pula terhadap sertipikat dari mulanya perolehan sampai dengan penerbitannya mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh konkret bahwa suatu pemerintah daerah mendaftarkan sebidang tanah dan Kantor Pertanahan setempat menerbitkan Sertipikat Hak Pakai atas nama pemegang hak pemerintah daerah tersebut, sedangkan tanah tersebut bukanlah tanah terlantar atau tanah yang dilepaskan haknya, melainkan tanah yang dikuasai secara langsung dengan itikad baik berdasarkan alat bukti bekas hak milik adat. Dalam kasus tersebut maka terungkap sebuah kebenaran materil bahwa pemerintah daerah sebenarnya tidak memiliki dasar untuk mengajukan pendaftaran hak pakai terhadap tanah tersebut dikarenakan terdapat hak dari orang yang memiliki alat bukti bekas hak milik adat. Namun berbeda halnya apabila hanya memandang dari aspek legal formil, maka cenderung menerapkan hukum dengan pendekatan kekuatan dari sertipikat sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Disini terlihat betapa pentingnya kehatian-hatian (prudential principle) seorang Hakim dalam memutus perkara sengketa hak atas tanah. Sekalipun dalam pengadilan perdata, seorang Hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas dasar keyakinannya, namun tidak ada larangan bagi Hakim untuk menggali kebenaran yang sebenar-benarnya dari sengketa yang didadilinya demi mewujudkan keadilan yang nyata bagi pencari keadilan. Justru dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Hakim harus menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat untuk mewujudkan keadilan. Pembangunan hukum nasional dalam bidang perdata hari ini sudah harus mampu menjangkau kebutuhan hukum dari seluruh lapisan masyarakat dan menutup celah bagi para mafia tanah untuk menyalahgunakan keadaan maupun kerentanan dari pemegang hak berdasarkan alat bukti bekas hak milik adat. Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa sengketa hak atas tanah yang menyoalkan mengenai alat bukti bekas hak milik adat haruslah ditinjau secara yuridis tentang apakah masih berlaku dan berada dalam jangka waktu yang ditentukan, dikuasai secara nyata turun temurun, diperoleh dengan itikad baik dan tercatat dalam buku tanah desa/buku pajak setempat.   Kesimpulan Hakim dalam menangani sengketa perdata mengenai keabsahan kepemilikan hak atas tanah wajib mempertimbangkan sumber perolehan hak atas tanah tersebut, terutama sekali yang di dalamnya terdapat alat bukti bekas hak milik adat. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) harus dikedepankan untuk mencegah tergelincirnya ke dalam sesat pikir dengan alih-alih legal formil sebagaimana praktik mafia tanah yang seringkali dilakukan di pengadilan. Hakim yang memiliki kewajiban mengkonstatir, mengkualifisir, mengkonstituir fakta dan hukum untuk menjatuhkan putusan, tidak dapat berpaling dari ketentuan yang diatur Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan demikian, maraknya penyelundupan hukum dalam bidang pertanahan khususnya sengketa hak atas tanah yang diajukan ke pengadilan dapat teratasi dan masyarakat mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang dijamin oleh undang-undang.

Merangkai Paramater Pembuktian Sederhana dalam Pemeriksaan Singkat: Dari Asas Contante Justice hingga Beban Kerja Hakim

article | Opini | 2025-03-12 12:30:03

Selasa, 26 Maret 2024 Penulis mengikuti sidang perkara pencurian. Singkatnya, Terdakwa mencuri handphone korban pada saat korban tertidur di Masjid lalu tertangkap tangan oleh korban melalui pelacakan handphone. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Hakim Ketua menanyakan kepada Penuntut Umum alasan perkara tidak dilimpahkan dengan acara cepat lalu Penuntut Umum menyampaikan nilai handphone yang dicuri sebesar Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Artinya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar  Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada pemeriksaan, Terdakwa mengakui seluruh perbuatannya dan dituntut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara.Kasus kedua, perkara membawa senjata tajam. Saat razia pihak kepolisian, Terdakwa tertangkap tangan membawa pisau dengan panjang sekitar 26 (dua puluh enam) cm. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Pada saat persidangan, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian bahwa Terdakwa mengakui alasan membawa senjata tajam tersebut untuk berjaga-jaga dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai mekanik di bengkel motor. Penuntut umum lalu menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.Pada konteks perwujudan peradilan cepat dan sederhana, perkara-perkara diatas menimbulkan problematika hukum yang perlu didiskusikan bersama untuk menjadi bahan kebijakan Mahkamah Agung untuk menerbitkan SEMA atau Rancangan PERMA (RPERMA). Pertama, mengapa pemeriksaan tidak dilakukan melalui acara singkat? Kedua, mengapa pemeriksaan tersebut tidak disidangkan dengan Hakim Tunggal guna mengurangi beban kerja Hakim? Ketiga, dari sisi keadilan hukum sekaligus pendekatan KUHP baru, apakah Terdakwa dalam kasus pencurian tersebut dapat dihukum setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan kurungan? Mengingat kerugiannya hanya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).Mengenai permasalahan ketiga, telah disinggung oleh Penulis pada Artikel Opini Majalah Dandapala Volume IX/Edisi 51 Januari-Februari 2023. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP pada saat ini memang perlu kembali disesuaikan (2024) karena aturan tersebut sudah berlaku 12 (dua belas) tahun. Mahkamah Agung melakukan perhitungan dengan pendekatan harga emas tahun 1960 (Rp50,51,-/gram) dengan harga emas tahun 2012 (Rp509.000,-/gram) sehingga terdapat kenaikan sebesar 10.000 (sepuluh ribu) lipat. Pada saat ini, apabila menggunakan metode pendekatan harga emas maka harga emas tahun 2024 (Rp1.150.000,-/gram) atau sekitar dua kali lipat dari tahun 2012. Oleh sebab itu, kategori kerugian pada tindak pidana ringan dapat disesuaikan menjadi Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) atau diselesaikan melalui Perma 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Permasalahan pertama dan kedua terletak pada hukum acara yang diatur KUHAP yang hanya memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menentukan jenis acara pemeriksaan (Biasa atau Singkat). Konsekuensinya, apabila Penuntut Umum berpandangan perkara tersebut tidak dapat dibuktikan dengan sederhana maka perkara akan dilimpahkan dengan acara biasa sehingga Ketua Pengadilan Negeri wajib menunjuk hakim dengan komposisi Majelis untuk memeriksa perkara tersebut. Akan tetapi perlu disadari, KUHAP sendiri tidak memberikan parameter “Pembuktian yang Sederhana” yang berakibat hampir seluruh perkara oleh Penuntut Umum dilimpahkan dengan acara biasa walaupun perkara tersebut (apabila dikaji) dapat diperiksa secara singkat dengan hakim tunggal. Kondisi tersebut tergambarkan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Periode 2020-2023: PERBANDINGAN JENIS PERKARA BIASA DAN SINGKAT BERDASARKAN LAPORAN TAHUNAN MAHKAMAH AGUNG PERIODE 2020-2023 TAHUN JUMLAH PERKARA PIDANA BIASA JUMLAH PERKARA PIDANA SINGKAT PERSENTASE PERBANDINGAN PIDANA BIASA DENGAN PIDANA SINGKAT 2020 134.344** 454 0,336% * 2021 123.352** 190 0,1537% * 2022 119.109** 100 0,839% * 2023 117.773** 57 0,0484% *   *PERSENTASE PERKARA PIDANA SINGKAT DIBAWAH 1% DIBANDINGKAN PERKARA PIDANA BIASA **5 (LIMA) PERKARA MENDOMINASI ANTARA LAIN TINDAK PIDANA NARKOTIKA, PENCURIAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGGELAPAN, PENGANIAYAAN YANG JIKA DITELITI DAPAT DISELESAIKAN MELALUI ACARA SINGKAT Kondisi diatas memberikan beban kerja lebih kepada para hakim karena rata-rata beban per hakim adalah jumlah rasio perkara bagi setiap hakim dikalikan 3 (tiga). Karena persidangan dilakukan dengan majelis, setiap perkara didistribusikan kepada tiga orang hakim. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU tersebut memberikan wewenang pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai sulit tidaknya pembuktian sehingga suatu perkara dapat ditangani oleh Hakim Tunggal atau Majelis. Penerapan Hakim Tunggal juga pernah diterapkan berdasarkan SEMA 4/1984 tentang Sidang-Sidang dengan Hakim Tunggal yaitu pemberian izin sidang dengan hakim tunggal kecuali perkara tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi dan tindak pidana yang menarik perhatian publik;Perbandingan kondisi tersebut mendorong penulis mengkaji parameter “Pembuktian yang Sederhana”. Melalui metode kajian 200 (dua ratus) putusan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Surabaya, perbandingan dengan RKUHAP dan perbandingan peraturan dengan negara lain, maka didapat parameter sebagai berikut:Jenis perkara mayoritas atau mendominasi di suatu daerah (seperti perkara senjata tajam, pencurian, penganiayaan, penipuan, pengedaran sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan, kecuali narkotika). Tiap daerah mempunyai jenis perkara mayoritas, misalnya di Pengadilan Tinggi Surabaya adalah perkara tindak pidana kesehatan (sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan secara ilegal) dan perjudian sedangkan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin adalah perkara senjata tajam dan penganiayaan;Putusan terhadap perkara-perkara tersebut, rata-rata dibawah 2 (dua) tahun atau pidana bersyarat. Bandingkan dengan syarat Pemeriksaan Singkat pada RKUHAP yaitu Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun;Terdakwa mengakui perbuatannya atau tertangkap tangan;Perkara diselesaikan dalam waktu kurang dari 1,5 (satu setengah) bulan;Dakwaan tunggal atau alternatif;Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya (Pengakuan dari Keterangan Terdakwa) dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi. Artinya, jumlah Saksi yang diperiksa tidak lebih dari 2-3 (tiga) orang;Jenis Perkara tersebut rata-rata (secara persentase) tidak diajukan upaya hukum;Bukan perkara yang menarik perhatian publik;Parameter tersebut dapat dituangkan dalam SEMA atau lebih teknis dapat diatur pada RPERMA tentang Pedoman Acara Singkat. Apa filosofinya? Kata “Sederhana” hanya ditemukan pada Pemeriksaan Acara Singkat padahal “Sederhana” merupakan asas utama dalam pemeriksaan akan tetapi tidak ada pasal pengaturan yang mewujudkan asas tersebut lebih konkret. Asas peradilan sederhana diatur secara tegas dan lebih jelas dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “sederhana” yang berada di paling depan dibandingkan frasa “cepat” dan “biaya ringan” menjadi penekanan bahwa alur proses peradilan mengarah pada prinsip kerja yang efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.Bagaimana teknis pengaturannya? Pada RPERMA, diatur tiap pengadilan memberikan laporan kepada Pengadilan Tinggi terkait perkara-perkara yang mendominasi daerah tersebut dan memenuhi parameter diatas, lalu Pengadilan Tinggi memberikan persetujuan bahwa terhadap perkara-perkara tersebut dapat diadili dengan Hakim Tunggal. Ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk Hakim Tunggal, juga memperhatikan pengalaman hakim tersebut khususnya dalam memeriksa kasus serupa. Pemeriksaan dapat menyesuaikan, artinya Hakim dapat berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri, apabila khusus dalam pembuktian saksi memerlukan pemeriksaan secara majelis, sedangkan terkait dakwaan, tuntutan, pembelaan dan putusan tetap dilakukan oleh hakim tunggal. Pemeriksaan juga memperhatikan pengakuan Terdakwa setelah pembacaan dakwaan. Pasal 199 RKUHAP menentukan, “Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, Terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.”  Terakhir, diatur juga mengenai proses pembuktian dan format putusan yang lebih sederhana. Berdasarkan parameter diatas, maka penerapan pemeriksaan acara singkat sebagai penerapan asas contante justice dapat berkorelasi positif secara faktual dengan beban kerja hakim di Indonesia, karena pemeriksaan acara tersebut dapat dilakukan dengan hakim tunggal bukan majelis. Oleh sebab itu, Penulis berharap bahwa RPERMA dapat memberikan dampak positif dan langkah yang tepat untuk mengurangi beban kerja hakim khususnya dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan, mengurangi antrian atau penundaan sidang di Pengadilan kelas IB / IA karena seringkali salah satu hakim yang memeriksa sedang berhalangan atau memeriksa perkara lain. Terakhir, RPERMA dapat menjadi salah satu jalan konkret perwujudan asas utama dalam peradilan yaitu Cepat dan Sederhana. (FAC Rd, LDR)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Ponorogo

Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

article | Opini | 2025-03-11 17:00:33

PengantarSeorang hakim bukan hanya sekadar profesi Yang Mulia, tetapi sebuah amanah moral dan spiritual yang mengemban tugas suci dalam menegakkan keadilan. Di dalam sistem hukum modern, hakim terikat oleh kode etik yang mengatur integritas, independensi, hingga profesionalitasnya. Namun, jika kita melihat lebih dalam melalui perspektif agama Hindu, konsep etika hakim dapat diperkaya dengan tiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu Tattwa (filsafat kebenaran), Etika (susila dan moralitas), dan Upacara (ritual dan pengabdian).Dalam agama Hindu, tugas seorang hakim dapat disamakan dengan peran seorang Dharmaraja, yang bertugas menegakkan hukum berdasarkan dharma (kebenaran dan keadilan). Seperti yang dicontohkan dalam kisah Raja Yudhistira dalam Mahabharata, seorang pemimpin harus menjunjung tinggi kebenaran dan tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi. Hakim yang bertindak sesuai dengan prinsip agama Hindu tidak hanya melaksanakan hukum positif, tetapi juga menyeimbangkan hukum dengan kebijaksanaan dan nilai-nilai dharma.Pembahasan1. Tattwa: Hakim dan Hakikat KebenaranDalam agama Hindu, Tattwa merupakan dasar filsafat yang mengajarkan tentang hakikat kebenaran dan realitas. Dalam konteks profesi hakim, hal ini berarti seorang hakim harus mampu memahami esensi dari keadilan itu sendiri. Bhagavad Gita (Bab 4. Sloka 7-8) menegaskan bahwa Tuhan akan selalu hadir untuk menegakkan dharma dan melenyapkan adharma (ketidakadilan). Dengan demikian, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus memiliki kesadaran spiritual bahwa setiap keputusan yang ia buat harus berlandaskan pada kebenaran sejati, bukan sekadar aturan hukum tertulis.Dalam sistem peradilan modern, seorang hakim sering dihadapkan pada dilema antara hukum positif dan nilai keadilan yang lebih tinggi. Agama Hindu mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya bersifat legalistik, tetapi juga moral dan kosmis. Oleh karena itu, seorang hakim yang memahami Tattwa akan selalu mencari keseimbangan antara aturan dan hati nurani dalam menjatuhkan putusan.2. Susila: Kode Etik Hakim dan Moralitas Agama HinduKonsep Etika dan Susila dalam agama Hindu mengacu pada standar moral yang harus dijalankan oleh setiap individu, terutama mereka yang memegang posisi penting dalam masyarakat. Seorang hakim dituntut untuk memiliki karakter yang jujur (Satya), tidak memihak (Nyaya), tanpa kekerasan (Ahimsa), dan penuh kebijaksanaan (Viveka).Dalam Manusmṛti atau dikenal dengan Manawa Dharmasastra, kitab hukum agama Hindu tertua, disebutkan bahwa seorang hakim atau raja yang memutuskan perkara dengan tidak adil akan mengalami penderitaan dalam kehidupannya maupun setelah kematian. Sloka VIII-18 dalam Manawa Dharmasastra menyebutkan: “Keputusan yang salah karena ketidakadilan oleh hakim, seperempat bagian dari kesalahan menimpa yang melakukan kejahatan, seperempat bagian kepada yang memberikan kesaksian palsu, seperempat bagian kepada semua hakim, seperempat bagian kepada raja (kepala negara)”. Ini selaras dengan prinsip kode etik hakim yang menekankan pentingnya kejujuran, integritas, berdisiplin tinggi dan profesional agar hakim terhindar dari kesalahan dalam mengambil putusan.Jika dikaitkan dengan profesi hakim saat ini, prinsip Etika menegaskan bahwa seorang hakim tidak boleh: 1) Memihak dalam suatu perkara karena tekanan politik atau ekonomi; 2) Menerima suap atau gratifikasi yang dapat memengaruhi putusan; dan 3) Menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Seorang hakim yang berpegang pada Etika akan menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah laku spiritual, di mana setiap keputusan yang dibuat adalah bentuk persembahan kepada kebenaran itu sendiri.3. Upacara: Ritual dan Pengabdian sebagai HakimBagian terakhir dari tiga kerangka agama Hindu adalah Upacara, yang mencerminkan bentuk pengabdian dan ritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks hakim, Upacara bisa dimaknai sebagai disiplin, dedikasi, dan keterikatan pada tugas dengan penuh kesadaran.Dalam tradisi agama Hindu, seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan benar dianggap sedang melakukan Yadnya, yaitu pengorbanan suci tulus ikhlas untuk kesejahteraan banyak orang. Seorang hakim yang menjunjung tinggi kode etik dan menjalankan tugasnya tanpa pamrih juga dapat dikategorikan sebagai Yadnya dalam bentuk keadilan.Pengabdian seorang hakim tidak hanya terbatas pada ruang sidang, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya. Dalam Bhagavad Gita (Bab 3 Sloka 21), yang menyebutkan “Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia”. Laksana Krisna mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi contoh moral bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus menjaga kehormatannya, baik dalam tugasnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Sebuah putusan hukum yang dibuat dengan kesadaran spiritual akan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar menyelesaikan perkara.KesimpulanKode etik hakim dalam perspektif agama Hindu bukan sekadar seperangkat aturan yang mengatur perilaku profesional, tetapi merupakan bagian dari jalan Dharma yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Melalui Tattwa, seorang hakim memahami bahwa hukum bukan sekadar aturan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang lebih dalam. Dengan Etika, hakim menjunjung tinggi moralitas dan tidak terjebak hanya dalam kepentingan duniawi. Sementara Upacara menegaskan bahwa profesi ini adalah bentuk pengabdian yang harus dijalankan dengan disiplin dan penuh rasa tanggung jawab.Dalam dunia yang semakin kompleks dan dinamis, nilai-nilai agama Hindu ini dapat menjadi pedoman bagi para hakim untuk tetap berada di jalur kebenaran dan keadilan. Seorang hakim yang bekerja dengan kesadaran Dharma bukan hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga penjaga keseimbangan moral dan spiritual dalam masyarakat. Dengan demikian, keadilan yang ditegakkan bukan hanya berlaku di dunia ini, tetapi juga sejalan dengan hukum kosmis yang mengatur semesta. IKAW

Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi

article | Opini | 2025-03-11 11:00:43

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan fundamental dalam sistem peradilan di Indonesia. Langkah monumental diluncurkan oleh Mahkamah Agung RI berupa implementasi sistem e-Court dan e-Litigation sebagai upaya progresif dalam modernisasi peradilan. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga menerapkan berbagai macam inovasi yang mengandalkan teknologi-informasi untuk meningkatkan profesionalitas, integritas, akuntabilitas serta efektivitas dan efisiensi kinerjanya.Era digital saat ini, Hakim sebagai aparatur inti dari peradilan dituntut memiliki akses dan kompetensi terhadap berbagai macam tools (alat) teknologi-informasi. Sistem kecerdasan buatan atau masyhur disebut dengan Artificial Intelligence (AI) salah satunya.Implementasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia diharapkan bisa diterapkan untuk membantu proses analisis perkara dan hukumnya. Analisis yurisprudensi, deteksi terhadap pola dalam perkara-perkara yang sama, dan automasi tugas-tugas administratif peradilan bahkan prediksi putusan pengadilan. Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective, mengemukakan tentang komponen sistem hukum. Substansi hukum menjadi salah satunya yang mencakup penerapan isi, aturan, norma, dan prinsip-prinsip hukum berikut pertimbangan nurani dalam proses peradilan, khususnya sebuah putusan merupakan bagian penting dari peran Hakim. Hal itu tidak mungkin digantikan oleh siapa pun, apalagi sebuah mesin bahkan super-computer sekalipun.Putusan seorang Hakim tidak bisa didasarkan pada analisis komputasi algoritma semata, mengingat kompleksitas faktor sosial, budaya, dan kemanusiaan yang pasti melekat erat dalam setiap perkara. Oleh karena itu, di tengah kemudahan yang ditawarkan teknologi tersebut, muncul beberapa pertanyaan krusial bagi seorang Hakim yang juga seorang manusia tentang bagaimana mendudukkan peran teknologi AI dalam dunia peradilan khususnya bagi Hakim, peran nurani seorang Hakim dalam menyusun pertimbangan putusan khususnya di era serba digital ini, dan menyeimbangkan penggunaan teknologi AI dengan hati nurani dalam menyusun pertimbangan hukum suatu putusan. Peran Teknologi AI dalam Pertimbangan Hukum Putusan HakimTeknologi telah menghadirkan dimensi baru dalam proses pertimbangan hukum oleh para Hakim di Indonesia. Menurut Aharon Barak dalam bukunya Judicial Discretion, pertimbangan hukum Hakim merupakan kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk membuat pilihan diantara sejumlah alternatif yang masing-masing sah secara hukum. Dalam konteks era digital, teknologi berperan sebagai tools (alat) pendukung yang dapat memperkaya wawasan dan perspektif Hakim dalam menganalisis perkara.Richard Susskind dalam karyanya Online Courts and the Future of Justice, mengemukakan bahwa teknologi dalam peradilan modern berfungsi dalam tiga dimensi:Sebagai support system untuk analisis hukum;Sebagai basis data untuk penelusuran yurisprudensi; danSebagai alat prediktif untuk mengidentifikasi pola putusan.Penulis sendiri sudah mencoba memanfaatkan kemampuan teknologi AI untuk mengolah data berupa teks atau skrip dalam Berita Acara Sidang, menganalisis sebuah dakwaan, gugatan, dan permohonan. Selain itu, penulis pernah mencoba menganalisis konsistensi penerapan hukum dalam sebuah putusan, memahami pola-pola dalam perkara serupa, dan mencoba merumuskan fakta-fakta hukum dalam sebuah putusan.Sistem kecerdasan buatan benar-benar memudahkan manajemen dokumen elektronik juga memudahkan Hakim dalam mengorganisir berkas-berkas perkara, memungkinkan akses cepat terhadap informasi yang diperlukan dalam proses pengambilan pertimbangan dalam sebuah putusan.Hal ini sejalan dengan pendapat Richard Susskind dalam karyanya tentang Transformasi Hukum Di Era Digital yang menegaskan bahwa teknologi tidak hanya mengubah cara kerja praktisi hukum, tetapi juga mempengaruhi substansi dari praktik hukum itu sendiri. Namun dalam hal ini penulis menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi AI ini juga dapat menimbulkan tantangan dan risiko pengabaian terhadap aspek-aspek kualitatif yang tidak dapat diukur secara digital dan bahkan berpotensi munculnya dehumanisasi dalam peran seorang Hakim. Peran Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan Hakim di Era DigitalManusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang digelari sebagai aḥsani taqwīm (QS. at-Tin: 4 ) yang bermakna sebaik-baik bentuk dibekali nurani yang secara otentik menunjukkan jati diri dan potensi kebaikannya. Dalam penciptaannya, manusia diberi kemampuan akal dan hati untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk. Nurani ini merupakan instrumen penting dari fitrah manusia (kecenderungan pada kebaikan), yang membimbingnya untuk menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.Dalam konteks peran atau profesi seorang Hakim, nurani menjadi kompas moral yang tidak tergantikan khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar dalam karyanya yang berjudul Hati Nurani Hakim dan Putusannya, "Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dengan menggunakan hati nurani." Sementara itu, J.A. Pontier (2008: 94) berpendapat, nurani hakim berperan sebagai ultimate guidance yang memungkinkannya untuk melihat kearifan dan kebijaksanaan di balik formalitas hukum dan menemukan keadilan yang substantif.Di era digital yang sarat dengan kemajuan teknologi terutama AI atau kecerdasan buatan tersebut, peran nurani menjadi semakin vital sebagai penyeimbang dari kecenderungan mekanistik layaknya sistem komputer dan mesin-mesin industri. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, "Hukum bukan hanya urusan logika dan pasal-pasal peraturan, tetapi juga urusan nurani dan kepekaan sosial (2009: 67). Hal ini sejalan dengan pandangan Artidjo Alkostar yang menegaskan bahwa, "putusan hakim harus mencerminkan perpaduan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan kepekaan nurani (conscience sensitivity)” (Varia Peradilan 2009: Vol 48).Peran nurani dalam pertimbangan hukum putusan hakim di era digital merupakan aspek fundamental yang tidak tergantikan oleh kemajuan teknologi secanggih apa pun. Nurani, sebagai anugerah Ilahi yang melekat dalam fitrah manusia termasuk seorang hakim, menjadi instrumen vital dalam mewujudkan keadilan substantif yang melampaui sekadar kalkulasi algoritmik. Harmonisasi Teknologi AI dan Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan HakimDalam rangka mencapai keseimbangan pemanfaatan antara teknologi dan nurani dalam pertimbangan hukum putusan Hakim, diperlukan berbagai langkah strategis dan sistematis. Menurut Ethan Katsh (Digital Justice: Technology and the Internet of Disputes: 2017), terdapat tiga aspek fundamental yang harus diperhatikan, peningkatan kapasitas hakim dalam literasi digital, pengembangan framework etis penggunaan teknologi, dan evaluasi berkala terhadap dampak implementasi teknologi dalam sistem peradilan.Dalam praktik penggunaan teknologi khususnya AI di pengadilan Eropa, Komisi Efisiensi Kehakiman (CEPEJ) dari Dewan Eropa telah mengembangkan lima prinsip etis fundamental yang diadopsi pada Desember 2018. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:Penghormatan terhadap hak-hak fundamental, yang menekankan bahwa desain dan implementasi layanan AI harus sejalan dengan hak-hak dasar seperti privasi dan peradilan yang adil;Perlakuan yang setara, yang mengharuskan penghindaran diskriminasi antar individu atau kelompok;Keamanan data, yang mewajibkan penggunaan sumber dan data tersertifikasi dalam lingkungan teknologi yang aman;Transparansi, yang mengharuskan metode pemrosesan data dapat diaudit dan diakses publik; danKontrol pengguna atas AI, yang menegaskan bahwa algoritma tidak boleh bersifat preskriptif dan pengguna harus memiliki kemampuan untuk menyimpang dari hasil algoritma.Hal di atas mengindikasikan bahwa peran nurani seorang Hakim tetap diperlukan dalam menilai hasil analisis atau rekomendasi dari AI untuk memastikan bahwa teknologi hanya berfungsi sebagai alat bantu dan bukan sebagai pengganti keputusan akhir yang tetap berada di tangan manusia. Sejalan dengan pendapat Dory Reiling (dikutip dari artikel Sobandi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Paradigma Disrupsi Dalam Dunia Peradilan Indonesia: 2023) “Artificial Intelligence (AI) mampu membantu individu, pihak yang berperkara, dan hakim dalam mengatur informasi namun AI tidak dapat menggantikan peran hakim karena hakikatnya AI hanya dapat membantu dalam memberikan nasehat dan saran saja.” Dengan demikian teknologi AI idealnya diposisikan sebagai "alat bantu” atau “pendamping" yang membantu Hakim dalam memahami dan mengolah data secara lebih efisien, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasari hukum.Selain itu, perlu adanya pengawasan terhadap hasil analisis yang dikerjakan oleh teknologi AI untuk mencegah ketergantungan penuh pada teknologi yang berpotensi mengandung bias atau keterbatasan tertentu yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, pemanfaatan AI dalam proses hukum dapat tetap menghormati tanggung jawab moral dan nurani yang melekat pada peran seorang Hakim.Keseimbangan pemanfaatan teknologi AI dan nurani manusia diharapkan akan memudahkan kinerja Hakim khususnya dalam membuat pertimbangan hukum sebuah putusan pada setiap perkara. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa pemanfaatan teknologi tidak boleh mengesampingkan nurani. Mengutip ungkapan populis dari Satjipto Rahardjo (Membedah Hukum Progresif: 2008), "Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani hukum". Oleh karena itu, jika penulis boleh berpendapat dengan mengutip ungkapan Prof. Tjip di atas, “Teknologi juga adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Teknologi bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani teknologi”. Jika hal tersebut—manusia (Hakim) melayani teknologi—sampai terjadi, maka yang akan timbul justru dehumanisasi keadilan. Integrasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia perlu diimbangi dengan tetap menjaga peran nurani manusia, khususnya bagi seorang Hakim dalam membuat keputusan yang adil dan bijaksana. Hakim bukan hanya sekadar corong undang-undang, tetapi juga penjaga nilai-nilai keadilan yang berperan penting dalam melindungi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat luas. Keputusan akhir harus tetap berada di tangan Hakim, sementara teknologi digunakan sebagai alat bantu untuk memberikan informasi atau analisis pendukung, bukan sebagai pengganti pertimbangan nurani seorang manusia. Dengan cara ini, penulis berpendapat keadilan digital dan substansial dapat tercapai dengan tidak hanya mengedepankan efisiensi kinerja tetapi juga tetap mengedepankan aspek kemanusiaan yang esensial dalam hukum. (LDR,SEG)

Analogi Dalam Putusan Pidana, Apakah Terobosan Atau Kemunduran Hukum ?

article | Opini | 2025-03-09 16:00:39

Putusan hakim merupakan mahkotanya hakim. Putusan hakim adalah produk kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh hakim sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa atau perkara di tingkat pengadilan. Hakim wajib menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit). Selain itu, dalam membuat putusan, hakim juga dituntut memiliki kemampuan intelektual, moral, dan integritas yang tinggi.Masyarakat pencari keadilan (Yustitiabelen) berharap bahwa pengadilan menjadi pihak yang netral dan mampu bersikap independen, sehingga menghasilkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan profesional. Putusan hakim harus disertai dengan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam bahasa hukum, pertimbangan yang memuat alasan-alasan faktual dan dasar hukum dari putusan itu disebut motivering.Putusan pengadilan juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Selain itu,pertimbangan hendaknya memuat aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selanjutnya penulis menyampaikan opininya tentang bagaimana pertimbangan putusan hakim yang ideal dalam berbagai perspektif perkara yang beragam. Contoh saja Hakim legendaris Bismar Siregar pernah menggunakan penafsiran analogi dalam putusannya. Pada saat itu terdakwa MR Sidabutar terbukti melakukan tindak pidana pencurian. Amar putusan Bismar juga menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Yang membuat putusan Bismar mencuat adalah analogi alat kelamin perempuan sebagai barang, atau bonda dalam bahasa Tapanuli.Sidharta berpendapat agar suatu putusan dikatakan baik harus diterima di empat komunitas, yaitu komunitas peradilan, komunitas ahli hukum, komunitas masyarakat umum, dan komunitas para pihak. Faktanya, tak semua komunitas itu menerima putusan Bismar. MA bahkan kemudian membatalkannya.Dalam ilmu penafsiran hukum, mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-undangan dikenal dengan konstruksi hukum dan interpretasi (penafsiran). Konstruksi (rekayasa) Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi (rekayasa hukum) terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu analogi (abstraksi), determinasi (penghalusan hukum) dan argumentasi a contrario.Akan tetapi dalam melakukan konstruksi hukum dan interpretasi hukum tersebut  perlu diperhatikan kepastian hukum yang berdasarkan kepada hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak menjadi perluasan makna dalam konteks undang-undang sehingga bisa menjadikan putusan hakim berlandaskan pada pemikiran subyektif  saja.Menariknya bagaimana putusan Pengadilan itu untuk dikaji, apakah yang dilakukan hakim itu termasuk penafsiran atau perluasan, karena dalam penafsiran dan penemuan hukum tetap ada batasan-batasannya.Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah Majelis Hakim sebagai poros utamanya. Majelis Hakim memegang peranan sentral dalam membuat putusan atas memutus sengketa yang sedang ditanganinya. Implementasi hukum dalam putusan Majelis Hakim mengacu pada kerangka pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori hukum (legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing  Majelis Hakim menyusun putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Dalam mengambil putusan, masing-masing Hakim mempunyai hak yang sama dalam melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar. Pertama, tahap konstatir. Mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut. Mengkonstatir berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, membenarkan, telah terjadinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan, yang didasarkan alat bukti pembuktian.Proses pembuktian dimulai meletakkan beban bukti yang tepat, kepada siapa beban bukti ditimpakan. Menilai alat bukti yang diajukan, apakah alat bukti tersebut memenuhi syarat formil, syarat materil, memenuhi batas minimal bukti serta mempunyai nilai kekuatan pembuktian.Menentukan terbukti atau tidak/dalil peristiwa yang diajukan. Bagi Hakim yang penting fakta peristiwa, bukan hukumnya. Pembuktian adalah ruh bagi putusan Hakim.Kedua, tahap kualifisir. Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Peristiwa yang telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir ituKetiga, tahap konstituir. Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui seorang Hakim untuk membuat putusan di atas (konstatir, kualifisir dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai pertimbangan hukum suatu putusan, maka dapat disimpulkan apabila Hakim tidak melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tahap konstatir,  karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir, karena tidak menyimpulkan mana fakta hukum yang terbukti dan apa saja dasar hukum yang berkaitan dengan pokok perkara. Ketidak berhasilan pada dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan ketidak berhasilan dalam dalam menjatuhkan putusan yang merupakan tahap konstituir ini.Bahwa Sudikno memberikan tiga acuan untuk menyelesaikan perkara yang ditangani hakim hal ini sebagai rujukan mereka dalam mengadili dan memutus perkara, diantaranya adalah yurisprudensi, landmark Decision, dan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.KesimpulanMayoritas para ahli ilmu hukum menentang analogi, hanya beberapa gelintir saja yang berani terang-terangan menerimanya,Penulis tidak sepakat dengan larangan menggunakan analogi, tetapi membenarkan analogi dengan catatan hakimnya harus kompeten dan berintegritas seperti Bismar Siregar yang tujuan untuk menemukan hukum (recht vinding). Jika hakimnya memang tidak mampu untuk beranalogi, maka ia masih bisa menggunakan interpretasi untuk menemukan hukumnya tanpa memperluas tafsirannya.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (FAC)Literatur:C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I Pengantar Ilmu Hukum (Semester Ganjil), Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Mochtar Kusumaatmadja dan Arip B. Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. *Eliyas Eko Setyo (Hakim PN Sampang)

Vigilantisme dalam Kejahatan Jalanan Klitih

article | Opini | 2025-03-09 12:15:03

Kejahatan jalanan klitih bagi sebagian orang adalah hal yang sangat familiar. Namun, tidak sedikit pula orang yang tidak mengetahui apa itu kejahatan jalanan klitih. Kejahatan jalanan klitih merupakan kejahatan jalanan yang marak terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan sudah mulai berkembang ke daerah lain. Terdapat empat ciri khas kejahatan jalanan klitih yaitu adanya penganiayaan fisik, dilakukan secara berkelompok, tanpa motif yang jelas, dan korban bersifat acak (Sarmini, Kurniyatuti, & Sukartiningsih, 2018; Sarwono, 2019; Winarno, 2020; Zainuri, Yanto, & Hartanti, 2020; Dwitama, Liestyasari, & Pranawa, 2021; Harahap & Sulhin, 2022). Sesuai dengan namanya sebagai kejahatan jalanan, klitih merupakan kejahatan yang dilakukan di jalan. Klitih sendiri mengalami pergeseran makna dari yang semula berarti berjalan-jalan di sore hari menjadi tindakan yang memuat unsur pidana dengan adanya kejahatan. Hal ini yang mendasari himbauan untuk tidak lagi menyebut klitih pada kejahatan yang terjadi di jalanan oleh sekelompok orang tersebut. Kini klitih disebut dengan kejahatan jalanan. Sesuai dengan tindak pidananya, kejahatan jalanan klitih dapat termasuk ke penganiayaan, pengeroyokan, maupun tindak pidana senjata api atau benda tajam. Hal yang membedakan kejahatan jalanan klitih dengan kejahatan lainnya adalah kejahatan tersebut dilakukan di jalan. Dalam tulisan ini, klitih disebut dengan kejahatan jalanan klitih untuk mengerucutkan klitih sebagai sebuah tindak kejahatan.Pada tahun 2023 terdapat 84 laporan kasus kejahatan jalanan klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Yogyakarta. Dari 84 kasus tersebut terdapat 71 pelaku dewasa dan 76 pelaku anak. Kejahatan jalanan klitih kerap disangkutkan dengan geng sekolah. Akan tetapi, kejahatan jalanan klitih berbeda dengan tawuran antar geng sekolah. Korban dari kejahatan jalanan klitih tidak ditentukan targetnya. Kondisi ini menyebabkan siapa saja dapat menjadi korban kejahatan jalanan klitih. Anak-anak, dewasa, laki-laki, atau perempuan semuanya memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi korban kejahatan jalanan klitih. Bahkan kejahatan jalanan klitih yang semula sering terjadi di malam hari pun kini dapat terjadi di siang hari. Berita kejahatan jalanan klitih cukup sering dimuat dalam akun media sosial seperti di Instagram @merapi_uncover atau grup komunitas Facebook seperti Info Cegatan Jogja. Info kejahatan jalanan klitih disampaikan oleh anggota dari komunitas media sosial. Dari info di media sosial tersebut dapat diketahui bahwa penganiayaan fisik yang dilakukan oleh pelaku kejahatan jalanan klitih dilakukan dengan melukai korbannya menggunakan senjata tajam seperti pedang, celurit, pisau, pecahan botol, bahkan gir sepeda motor. Dengan persiapan senjata tajam seperti itu, dapat dikatakan bahwa pelaku kejahatan jalanan klitih memang telah memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Tidak hanya menyebabkan korbannya terluka, terdapat pula korban kejahatan jalanan klitih yang meninggal dunia. Kejahatan jalanan klitih sudah ada sejak lama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan semakin meresahkan.Setiap unggahan yang memuat berita tertangkapnya pelaku kejahatan jalanan klitih oleh warga, sering terdapat komentar dengan emosi marah dan menginginkan pelaku kejahatan jalanan klitih tersebut untuk dihajar saja. Vigilantisme atau tindakan main hakim sendiri muncul ketika terdapat keyakinan bahwa hanya dengan bersikap main hakim sendiri maka masyarakat akan terlindungi (Spencer, 2020). Masyarakat meyakini dengan memperlakukan pelaku kejahatan jalanan klitih sama seperti apa yang pelaku lakukan terhadap korbannya akan menimbulkan trauma sehingga pelaku akan jera. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan jalanan klitih tidak mengulangi perbuatannya setelah “dihajar” oleh masyarakat. Akan tetapi, keinginan untuk main hakim sendiri tentu saja tidak sesuai dengan hukum di Indonesia. Lantas mengapa masyarakat ingin melakukan tindakan main hakim sendiri untuk mengatasi pelaku kejahatan jalanan klitih?Keinginan masyarakat untuk melakukan tindakan vigilantisme pada pelaku kejahatan jalanan klitih menjadi pertanda bahwa terdapat keraguan masyarakat pada Aparat Penegak Hukum dalam menangani pelaku kejahatan jalanan klitih. Kondisi ini ditunjukkan dengan komentar-komentar masyarakat di media sosial terkait kejahatan jalanan klitih. Terdapat pula komentar masyarakat yang menginginkan pelaku kejahatan jalanan klitih untuk dihukum hingga jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Keinginan masyarakat atas hukuman yang membuat jera pelaku kejahatan jalanan klitih tersebut dianggap belum dipenuhi oleh Aparat Penegak Hukum sehingga mereka meyakini cara membuat pelaku kejahatan jalanan klitih agar jera adalah dengan balas memberikan kekerasan fisik. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan serius, tentu dapat mendorong terjadinya chaos di masyarakat.Tidak peduli apakah vigilantisme bermanfaat dalam membuat pelaku kejahatan jalanan klitih jera atau tidak, sebagai negara hukum, vigilantisme tentu tidak dibenarkan. Tanggung jawab penyelesaian kasus kejahatan jalanan klitih tentu saja tidak hanya dibebankan pada Aparat Penegak Hukum. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga bertanggung jawab dalam menghentikan kasus kejahatan jalanan klitih. Dibutuhkan kolaborasi lembaga eksekutif sebagai pelaksana upaya preventif dan lembaga yudikatif sebagai pihak yang mengadili pelaku kejahatan jalanan klitih. (FAC)*Alfi Pangestuti (Operator – Penata Layanan Operasional Pengadilan Negeri Purwokerto)Referensi:Dwitama, M. R., Liestyasari, S. I., & Pranawa, S. (2021). Pola Interaksi Geng "Klitih" di Yogyakarta. Jurnal Studi Masyarakat dan Pendidikan Volume 5, Nomor 1, 1-10.Harahap, C. B., & Sulhin, I. (2022). Pengendalian Kejahatan pada Sub-Kebudayaan Geng Klitih (Dalam Paradigma Kriminologi Budaya). Deviance Jurnal Kriminologi, 86-102.Sarmini, Kurniyatuti, N., & Sukartiningsih, S. (2018). Klithih: Invisible Crime by Teenagers. Advances in Social Science, Education and Humanities Research Vol. 226, 1578-1582.Sarwono, R. B. (2019). Menelisik Dorongan Agresi Para Pelajar Pelaku "Klithih" di Yogyakarta. Solution, Journal of Conseling and Personal Development Vol. 1 No. 1, 58-70.Spencer, L. (2020). The Role of Identify in Vigilantism & State Involvement: Explored in Khayelitsha, South Africa. Australian Review of African Studies, 123-146.Winarno, E. (2020). Klithih: Manifestasi Penyimpangan Agresivitas Remaja. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial Vo. 44 No. 1, 21-38.Zainuri, Yanto, & Hartanti. (2020). Tinjauan Kriminologis terhadap Kejahatan Penganiayaan yang Dilakukan oleh Anak (Klithih) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kajian Hasil Penelitian Hukum 3 (2), 351-365.

Tinjauan Etis Pergaulan Seorang Hakim dan Jaminan Keamanan Bagi Dirinya

article | Opini | 2025-03-09 09:30:05

Profesi hakim di Indonesia kini tengah menghadapi tantangan kompleks yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Di satu sisi, seorang hakim dituntut untuk menjaga integritas dan independensi melalui pembatasan pergaulan yang diatur dalam Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun di sisi lain, mereka tetap manusia yang memiliki kebutuhan bersosialisasi dan hak atas rasa aman dalam menjalankan tugasnya. Pertanyaannya, bagaimana menyeimbangkan kedua aspek ini tanpa mengorbankan salah satunya?Realitas menunjukkan bahwa hakim di Indonesia kerap menghadapi dilema dalam konteks pergaulan sosial. Sebagai pejabat publik yang memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan keadilan, setiap gerak-gerik para hakim pasti senantiasa akan menjadi sorotan publik. KEPPH yang menjadi pedoman etis bagi hakim memang telah mengatur secara rigid batasan-batasan dalam pergaulan, mulai dari pertemanan hingga hubungan profesional. Namun implementasinya tidaklah sesederhana yang tertulis di atas kertas.Perkembangan teknologi informasi juga tampaknya membuat rumit situasi ini. Media sosial dan kemudahan komunikasi modern membuat batas-batas pergaulan pertemanan menjadi kabur. Seorang hakim bisa saja tanpa sengaja terlibat dalam percakapan atau interaksi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Belum lagi tantangan dalam memisahkan antara kehidupan profesional dan personal, yang kini semakin tipis batasnya.Paradigma "silent corps" yang masih mengakar dalam kultur peradilan Indonesia tersebut dipandang sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika sosial kontemporer. Konsep yang menghendaki hakim untuk ‘diam’ dan meminimalisasi interaksi sosial ini pada praktiknya justru kontraproduktif dengan kebutuhan adaptasi terhadap kompleksitas permasalahan hukum modern. Ketika masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari lembaga peradilan, sikap "membisu" justru dapat menimbulkan kesenjangan pemahaman dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik.Lebih lanjut, doktrin silent corps yang cenderung mengisolasi hakim dari realitas sosial sesungguhnya bertentangan dengan kebutuhan hakim untuk memahami dinamika masyarakat secara komprehensif. Bagaimana mungkin seorang hakim dapat menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat jika ia terisolasi dari realitas sosial itu sendiri? Paradigma ini juga paradoks dengan kebutuhan hakim untuk membangun sistem deteksi dini terhadap ancaman keamanan yang justru mengharuskan dirinya untuk membangun jejaring sosial yang sehat.Di era keterbukaan informasi dan media sosial, konsep silent corps perlu ditafsirkan ulang secara lebih kontekstual. Yang dibutuhkan bukanlah keheningan total, melainkan kearifan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di kehidupan sosial. Hakim modern dituntut untuk mampu mengelola pergaulan sosial secara proporsional, bukan menghindarinya sama sekali. Mereka perlu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara keterbukaan yang konstruktif dan pergaulan yang berpotensi mengganggu independensi.Berbicara tentang keamanan, fenomena ancaman terhadap hakim bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa kasus intimidasi, ancaman fisik, hingga teror terhadap hakim dan keluarganya telah menciptakan kekhawatiran yang valid. Kondisi ini tentu berpengaruh signifikan terhadap independensi dan objektivitas hakim dalam pengambilan putusan. Seorang hakim yang merasa terancam, secara sadar atau tidak, pasti akan terpengaruh dalam mengambil keputusan.Menariknya, pergaulan dan keamanan hakim sesungguhnya memiliki hubungan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, pembatasan pergaulan yang terlalu ketat dan kaku bisa mengisolasi hakim dari manajemen risiko pekerjaannya melalui sistem peringatan dini yang berbasis pada komunitas masyarakat. Padahal, jaringan sosial yang sehat justru dapat menjadi salah satu instrumen untuk memitigasi ancaman-ancaman potensial terhadap pribadi maupun jabatannya. Di sisi lain, pergaulan yang terlalu longgar dapat membuka celah kebocoran informasi sensitif dan manipulasi yang mengancam keamanan hakim itu sendiri.Lantas, bagaimana solusi yang dapat ditawarkan? Pertama, penulis merasa perlu ada reformulasi sebuah kebijakan yang mengakomodasi keseimbangan antara pembatasan pergaulan dan jaminan keamanan. Kode etik hakim perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan konteks kekinian, terutama terkait pergaulan di era digital. Sistem perlindungan keamanan bagi hakim juga perlu segera direalisasikan dengan mengadopsi teknologi dan protokol keamanan terkini.Kedua, penulis menilai perlu adanya penguatan kapasitas bagi para hakim itu sendiri melalui pelatihan manajemen risiko dan protokol keamanan bagi hakim secara berkala. Para hakim perlu dibekali kemampuan untuk mengenali potensi ancaman sejak dini, sekaligus memahami cara mengelola pergaulan yang aman, sehat tanpa mengorbankan fungsi etis jabatan maupun sosialnya.Ketiga, penulis berpendapat perlu adanya pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai stakeholder. Keamanan hakim bukanlah tanggung jawab institusi peradilan semata, melainkan membutuhkan dukungan dari aparat keamanan, pemerintah, hingga masyarakat sipil dalam hal ini adalah Forkopimda. Sistem pengamanan partisipatif yang melibatkan Forkopimda dapat digalakkan demi memberikan perlindungan keamanan bagi hakim, namun dengan tetap menjaga independensi peradilan.Akhirnya, harus dipahami bahwa pergaulan hakim dalam tinjauan etis demi jaminan keamanan pribadi maupun jabatannya bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya, seperti dua sisi mata uang, yang justru harus dilihat sebagai elemen yang saling melengkapi dalam menciptakan sistem peradilan yang sehat. Pembatasan pergaulan seharusnya tidak mengorbankan aspek keamanan, dan sebaliknya, jaminan keamanan tidak boleh membatasi secara berlebihan hak hakim untuk bersosialisasi secara wajar.Tantangan ke depan adalah menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kedua aspek tersebut. Diperlukan komitmen bersama terutama para pimpinan Mahkamah Agung RI untuk menciptakan ekosistem yang mendukung hakim dalam menjalankan tugasnya secara independen, namun tetap terlindungi keamanan dan keselamatannya. Hanya dengan demikian, menurut penulis, marwah dan wibawa peradilan dapat terjaga, dan keadilan dapat ditegakkan tanpa adanya rasa takut terhadap apa pun. (FAC)*John Malvino Seda Noa Wea (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Putussibau)

Nebis In Idem Dalam Perkara Pidana Perbuatan Berlanjut (Vorgezette Handling)Yang Diajukan Penuntutan Secara Terpisah

article | Opini | 2025-03-05 13:00:58

Ne Bis In Idem merupakan asas hukum, yang mana orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap, dan mengenai prinsip ini telah diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP. Adapun dasar pikiran atau ratio dari asas ini adalah: a. untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan negara); b. untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan (Barda Nawawi Arief: 2012:97).Penerapan Ne Bis In Idem dalam praktik peradilan mengacu pada beberapa syarat. Pertama, harus ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, baik berupa putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), maupun putusan pemidanaan (veroordeling) yang telah melalui tahapan pemeriksaan pokok perkara. Kedua, orang yang diadili dalam perkara sebelumnya haruslah pihak yang sama dengan perkara yang diajukan kembali. Ketiga, perbuatan yang dituntut harus identik dengan perbuatan yang telah diputus sebelumnya.Perlu diketahui, Ne Bis In Idem dalam perkara pidana juga dapat terjadi dalam hal apabila perkara yang termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) namun penuntutan diajukan secara terpisah, sedangkan dari salah satu perkara tersebut telah ada yang diputus oleh Hakim dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) itu sendiri merupakan salah satu bentuk perbarengan tindak pidana (concursus). Dalam konteks perbuatan berlanjut, penerapan asas Ne Bis In Idem menjadi semakin kompleks. Pasal 64 ayat (1) KUHP mengatur bahwa jika seseorang melakukan beberapa perbuatan yang memiliki keterkaitan erat sehingga harus dianggap sebagai satu kesatuan, maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut. Perbuatan berlanjut berbeda dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP. Adapun dalam perbuatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ancaman pidana terberat dari perbuatan yang dilakukan. Sementara itu, dalam concursus realis sistem pemidanaannya adalah absorbsi yang dipertajam, di mana ancaman hukuman tertinggi masih dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana yang berlaku.Perbedaan antara perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan kerap menimbulkan perbedaan penafsiran dalam praktik peradilan. Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketika perkara yang seharusnya dituntut sebagai satu kesatuan dalam perbuatan berlanjut justru diajukan secara terpisah. Hal ini dapat mengakibatkan terdakwa menghadapi tuntutan ganda untuk perbuatan yang secara substansi merupakan satu rangkaian tindak pidana, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan serta bertentangan dengan asas Ne Bis In Idem. Sekilas antara perbuatan berlanjut (vorgezette handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP memang terdapat kemiripan karakteristik yaitu berkaitan dengan ciri “perbarengan beberapa perbuatan”. Namun, perlu menjadi catatan bahwa salah satu karakteristik dalam perbuatan berlanjut adalah perbuatan-perbuatan itu haruslah ada hubungan sedemikian rupa. Terkait dengan “hubungan sedemikian rupa”, MvT telah memberikan tiga kriteria, yaitu: 1. Harus ada suatu keputusan kehendak, 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis, dan 3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.Menilik dari praktik putusan pengadilan, terdapat beberapa putusan pidana baik itu putusan pada tingkat judex fakti dan putusan pada tingkat judex juris berkaitan dengan Ne Bis In Idem dalam perbuatan berlanjut (vorgezette handling) yang diajukan penuntutan secara terpisah, di antaranya:1. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 6/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 15 Januari 2012 dan 16 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor Nomor 5/Pid.B/2012/PN Pky, namun kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 15 Januari 2012. Dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mempertimbangkan bahwa perkara tersebut termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dalam putusannya kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/hapus karena Ne Bis In Idem;2. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 9/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 25 Januari 2012 dan 30 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 25 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 8/Pid.B/2012/PN Pky. Kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 30 Januari 2012.  Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/ hapus karena Ne Bis In Idem;3. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 2/Pid.B/2019/PN Spn;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian dari kurun waktu 20 Maret 2018 sampai dengan 27 Maret 2018, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 27 Maret 2018 tersebut terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 58/Pid.B/2018/PN Spn. Kemudian penuntutan terhadap terdakwa kembali diajukan berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang juga dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 20 Maret 2018. Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem;4. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 7/Pid.Sus/2024/PN Pts;Putusan ini merupakan putusan perkara pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mana terdakwa pada kurun waktu bulan Juni 2023 sampai dengan bulan Agustus tahun 2023, telah melakukan tindak pidana melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia secara perseorangan tanpa izin dari pihak berwenang, atas perbuatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 tersebut terdakwa telah diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kemudian Penuntut Umum kembali mengajukan terdakwa dalam persidangan sehubungan dengan perkara yang serupa terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan pada bulan Juni 2023. Atas hal tersebut kemudian dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mengkualifikasikan bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah merupakan rangkaian perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diadili dan diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts. Sehingga dalam putusannya, kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem. Terhadap putusan tersebut telah dilakukan upaya hukum banding dan pada tingkat banding putusan tingkat pertama telah dikuatkan sebagaimana putusan nomor 142/Pid.Sus/2024/PT Ptk, kemudian pada tingkat kasasi/judex juris melalui putusan Nomor 6975 K/Pid.Sus/2024 Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan pertimbangan yang pada pokoknya putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;Dengan melihat berbagai putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka penuntutan seharusnya dilakukan secara bersamaan dalam satu perkara. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan penerapan hukuman yang berlebihan serta memberikan perlindungan hukum bagi terdakwa dari risiko tuntutan ganda. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep perbuatan berlanjut dan perbedaannya dengan concursus realis menjadi kunci dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penuntutan, aparat penegak hukum perlu menelaah secara cermat hubungan antara setiap perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan, hak-hak terdakwa tetap terlindungi, dan prinsip Ne Bis In Idem dapat diterapkan secara konsisten sesuai dengan asas kepastian hukum.

Menelisik Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian

article | Opini | 2025-03-03 13:20:29

Perceraian tidak hanya mengakhiri hubungan perkawinan antara suami dan istri, tetapi juga membawa implikasi hukum yang signifikan, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah kewajiban nafkah anak yang harus tetap dipenuhi oleh ayah pasca-perceraian. Sayangnya, dalam praktiknya banyak mantan suami yang mengabaikan kewajiban ini, sehingga ibu atau wali anak terpaksa mengajukan gugatan nafkah anak di Pengadilan Negeri untuk memastikan hak anak tetap terpenuhi.Konstitusi dan berbagai peraturan nasional telah menegaskan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pendidikan, dan kesejahteraan anak meskipun telah bercerai. Bahkan, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan, tempat tinggal, serta pendidikan yang memadai meskipun orangtuanya bercerai.Kewajiban orang tua untuk (ayah) tetap memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian juga ditegaskan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa ayah tetap berkewajiban menanggung pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai dengan kemampuannya. Sementara itu, Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memperkuat bahwa orang tua, meskipun telah bercerai, tetap wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, ibu atau wali anak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri agar hak anak tetap terlindungi.Dalam konteks hukum acara, gugatan nafkah anak dapat diajukan baik bersamaan dengan gugatan perceraian maupun sebagai gugatan terpisah jika perceraian telah diputus tetapi ayah tidak menjalankan kewajibannya. Meskipun tidak ada aturan tegas mengenai waktu pengajuan gugatan nafkah anak, yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1020/K/Pdt/1986 tanggal 29 September 1987 menyatakan bahwa tuntutan biaya nafkah harus diajukan secara tersendiri, dan tidak dapat digabung dengan gugatan perceraian.Proses pengajuan gugatan nafkah anak dimulai dengan mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan menyertakan dokumen pendukung seperti salinan putusan cerai, akta kelahiran anak, dan bukti pengeluaran biaya hidup anak maupun bukti penghasilan ayah. Setelah itu, pengadilan akan melakukan pemanggilan para pihak, yang kemudian dilanjutkan dengan proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti dan saksi untuk menentukan besaran nafkah yang harus dibayar oleh ayah sesuai dengan kemampuannya. Jika ayah tidak mematuhi putusan secara sukarela, pengadilan dapat melakukan eksekusi berdasarkan permohonan ibu atau wali anak dengan menyita aset atau memerintahkan pemotongan gaji.Bagi ayah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdapat mekanisme khusus untuk menjamin pembayaran nafkah anak pasca perceraian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyatakan bahwa seorang PNS pria yang bercerai wajib menyerahkan 1/3 dari gajinya kepada mantan istri dan anaknya. Demikian pula, aturan serupa berlaku bagi anggota Polri dan TNI melalui Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017. Dalam Permenpan Nomor 54 Tahun 2018 mewajibkan pranata keuangan (bendahara) melakukan pemotongan hak keuangan PNS yang bercerai supaya terpenuhinya kewajiban nafkah anak sesuai putusan Pengadilan.Bebrapa contoh putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan nafkah anak dengan pertiimbangan Majelis Hakim sebagai berikut:1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 219/Pdt.G/2013/PN Jkt-Sel, dalam amar Putusan, Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak-anak, biaya pendidikan, kesehatan secara terus menertus kepada anak-anaka sebesar lima juta rupiah secara tunai setiap bulannya melalui Penggugat setiap tanggal 01 terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap samapai anak tersebut dewasa dan telah menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya setingkat Universitas. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan besaran biaya nafkah anak dalam perkara dari tuntutan Penggugat sebesar sepuluh juta rupiah menjadi lima juta rupiah ini menyesuaikan dengan penghasilan Tergugat dengan mempertimbangkan kepantasan dan rasa keadilan berdasarkan bukti-bukti surat yang dihadirkan Tergugat seperti Fotocopi slip gaji, Fotokopi harta benda milik Tergugat maupun kewajiban pinjaman Bank yang ditanggung oleh Tergugat.2. Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 4/Pdt.G/2021/PN Pts, dalam amar Putusan, Majelis Hakim memerintahkan kepada Tergugat melalui bendahara kantor Tergugat bekerja untuk melakukan pembagian besaran gaji Tergugat pada setiap bulannya kepada Penggugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya dan anak-anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya. Adapun pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berlaku pemotongan 1/3 (sepertiga) bagian penghasilan PNS yang bercerai oleh bendahara untuk diberikan sebagai nafkah anak.Meskipun berbagai regulasi telah mengatur dengan jelas kewajiban nafkah anak, dalam praktik masih terdapat kendala seperti ketidakpatuhan mantan suami terhadap putusan pengadilan, kesulitan eksekusi bagi ayah yang bekerja di sektor informal dan penghasilan tetap yang tidak mudah untuk ditelusuri, serta kurangnya kesadaran hukum di masyarakat untuk memperjuankan hak nafkah anak melalui jalur hukum. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kebijakan, termasuk penerapan sanksi pidana bagi ayah yang lalai membayar nafkah, seperti yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengancam pidana bagi pelaku penelantaran anak. Sebagai langkah lanjutan, pemerintah perlu memperkuat mekanisme pemotongan gaji bagi PNS yang bercerai oleh bendahara, mengoptimalkan prosedur persidangan dengan memanfaatkan teknologi digital (E-Litigasi, Mediasi Online, pemeriksaan Saksi secara online dsb), serta meningkatkan edukasi hukum bagi masyarakat agar para ibu dan wali anak lebih memahami hak mereka dalam menuntut nafkah anak. Dapat juga dirumuskan bentuk sanksi pemblokiran layanan publik, kependudukan dan perbankan sebagaimana pendapat Prof. Amran Suadi. Dengan berbagai perbaikan ini, diharapkan hak-hak anak tetap terlindungi dan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian dapat lebih efektif ditegakkan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung prinsip keadilan.

Hakim di Era AI: Menuju Badan Peradilan Yang Agung dan Modern Indonesia

article | Opini | 2025-02-25 09:25:17

Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau dalam KBBI disebut sebagai Akal Imitasi, kini telah merambah sistem peradilan global. Sebagai seorang Hakim di lingkungan Badan Peradilan Umum Indonesia, kami mengamati bagaimana Estonia telah menerapkan inovasi berupa "AI Judge" untuk menangani perkara-perkara perdata kecil, sementara itu Tiongkok juga berhasil mengimplementasikan "Smart Court" dalam membantu proses pengambilan keputusan di pengadilannya. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu teknologi domestik, melainkan telah menjadi realitas yang mengubah paradigma cara kerja sistem peradilan modern secara global.Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam pidato Laporan Tahunan 2024 Ketua Mahkamah Agung RI, YM Bapak Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., mencatat lebih dari 30.000 perkara yang harus ditangani setiap tahunnya. Beban kerja yang tinggi ini belum termasuk jumlah perkara-perkara di tingkat pertama dan banding. Warga peradilan khususnya para Hakim di Indonesia harus melihat peluang dan potensi besar penggunaan AI untuk membantu mengatasi penumpukan perkara tersebut. Namun, perlu disadari bahwa penggunaan AI dalam pengambilan keputusan hukum membutuhkan pertimbangan yang matang karena menyangkut nasib para pencari keadilan.Program transformasi digital peradilan oleh Mahkamah Agung RI melalui e-Court dan e-Litigation, telah membuka peluang integrasi AI di masa depan. Para Hakim harus siap menghadapi tantangan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi AI dalam meningkatkan efisiensi kinerja, tanpa harus mengalienasi aspek kemanusiaan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan terdapat wajah-wajah para pencari keadilan (justicia bellen) yang datang dengan harapan. Mereka bukan sekadar nomor perkara atau data yang bisa diproses algoritma—mereka adalah manusia dengan berbagai kisah dan konteks yang unik. Di sinilah muncul pertanyaan mendasar tentang sejauh mana teknologi AI dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum, serta batasan-batasan yang diperlukan untuk memastikan keadilan substantif tetap tegak dan berpihak pada kemanusiaan.Sistem peradilan Indonesia memang telah mengalami perubahan signifikan semenjak implementasi e-Court dan e-Litigation. Sebagai Hakim yang mengalami langsung transformasi digital ini, kami melihat bagaimana teknologi telah membantu mempercepat proses administrasi perkara yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari menjadi lebih sangkil dan mangkus (efektif dan efisien). Perlu disadari bersama bahwa efektivitas dan efisiensi dalam administrasi peradilan sangat krusial dalam memberikan akses keadilan yang lebih baik.Teknologi AI diharapkan dapat membuka peluang baru dalam pengelolaan dan analisis yurisprudensi secara lebih efektif. Di Indonesia sendiri, Direktori Putusan Mahkamah Agung telah menerapkan sistem pencarian yang memungkinkan pencarian putusan berdasarkan kata kunci tertentu, meskipun menurut penulis masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk mengintegrasikan kemampuan AI dalam menganalisis putusan. Teknologi AI berpotensi membantu mengidentifikasi pola-pola pertimbangan hukum, meningkatkan kemudahan akses terhadap informasi putusan, dan untuk mendorong konsistensi putusan dalam kasus-kasus yang memiliki corak serupa sebagaimana amanat yang dituangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan  2010-2035 Mahkamah Agung RI.Namun, di tengah berbagai potensi tersebut, aspek yang perlu digaris bawahi adalah batasan-batasan hukum dan etis dalam penggunaan AI pada sistem peradilan di Indonesia. Keseimbangan antara pemanfaatan teknologi untuk efisiensi dan penegakan keadilan substantif menjadi pertaruhan penting dalam upaya modernisasi peradilan. Realitas ini membawa kita pada serangkaian risiko dan tantangan yang harus dihadapi dalam mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan Indonesia.Pengalaman sebagai Hakim dalam mengadopsi berbagai teknologi baru di pengadilan telah memberikan pembelajaran berharga tentang risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Setidaknya, teknologi AI, menurut penulis, membawa tiga aspek krusial yang memerlukan perhatian khusus. Pertama aspek teknis, kedua aspek hukum, dan ketiga aspek etis. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat dalam praktik peradilan sehari-hari.Bias dalam algoritma menjadi persoalan teknis yang mungkin akan kami hadapi di lapangan. Database berupa dokumen putusan pengadilan yang menjadi basis pembelajaran bagi kami dalam menggunakan AI sering kali mencerminkan kondisi sosial tertentu yang tidak sama. Putusan-putusan perceraian di wilayah perkotaan, misalnya, memiliki konteks yang sangat berbeda dengan dinamika hukum keluarga di masyarakat adat daerah. Ketergantungan pada teknologi juga menciptakan kerentanan baru dalam sistem peradilan, terutama dalam hal keamanan data para pencari keadilan.Tidak hanya itu, sistem peradilan Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam aspek pertanggungjawaban hukum ketika AI mulai diintegrasikan dalam proses pengadilan. Sebagai Hakim, kami harus memastikan bahwa setiap putusan tetap mencerminkan independensi dan imparsialitas peradilan, terlepas dari bantuan teknologi yang digunakan. Sudah saatnya para Hakim mendiskusikan ini untuk menyoroti perlunya keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan prinsip-prinsip fundamental peradilan yang harus tetap terjaga.Di balik semua tantangan teknis dan hukum tersebut, aspek kemanusiaan dalam penegakan keadilan juga tidak boleh luntur oleh mekanisasi proses peradilan. Ragam macam perkara yang kami tangani, seperti sengketa hak asuh anak dalam perceraian maupun sengketa hak atas tanah, memiliki kandungan dimensi emosional dan dampak sosial yang tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa algoritma. Keadilan substantif sering kali terletak pada kepekaan nurani terhadap konteks sosio-kultural khas Indonesia. Sebab Hakim manusia sebagai pemegang palu putusan Hakim, tidak akan tergantikan AI selama memegang teguh etika, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, YM Bapak Prof. Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., dalam acara Talkshow Kampung Hukum Mahkamah Agung Tahun 2024 (Selasa, 18/2/2024) yang lalu.Dari sisi substantif, tidak semua jenis perkara dapat diserahkan pada bantuan AI. Perkara-perkara seperti Gugatan Sederhana mungkin dapat memanfaatkan AI untuk membantu proses administrasi dan analisis awal (dismissal process). Namun, perkara-perkara yang kompleks seperti Tindak Pidana Korupsi atau kejahatan terorganisir lainnya membutuhkan pertimbangan mendalam yang hanya dapat dilakukan oleh Hakim. AI hanya dapat dilibatkan dalam tahapan-tahapan tertentu seperti pengecekan kelengkapan berkas atau penjadwalan sidang.Berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, penulis berpendapat sudah saatnya sistem hukum di Indonesia memerlukan kerangka regulasi yang komprehensif untuk mengatur penggunaan AI. Upaya merumuskan batasan yang mencakup aspek substantif dan prosedural perlu diatur secara sistematis dan jelas sebagai langkah penting dalam memastikan teknologi tetap menjadi alat bantu yang efektif bagi penegakan hukum dan keadilan.Mahkamah Agung RI dapat berkolaborasi dengan Kementerian terkait, untuk menyusun kerangka regulasi yang jelas dan komprehensif guna mengatur penggunaan AI dalam sistem peradilan di Indonesia. Seperti contoh dalam implementasi e-Court dan e-Litigation, standardisasi mutu menjadi fondasi penting dalam mengadopsi teknologi baru. Standar pengembangan AI untuk peradilan harus mencakup tidak hanya aspek teknologi, tetapi juga prinsip-prinsip perlindungan hak para pencari keadilan terlebih pasca terbitnya UU Perlindungan Data Pribadi pada tahun 2022 silam.Protokol keamanan data dan mekanisme audit algoritma menjadi komponen yang tak kalah krusial dalam kerangka regulasi ini. Sebagai Hakim di pengadilan, kami memahami betapa sensitifnya data para pihak yang berperkara dan pentingnya menjaga integritas sistem peradilan. Standar keamanan yang ketat harus diterapkan untuk melindungi tidak hanya data pribadi, tetapi juga kredibilitas putusan Hakim.Pengembangan infrastruktur pendukung lainnya juga menjadi prasyarat keberhasilan implementasi AI. Para Hakim dan pegawai peradilan nantinya harus membutuhkan pelatihan khusus untuk memahami dan mengoperasikan sistem teknologi berbasis AI. Sistem monitoring dan evaluasi secara berkala dan responsif juga harus dibangun untuk menjaga akuntabilitas penggunaan teknologi di lingkungan peradilan. Semua hajat ini hanya bisa dilaksanakan bila seluruh stakeholder terkait saling berkolaborasi untuk mengisi demi terwujudnya badan peradilan yang agung dan modern.Implementasi AI dalam sistem peradilan Indonesia diharapkan membuka babak baru dalam upaya modernisasi pengadilan. Keberhasilan inisiatif ini akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam menyeimbangkan inovasi teknologi tanpa mengesampingkan nurani demi tegaknya keadilan yang sejati. Pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan peran Hakim dalam memberikan pertimbangan dan pengambilan keputusan.

Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?

article | Opini | 2025-02-23 14:40:45

Beberapa waktu lalu, peradilan di Indonesia digemparkan oleh insiden kericuhan dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan Razman Nasution sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kericuhan terjadi saat Razman meluapkan emosinya dan berusaha menghampiri Hotman Paris, yang saat itu memberikan kesaksian. Ketegangan semakin memuncak ketika salah satu anggota tim kuasa hukum Razman bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja persidangan, menginjaknya, dan melontarkan kata-kata kasar. Kejadian tersebut terekam kamera media dan kemudian viral di media sosial.Mahkamah Agung (MA) dalam konferensi pers menanggapi insiden tersebut dengan tegas. MA mengecam keras kericuhan yang terjadi dalam persidangan karena tindakan tersebut dinilai tidak pantas dan tidak tertib. Lebih lanjut, MA menyatakan bahwa peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court. MA menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi, siapa pun pelakunya harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik secara pidana maupun etik.Menindak lanjuti hal tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Kemudian selanjutnya pada 11 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten mengeluarkan penetapan untuk membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat atas nama Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo. Tindakan Pembekuan BAS Advokat tersebut tidak dilakukan secara gegabah oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada 8 Februari 2025, KAI merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat M. Firdaus Oiwobo. Dukungan juga datang dari organisasi advokat PERADIN pada 13 Februari 2025. PERADIN adalah organisasi advokat yang menaungi Razman Arif Nasution, menyatakan dalam suratnya bahwa penindakan tersebut bagian dari penindakan tata tertib dan pembebanan etika bagi advokat sudah tepat dan benar oleh karenanya dengan ini mengucapkan ribuan terimakasih. Keputusan pembekuan BAS Advokat tersebut kemudian menimbulkan diskursus mengenai keabsahan serta dampaknya terhadap profesi advokat secara keseluruhan. Hal ini menarik untuk dikaji secara mendalam dalam dinamika hukum di Indonesia.Kekuatan Hukum Sumpah AdvokatSumpah advokat merupakan salah satu tahapan wajib bagi seseorang yang ingin menjalankan profesi sebagai advokat di Indonesia. Pelaksanaan sumpah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan harus dilakukan di hadapan pengadilan tinggi.  Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal tersebut dalam perkembangannya kemudian diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat tertentu seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Maka implikasi hukumnya, sumpah advokat adalah syarat seorang Advokat dapat menjalankan profesinya yang dibuktikan dengan BAS.Mewujudkan Tujuan HukumGustav Radburch dalam Introduction to Jurisprudence seperti yang dikutip Satjipto Rahardjo bukunya Ilmu Hukum menyebutkan setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Apabila hukum yang ada di masyarakat telah memenuhi ketiga unsur tersebut maka dapat dikatakan tujuan hukum telah tercapai. Ketiganya bersinergi untuk menciptakan hukum yang ideal.Jika dikaji dari perspektif kepastian hukum, memang sampai saat ini belum ada aturan hukum yang tegas yang menyatakan adanya aturan terkait pembekuan BAS Advokat sehingga menimbulkan konsekuensi kepada Advokat untuk menjalankan profesinya. Namun, jika dikaji dalam kerangka hukum yang lebih luas, dalam hal ini Negara juga sudah mengatur mengenai hal tersebut. Sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berkesinambungan juga dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) Pasal 2 ayat (2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.Perbuatan membuat kegaduhan di ruang persidangan dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang tidak beradab dan juga MA yang bertanggungjawab dalam terselengaranya peradilan Negara mempunyai kewenangan terhadap menerapkan dan juga menegakkan hal tersebut. Ini memberikan konsekuensi logis bahwa MA mempunyai hak untuk menegakkan sanksi kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang tidak beradab dalam peradilan Negara khususnya dalam persidangan. Kemudian disebutkan pula pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal senada juga dijumpai dalam Pasal 218 jo. 232 ayat (2) dan (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa setiap orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.Peristiwa contempt of court tersebut adalah tindakan yang mengakibatkan hambatan dan rintangan dengan cara tidak menunjukan sikap hormat dan bahkan menganggu jalannya persidangan sehingga peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan tidak tercapai. Aturan hukum tersebut kemudian juga menjadi pertimbangan dan kewenangan MA dalam menerbitkan penetapan pembekuan BAS Advokat kedua oknum tersebut. Jika dikaji perspektif Hukum Admistrasi Negara terdapat asas contrarius actus,  yang dapat diartikan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), juga berwenang untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya keputusan tersebut. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Sehingga dari asas tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat. Dikutip dari artikel di dandapala.com penulis Dr Tri Cahya Indra Permana yang berjudul Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya.Jika dikaji dari perspektif kemanfaatan hukum, penerbitan penetapan pembekuan BAS Advokat tersebut juga mendapat dukungan masif dari profesi advokat sendiri. Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa organisasi advokat PERADIN yang merekomendasikan yang notabene juga adalah organisasi dimana salah satu oknum advokat tersebut bernaung. Beberapa waktu lalu puluhan advokat juga berbondong-bondong ke pengadilan memberikan dukungan simbolik untuk pembekuan BAS advokat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari fenomena para Advokat se Banyumas Raya yang memberikan dukungan kepada insan peradilan dengan melakukan aksi keprihatinan di halaman Pengadilan Negeri Purwokerto.Dikutip dari dandapala.com pada tanggal 13 Februari 2025, puluhan advokat dari berbagai organisasi di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar aksi dukungan moral di depan Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Mereka menyampaikan aspirasi agar Mahkamah Agung dan institusi terkait mengambil langkah tegas terhadap siapa pun yang melecehkan simbol-simbol keadilan negara. Advokat adalah profesi yang mulia dan harus menjaga integritas serta kewibawaan peradilan.Dalam dinamika sosial media juga terlihat banyak komentar positif juga terkait pembekuan BAS Advokat tersebut. Dalam hal ini kepentingan masyarakat adalah memiliki penegak hukum yang menjunjung tinggi adab dan moralitas. Penindakan tegas terhadap oknum advokat tersebut dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak dapat dimungkinkan oknum advokat yang tidak bermoral beraktivitas dunia peradilan.Jika dikaji dari perspektif keadilan dan moralitas, keadilan bukan hanya konsep yuridis, melainkan pada hakikatnya merupakan konsep etis dan moral. Sebagai konsep moral, keadilan bertujuan mengusahakan perbaikan bagi semua orang. Menurut Sidharta dalam bukunya Aliran Hukum Kodrat, moralitas merupakan keseluruhan norma, nilai, dan sikap yang dianut oleh seseorang atau masyarakat, sedangkan moral adalah dasar untuk menentukan benar atau salah atas tindakan manusia.Hal ini kemudian dapat dikorelasikan dalam penyumpahan di Pengadilan Tinggi, advokat melafalkan sumpah advokat yang antara lain berbunyi:"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta ahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;."Dari pengertian tentang keadilan dan moralitas yang dikaitkan dengan pelafalan sumpah advokat, terkandung makna bahwa advokat harus menegakkan moralitas serta menjaga tingkah laku dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan peristiwa penghinaan terhadap pengadilan/ contempt of court tersebut, tindakan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan mencederai sumpah yang telah dilafalkan oleh advokat itu sendiri. Hal ini menjadi dasar pijakan bagi Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan sanksi berupa pembekuan BAS Advokat sebagai bentuk perwujudan asas keadilan dan menjaga nilai moralitas dalam peradilan khususnya dalam persidangan.Dapat disimpulkan bahwa, jika dikaji dari ketiga asas hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat tersebut telah memenuhi ketiga unsur tersebut. Dalam hal ini, perlu dimaknai bahwa langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung sudah tepat dan terukur sehingga perlu diapresiasi bersama.Pembekuan BAS Bukanlah Ancaman Terhadap Independensi AdvokatAdvokat sebagai penegak hukum yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan harus independen dan bebas dari intervensi. Jika dikaji secara ontologis yang tertera dalam bagian konsideran pertimbangan UU Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi  Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Dengan adanya independensi, maka advokat dapat membela masyarakat (public defender) dan memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan tekanan dari pihak manapun juga. Kebebasan profesi advokat (independence of the legal profession) merupakan syarat mutlak terciptanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) dengan tetap bertanggungjawab terhadap etik profesi. Namun seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa independensi tersebut kemudian tentunya harus berdasarkan etika dan profesi yang berlaku. Dengan dibuktikan adanya surat dari organisasi advokat yang menyatakan bahwa kedua oknum advokat telah melanggar etik. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan kewenangan dari organisasi advokat pada Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.Dalam kerangka ini perlu dimaknai bahwa independensi tersebut tentunya dibatasi dengan etika profesi sehingga Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi atas hal tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab moral untuk menegakkan hal tersebut sesuai dengan sumpah advokat yang dilafalkan di Pengadilan Tinggi. Selain itu juga hal tersebut juga dimaknai bahwa penetapan pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tersebut bukanlah tindakan yang sewenang-wenang yang dapat mengancam independensi advokat. Sehingga tentunya para Advokat tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat. Justru jika disikapi secara arif dan bijaksana ini tentunya hal ini dapat memberikan perlindungan bagi para advokat yang senantiasa menegakan moral dan etika. Hal tersebut karena memberikan rasa aman kepada advokat yang sedang beracara karena akan memungkinkan untuk tidak bertemu atau berhadapan dengan advokat yang tidak bermoral dan tidak beradab sehingga kedepan akan meminimalisir dampak kerugian yang terjadi.Demi mewujudkan Cita Luhur Negara dan KeadilanTentunya hal ini dapat dimaknai secara positif bahwa bagian dari mewujudkan cita luhur dari Advokat yaitu profesi terhormat (officium Nobile). Dinamika terkait multibar organisasi advokat yang kemudian menciptakan celah hukum bagi para advokat yang sudah dihukum dan dikeluarkan oleh Organisasi Advokat namun karena masih banyak pilihan organisasi advokat yang lain. Hal tersebut kemudian Oknum advokat masih dapat menjalankan profesinya karena berpindah organisasi advokat yang lain. Celah hukum tersebut akhirnya mencederai peradaban hukum yang perlu dibangun bersama. Meskipun begitu, dalam pembekuan BAS Advokat juga tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (UPB), yaitu setidak-tidaknya menerapkan asas kecermatan, asas kehati-hatian dan asas kemanfaatan. Sehingga sudah selayaknya terhadap Advokat yang melanggar sumpah Advokat dan/atau melakukan contempt of court dilakukan Pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tentunya dapat menjadi solusi atas kebuntuan permasalahan tersebut. Dalam salah satu isi sumpahnya, advokat wajib menjaga tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai Advokat. Dengan demikian, dalam hal ditemukannya adanya pelanggaran sumpah dan jabatan Advokat dalam proses persidangan atau perbuatan advokat yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan atau perbuatan yang mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim, aparatur pengadilan dan masyarakat pencari keadilan atau perbuatan yang menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan atau perbuatan tercela lainnya yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan, maka sanksi Pembekuan BAS Advokat dapat diterapkan.Jika disimpulkan bahwa penetapan pembekuan BAS advokat selain telah memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai perwujudan tujuan hukum, perlu juga dimaknai bahwa pembekuan BAS bukanlah tindakan sewenang-wenang yang mengancam independensi advokat, melainkan bentuk perlindungan bagi advokat yang telah menjunjung etika profesi advokat. Sehingga tentunya para advokat di Indonesia tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat yang diucapkan di Pengadilan Tinggi.  Peristiwa ini menjadi momen penting bagi dunia peradilan bahwa penghinaan terhadap pengadilan bukan hanya merendahkan wibawa lembaga peradilan, tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh Bangsa dan Negara yang kita cintai.

Mencapai Tipping Point dan Mendorong Perubahan di Pengadilan

article | Opini | 2025-02-21 20:55:35

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu buku yang menarik untuk dibahas ketika berbicara mengenai perubahan sosial adalah buku Malcolm Gladwell yang berjudul Tipping Point. Di dalam buku tersebut Gladwell menjelaskan dengan ringkas dan sistematis bagaimana mendorong suatu perubahan di dalam suatu komunitas dengan waktu yang relatif cepat dan berdampak secara signifikan menuju ke arah yang lebih baik. Buku ini menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada 3 aspek yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai Tipping Point. Tipping Point di dalam buku Gladwell adalah suatu kondisi yang mana suatu perubahan terjadi dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi bukan suatu kebetulan namun dipengaruhi oleh 3 hal yang sangat menentukan.Pertama, Law of the Few. Dalam hal ini, Galdwell menjelaskan bahwa inisiasi perubahan lahir dari orang-orang yang sedikit. Hal ini sejalan dengan pandangan Arnold Toynbee tentang Creative Minorities yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa orang-orang yang sedikit atau minoritas di dalam suatu komunitas yang mempunyai kemampuan atau kapabilitas di atas rata-rata dapat mendorong terciptanya perubahan sosial dengan lebih cepat. Hal ini didasarkan pada tesis dari Gladwell sendiri bahwa 80 % suatu pekerjaan pada faktanya bisa diselesaikan oleh 20% orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Tesis ini didasarkan pada prinsip efisiensi Pareto.Menurut Gladwell, orang-orang di atas rata-rata ini harus membagi perannya menjadi 3 yaitu: (1) Penghubung (Connector); (2) Mavens; (3) Salesman/Persuaders. Penghubung (connector) pada umumnya merupakan orang-orang yang mempunyai banyak teman di berbagai circle pertemanan. Selain itu, pada umumnya seorang penghubung itu mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan supel dalam pergaulan sehingga mempunyai banyak teman. Selanjutnya, Mavens pada umumnya adalah orang-orang yang suka mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya ke khalayak umum. Bisa dikatakan orang dengan karakter mavens adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan suka dengan gagasan-gagasan baru yang inovatif. Selain itu, orang dengan karakter Mavens pada umumnya senang menyelesaikan suatu permasalahan. Sementara itu, Salesman/Persuaders adalah orang dengan karakter yang senang bernegosiasi untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain.Kemudian, faktor kedua untuk mendorong suatu perubahan adalah Stickiness Factor atau faktor pelekat. Di dalam buku ini Gladwell menjelaskan bahwa gagasan atau ide akan mempunyai faktor pelekat apabila ide tersebut mudah diingat, menyentuh secara psikologis atau emosional, dapat diterapkan, dan mempunyai hook. Gladwell mencontohkan di dalam bukunya bagaimana serial anak-anak di Amerika Serikat yaitu Sesame Street dan Blue’s Clues mempengaruhi anak-anak di Amerika Serikat pada masanya.Selanjutnya yang ketiga adalah Power of Context. Menurut Gladwell dalam mendorong perubahan lingkungan atau konteks yang mendukung sangat mempengaruhi bagaimana cepat atau lambatnya perubahan tersebut. Lingkungan eksternal sangat mempengaruhi bagaimana tingkah laku seseorang berubah. Apabila lingkungan eksternal mendorong terciptanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik, maka tingkah laku orang-orang yang berada di dalam lingkungan tersebut akan menyesuaikan ke arah yang lebih baik.Pengadilan yang bersih dan bermartabat            Sebagai seseorang yang bekerja di pengadilan, penulis melihat pengadilan bisa menjadi institusi yang bersih dan bermartabat apabila menerapkan 3 hal ini. Pertama, pimpinan pengadilan harus menjadi teladan baik di pusat ataupun di daerah dalam menjaga kualitas dan integritas. Keteladanan ini harus dimulai dari atas bukan dari bawah. Sebagai pimpinan institusi keteladanan yang baik secara tidak langsung akan menyebarkan pengaruh yang baik kepada para jajaran di bawahnya. Para pimpinan harus menjadi the few sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell yang mampu menginspirasi para jajaran di bawahnya. Oleh sebab itu, tidak mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menjaga integritas tanpa disertai dengan keteladanan dari para pimpinan untuk menjaga integritas. Selain itu, proses pemilihan pimpinan pengadilan harus mampu menempatkan orang-orang yang mampu menjaga integritasnya menjadi pimpinan pengadilan. Hal ini dikarenakan pimpinan pengadilan adalah motor apabila pengadilan tersebut ingin menjadi bersih.Kedua, menciptakan lingkungan yang anti-suap dan gratifikasi baik di pengadilan maupun di lingkungan Mahkamah Agung. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa context atau lingkungan sangat berpengaruh dalam mendorong suatu perubahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong terciptanya lingkungan yang anti suap dan gratifikasi adalah dengan memberikan hukuman yang tegas bagi aparatur pengadilan yang melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi. Upaya ini harus dilakukan tanpa pandang bulu tidak melihat latar belakang atau hubungan saudara.            Kemudian, yang ketiga adalah memberikan insentif bagi para aparatur pengadilan yang menjaga integritasnya dengan baik. Para aparatur pengadilan yang mampu menjaga integritasnya harus diapresiasi oleh institusi. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa dibutuhkan faktor pelekat untuk mendorong suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Apresiasi atau insentif dapat menjadi faktor pelekat kepada para aparatur pengadilan untuk terus menjaga integritasnya yang nantinya apabila jumlah aparatur pengadilan yang bersih menjadi banyak dan dominan sehingga dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan menjadikan pengadilan sebagai institusi yang bersih dan bermartabat.  

Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy

article | Opini | 2025-02-20 16:40:29

PendahuluanMahkamah Agung memiliki peran strategis dalam membentuk arah dan kebijakan sistem peradilan di Indonesia. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan inklusif. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan paradigma global yang menekankan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup menjadikan isu ini bagian integral dari fungsi dan tanggung jawab peradilan.Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim. Dalam banyak kasus, akar permasalahannya terletak pada lemahnya penegakan hukum lingkungan, minimnya kapasitas kelembagaan, dan ketidakadilan ekologis yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan. Hal ini mendorong perlunya sistem peradilan yang tidak hanya tegas terhadap pelanggaran hukum lingkungan tetapi juga proaktif dalam mengadvokasi keberlanjutan.Sebagai wujud respons terhadap tantangan tersebut, Mahkamah Agung seyogyanya sebagai bentuk kepemimpinan hijau juga melakukan kebijakan untuk memastikan, bahwa peradilan merupakan peradilan hijau dalam arti mendukung adanya penegakan hukum lingkungan yang substantif. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dianalisis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mahkamah Agung untuk memastikan adanya hal tersebut.Tantangan Lingkungan dan Kesenjangan Penegakan HukumIndonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi juga termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi dan pencemaran lingkungan tertinggi. Berdasarkan data, sekitar 1,47 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan. Pencemaran sungai dan laut, terutama oleh limbah industri dan plastik, semakin memperparah kondisi ekosistem. Dampak kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka.Namun, sistem hukum yang ada sering kali belum cukup responsif untuk menghadapi persoalan ini. Beberapa tantangan utama yang dihadapi sistem peradilan antara lain:Kurangnya Kapasitas dan Keahlian SpesifikBanyak aparat penegak hukum, termasuk hakim, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Akibatnya, banyak kasus lingkungan yang tidak ditangani dengan optimal atau menghasilkan putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan ekologis.Minimnya Penegakan Hukum yang EfektifPelanggaran hukum lingkungan sering kali tidak mendapatkan sanksi yang sepadan. Banyak pelaku kejahatan lingkungan, seperti korporasi besar, berhasil menghindari tanggung jawab hukum melalui celah-celah regulasi atau praktik korupsi.Ragam Penafsiran Penegakan HukumTerdapat ragam penafsiran atas norma-norma hukum lingkungan yang ada. Hal ini, karena masih terdapat beberapa aturan yang multitafsir satu dengan yang lain.Komitmen Mahkamah Agung: Menuju Peradilan HijauDalam manifesto kepemimpinannya, Mahkamah Agung menggarisbawahi pentingnya transformasi sistem peradilan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Konsep peradilan hijau yang diusung bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang:Responsif terhadap Isu LingkunganSistem peradilan harus dapat merespons isu-isu lingkungan secara cepat dan efektif, memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum lingkungan mendapatkan penanganan yang serius.Berbasis pada Prinsip KeberlanjutanPutusan-putusan pengadilan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan, masyarakat, dan generasi mendatang.Menghormati Hak Ekologis MasyarakatHak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat harus diakui dan dilindungi secara hukum.Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung sebagai upaya “menghijaukan” pengadilan mengambil beberapa kebijakan yang mendukung penegakan hukum lingkungan secara substantif antara lain:Pendidikan dan Pelatihan BerkelanjutanMahkamah Agung menekankan pentingnya peningkatan kapasitas hakim dan aparat peradilan lainnya melalui pelatihan khusus di bidang hukum lingkungan. Pendidikan ini akan mencakup pemahaman tentang isu perubahan iklim, kejahatan lingkungan lintas batas, serta mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, dalam Pasal 4  ayat (3) ditegaskan “Perkara lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadili oleh majelis Hakim Lingkungan Hidup atau minimal salah seorang hakim majelis yang merupakan Hakim Lingkungan Hidup. Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan  “Dalam hal belum ada Hakim Lingkungan Hidup, ketua/wakil ketua atau kepala/wakil kepala pengadilan karena jabatannya berwenang untuk mengadili perkara lingkungan hidup atau menunjuk hakim senior untuk mengadili perkara lingkungan hidup.”Sebelum lahirnya Perma 1/2023 tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Sertifikasi hakim lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup di pengadilan sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan hidup serta pemenuhan rasa keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim, sebagaimana Pasal 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut: a. Persyaratan administrasi; b. Persyaratan kompetensi; c. Mengikuti pelatihan; d. Dinyatakan lulus oleh Tim SeleksiPenguatan Kerangka RegulasiMelalui kerja sama dengan legislator dan pemangku kepentingan lainnya, Mahkamah Agung perlu mendorong revisi atau penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan. Hal ini mencakup peningkatan sanksi bagi pelanggaran hukum lingkungan serta penguatan mekanisme perlindungan bagi masyarakat terdampak.Aturan terbaru yang dibuat oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara lingkungan hidup agar dapat menghasilkan putusan yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan, memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang hak lingkungan hidup, dan menjamin terwujudnya keadilan lingkungan hidup serta keadilan iklim, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Perma ini. Mencakup pedoman untuk mengadili perkara lingkungan hidup di pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.Meskipun perlindungan terhadap korban/pemerhati lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU PPLH namun gugatan maupun laporan polisi terus terjadi. Berbagai modus yang digunakan SLAPP-er untuk melawan korban/pegiat lingkungan hidup, yaitu gugatan Perbuatan Melanggar  Hukum (Pasal 1365 BW) dan Penghinaan (Pasal 310 KUHP) dan pasal-pasal lain. Hal itu dimaksudkan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut agar masyarakat tidak lagi menyatakan  keberatan/mengkritisi/membuat pengaduan atas kegiatan usaha mereka yang diduga/telah menimbulkan pencemaran lingkungan. Karenanya perlindungan hukum perdata dan pidana terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup telah diatur dalam ketentuan Perma 1/2023.  Perlindungan hukum perdata diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 Perma 1/2023. Demikian juga, perlindungan hukum terhadap pejuang hak-hak atas lingkungan hidup yang menjadi terdakwa di depan persidangan diatur dalam ketentuan Pasal 76 sampai dengan Pasal 78 Perma 1/2023.Pasal 76 ayat (4) Perma 1/2023 disebutkan dalam hal terdakwa dan/atau penasihat hukum dapat membuktikan bahwa Terdakwa adalah pejuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah mendengar tanggapan dari penuntut umum, hakim mengambil putusan akhir yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa harus memeriksa pokok perkara. Dalam ayat (5) disebutkan, terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi.Pasal 77 Perma 1/2023, menyebutkan “Dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.”Perma 1/2023 telah memberikan arahan, bahwa tanggapan dalam eksepsi atau pembelaan tentang gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pelapor adalah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (perdata) dan/atau pembelaan dalam perkara pidana. Sebelumnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Perma ini lahir, untuk menyahuti ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Bagaimana tata cara penggugat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan/atau tuntutan pelaksanaan tindakan tertentu yang bertujuan untuk memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.Menerbitkan Landmark Decision sebagai PercontohanMahkamah Agung menerbitkan landmark decision terkait lingkungan hidup sebagai percontohan bagi hakim-hakim dalam mengambil sikap terkait sengketa lingkungan. Hal ini, misal dapat dilihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 yang merupakan landmark decision pilihan Mahkamah Agung di Laporan Tahun 2023. Di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 kaidah hukumnya: “Kondisi penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana, namun hanya menjadi pertimbangan untuk meringankan perbuatan Terdakwa.” Hal ini muncul karena adanya dualisme mengenai status pemidanaan terdakwa ketika penempatan limbah B3 sudah diperbaiki saat akan pemeriksaan setempat. Melalui kaidah hukum ini, dapat dipahami, bahwa meskipun penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana.Kolaborasi dengan Pemangku KepentinganMahkamah Agung akan membangun kemitraan dengan pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat implementasi hukum lingkungan. Kolaborasi ini juga akan mencakup pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik dari negara lain yang telah sukses menerapkan peradilan hijau. Hal ini, misal dapat dilaksanakannya konvergensi internasional yang terselenggara atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) serta didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.Melalui manifesto kepemimpinannya, 4 (empat kebijakan ini bisa dianggap sebagai Tetra Policy Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau. 4 (empat) kebijakan ini adalah kerangka strategis yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan hijau. Manifesto ini mencerminkan komitmen institusional untuk menjadikan Mahkamah Agung sebagai motor penggerak reformasi peradilan dalam mendukung keadilan lingkungan yang berkelanjutan. PenutupManifesto ini diharapkan dapat menjadi pendorong perubahan yang signifikan dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan mengadopsi Tetra Policy ini, Mahkamah Agung tidak hanya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam perlindungan lingkungan. Kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung yang visioner akan menjadi landasan bagi terciptanya keadilan ekologis yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manifesto ini mencerminkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat untuk menegakkan keadilan bagi manusia, tetapi juga bagi bumi dan seluruh ekosistemnya.

Tes Urin Negatif Narkotika, Bisakah Dipenjara di Bawah Minimum Khusus?

article | Opini | 2025-02-17 15:45:09

Penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dalam perkara narkotika dimungkinkan bagi Terdakwa yang terbukti sebagai Penyalah Guna, meskipun Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Sebagai pedoman, Hakim dapat merujuk pada SEMA Nomor 3/2015 dan SEMA Nomor 1/2017 yang mengatur bahwa penerapan pidana di bawah minimum khusus dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria penting: terdakwa terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, barang bukti yang ditemukan jumlahnya relatif kecil, dan dalam hal tertangkap tidak sedang memakai narkotika namun ditemukan barang bukti kecil serta hasil tes urine positif. Ketentuan ini menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara narkotika dengan memperhatikan aspek keadilan dan kemanusiaan.Perkembangan terbaru, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 3/2023 memberikan rumusan yang lebih komprehensif. Adapun dalam salah satu poin rumusan SEMA Nomor 3/2023 menyebutkan dalam hal Terdakwa didakwa Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dengan barang bukti sesuai ketentuan SEMA Nomor 4/2010 jo. SEMA Nomor 3/2015 jo. SEMA Nomor 1/2017, hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus. Namun demikian, pidana dendanya tetap harus sesuai dengan ancaman dalam pasal tersebut. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum namun tetap dalam koridor kepastian hukum.Persoalan menarik muncul ketika hasil tes urine terdakwa negatif, sementara fakta persidangan justru menunjukkan bahwa maksud terdakwa membeli, memiliki, dan menguasai narkotika adalah untuk dipakai sendiri. Dalam praktik peradilan, Penuntut Umum seringkali hanya mendakwakan Pasal 112 atau 114 tanpa mendakwakan Pasal 127 ayat (1) huruf a, meskipun barang bukti yang ditemukan relatif kecil dan tidak ditemukan bukti adanya tujuan pengedaran. Alasan utama Penuntut Umum tidak mendakwakan pasal penyalah guna narkotika adalah karena hasil tes urine terdakwa yang negatif, meskipun indikasi-indikasi lain mengarah pada penyalahgunaan untuk diri sendiri.Mahkamah Agung telah memberikan beberapa preseden penting melalui putusannya. Putusan MA Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal 3 Agustus 2011 menjadi tonggak penting karena memutus perkara narkotika yang pada tingkat penyidikan tidak dilakukan tes urine terhadap Terdakwa. Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena tindakan penguasaan atau kepemilikan narkotika oleh Terdakwa dalam jumlah relatif kecil dan ditujukan untuk digunakan sendiri, maka lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.Putusan lain yang menerapkan pidana penjara dengan menyimpagi pidana penjara minimum khusus meskipun tes urine terdakwa negatif dapat dilihat dalam Putusan PN Putussibau Nomor 14/Pid.Sus/2021/PN Pts dan Nomor 25/Pid.Sus/2021/PN Pts yang keduanya dikuatkan hingga tingkat kasasi. Kedua putusan ini memperlihatkan bahwa penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dapat diterapkan meski hasil tes urine negatif, sepanjang dalam persidangan benar terbukti bahwa narkotika yang dimiliki terdakwa relatif kecil sesuai SEMA Nomor 7/2009 jo. SEMA Nomor 4/2010, tujuannya untuk dipakai sendiri, dan tidak ada bukti keterlibatan dalam peredaran narkotika. Putusan-putusan ini memperkuat prinsip bahwa penegakan hukum harus memperhatikan aspek keadilan substantif, tidak semata-mata pada aspek formal prosedural.Dalam mempertimbangkan hasil tes urine negatif, Hakim harus benar-benar menilai secara kasuistis berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa seringkali terdakwa ditangkap pada saat baru menerima pesanan narkotika dan belum sempat memakainya, atau jangka waktu pemakaian sebelumnya sudah terlampau lama sehingga hasil tes urine menjadi negatif. Oleh karena itu, demi terciptanya kebenaran materiil dan mengedepankan asas keadilan hukum faktor waktu dan kondisi penangkapan ini juga sepatutnya menjadi pertimbangan penting dalam menilai status terdakwa sebagai penyalah guna.SEMA Nomor 3/2023 memberikan angin segar dalam perkembangan hukum perkara narkotika dengan tidak lagi menjadikan hasil tes urine positif sebagai syarat untuk dapat menerapkan pidana penjara menyimpangi minimum khusus. Namun demikian, hakim tetap wajib mempertimbangkan jumlah barang bukti sesuai ketentuan SEMA yang berlaku. Hal ini mencerminkan evolusi pemikiran hukum yang lebih progresif dalam memandang perkara narkotika, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana yang tidak semata-mata mengedepankan aspek pembalasan, tetapi juga memperhatikan aspek pembinaan dan pemulihan bagi pelaku tindak pidana narkotika, khususnya bagi mereka yang terbukti sebagai penyalah guna.

Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia

article | Opini | 2025-02-17 13:25:11

Program acara yang digagas Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yakni perisai pada episode yang ketiga mengajukan tema Kinerja berkualitas dengan Integritas. Tema ini disampaikan dalam  upaya dari peradilan khususnya peradilan umum  untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik yang sedikit terganggu dengan  adanya pimpinan pengadilan dan beberapa hakim serta staf pengadilan  yang  saat ini menjalani pesakitan maupun yang telah dijatuhi sanksi etik karena dianggap telah tersangkut perkara gratifikasi . Penjatuhan hukuman disiplin sepanjang tahun 2024  dilingkungan peradilan umum  yakni untuk hakim ada 84 hukuman disiplin dengan perincian 21 hukuman disiplin berat, sedang 9  dan 54 sanksi ringan, sedangkan untuk panitera ada 65  yakni berat 18, sedang 10 dan ringan 37. Bertitik tolak dari program perisai maka tidaklah salah kalau kita merenungi apa yang diramalkan oleh seorang pujangga jawa pada abad 18 yakni raden ronggo warsito dengan karyanya yakni serat kalatidha . Serat Kalatidha  ditulis sang pujangga kurang lebih seabad yang lalu, yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX (1862 - 1893 M).  Serat Kalatidha merupakan refleksi atas kondisi kerajaan pada masa itu, akan  tetapi jika kita  renungi dan resapi, maka akan sesuai juga dengan kondisi  sekarang  Serat Kalatidha merupakan ramalan akan datangnya suatu zaman. Yang mana sang pujangga  telah memprediksikannya sebab ia dikenal  sebagai ngerti sadurunge winarah, mengerti apa yang akan terjadi kelak yang biasanya ramalan itu dikemukakan secara terang-terangan maupun symbol dan dunia nyata pernyataan itu memang terjadi. Berikut ini adalah cuplikan serat Kalatidha “ Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kalatida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda “Dan jika kita artikan akan seperti ini “ Kondisi  negara  kita saat ini  sudah semakin mengalami kemunduran,  situasi  bangsa makin parah, karena sudah tak ada seseorang yang dapat dijadikan panutan, hal tersebut dikarenkan sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/ aturan-aturan lama yang baik yang luhur yang dimiliki bangsa ini. Diperparah dengan golongan  cerdik cendekiawan terbawa arus kalatidha (zaman yang penuh keragu-raguan), sehingga  keadaan menjadi  mencekam dan dunia penuh dengan kerepotan”Demikian  sepenggal  gambaran dari sang pujangga Ronggowarsito  terkait dengan kondisi tata negara yang telah rusak. Para pemimpin tak mampu meneladani rakyatnya dengan perbuatan-perbuatan bermoral. "Karana tanpa palupi", begitu tulis Ronggowarsito.  Jika kita renungi dan resapi,  maka sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bisa diikuti. Negeri ini nyaris kehabisan pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Tentu teladan di sini merupakan sesuatu yang baik dan layak ditiru. Mengapa tak bisa diteladani? Karena para pemimpin itu, "atilar silatusti", meninggalkan tradisi. Di sini tradisi dimaksud lebih kepada etika. Sejatinya etika itu merupakan rambu-rambu untuk menuju hidup yang lebih baik, tetapi rambu-rambu itu ditinggalkan sehingga hidup ini jadi "rusak". Dunia dilanda kerepotan lantaran kerusakan itu.( Toto Tis Suparto : 2021)Karna Tanpa Palupi Mahkamah Agung dan Lembaga peradilan sebagai salah satu gerbang terakhir para pencari keadilan  tentunya harus menjadi garda terdepan dalam perubahan kearah yang lebih baik. Dalam Upaya memperbaiki kondisi di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, Ketua Mahkamah Agung  telah memulai dengan langkah yang baik dengan menerapkan kebijakan ketika beliau diangkat menjadi Nahkoda tertinggi di Lembaga Peradilan  diantaranya melalui statemen beliau  bahwa Ketua Mahkamah Agung akan menerapkan demosi jika ada jamuan  ketika  ada kunjungan ke daerah dan tanpa perlu VIP Room dibandara  bagi Pimpinan maupun Hakim Agung.Langkah dan upaya Ketua Mahkamah Agung perlu kita maknai sebagai pengejawantahan dari ingin memberikan contoh atau teladan pada tataran dibawahnya dan sebagai langka antisipatif untuk mengantisipasi gambaran yang dikemukakan oleh sang Pujangga yakni “Karna tanpa Palupi “ dan jika kita kaitkan dengan sosok pemimpin bahwa seorang pemimpin yang kebanyakan minta dilayani maka ini merupakan  anti tesisnya adagium terdahulu karena hal ini mencerminkan jiwa seorang pemimpin yang melayani. Pimpinan Mahkamah Agung telah memberikan suatu contoh perilaku  kesederhanaan yang baik dan  untuk itu patutlah dan layak untuk  ditiru dan diikuti oleh seluruh insan peradilan.Menurut Greenleaf, seorang pemimpin yang baik  bukanlah  orang yang otoriter dan beranggapan bahwa aktivitas  kantor akan lamcar jika berada  ditangan pemimpin. Sebaliknya  pemimpin adalah orang yang punya semangat untuk berkontribusi  dan melayani  orang-orang yang dipimpinnya yakni pegawai, pengguna layanan atau siapa saja yang berinteraksi dengannya. Servant Leader tidak akan bertanya, “apa yang perlu dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri  tetapi apa yang perlu dilakukan agar menguntungkan kita dan banyak orang ?”.Orientasi berpikir dan bertindak adalah orang lain bukan dirinya sendiri dan untuk itu kita harus berpikiran bahwa semua insan peradilan adalah pemimpin, yakni seseorang  yang mempunyai perilaku perilaku positif  dan menginsipirasi  orang lain, membawa  pengaruh postof  serta dapat menjadi panutan dan teladan (Louis Sastrawijaya; 2022).Atilar silatustiSalah satu hal tradisi yang baik dan luhur  yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah tradisi atau petuah-petuah luhur  atau etika yang sarat makna sebagai bangsa yang mempunyai adat ketimuran yang tinggi. Etika yang dimaksud  antara lain  budaya malu dan  tenggang rasa yang tinggi, serta selalu mementingkan kepentingan orang banyak. Sebelum membahas mengenai tradisi yang baik dan luhur patutlah kita merenungi arti makna atau  purpose yakni memaknai sebuah pekerjaan, tentunya pekerjaan yang kita emban saat ini sebagai insan peradilan yang kita jalani saat ini, dunia dimana masyarakat yang kita layani adalah masyarakat yang mencari keadilan.Jika kita renungkan bahwa kita adalah manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk bekerja di Peradilan tentunya Tuhan memilih kita dari sekian banyak orang  dan kenapa kita dipilih tentunya harapannya agar kita dapat bermanfaat khususnya  bagi masyarakat pencari keadilan.Setelah menngerti makna atau tujuan tadi jika kita kaitkan dengan nilai nilai  leluhur bangsa kita  yakni budaya malu maka akan berdampak sangat positif, bahwa kita seharusnya malu jika bekerja tanpa integritas karena pengertian integritas itu sendiri adalah konsistensi dan keteguhan yang tidak tergoyahkan  dalam menjunjung tinggi nilai nilai luhur dan keyakinan.Budaya malu yang lain yang seharusnya ada pada diri kita aparatur peradilan yakni  malu terlambat masuk kantor, malu tidak masuk kerja tanpa alasan. Pulang kerja sebelum waktunya, sering meninggalkan kantor tanpa alasan, bekerja tanpa pertanggungjawaban, dan tidak amanah.Fondasi utama dalam melayani adalah  prioritas pada orang lain, maka orang yang bekerja didunia peradilan jika sudah mengerti apa yang menjadi makna pekerjaan kita  tentunya akan mempunyai  tujuan dalam bekerja sebagai  orang-orang yang mendapatkan amanat untuk melayani masyarakat pencari keadilan  dan pondasi utama  dalam melayani  adalah memberikam kontribusi kepada orang lain.  Joel Oesteen dalam bukunya Your Best Life Now yang isinya adalah tentang kunci rahasia agar seseorang dapat mengalami kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari  yaitu dengan menjadi seorang pemberi, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi selalu memberikan kontribusi kepada orang lain.Hal tersebut kadang sangatlah berat  karena pada kebanyakan yang terjadi pada semua orang menghadapi godaaan umtuk mementingkan diri sendiri sebagaimana dicontohkan kepada kolega yang tersandung kasus pidana maupun pelanggaran kode etik lainnya  dan tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai nilai luhur bangsa kita yang cenderung mementingkan orang lain seperti kegiatan kerja bakti  dan  hal hal baik lainnya.Aplikasi  dalam hal berkontribusi kepada orang lain yakni dengan memberikan service excellent atau pelayanan prima, artinya fokus kita tidak memberikan pelayanan asala-asalan tetapi memberikan pelayanan melalui kecepatan, ketepatan, kenyamanan, kemudahan  dan berbagai manfaat lain yang dapat dirasakan oleh pengguna layanan pengadilan. Dengan begitu kepercayaan masyarakat pencari keadilan akan merasa terlayani dan berimpilikasi pada meningkatnya kepercayaan kepada lembaga.Kinerja yang berkualitas tidak secara otomatis dan natural terbentuk, melainkan hasil dari upaya yang cerdas dan berintegritas, inovatif, sistematis dan terus menerur (Bambang Myanto:2025). Apa yang disampaikan oleh pak Dirjen perlu kita renungkan  dan jangan lupa kita petuah dari sang pujangga ternama Ronggowarsito yang memberikan nasehat  dari satu bait akhir tembang sinom Serat Kalatida, “Sak begjabegjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada!” (seberuntung- beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada). Eling lan waspada  dapat dibahasakan menjadi mawas diri.  Eling lan waspada pada dimensi kemanusiaan berupa kesadaran atas potensi kekuatan dan kelemahan manusia.  Eling lan waspada pada dimensi Ketuhanan, berupa kesadaran atas Sangkan Paraning Dumadi, sebuah perjalanan anak manusia dari akan kembali kepada Sang Causa Prima, Tuhan Maha Esa.  Marilah mulai menjadi pribadi mawas diri yang mempunyai pengetahuan untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia dan ke arah mana dirinya akan dibawa, sesuai dengan pengetahuan, sesuai yang dikehendaki Penciptanya.Mari kita perbaiki niat kita dalam bekerja bukan untuk mementingkan diri sendiri akan tetapi dapat selalu berkontribusi kepada orang lain  selalu menjadi pribadi yang mawas diri.

Mengenal Contempt of Court

article | Opini | 2025-02-15 06:35:57

Contempt of court pada awalnya berkembang di negara Common law. Secara histroris berkembang di Kerajaan Inggris pada abad pertengahan yang mana pada saat itu terdapat anggapan bahwa raja memiliki hak seperti Tuhan. Oleh karena itu, setiap rakyat harus tunduk kepada raja dan menghormati raja. Pada saat itu contempt of court identik dengan Contempt of King karena belum ada independensi peradilan. Selanjutnya dalam perkembangannya Contempt of court mendapat tempat dalam UNCAC ( United Nations Convention Against Corruption) , Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa melawan Korupsi dalam Pasal 25 yang mengharuskan negara-negara anggotanya untuk mengkriminalisasi perbuatan menghalangi jalannya persidangan dan Negara Indonesia sebagai salah satu negara anggota wajib mengikuti aturan tersebut;Di Indonesia ,Istilah Contempt of Court sudah ada sejak dibentuknya UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Penghinaan terhadap peradilan diartikan sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan. Hal ini termuat dalam Penjelasan Umum butir 4 Alinea ke 4 UU No 14 Tahun 1985 yang menyatakan:..........Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/ atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court”.Berdasarkan penjelasan umum diatas artinya wajib dibentuknya suatu UU khusus yang mengatur lebih lanjut tentang contempt of Court ini karena memang diatur dalam UU tersebut. Selain itu mengingat betapa banyaknya penghujatan terhadap pejabat peradilan yang sejatinya materi penghujatan tersebut tidak pernah ada, sementara itu terjadi pergeseran dari norma-norma sikap dan perilaku di kalangan masyarakat , yang dapat diketahui dengan rendahnya kepercayaan masyarakat baik terhadap pejabat peradilan, maupun terhadap lembaga peradilan dalam mencederai keadilan. Lahirnya UU Contempt of Court adalah prioritas utama demi terwujudnya kekuasan kehakiman yang mandiri serta tegaknya negara hukum.Untuk itu MA sudah menggagasnya dalam program legislasi nasional tahun 2015-2019 untuk menjaga harkat martabat lembaga peradilan dari campur tangan pihak luar kekuasaan pengadilan. MA telah mengelompokan bentuk-bentuk contempt of court sebagaimana yang tertuang dalam Naskah Publikasi tersebut diatas yaitu:    Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan ( Misbehaving in Court);    Tidak mentaati perintah pengadilan ( Disobeying Court Orders);    Menyerang Integritas dan Imparsialitas pengadilan ( Scandalising The Court)    Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan ( Obstructing jJustice)    Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan ( Contempt of court) dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub Judice Rule)Pengaturan Contempt of Court di IndonesiaMeskipun UU Contempt of Court belum disahkan namun Contempt of court terdapat pengaturannya secara terbatas dalam Pasal 207 KUHP. Pasal 217 KUHP dan Pasal 224 KUHP.Pasal 207 KUHP: “ Barang siapa membuat gaduh di dalam persidangan pengadilan atau di tempat seorang pegawai negeri menjalankan jabatannya yang sah di depan umum dan tidak mau pergi sesudah diperintahkan oleh atau atas nama kekuasaan yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya tiga minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiahPasal 217 KUHPbarang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat dimana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah dimuka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seibu delapan ratus rupiahPasal 224 KUHP:barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa menurut UU dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan UU yang harus dipenuhinya, diancam;    Dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;    Dalam Perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan;Pasal 218 KUHAPbahwa siapa wajib menunjukan sikap hormat kepada pengadilan. Jika bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya maka yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. dalam hal pelanggaran tata tertib tersebut termasuk dalam tindak pidana maka pelaku dapat dituntut.Selanjutnya dalam KUHP baru UU Nomor 1 tahun 2023 yang akan mulai berlaku tahun depan mengatur contempt of court dalam Bab VI tentang tindak pidana terhadap proses peradilan, yang terdiri dari penyesatan proses peradilan, mengganggu dan merintangi proses peradilan, pengrusakan gedung, ruang sidang dan alat perlengkapan persidangan dan perlindungan terhadap saksi dan korban .Adapun Pasal-Pasal dalam KUHP Baru yang berkenaan dengan Contempt of court yaitu;: Pasal 279 UU Nomor 1 Tahun 2023 ( KUHP Baru) menyatakan:    Setiap orang yang membuat gaduh di dekat Ruang Sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I;    Setiap orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama hakim dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IIPasal 280 KUHP baru menegaskan bahwa;    Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung;    tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;    Bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim;    Menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, mempublikasikan, proses persidangan secara langsung    Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dan huruf chanya dapat dituntut berdasarkan aduan;    Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh hakim.Pasal 281 KUHP Baru :Setiap orang yang menghalang-halangi mengintimidasi atau mempengaruhi Pejabat yang melaksanakan tugas penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, atau putusan pengadilan dengan maksud untuk memaksa atau membujuknya agar melakukan atau tidak melakukan tugasnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori VI.BEBERAPA KASUS CONTEMPT OF COURTBeberapa kasus di Indonesia yang termasuk ke dalam tindak pidana Contempt of Court adalah :    Tahun 1980 di PN Jakarta Pusat seorang Pengacara dalam Kasus HR Dharsono melakukan contempt of court dalam pembelaanya;    Tahun 1987 Mimi Lidawati , pelapor , melempar sepatu kepada majelis Hakim karena kesal kepada Hakim sudah memberi uang namun terdakwa dihukum ringan;    Tahun 1993 Pengunjung nasabah BPR PT Surya yang mengipas-ngipas uang sepuluh ribuan dalam sidang di PN Surabaya    Tahun 1999 seorang pengacara sering meninggalkan ruang sidang tanpa persetujuan majelis hakim dan pernah mengusulkan Majelis Hakim yang - menyidangkan perkara tersebut diganti;    Tanggal 15 November 2003 terjadi pembakaran gedung PN Larantuka NTT oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,;     Tanggal 23 Desember 2008 seorang Jaksa menyerang Hakim di PN Poso Sulteng sesaat setelah membebaskan terdakwa;    Tahun 2005 seorang Hakim ditusuk di ruang sidang - PA Sidoarjo    Pembakaran gedungi di PN Temanggung, Jawa Tengah tahun 2011,    tahun 2013 PN depok    Tahun 2013 seorang Hakim PN Gorontalo di serang saat berkendara    Tahun 2013 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ditembak hingga tewas saat berkendara menuju kantornya.    Tahun 2015 Kasus mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana, marah menantang majelis hakim dengan ucapan yang tak pantas ;    Tahun 2018 Pembakaran dan pengrusakan di PN Bantul    Tanggal 18 Juli 2019 seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membaca putusan dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakarta Pusat    Yang terbaru tanggal 6 Februari 2025 di PN Jakarta Utara, dua orang advokat yang bertengkar mulut di ruang sidang dan salah satu anak buah dari advokat itu naik ke meja ruang sidang;KESIMPULAN DAN SARANSanksi hukum terhadap etika di peradilan harus terus disosialisasikan dan diberlakukan agar perbuatan contempt of court tidak terus berulang.Contempt of court ada dimana mana . Tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga dilakukan oleh tokoh publik dan orang yang berlatar belakang pendidikan yang baik, bahkan berlatar belakang hukum dan berprofesi di bidang hukum. Untuk itu perlu disosialisasikan edukasi hukum kepada masyarakat untuk menjaga kesadaran hukum dan mengedepankan etika berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai nilai hukum. Perlu adanya perangkat hukum menyangkut pengamanan yang baku di ruang sidang yang melibatkan aparat hukum lainnya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan dan jaminan perlindungan yang cukup agar aparatur pengadilan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.Begitu seriusnya akibat dari tindak pidana contempt of court maka penyelesaian pembahasan Rancangan UU Contempt of Court menjadi prioritas utama demi kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tegaknya negara hukum

Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya

article | Opini | 2025-02-13 16:30:49

Berita Acara Sumpah Advokat Razman Arif Nasution yang diterbitkan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan Ketua Pengadilan Tinggi Banten dibekukan. Ini adalah pembekuan sumpah advokat yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Lalu apa dasar hukumnya?Pada hari Kamis, tanggal 13 Februari 2025 saya mendapatkan pesan di WhatsApp mengenai Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) 2 (dua) orang advokat yakni Razman Arif Nasution, S.H. yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan M. Firdaus Oiwobo, S.H. yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banten karena melanggar sumpah/janji advokat pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 6 Februari 2025. Sependek pengetahuan saya, hal tersebut merupakan praktik hukum baru yang belum ada atau belum pernah dilakukan sebelumnya, maka saya mencoba meninjau keabsahannya dari sudut pandang hukum administrasi apakah praktik ini merupakan bid’ah dholalah atau justru hasanah. Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada pokoknya ditentukan bahwa syarat sahnya keputusan meliputi : ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. dibuat sesuai prosedur dan substansi yang sesuai dengan objek keputusan dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan  dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Pejabat dalam menerbitkan keputusan, sekaligus menjadi alasan bagi warga masyarakat jika keberatan terhadap keputusan Pejabat serta menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menguji keabsahan keputusan pejabat.Dari aspek wewenang, pertanyaan yang timbul adalah apakah Ketua Pengadilan Tinggi berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat? Pasal 4 Undang-Undang Advokat menyebutkan: “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Produk yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi adalah Berita Acara Sumpah. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Berita Acara Sumpah Advokat merupakan Keputusan atau bukan, maka secara praktik berita acara dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu berita acara yang hanya menggambarkan suatu peristiwa misalnya berita acara sidang, namun ada pula berita acara yang tidak hanya menggambarkan suatu peristiwa melainkan juga mengandung unsur penetapan/keputusan misalnya berita acara yang diterbitkan oleh KPU tentang penetapan pasangan calon kepala daerah. Dalam hal ini Berita Acara Sumpah Advokat selain menggambarkan suatu peristiwa penyumpahan juga mengandung unsur penetapan/keputusan yaitu sempurnanya hak seseorang untuk menjalankan profesinya sebagai advokat.  Dari ketentuan-ketentuan tersebut dan ketentuan lain didalam Undang-Undang Advokat memang tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan wewenang bagi Ketua Pengadilan Tinggi untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat, namun demikian jika ditarik ke atas, maka berdasarkan asas contrarius actus, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), berwenang pula untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Dengan demikian, Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat sebagaimana disebutkan di atas.Selanjutnya bagaimana dengan prosedur dan substansinya? Oleh karena peraturan perundang-undangan belum mengatur, maka haruslah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik setidak-tidaknya asas kecermatan, asas kehatian-hatian dan asas kemanfaatan. Jika membaca konsideran pertimbangan penetapan Ketua Pengadilan Tinggi tersebut diketahui telah ada keputusan organisasi advokat yang menaunginya yang memberhentikan keduanya dari kepengurusan dan keanggotaan advokat. Hal tersebut yang mendasari diterbitkannya Penetapan Pembekuan BAS. Dalam menjatuhkan sanksi administratif berupa pembekuan, KPT juga tidak langsung mencabut dan membatalkan BAS, malainkan membekukannya terlebih dahulu. Pembekuan biasanya diterapkan dalam kasus perizinan dalam rangka menghentikan seketika pelanggaran namun masih dalam rangka menunggu adanya fakta-fakta hukum. Hal tersebut menunjukan adanya sikap cermat dan hati-hati dari KPT. Sedangkan asas manfaat antara lain dengan menerbitkan Penetapan Pembekuan BAS bagi advokat yang melanggar sumpah/janji, maka masyarakat akan merasakan hadirnya penegak hukum dengan membawa manfaat yaitu adanya penegakan hukum dan etika bagi Advokat yang melanggar sehingga masyarakat pencari keadilan sebagai user dari advokat akan terlindungi dari perilaku buruk advokat pelanggar etika. Para advokat yang lain dan organisasi advokat juga akan menerima manfaat yaitu terlindungi marwah profesinya advokat dari advokat pelanggar etika, serta bagi Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan lebih terjaga kondusifitasnya karena pemeriksaan perkara dengan terdakwa Razman Arif Nasution masih berjalan.Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ambon selain berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat juga telah menjalankan wewenang tersebut sesuai dengan prosedur dan substansi. Selanjutnya bagaimana implikasi dari pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat ? Berdasarkan asas praesumptio justae causa, maka keputusan pejabat harus dianggap benar sebelum adanya pembatalan dari pejabat yang bersangkutan, atasannya atau oleh pengadilan. Dengan demikian maka Penetapan Pembekuan BAS dapat dilaksanakan dan tidak tertunda pelaksanaannya meskipun diajukan sebagai objek gugatan.Meskipun demikian, perlu diingat bahwa pembekuan bersifat sementara sambil menunggu kepastian adanya pelanggaran etika atau bahkan pelanggaran hukum sebagaimana laporan Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada pihak Kepolisian, karenanya kelak jika telah ada kepastian hukum atas dugaan tindak pidana kedua advokat tersebut, tentu harus disikapi lagi apakah kepada kedua advokat tersebut akan direhabilitasi atau justru sebaliknya akan dilakukan pencabutan BAS Advokat secara permanen. Saya secara pribadi mengapresiasi sikap Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ambon yang telah menerbitkan Penetapan Pembekuan BAS Advokat karena pernah ada seorang advokat yang telah diberhentikan oleh organisasi advokat, ternyata masih dapat bersidang lagi diseluruh Pengadilan di Indonesia karena setelah pindah organisasi advokat tidak pernah dilakukan pembekuan apalagi pencabutan BAS. Keputusan KPT Banten dan Ambon tentunya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Mahkamah Agung untuk melakukan perbaikan dalam beberapa hal misalnya : membuat template Berita Acara Sumpah Advokat karena ternyata Berita Acara Sumpah Advokat di masing-masing Pengadilan Tinggi berbeda-beda format satu sama lain serta membuat kebijakan Mahkamah Agung yang memuat kewenangan, Prosedur dan substansi pembekuan dan pencabutan Berita Acara Sumpah Advokat agar lebih memiliki kepastian hukum.Dr Tri Cahya Indra PermanaHakim Yustisial Kamar Tata Usaha Negara

Jangan Berkecil Hati, Hakim Indonesia

article | Opini | 2025-02-12 18:00:21

Setiap tahunnya ribuan hakim, Panitera, Jurusita, aparatur administratif peradilan dari seluruh indonesia dididik dan dilatih di badan Diklat Strategi Kebijakan Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI. Ribuan hakim dan aparatur teknis dan adminitratif kesekretariatan Peradilan Indonesia itu setiap di kelas selalu mengungkapkan keinginan untuk menjadikan peradilan dan Mahkamah Agung yang kami cintai ini menjadi lembaga yang agung. Yang mana pengadilan menghasilkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan, melalui putusan-putusan yang di dalamnya mengandung legal resoning yang cerdas, bijak dan diputus oleh jiwa-jiwa yang berintegritas.Tapi tahukah kamu kawan, bahwa sesungguhnya kami para hakim dan aparatur pengadilan di berbagai pelosok di tanah air ini setiap hari bersidang, mempertimbangkan dengan matang dan telah banyak memutus perkara-perkara dengan mempertimbangkan aspek kebenaran, kemanfaatan, kepastian dan keadilan bagi masyarakat. Ada banyak putusan-putusan hakim yang secara nyata memyelesaikan konflik, mengembalikan harmoni di masyarakat dan diterima putusan tersebut sebagai putusan yang adil dan menyelesaikan masalah. Contoh misalnya banyak penetapan diversi pengadilan dan putusan pidana dengan mengembalikan pelaku pidana yang dilakukan anak kepada orangtuanya setelah orangtua pelaku memulihkan kerugian korban dan korban memaafkan pelaku. Putusan Pidana dalam kasus kekerasan dan pengerusakan barang yang mengakibatkan pertikaian sosial di mana pengadilan mampu mendamaikan para pihak berkonflik dan menjatuhkan putusan pidana yang diterima baik oleh korban, pelaku dan masyarakat. Putusan-putusan perdata terkait sengketa kepemilikan lahan yang mampu didamaikan oleh pengadilan dan putusan-putusan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan TUN dan Pengafilan Militer di pelosok negeri ini yang  isi putusannya berpihak pada rakyat, kemanusiaan dan keadilan. Namun demikian putusan-putusan yang mengandung kepastian, kemanfaatan dan keadilan itu memang tidak banyak diberitakan media massa sehingga tidak banyak diketahui orang. Kami menyadari bahwa jika Pengadilan menjatuhkan putusan-putusan yang adil itu, maka sesungguhnya memang tugas  dan kewajiban yang melekat pada kami sehingga kami tidak perlu pujian untuk itu.Sama halnya jika dalam putusan-putusan yang dibuat oleh kolega-kolega kami di beberapa pengadilan yang dinilai kontroversial atau dianggap tidak tepat bahkan dinilai tidak adil. Yang sesungguhnya jumlahnya hanya sedikit saja itu namun viral. Kemudian seolah-olah putusan tersebut merepresentuasikan seluruh aparatur pengadilan di Indonesia tentu saja kami perlu meluruskan hal itu.  Bahwa putusan hakim terkadang tidak selalu memuaskan keinginan semua pihak namun dalam suatu putusan perkara yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama sesungguhnya masih diberikan ruang upaya hukum pada level pengadilan diatasnya. Maka seharusnya jangan dulu cepat mengambil kesimpulan bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Bahwa kami menyadari masih ada aparatur kami di peradilan yang masih belum amanah ditangkap karena memperjualbelikan putusan. Namun percayalah jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan puluhan ribu aparatur peradilan  yang bekerja dengan baik, amanah dan jujur.Sahabat peradilan Indonesia jangan berkecil hati. Mari tegakkan terus keadilan. Jadikan tugas pengadilan yaitu menerima, memeriksa dan mengadili perkara itu sebagai pengabdian diri  pada komitmen kerja, kemuliaan profesi dan pada akhirnya kebanggan kita sebagai pengabdi pada kemanusiaan dan keadilan. Mari wujudkan peradilan yang agung, mari latih akal logika yang lurus. Kepastian, kemanfaatan dan keadilan yakinkan dalam tekad sungguh. Jangan takut kawan, karena kamu cadas : cerdas berintegritas. Miskin kaya tidak akan membuatmu tumbang . Susah senang  mental hakim akan selalu tenang. Ingat selalu Tuhan serap pengetahuan, lingkungan dan semesta kehidupan. Mari para hakim Indonesia jatuhkan putusan yang sesuai fakta dan bukti kebenaran, menggunakan logika dan akal sehat dalam kecerdasan hukum dan ilmu pengetahuan, serta mempertimbangkan asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan hukum dengan jiwa-jiwa integritas.Inilah suara kami, suara Kader Mahkamah Agung Indonesia!Salam  Cadas: Cerdas Berintegrigritas.Syamsul Arief(Kapusdiklat Teknis Peradilan MA dan Redaktur Senior Petitum ID)

Persidangan Merupakan Bagian Dari Negara Yang Harus Dihormati

article | Opini | 2025-02-11 19:00:30

Dalam sistem ketatanegaraan kita dikenal adanya 3 (tiga) cabang kekuasan (trias politica) yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function) dan ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Ketiga cabang kekuasaan tersebut berdiri sejajar, yang satu sama lain dapat saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Ini merupakan cita-cita reformasi pasca amandemen UUD 1945.Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan  peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan  peradilan  umum, lingkungan peradilan  agama, lingkungan  peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, menjalankan tugasnya melalui persidangan. Persidangan merupakan konkretisasi dari Pengadilan yang harus dihormati dan dijaga kewibawaannya. Dari segi hukum formil, Negara telah mengatur secara tegas bentuk penghormatan kepada Pengadilan. Dalam pasal 218                           Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. Bahkan dalam Pasal 232 Undang-Undang tersebut menyebutkan “(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang. (2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat. (3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat.” Di dalam setiap ruangan persidangan harus dipasang lambang Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1958 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1959. Ini menunjukkan kalau persidangan yang dilaksanakan dan dipimpin oleh Hakim merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi sebuah Negara.Akhir-akhir ini dunia peradilan kita tercoreng dengan peristiwa yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang sangat menciderai kehormatan persidangan maupun Pengadilan. Peristiwa tersebut layaknya seperti fenomena gunung es, yang terlihat di atas hanya sedikit, padahal telah banyak kejadian yang terjadi sebelumnya. Adanya peristiwa tersebut kiranya menjadi urgensi bagi pembuat undang-undang dalam mengesahkan Undang-Undang Contempt Of Court, karena akan menjadi tidak efektif kalau tata cara berperilaku di persidangan telah diatur dengan baik, namun pelanggaran terhadap tata cara tersebut tidak diatur dengan tegas.  

Trial by Social Media: Keadilan Sejati Vs Trending Topic

article | Opini | 2025-02-11 10:00:14

Putussibau- Sebagai seorang hakim yang berhadapan langsung dengan dinamika peradilan kontemporer, kami menyaksikan bagaimana era digital telah membawa transformasi dalam sistem peradilan kita. Fenomena trial by social media bukan lagi sekadar istilah asing. Ia telah menjadi realitas sehari-hari yang harus kami hadapi. Sebuah perkara kini tidak hanya diadili di ruang pengadilan, tetapi juga menghadapi "pengadilan" di ruang publik digital yang berlangsung secara masif dan real-time.Pergeseran dari court of law menuju court of public opinion ini mengakibatkan keresahan bagi kami. Dengan lebih dari 170 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, setiap langkah dalam proses peradilan kini berada di bawah pengawasan publik yang ketat. Saya teringat bagaimana kasus-kasus seperti Ferdy Sambo, Jessica-Mirna, hingga Yu Hoa, kasus tambang emas yang melibatkan WNA China, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh narasi media sosial dalam membentuk persepsi publik, bahkan sebelum palu hakim diketuk.Di Hari Pers Nasional ini, izinkan kami berbagi kegelisahan sekaligus harapan. Bagi kami para hakim, tantangan tidak lagi sekadar tentang menimbang alat bukti dan menegakkan hukum dan keadilan. Kami kini harus berhadapan dengan berbagai bentuk tekanan digital, mulai dari doxing yang mengancam privasi keluarga, intimidasi digital yang mengganggu ketenangan jiwa, hingga kampanye terstruktur yang berusaha mempengaruhi putusan. Belum lagi tekanan psikologis saat hashtag-hashtag terkait perkara yang kami tangani menjadi trending topic.Dilema yang kami hadapi semakin kompleks ketika harus menyeimbangkan antara asas praduga tak bersalah dan tuntutan transparansi publik. Ada saat-saat di mana kami harus menjelaskan kepada keluarga mengapa komentar-komentar negatif di media sosial tidak boleh mempengaruhi objektivitas putusan, meski terkadang komentar tersebut menyakitkan dan tidak berdasar. Kebebasan pers dan ekspresi yang menjadi pilar demokrasi terkadang berbenturan dengan ketentuan contempt of court, menciptakan area abu-abu yang perlu diluruskan dengan hati-hati.Bagian yang memprihatinkan juga adalah bagaimana "bukti sosial" yang viral kerap dianggap lebih valid oleh publik dibanding pembuktian formal di pengadilan (Post-truth era). Dalam beberapa kasus yang kami tangani, publik lebih mempercayai tangkapan layar percakapan atau video viral dibandingkan dengan bukti-bukti yang telah diuji di persidangan. Tantangan ini menunjukkan pentingnya edukasi publik tentang proses hukum dan pembuktian yang sah.Sebagai respons terhadap tantangan ini, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yudikatif harus mengambil berbagai langkah strategis. Urgensi pembaruan regulasi contempt of court yang lebih adaptif terhadap era digital tidak bisa ditunda lagi. Regulasi ini harus mampu mengakomodasi berbagai bentuk penghinaan pengadilan di ruang digital, namun tetap menjamin kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Pengalaman menghadapi berbagai bentuk intimidasi digital membuat kami menyadari pentingnya publikasi dan edukasi lembaga dalam penanganan krisis media sosial di setiap pengadilan.Hal yang tidak kalah krusial adalah perlunya membangun kolaborasi strategis dengan platform media sosial untuk mendeteksi dan memoderasi konten yang berpotensi mengganggu proses peradilan. Upaya ini harus diimbangi dengan penguatan kapasitas internal, termasuk literasi digital dan manajemen krisis media sosial bagi para hakim. Kami menilai, hal ini bukan sekadar tentang memahami teknologi, tetapi juga tentang membangun ketahanan mental dalam menghadapi berbagai bentuk tekanan digital.Di tengah kompleksitas tantangan ini, kami tetap optimis. Pengalaman menangani berbagai perkara yang menjadi sorotan publik mengajarkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan harus dibangun melalui dialog yang konstruktif. Di momentum Hari Pers Nasional ini, kami mengajak kita semuanya—para jurnalis, warganet, dan seluruh elemen masyarakat—untuk bersama-sama menjadi bagian dari solusi. Mari jadikan media sosial sebagai ruang diskusi yang sehat tentang hukum dan keadilan, bukan arena untuk trial by social media yang dapat mencederai marwah peradilan.Marilah bersama menjaga marwah peradilan di era digital dengan menjadi insan Indonesia yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, keadilan sejati tidak pernah bisa direduksi menjadi sekadar trending topic. Ia adalah buah dari proses hukum yang sakral, independen, objektif, dan bermartabat. Pada akhirnya, kami ucapkan Selamat Hari Pers Nasional!

Jalan Keadilan Itu Bernama Harmonisasi Yurisprudensi dan SEMA Perdata

article | Opini | 2025-02-10 10:25:23

Yurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Lalu bagaimana cara ‘mengawinkan’ keduanya?PendahuluanSistem peradilan di Indonesia bertumpu pada beberapa sumber hukum yang membentuk dan mengarahkan praktik hukum di pengadilan. Di antara sumber hukum tersebut, yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) memegang peran penting dalam memberikan kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan. Yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di masa depan. Sementara itu, SEMA merupakan pedoman resmi yang dikeluarkan Mahkamah Agung guna memberikan arahan terhadap penerapan hukum di seluruh tingkat peradilan.Meskipun memiliki kedudukan yang berbeda dalam sistem hukum, yurisprudensi dan SEMA sering kali memiliki titik singgung dalam berbagai aspek hukum. Beberapa putusan yang telah menjadi yurisprudensi diperjelas atau diperluas cakupannya dalam SEMA, atau sebaliknya, SEMA mengkodifikasi prinsip yang telah berkembang dalam yurisprudensi. Dengan demikian, keduanya berperan dalam membentuk harmoni dalam sistem peradilan Indonesia.Artikel ini akan mengupas empat contoh spesifik di mana terdapat kesamaan prinsip antara yurisprudensi dan rumusan kamar perkara dalam SEMA, serta bagaimana titik singgung tersebut memberikan dampak pada praktik hukum di Indonesia.Prinsip Ne Bis In Idem: Perbedaan Subjek dalam Kasus yang SamaYurisprudensi Nomor Register 1226 K/Pdt/2001 menegaskan bahwa meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan nebis in idem.SEMA Nomor 7 Tahun 2012, Sub Perdata Umum – XVII, Gugatan nebis in idem yang menentukan menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai  nebis in idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan: pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak dan status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.Dalam praktik hukum, prinsip ne bis in idem berfungsi untuk mencegah terjadinya gugatan ganda terhadap objek yang telah diputus secara berkekuatan hukum tetap. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah perubahan dalam subjek gugatan dapat menghindarkan suatu perkara dari prinsip ini?Yurisprudensi menyatakan bahwa perubahan dalam subjek gugatan tidak serta-merta menggugurkan prinsip ne bis in idem apabila objek yang disengketakan tetap sama. SEMA kemudian menegaskan prinsip ini dengan memberikan panduan yang lebih rinci bahwa perubahan kecil dalam subjek merupakan ne bis in idem. Dengan demikian, titik singgung antara keduanya adalah bahwa perubahan dalam pihak yang berperkara tidak boleh menjadi celah untuk mengajukan gugatan baru terhadap objek yang telah diputus sebelumnya.Hak Asuh Anak Pasca PerceraianYurisprudensi Nomor 126 K/Pdt/2001 menetapkan bahwa bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu.SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata umum, 1.d. menentukan bahwa hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.Hak asuh anak merupakan aspek krusial dalam hukum keluarga yang sering kali menjadi sengketa dalam perceraian. Yurisprudensi secara umum mengakui bahwa ibu lebih pantas mendapatkan hak asuh karena kedekatan emosional dan perannya dalam kehidupan anak sejak dini. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua ibu dapat memberikan lingkungan yang optimal bagi tumbuh kembang anak.Melihat kebutuhan hukum yang lebih dinamis, SEMA memberikan fleksibilitas dengan menegaskan bahwa hak asuh anak dapat diberikan kepada ayah apabila terdapat kondisi yang membuktikan bahwa anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama ayahnya. Titik singgung antara kedua rujukan ini adalah bahwa hak asuh pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu yang lebih menguntungkan bagi anak.Konversi Mata Uang Asing dalam Putusan PengadilanYurisprudensi Nomor 1/Yur/Pdt/2018 menyatakan bahwa Petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing harus memuat perintah Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai kurs tengah Bank Indonesia pada saat pembayaran dilakukan.SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata Umum, 1.e., menguatkan prinsip ini dengan menyatakan bahwa dalam hal hakim mengabulkan petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing, maka dalam diktum amar harus memuat pula perintah kepada Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai “Kurs Tengah” yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada hari dan tanggal pelaksanaan pembayaran dilakukan (vide Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang).Dalam transaksi keuangan internasional yang melibatkan mata uang asing, sering kali muncul permasalahan mengenai bagaimana pembayaran dalam mata uang asing harus dilakukan dalam konteks hukum Indonesia. Yurisprudensi memberikan panduan bahwa dalam putusan yang menyangkut pembayaran dalam mata uang asing, harus ada perintah untuk mengonversikannya ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.SEMA kemudian mengadopsi prinsip ini dengan memberikan dasar hukum yang lebih kuat dari UU Mata Uang. Dengan demikian, titik singgungnya adalah bahwa konversi ke Rupiah wajib dilakukan dalam setiap putusan yang mengharuskan pembayaran dalam mata uang asing, dan patokan kurs yang digunakan adalah kurs tengah Bank Indonesia.Kriteria Pembeli Beritikad Baik dalam Jual Beli TanahYurisprudensi Nomor 6/Yur/Pdt/2018 menetapkan bahwa apabila jual beli tanah dilakukan dihadapan PPAT dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau membeli melalui kantor lelang negara pembeli tanah harus dipandang sebagai pembeli yang beritikad.SEMA Nomor 4 Tahun 2016, Perdata, 4. memberikan kriteria lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan pembeli beritikad baik yakni dengan melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan dan melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal yang  kaitan dengan objek Tanah yang diperjanjikan.Dalam transaksi jual beli tanah, sering kali muncul persoalan mengenai status pembeli yang dapat dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Yurisprudensi menyatakan bahwa pembeli yang melakukan transaksi dengan prosedur sah harus dianggap sebagai pembeli beritikad baik. Namun, SEMA menambahkan kriteria lebih lanjut, termasuk pengecekan status tanah, tidak adanya sengketa, serta verifikasi dokumen kepemilikan.Dengan demikian, titik singgung antara yurisprudensi dan SEMA adalah bahwa pembeli yang mengikuti prosedur hukum yang berlaku harus dilindungi, tetapi perlindungan tersebut hanya diberikan jika pembeli telah melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap status tanah yang dibelinya.KesimpulanYurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Yurisprudensi sering kali menjadi pedoman awal yang kemudian diperjelas atau diperluas oleh SEMA, mencerminkan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas dalam praktik peradilan. Titik singgung utama antara keduanya adalah:Prinsip Ne Bis In Idem tetap berlaku meskipun terjadi perubahan kecil dalam subjek gugatan.Hak asuh anak pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu.Konversi mata uang asing ke Rupiah wajib dilakukan dengan kurs tengah Bank Indonesia.Pembeli beritikad baik adalah mereka yang melakukan transaksi dengan prosedur sah dan telah melakukan uji tuntas terhadap status tanah.Dengan harmonisasi antara yurisprudensi dan SEMA, sistem peradilan Indonesia dapat terus berkembang dalam memberikan keadilan yang lebih jelas, konsisten, dan adaptif terhadap dinamika hukum yang terus berubah.

Judol : Penjudi Atau Korban Penipuan?

article | Opini | 2025-02-09 10:00:26

Menurut Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, perputaran uang judi online (judol) di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp900 triliun. Angka ini hampir menyaingi APBN Indonesia itu sendiri. Dampak sosial yang dirasakan dari adanya judi online dapat dilihat dari meningkatnya kriminalitas, korban bunuh diri, keretakan rumah tangga serta memperlemah daya beli masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, Pemerintah memerintahkan Kepolisian melakukan tindakan tegas dan juga meminta semua Instansi untuk melakukan sosialisasi pelarangan di dalam Instansinya masing-masing. Alhasil, banyak kasus terbongkar yang bahkan melibatkan pihak Kementerian. Mahkamah Agung juga tidak tinggal diam dan melakukan rapat khusus untuk menanggulangi hal ini dengan cara memerintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi untuk menyampaikan kepada setiap Ketua Pengadilan Negeri agar mensosialisasikan pelarangan pegawai untuk bermain judi online.Perbedaan Judi Online dan Judi KonvensionalJudi online pada dasarnya berbeda dengan judi konvensional pada umumnya. Pada judi konvensional, seperti sabung ayam dan lain sebagainya, terjadi permainan untung-untungan dimana semua pihak tidak tahu siapa yang akan menang dari pertandingan tersebut. Keacakan dan ketidaktahuan hasil yang akan datang dari para pemain adalah kunci dari judi. Namun, berbeda dengan judi online. Judi online yang marak terjadi adalah permainan dari aplikasi dimana disediakan oleh mesin yang berbasis algoritma. Disini banyak pengguna aplikasi judi online tidak tahu, bahwa pada dasarnya hasil yang dimainkannya tersebut sudah ditentukan dari awal. Tidak ada variabel acak dari judi online. Mengapa Penulis berani mengatakan demikian? Mereka yang mengerti bagaimana komputer bekerja akan paham bahwa tidak ada namanya algoritma acak. Ketika programmer menyusun algoritma, algoritma itu disusun berdasarkan sistem matematika. Programmer tidak bisa membuat suatu algoritma dimana komputer dapat bekerja di luar daripada algoritma yang disusunnya sendiri. Karena pada sejatinya komputer tidak memiliki kehendak bebas (freewill). Selama peradaban dunia belum menemukan komputer quantum dan masih memakai sistem bits nol dan satu, maka kita tidak dapat menyuruh komputer untuk bekerja diluar daripada susunan perintah yang diberikan. Kalaupun ada Machine Learning, itu bukan berarti komputer tersebut memiliki kehendak bebas (freewill). Tetapi, komputer merekam pola-pola baru dari data baru yang diperintahkan oleh pembuat algoritma. Artinya, tidak ada sesuatu yang acak dan bersifat probabilistik didalam Sistem Komputer. Semuanya telah ditentukan dari awal. Semuanya Newtonian. Semuanya Predeterministik. Dan pembuat algoritma tersebut tahu apa hasil yang akan terjadi selanjutnya dari sistem yang dibuatnya sendiri. Sehingga, para pembuat game dan aplikasi judi online membuat ilusi keacakan kepada penggunanya. Karena kembali lagi ke motif ekonomi, tidak ada bandar judi online yang ingin rugi.Pelajaran dari Kasus BinomoAkan tetapi, bukankah seharusnya pemain judol mengerti hal ini? Tidakkah sebelumnya ada hal yang mirip yang pernah terjadi yakni aplikasi Binomo yang dipopulerkan oleh Indra Kenz yang sekarang menjadi Terpidana? Dimana pada aplikasi Binomo, chart-chart saham atau forex yang ditayangkan berbeda dengan chart pasar sebenarnya dan ternyata sudah ditentukan oleh pembuat algoritma Binomo itu sendiri? Tidakkah harusnya hal ini menjadi pelajaran untuk para penjudol?Efek Psikologis Judi OnlineApa yang membedakan Binomo dengan judi online adalah judi online jauh lebih canggih daripada Binomo. Pada judi online memiliki perbedaan dimana mereka tidak saja menggunakan ilusi keacakan, namun juga mempelajari bagaimana otak manusia bekerja dan juga memanfaatkan data jaringan relasi dari pemain judol, sehingga menghasilkan efek euforia dan kecanduan yang luar biasa dan pemviralan yang merambat dengan cepat. Penulis pernah menonton film dokumenter dari National Geographic Channel berjudul Brain Games. Dimana pada film dokumenter tersebut menjelaskan bahwa bunyi-bunyi tertentu dan warna-warna tertentu dapat menghasilkan kebahagian luar biasa bagi penggunanya. Ini sering dipakai pada acara kuis pada acara TV dahulu. Jika peserta menjawab dengan benar, maka akan muncul lagu, cahaya dan warna-warna yang menggambarkan kegembiraan, sehingga membuat euforia lebih dalam lagi. Menurut ahli Neurosains, lampu, suara dan warna-warna tersebut akan membuat level kecanduan pemain lebih besar. Karena pemain ternyata tidak hanya ingin mendapatkan kemenangan dalam bentuk uangnya saja, tetapi dia ingin mendapatkan euforia yang tersedia yang menghasilkan dophamine di kepalanya. Ini alasan mengapa beberapa penjudi walaupun tahu dia memiliki peluang kecil untuk menang, tapi dia tetap ingin bermain karena sebenarnya dia tidak mengincar uangnya, tetapi euforianya. Ini mirip seperti efek Narkoba. Para Bandar Judol Memanfaatkan Network ScienceNetwork Science adalah ilmu yang mempelajari jaringan atau koneksi seperti Telekomunikasi, Biologi, Sosial Antropologi dan lain sebagainya. Ilmu ini sangat penting dikarenakan mampu memprediksi dengan akurat dan bahkan mempengaruhi objek yang dituju. Ini dipakai dalam banyak hal, termasuk dalam mempengaruhi calon pemilih untuk memilih pasangan Calon Presiden mana yang akan dimenangkan, seperti skandal Cambridge Analytica yang pernah bocor di Tahun 2018. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nial Ferguson dalam film dokumenter berjudul Networld menunjukkan bahwa pengaruh jaringan dan koneksi dapat mempengaruhi manusia. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa obesitas ternyata memiliki dampak menular. Dimana orang yang memiliki lingkaran relasi yang obesitas akan memiliki probabilitas untuk menjadi obesitas juga. Padahal obesitas bukanlah penyakit menular. Tapi, dalam penelitian itu menunjukkan obesitas dapat menular seperti penyakit karena pengaruh orang disekitarnya. Jaringan dan relasi dapat sangat mempengaruhi seseorang. Ini juga dapat dilihat pada bagaimana pengguna rokok menyebar. Orang yang tidak merokok pada awalnya akan mulai ikut-ikutan merokok dikarenakan lingkarannya juga merupakan perokok. Sehingga, sifat dapat menular kepada seseorang dikarenakan pengaruh jaringan. Ini mirip seperti apa yang tertulis dalam Hadis yang berkata “Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (Hadis Abu Daud).  Juga dijelaskan dalam ayat Alkitab yang berkata “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik. Sadarlah kembali sebaik-baiknya dan jangan berbuat dosa lagi! Ada di antara kamu yang tidak mengenal Allah. Hal ini kukatakan, supaya kamu merasa malu.” (1 Korintus 15:33-34).Penggunaan Network Science juga digunakan oleh pembuat aplikasi judol dimana mereka akan melihat data para pemainnya. Dia akan melihat apakah pemain ini mempunyai jaringan yang banyak, posisi jabatan yang tinggi, rekan, anggota atau teman yang banyak dan relasi lainnya. Jikalau iya, maka pembuat aplikasi judi online akan sesekali memberikan kemenangan kepada orang-orang pada kategori tersebut. Tujuannya? Agar ketika orang tersebut menang, dia akan menceritakan ke relasinya atau mengadakan pesta atau menjamu relasinya yang banyak tersebut. Kemudian relasinya akan tertarik melihat kemenangan dan euforia yang mereka lihat, sehingga ikut bermain dan terjadilah keviralan yang efektif mempengaruhi dan menambah para pemain judi online. Kemudian, dari antara mereka yang punya jaringan yang paling banyak juga akan dibiarkan menang agar menularkan kembali euforia tersebut. Begitu terus sampai merambat bahkan sampai ke pelosok ibu Pertiwi. Ini mengapa kerugian Judol tersebut bisa mencapai 900 Triliun karena perambatannya yang luar biasa. Ini seperti Multi Level Marketing (MLM) tapi lebih efektif dikarenakan ekspresi dari pemenang tersebut adalah asli dan dilihat oleh relasinya. Sedangkan, MLM sering seperti sales yang berpura-pura dan teman-temannya mengerti kepura-puraan itu. Inilah yang membuat penularan judol tersebut begitu marak. Apalagi, relasinya kadang melihat yang menang tidak hanya satu orang saja, tetapi lebih dari satu. Lebih parahnya lagi, mereka yang punya relasi sedikit dan punya teman yang sedikit dan sering di dalam kamar sendirian, menurut ahli Psikologi, memiliki kerentanan akan depresi yang tinggi. Jika orang tersebut terkena judol, maka tingkat untuk bunuh diri sangat tinggi.  Sering orang yang seperti itulah yang dibuat kalah karena dia tidak memiliki jaringan yang banyak untuk “ditularkan”, sehingga tidak terlalu menguntungkan bagi bandar judi online. Tentu ada pemain yang diberikan kemenangan palsu agar mengira apa yang dimainkannya adalah benar-benar nyata. Disini juga bandar judol juga melihat status orang tersebut dan berapa pendapatannya. Dari pola permainannya, Bandar dapat mengetahui apakah pemain tersebut sudah kecanduan atau belum. Bahkan lebih parahnya lagi, jika pemain tersebut tidak memiliki uang, maka bandar judol dapat menawarkan Pinjol kepada dirinya. Padahal, seperti yang Penulis jelaskan sebelumnya, tidak ada algoritma acak. Semua telah ditentukan dari awal siapa yang akan menang. Pemain hanya mendapatkan ilusi keacakan belaka dari kejahatan yang terorganisir. Oleh karena itu, untuk mencegah penyebaran judol secara masif, maka Pemerintah pun harus juga menggunakan Network Science untuk mengkampanyekan anti judi online serta penipuan dibaliknya agar penyebaran masif dari judi online dapat ditekan. Kampanyekan penipuan dibaliknya, sehingga para penjudi dan calon penjudi akan mengerti bahwa apa yang mereka mainkan bukanlah judi, tetapi penipuan sistematis.

Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan

article | Opini | 2025-02-09 09:00:40

UU Kepailitan di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Lalu bagaimana seharusnya?Kepailitan merupakan suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor yang ditujukan untuk membagi harta tersebut untuk membayar utang-utang debitor kepada para kreditornya secara pari passu atau berimbang, kecuali ada kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.Kepailitan terhadap suatu subjek hukum baik perseorangan (natuurlijke persoon, individual insolvency) maupun badan hukum atau perusahaan (rechtspersoon, corporate insolvency) dapat terjadi jika beberapa persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat terpenuhi, antara lain minimal ada dua kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Persyaratan tersebut tanpa membedakan apakah debitor hanya sekedar tidak bersedia membayar kreditornya karena adanya alasan-alasan tertentu, misalnya jika kreditor tidak melaksanakan prestasi yang telah diperjanjikan sebelumnya, atau memang benar debitor sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utang nya tersebut (insolven).Memperhatikan syarat kepailitan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, sedangkan hukum kepailitan dalam hal ini sama sekali tidak melarang dan mengatur mengenai kemungkinan dipailitkannya debitor yang masih memiliki kekayaan yang masih cukup untuk membayar utang-utangnya. Hal ini dapat merugikan perusahaan yang sebenarnya masih dalam keadaan solven pada saat Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan pailit. Kondisi tersebut bisa terjadi karena Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia mengatur demikian.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut tidak mensyaratkan kondisi atau hal lain selain dua hal tersebut, termasuk tidak mensyaratkan solvabilitas debitor. Hal ini berarti bahwa apabila hakim hanya menggunakan parameter dua hal tersebut, maka tidak dapat disalahkan dan bahkan telah melaksanakan ketentuan undang-undang. Bahkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengharuskan hakim untuk mengabulkan permohonan pailit tersebut.Penerapan hukum kepailitan dalam hal ini Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 oleh hakim pengadilan niaga secara legistis, tekstual dan sinkronis, dapat menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks serta menciptakan suatu ketidakadilan untuk kasus tertentu, seperti dalam kasus-kasus kepailitan terhadap debitor yang sangat solven dalam kasus kepailitan tersebut di atas. Di sinilah perlunya pembatasan untuk kasus tertentu. Oleh karena itu, solvabilitas perusahaan harus dipertimbangkan oleh hakim yang memutus permohonan pailit.Landasan Filosofis Tidak Diberlakukannya Insolvency Test di IndonesiaUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 cenderung lebih memudahkan kreditor dalam mengajukan permohonan pailit. Permohonan dengan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta diketahui debitor memiliki dua kreditor permohonan pengajuan pailit dapat langsung diterima serta diputuskan oleh hakim. Selain itu, disertai prinsip pembuktian sederhana membuat debitor semakin mudah untuk dipailitkan. Debitor susah untuk membela diri dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kondisi keuangan debitor tidak dipandang sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hal ini seringkali dipandang sebagai asal mula terjadinya ketidakadilan bagi debitor karena permasalahan antara kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan terkadang bukan disebabkan oleh alasan debitor tidak mampu membayar tapi debitor tidak mau membayar karena ada sengketa perdata mengenai pelaksanaan perjanjian antara debitor dan kreditor.Secara filosofis terjadi ketidakadilan terhadap debitor, khususnya terhadap debitor yang berada dalam keadaan keuangan sehat dan memiliki aset jauh lebih besar dari pada utangnya. Kondisi keuangan debitor yang sehat dan usaha yang prospektif tidak dapat dijadikan alasan untuk hakim menolak permohonan pailit. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, pada umumnya terjadi hanya untuk pemenuhan unsur jumlah kreditor lebih dari satu dan keadaan gagal bayar (tidak membayar) salah satu utang yang jatuh tempo, maka keadaan tersebut dapat dimohonkan pailit, pemenuhan unsur ini seringkali tidak melihat keadaan debitor apakah solven (mampu membayar) atau insolvensi. Hal ini karena dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit di Indonesia hanya didasarkan pada sistem pembuktian sederhana terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) terkait pembuktian sederhana yang hanya menyandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) terkait persyaratan dapat tidaknya debitor dipailitkan justru berisi aturan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak adanya pengujian apakah benar seorang debitor telah dalam keadaan tidak mampu (insolvency test). Tidak diaturnya insolvensi test untuk menentukkan kepailitan di Indonesia adalah berkaitan dengan asas actori incumbit probitio yang dianut dalam hukum pembuktian di Indonesia. Asas tersebut terdapat dalam Pasal 163 HIR yang bermakna, barangsiapa yang mendalilkan hak maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa hukum acara perdata di Indonesia menganut asas actori incumbit probitio sehingga apabila insolvensi tes diterapkan maka pemohon pailit harus bisa membuktikan termohon pailit berada dalam keadaan insolvensi. Atas kondisi tersebut akan menjadi semakin rumit jika pemohon tidak bisa untuk mengakses laporan keuangan termohon.Tidak diaturnya insolvensi tes dalam hukum kepailitan di Indonesia erat kaitannya dengan sistem pembuktian di dalam Hukum Kepailitan Indonesia menerapkan prinsip pembuktian sederhana. Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana merupakan suatu syarat absolut yang membatasi kewenangan dari pengadilan niaga dalam upaya membuktikan apakah seorang debitor yang dimohonkan pailit tersebut terbukti mempunyai sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta tidak dapatnya debitor tersebut untuk melunasi utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Adanya prinsip pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia inilah yang menjadi alasan tidak diterapkannya insolvensi tes di Indonesia. Adanya ketentuan untuk membuktikan terlebih dahulu seorang debitor benar-benar insolvent atau yang lazim disebut insolvency test akan mengakibatkan pemohon pailit dibebani kewajiban membuktikan bahwa usaha termohon sudah kolaps, modalnya di bawah 50 persen, dan terus tergerus utang. Masalah ini akan dibuktikan di pemeriksaan awal, semacam dismissal process di Pengadilan Tata Usaha Negara. Keberadaan insolvensi tes akan membuat pembuktian tidak lagi dapat dilakukan dengan sederhana karena masih harus dilakukan beberapa tahapan.Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Solven Yang Beritikad BaikItikad baik dalam perkara kepailitan ini tidak hanya berupa “niat” atau “keinginan” semata tetapi niat dan keinginan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata berupa hal-hal yang mengarah untuk melakukan pembayaran utang debitor kepada kreditor. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi itikad baik dapat dilihat dari dua aspek yaitu; aspek subyektif dimana itikad baik tersebut masih bersifat “niat” atau “will” atau kehendak dan aspek obyektif, dimana itikad baik bersifat “act” atau “tindakan” yang dapat menimbulkan hubungan hukum.Hal yang perlu untuk diperhatikan dalam perkara kepailitan adalah adanya itikad buruk yang tidak hanya datang dari debitor tetapi juga dari kreditor. Proses kepailitan digunakan oleh kreditor yang beritikad buruk untuk mengancam debitor yang tidak mau membayar utangnya, bukan karena tidak mampu (unable) untuk membayar utangnya, bahkan yang nilai tagihannya tidak sebanding dengan nilai aset yang dimiliki termohon, karena dalam UU Kepailitan di Indonesia, tidak adanya persyaratan minimum utang yang dijadikan dasar pengajuan permohonan pailit. Salah satu tujuan hukum kepailitan seperti yang disebutkan di atas yaitu melindungi debitor yang jujur dan beritikad baik dari para kreditornya. Debitor yang dianggap masih punya prospek dan itikad baik untuk meneruskan usahanya bisa mendapatkan bantuan dana baru sehingga dapat melanjutkan perusahaannya kembali. Hal ini karena ketidakmampuan debitor membayar utang tidak selalu karena kesalahan debitor sendiri dan apabila debitor tersebut diberi kesempatan akan dapat bangkit kembali meneruskan kegiatan usahanya dan mampu membayar utang-utangnya.Debitor yang beritikad baik dalam kepailitan adalah debitor yang tidak menyalahgunakan keadaan pailit sebagai sarana untuk menguntungkan dirinya sendiri, bersedia membukakan secara jujur tentang keberadaan seluruh hartanya dan utang-utang lainnya serta kooperatif dalam mengusahakan pembayaran utang-utangnya. Oleh karena itu, meskipun digolongkan sebagai hukum kepailitan modern, pelaku bankkruptcy fraud yang dengan sengaja menggunakan peristiwa kepailitan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain masih tetap dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap harta benda dan dijatuhi hukuman pidana.Sampai dengan saat ini Undang-Undang Kepailitan yang berlaku tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum secara preventif yang diberikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya diberikan setelah terjadinya putusan pailit melalui sarana perdamaian. Atas kondisi tersebut asas itikad baik serta asas solvabilitas dapat menjadi landasan bagi debitor yang sebenarnya masih solven untuk memperoleh perlindungan.Hakikat penerapan asas solvabilitas adalah memberikan perlindungan hukum bagi debitor yang solven terhadap kreditor beritikad buruk yang hendak menyalah gunakan instrumen hukum kepailitan untuk keuntungan dirinya sendiri maupun keuntungan pihak lain, misalnya kreditor yang sengaja mempailitkan debitor dengan niat ingin mendapatkan aset debitor dengan harga murah melalui lelang dan lain-lain. Penggunaan instrumen hukum kepailitan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang dari hakikat tujuan hukum kepailitan oleh pihak- pihak yang bertitikad tidak baik harus dapat dicegah dengan penataan dan penyempurnaan aturan kepailitan itu sendiri. Asas solvabiltas semestinya menjadi landasan bagi hakim pada saat hendak memutus  permohonan pailit. Sebelum memutus perkara terlebih dahulu Majelis Hakim harus melakukan penilaian terhadap usaha debitur apakah layak untuk dijatuhi pailit atau masih dapat diperbaiki. Hal ini memiliki koherensi dengan ketentuan Passal 1131 KUHPerdata yang menempatkan harta debitor yang mengalami pailit sebagai jaminan umum bagi para kreditornya, sehingga dengan demikian akan menjadi tidak relevan secara filosofis apabila debitor yang sebenarnya masih solven namun kemudian dipailitkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi bahwa dengan adanya kepailitan apabila jumlah harta debitor lebih besar dari hutangnya maka tidak akan terjadi perebutan harta debitor oleh para kreditor karena dengan jumlah harta yang lebih besar akan menjamin semua kreditor memperoleh pelunasan. Perubahan pola pikir serta analisis dari para hakim Niaga dalam hal ini mutlak diperlukan guna memberikan perlindungan hukum bagi debitor solven yang beritikad baik. Adapun perlindungan hukum tersebut dapat dilaksanakan dengan cara bahwa hakim niaga tidak telampau kaku dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tetapi  dalam memutus perkara kepailitan majelis hakim niaga juga wajib menggali nilai-nilai keadilan, kewajaran dan kepatutan yang ada didalam masyarakat. Keberadaan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 seyogyanya telah memberikan celah bagi Hakim Pengadilan Niaga untuk melakukan suatu terobosan hukum, yaitu dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan hukum tak tertulis namun dianggap mampu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara.Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka oleh undang-undang Hakim dibebani tugas sebagai legislator judgé maka sesungguhnya penerapan asas solvabilitas acara pemeriksaan sederhana dalam koridor permohonan pailit masih dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Pasal 8 ayat (6) tanpa perlu mengubah ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Konstruksi tersebut di atas merupakan saran untuk memberikan perlindungan hukum represif bagi debitor. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan permyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya.KesimpulanLandasan filosofis tidak diberlakukannya insolvensi tes dalam undang-undang kepailitan di Indonesia adalah, pertama, pembuktian dalam perkara perdata di Indonesia dibebankan pada pihak yang mendalilkan adanya suatu hak. Dalam hal ini tidak mudah untuk membuktikan pihak debitor berada dalam kondisi insloven apabila debitor bukan perusahaan publik. Kedua, begitu mudahnya untuk berutang di Indonesia sehingga apabila insolvensi tes diterapkan di Indonesia akan berpotensi merugikan banyak kreditor karena pembuktiannya tidak lagi dapat dilakukan secara sederhana. Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum terhadap debitor solven yang beritikad baik dapat diperoleh secara represif dengan membuktikan di hadapan persidangan bahwa debitor masih dalam kondisi solven. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya. (Boedi Haryantho)

Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi

article | Opini | 2025-02-07 12:05:56

Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Menjamurnya praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini kehidupan di Indonesia sangat ironis dengan banyaknya strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM seperti MTI dan ICW. Seluruh strategi yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi yang sudah menggejala.Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia mengingatkan pada suatu konsep yang disebut Capture Theory dari Amle O Krueger. Capture Theory  menyatakan bahwa segala sesuatunya di atas kertas secara yuridis formal adalah sah dan legal. Sayangnya pada tataran realitasnya teori ini banyak disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan beberapa pihak. Pendekatan akuntansi forensik akan sangat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para pelakunya. Berbagai kasus memperlihatkan yang diutamakan dalam mempertanggungjawabkan suatu pekerjaan adalah dalam rangka memenuhi persyaratan-persyaratan formal yang akan diminta oleh pemeriksa. Misalnya keharusan adanya kuitansi pengeluaran, daftar hadir rapat untuk pembayaran honor atau tiket pesawat terbang dan bording pass dalam kasus-kasus pertanggungjawaban belanja. Dokumen-dokumen formal yang disiapkan atau khusus disiapkan untuk mengesankan bahwa secara yuridis formal sebuah belanja adalah legal padahal didalamnya ada upaya rekayasa dengan dokumen fiktif, konspirasi pelaksanaan tender atau mark up.Dihadapkan pada korupsi yang melibatkan praktik-praktik sistemik dan melembaga seperti yang dijelaskan oleh capture theory membuat upaya dan strategi pemberantasan korupsi menjadi semakin rumit. Strategi dalam pemberantasan korupsi setidaknya harus memuat dua persyaratan yaitu adanya komitmen politik nasional untuk memberantas korupsi dan adanya sejumlah aktivitas yang dapat dilihat oleh masyarakat luas sebagai entry-point atau pintu masuk pemberantasan korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah memuat komitmen politik secara resmi. Demikian pula komitmen politik rakyat secara konkrit telah dibuktikan dalam  banyak kegiatan unjuk rasa, demonstrasi, diskusi, pernyataan pendapat, analisis dan saran-saran yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat yang menyatakan agar segera dihapuskannya praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Berkaitan dengan entry-point diperlukan adanya strategi pemberantasan korupsi nasional yang disosialisasikan kepada masyarakat luas serta adanya upaya nyata untuk memperkuat lembaga-lembaga yang berkewenangan untuk pemberantasan korupsi. Berikutnya adalah tersedianya profesional dengan kompetensi memadai untuk melacak dan membuktikan suatu kejadian korupsi. Kompetensi profesional yang dilindungi oleh lembaga profesi khususnya profesi akuntan forensik belum ada dan belum digunakan dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus korupsi di Indoensia. Artikel ini mengkaji strategi pemberantasan korupsi serta potensi dari akuntansi forensik sebagai ilmu dan akuntan forensik sebagai profesi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Artikel ini memfokuskan pembahasan pada peran akuntansi forensik dalam upaya pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi melalui pemutusan mata rantai model segi tiga kecurangan fraud triangle dari Donald R. Cressy.Forensik Accounting, Forensik Investigation, Forensik Audit dan Litigation Support adalah beberapa terminologi penting dalam memahami akuntnasi forensik sebagai bagian dari ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan pencegahan tindak pidana korupsi. Beberapa terminologi ini dibahasa sebagai berikut.Forensik AccountingForensik Accounting, provides an accounting analysis that is suitable to the court which will form the basis for discussion, debate and ultimately dispute resolution.Akuntansi forensik, menyediakan suatu analisis akuntansi yang dapat digunakan dalam perdebatan di pengadilan yang merupakan basis untuk diskusi serta resolusi di pengadilan. Penerapan pendekatan-pendekatan dan analisis-analisis akuntansi dalam akuntansi forensik dirancang untuk menyediakan analisis dan bukti memeadai atas suatu asersi yang nantinya dapat dijadikan bahan untuk pengambilan berbagai keputusan di pengadilan. Forensik InvestigationThe utilization of specialized investigative skills in carrying out an inquiry conducted in such a manner that the outcome will have application to a court of law.  A Forensik Investigation may be grounded in accounting, medicine, engineering or some other discipline.Investigasi forensik pemanfaatan keterampilan khusus dalam penyelidikan untuk menyelesaikan suatu permintaan pemeriksaan yang hasilnya akan mempunyai aplikasi atau digunakan untuk kepentingan di pengadilan. Suatu penyelidikan forensik mungkin didasarkan pada akuntansi, obat kedokteran, rancang-bangun atau beberapa  disiplin lain. Prinsipnya forensik investigasi merupakan penerapan tekink-teknik auditing yang ditujukan dan dirancang khusus untuk mencari atau menemukan bukti dan pembuktian atas suatu perngungkapan keuangan yang nantinya dapat digunakan dalam proses persidangan di pengadilan.Forensik AuditAn examination of evidence regarding an assertion to determine its correspondence to established criteria carried out in a manner suitable to the court. Suatu pengujian mengenai bukti atas suatu pernyataan atau pengungkapan informasi keuangan nuntuk menentukan keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang memadai untuk kebutuhan pembuktian di pengadilan. Audit forensik lebih menekankan proses pencarian buki serta penilaian keseuaian bukti atau temuan audit tersebut dengan ukuran pembuktian yang dibutuhkan untuk proses persidangan. Audit forensik merupakan perluasan dari penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan bukti untuk kebutuhan persidangan di pengadilan.Litigation Support "Litigation Support", provides assistance of an accounting nature in a matter involving existing or pending litigation.  It deals primarily with issues related to the quantification of economic damages.  A typical litigation support assignment would be calculating the economic loss resulting from a breach of contract.Litigation support menyediakan bantuan dari pengetahuan akuntansi dalam hal menyatakan ada atau menunda proses pengadilan terutama mengenai isu yang berhubugna dengan kuantifikasi dari kerusakan ekonomi.  Jenis dukungan pengadilan menyediakan dukungan menganai perhitungan kerugian ekonomi dari dilanggarnya suatu kontrak atau tugas public yang idbebankan kepada seseorang karena jabatannya.Mencari Jurus Baru Pemberantasan KorupsiAnalisis atas perbuatan-perbuatan korupsi dapat didasarkan pada berbagai pilihan pendekatan. Berdasarkan pendekatan yang dipilih, selanjutnya dapat dirumuskan strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang tepat. Praktik korupsi dapat dilihat berdasarkan aliran prosesnya, yaitu dengan melihatnya pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi, pada posisi perbuatan korupsi terjadi dan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi. Pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi upaya pencegahannya bersifat preventif. Pada posisi perbuatan korupsi terjadi upaya mengidentifikasi atau mendeteksi terjadinya korupsi bersifat detektif. Sedangkan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi upaya untuk meyelesaikannya secara hukum dengan sebaik-baiknya bersifat represif. Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal yang menjadi penyebab timbulnya praktik korupsi. Setiap penyebab korupsi yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi. Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang singkat dan akurat. Deteksi dini mengenai suatu tindakan korupsi dapat mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan tepat sehingga akan menghindarkan kerugian lebih besar yang mungkin timbul. Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi  hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi. Dengan demikian, proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dilkaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya sehingga proses penanganan tersebut akan dapat dilakukan secara cepat dan tepat.Akuntansi forensik dalam kontek preventif, detektik dan represif secara aksiomatik dapat mengambil peranannya dengan menyediakan pendekatan-pendektan yang efektif dalam mencegah, mengetahui atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi. Untuk kepentingan ini akuntansi forensik di Indoensia belum banyak digunakan karena profesi akuntansi belum menetapkan standar dari penerapan akuntansi forensik sebagai salah satu profesi akuntan.Akuntansi forensik dan profesi akuntan forensik yang di negara-negara maju mengambil peran strategik dalam pengungkapan kecurangan termasuk korupsi di Indonesia belum begitu umum peranannya. Kondisi ini tidak terlepas dari belum ditetapkannya standar untuk profesi ini dan belum dimasukannya akuntansi forensik dalam kurikulum perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga akuntan. Pendidikan akuntan forensik merupakan sinergi dari pendidikan tinggi dan profesi akuntansi yang secara khusus dalam kurikulumnya memberikan dasar-dasar ilmu hukum khusus yang berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti perkara.Akuntansi forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan menyediakan alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud triangle tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi akuntan forensiknya dapat menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku korupsi bahwa ada peluang untuk melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan mampu mengungkapkannya. Keyakinan bahwa tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk transactive corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive corruption, exortive corruption maupun defensive corruption menjadi terbatasi karena ada profesi kompeten yang akan menginvestigasi. Dalam kontek ini akuntansi forensik berperan sebagai strategi preventif untuk mencegah tindak pidana korupsi karena ada kekawatiran dari pelaku bahwa korupsi yang dilakukan dengan mudah akan terungkap oleh para akuntan forensik.Akuntansi forensik juga dapat mengambil peranan dalam upaya pengungkapan tindak pidana korupsi atau strategi detektif. Secara sistemik prosedur-prosedur investigasi dalam audit forensik memang berbeda dari auditing pada umumnya. Audit forensik yang sejak awal memang dirancang guna mengumpulkan dan menyediakan bukti untuk kepentingan persidangan di pengadilan akan menghasilkan temuan audit yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan audit umum yang disediakan oleh jasa profesi akuntan. Dalam kontek strategi detektif audit forensik menrapkan prosedur-prosedur investigasi unik yang memadukan kemampuan investigasi bukti keuangan dengan muatan transaksinya dengan investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat atau modus operandi dari pelakunya.  Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian dari profesi akuntan di Indoensia khususnya dari kompartemen akuntan pendidik maupun kompartemen lainnya.Perhatian tersebut dapat berupa sumbangan kajian empiris atau konseptual mengenai bagaimana kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia dan bagaimana sistem pendidikan dan kurikulum ideal untuk menghasilkan tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle yang mendorong orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.SimpulanAkuntansi forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif dan persuasif melalui penerapan prosedur audit forensik dan audit investigatif yang bersifat litigation suport untuk menghasilkan temuan dan bukti yang dapat digunakan dalam proses pengambilan putusan di pengadilan.Belum tersedianya institusi yang menghasilkan tenaga akuntansi forensik dan audit forensik memerlukan upaya dari institusi penyelenggara pendidikan dalam menyediakan kurikulum yang membekali lulusan dengan kompetensi akuntansi forensik.Belum tersedianya lembaga dan standar profesi auditor dan akuntan forensik merupakan tantangan bagi profesi akuntansi di Indonesia untuk mengoptimalkan peran profesi dalam penanganan masalah nasional khususnya pengungkapan dan penanganan kasus korupsi. SaranMengacu dari pembahasan dan simpulan maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut.Kepada para peneliti dapat disarankan untuk melakukan penelitian empiris yang bertujuan untuk memformulasikan kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia. Kepada praktisi akademis dapat disarankan untuk merancang kurikulum pendidikan yang memungkinkan untuk dihasilkannya tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle sebagai penyebab tindakan orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.

Keberatan Pihak Ketiga Dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika

article | Opini | 2025-02-05 10:50:47

Perkara Narkotika sampai tahun 2024 masih mendominasi di setiap lingkungan Peradilan Tingkat Pertama. Berdasarkan Data yang dirilis oleh Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, MARTHINUS HUKOM, S.I.K., M.SI pada 25 November 2024, setidaknya terdapat 41.120 (empat puluh satu ribu seratus dua puluh) perkara Narkotika yang berhasil diproses sampai dengan bulan Oktober 2024. Salah satu permasalahan yang terjadi dalam penyelesaian perkara Narkotika yakni terkait Status Barang Bukti yang bernilai Ekonomis seperti kendaraan bermotor. Dalam prakteknya umumnya, barang bukti seperti kendaraan bermotor dalam tuntutan Penuntut Umum maupun Putusan Hakim akan dirampas untuk Negara sepanjang terbukti memiliki keterkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika.Namun dalam beberapa kasus Terdakwa memberikan keterangan dalam persidangan bahwasannya kendaraan bermotor tersebut ternyata bukanlah milik Terdakwa, melainkan milik Pihak Ketiga yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana narkotika. Tidak jarang, Terdakwa dalam perkara narkotika meminjam kendaraan bermotor milik Pihak Ketiga dengan dalih “jalan-jalan” ataupun “meminjam sebentar” sehingga pada saat tertangkap tangan barang bukti kendaraan bermotor disita dari Terdakwa karena sedang dalam penguasaan Terdakwa. Terlebih, Pihak Ketiga terlambat menerima informasi tentang pelaksanaan persidangan perkara pokok sehingga Pihak Ketiga tidak menjadi Saksi untuk menerangkan status barang bukti kendaraan bermotor miliknya.Dirampasnya Kendaraan Bermotor Pihak Ketiga yang disita dari Terdakwa tentu menjadi suatu polemik karena menyebabkan kerugian bagi Pihak Ketiga yang tidak tahu menahu perihal tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa. Sejatinya, terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur mengenai prosedur pengajuan keberatan bagi Pihak Ketiga yang alat atau barangnya dirampas dalam perkara narkotika vide Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun ketentuan ini terasa sumir bagi sebagian Hakim karena tidak diikuti dengan peraturan turunannya yang mengatur hal-hal teknis prosedural sehingga mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaanya.Adapun permasalahan teknis pelaksanaan persidangan keberatan Pihak Ketiga dalam perampasan barang bukti perkara Narkotika dirangkum oleh Penulis sebagai berikut:Bagaimana nomor register perkaranya? Apakah diregister dalam SIPP?Siapa yang menjadi Termohon keberatan?Apa Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan? Apakah Penetapan atau Putusan?Bagaimana pelaksanaan hukum acaranya?Oleh karena keterbatasan peraturan turunan tersebut, salah satu alternatif yang ditempuh oleh Pihak Ketiga apabila keberatan dengan status perampasan barang bukti yakni melebur dengan kepentingan Terdakwa melalui prosedur pengajuan upaya hukum yang dimohonkan oleh Terdakwa kepada Pengadilan Tinggi dan/atau Mahkamah Agung. Padahal Pihak Ketiga memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Terdakwa, dimana Pihak Ketiga hanya memperjuangkan kendaraan bermotor yang dirampas melalui Putusan Pengadilan Tingkat Pertama sedangkan Terdakwa memiliki kepentingan mengenai pemidanaan maupun strafmaat straafmaat atau lamanya Pidana Penjara.Maka dari itu artikel ini akan membahas mengenai prosedur keberatan Pihak Ketiga terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika berdasarkan pengalaman Penulis dalam mengadili perkara keberatan Pihak Ketiga yang beritikad baik terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika.Ketiadaan prosedur seharusnya tidak menghalangi tercapainya keadilan substantif Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah barang tentu menjadi norma hukum dasar dalam menangani perkara a quo. Dimana Pihak Ketiga dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan barang bukti milik Pihak Ketiga dirampas dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.Kemudian bagaimana dengan hukum acaranya yang tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundangan undangan? Untuk mengisi kekosongan peraturan, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang. Artinya, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, namun hakim juga tidak mengabaikan prinsip hukum sebagai suatu sistem. Maka dari itu Konstruksi Hukum Argumentum Per Analogium (Analogi) diperlukan dalam menangani perkara a quo karena bagaimanapun juga berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.Konstruksi Hukum secara analogis dalam perkara Narkotika perlu merujuk secara limitatif kepada Perma Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Hal itu telah dilakukan Penulis dalam mengadili perkara Penetapan Nomor 1/Keberatan-Pid.Sus/2024/PN Lsm Jo. Nomor 104/Pid.Sus/2024/PN Lsm di Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Dimana Pihak Ketiga diberikan akses secara khusus untuk mengajukan keberatan secara terpisah dengan perkara pokoknya. Pemohon Keberatan selaku Pihak yang mengakui kepemilikan kendaraan bermotor mengajukan keberatan atas perkara pokok yang telah menetapkan sepeda motornya dirampas untuk Negara.Permohonan keberatan tersebut diajukan secara tertulis dengan Termohon yaitu Kejaksaan Negeri selaku eksekutor atas barang bukti. Selain itu, oleh karena perkara keberatan ini diajukan tanpa dipungut biaya, maka panggilan sidang dilaksanakan secara manual oleh Juru Sita Pengadilan Negeri. Kemudian, jalannya persidangan memiliki kemiripan dengan persidangan Pra Peradilan dengan tahapan beracara yaitu Pembacaan Permohonan Keberatan, Tanggapan dari Termohon, Pembuktian dari Para Pihak dan diakhiri dengan Pembacaan Penetapan. Secara keseluruhan Penetapan sudah harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak sidang pertama.Hanya saja, dalam pelaksanaan persidangan keberatan, Majelis Hakim sekiranya perlu teliti untuk mengetahui apakah barang bukti tersebut sudah dieksekusi oleh Termohon ataukah belum, sebab apabila barang bukti tersebut sudah dieksekusi maka sudah sepatutnya perlu ditarik Menteri Keuangan sebagai Turut Termohon. Selain itu, oleh karena terdapat kemungkinan adanya Permohonan Keberatan dan Permohonan Banding dilakukan secara bersamaan maka Panitera Pengadilan Negeri harus memberitahukan adanya Permohonan keberatan kepada Majelis Hakim pada tingkat Banding dan/atau Kasasi.Kemudian, apabila Permohonan Keberatan dikabulkan maka per se Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan status keberatan barang bukti dirampas berubah menjadi dikembalikan kepada Pemohon Keberatan dan diperintahkan kepada Termohon untuk melaksanakanan Putusan keberatan tersebut.KesimpulanKeterbatasan Peraturan Teknis dalam Prosedur Keberatan Pihak Ketiga dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika menuntut Hakim melakukan Konstruksi Hukum analogis dengan Peraturan lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan guna memastikan pemberian akses kepada Warga Negara untuk memperjuangkan hak atas barangnya di persidangan. Ketidakhadiran Pihak Ketiga dalam perkara pokok tidak serta merta menghapuskan Hak Pihak Ketiga untuk dapat mengajukan Keberatan atas perampasan barang. Sepanjang Pihak Ketiga dapat membuktikan itikad baik, bukti-bukti yang relevan dan tidak ada keterkaitannya dengan tindak pidana narkotika maka hal tersebut dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim untuk memutus status barang bukti secara berimbang dengan menerapkan asas audi et alteram partem.

Hakim dan Dilema Terobosan Hukum di Kasus Kehutanan

article | Opini | 2025-02-02 14:30:10

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada pasal tersebut maka kepastian hukum yang adil merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Namun kenyataannya, tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum kerap menjadi bentrokan yang tidak terhindarkan dalam penerapan hukum pidana khususnya terkait penetapan status barang bukti berupa alat angkut milik pihak ketiga yang beritikad baik dalam tindak pidana kehutanan. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) telah mengatur bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 16 disebutkan bahwa di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut. Sebelum adanya pembaruan terhadap UU PPPH tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 16 Mei 2008 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Mahkamah Agung melalui SEMA tersebut mengingatkan hakim agar memperhatikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama ketentuan dalam Pasal 50, Pasal 78 dan Pasal 38. Lebih lanjut pada poin ke-3 (ketiga) dalam SEMA tersebut menyebutkan bahwa Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dengan tegas menentukan bahwa “semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.”Aturan-aturan tersebut secara eksplisit tidak membedakan kepemilikan dari alat angkut yang dirampas untuk negara apakah milik Terdakwa atau milik pihak ketiga. Barang bukti milik Terdakwa telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Selanjutnya dalam ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (3) KUHP. Hal yang menjadi question of law selanjutnya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya dirampas untuk negara?Adanya aturan yang mengatur alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara tersebut seolah mendudukkan hakim sebagai corong undang-undang. Dalam ranah kebijakan pidana hakim memang memiliki peran sebagai pemegang kebijakan aplikatif yang bertugas untuk menerapkan suatu peraturan hukum. Namun demikian, hakim tidak harus selalu menjadi juru cakap dari undang-undang (la bouche de la loi) yang menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing). Aturan perampasan barang bukti tersebut di satu sisi dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut dan sebagai upaya penyelamatan kekayaan negara. Tetapi di sisi lainnya ada hak dari pihak ketiga yang beritikad baik yang harus dilindungi. Pada dasarnya aturan hukum memiliki aspek kepastian hukum dan seharusnya memenuhi kebutuhan akan keadilan. Keadilan sejatinya meletakan sesuatu pada tempatnya dengan memberikan orang atas sesuatu yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere) dan tidak mengakibatkan kerugian bagi pemilik barang bukti berupa alat angkut tersebut. Terlebih lagi apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya merupakan alat yang digunakan untuk bekerja yang berkaitan dengan mata pencahariannya.Pada praktik penegakan hukum kerap kali ditemui perspektif yang berbeda dalam menilai pihak ketiga yang beritikad baik khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan. Definisi dari pihak ketiga yang beritikad baik dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pihak ketiga yang beritikad baik berdasarkan aturan tersebut merupakan pihak yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang sah, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan atas barang-barang yang tidak ada kaitannya secara hukum dalam proses terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, pihak ketiga yang beritikad baik juga harus dapat membuktikan bahwa (a) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan sebelum dilakukan penyidikan dan/atau penyitaan; (b) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan berdasarkan itikad baik; (c) Objek keberatan merupakan barang yang dirampas atau dimusnahkan dalam perkara tindak pidana korupsi; dan (d) Pemohon tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.Menurut hemat Penulis, PERMA Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dapat menjadi rujukan dalam menentukan pihak ketiga yang beritikad baik dengan menyesuaikan karakteristik perkara tindak pidana kehutanan, sebab karakteristik penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan tindak pidana kehutanan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar yaitu keamanan kekayaan negara khususnya perlindungan kelestarian lingkungan hidup pada tindak pidana kehutanan. Berkaitan dengan perampasan barang bukti berupa alat angkut tersebut pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005, tanggal 1 Maret 2006, perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang Telah Diubah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pertimbangannya halaman 80 sampai dengan 81 juga telah menguraikan sebagai berikut: “…Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law di atas, hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, good faith) tetap harus dilindungi…”Lebih lanjut mengenai hak milik dalam hukum perdata telah ditegaskan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan hak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak–hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.Salah satu wujud perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik terhadap barang bukti miliknya dapat terlihat dalam peraturan tindak pidana perikanan yang mencantumkan kata “dapat” dalam rumusan Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) yang menyebutkan bahwa “benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara”. Begitu juga halnya dalam Pasal 76A UU Perikanan yang mengatur bahwa “benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.” Terlihat bahwa dengan adanya kata “dapat” tersebut tidak membatasi cakupan suatu ketentuan secara restriktif perihal penetapan status barang bukti. Dengan kata lain undang-undang memberikan ruang bagi hakim untuk menilai dan menetapkan apakah barang bukti tindak pidana kehutanan sudah sepatutnya dikembalikan kepada pihak ketiga yang beritikad baik selaku pemilik atau menetapkan barang bukti dirampas untuk negara. Hal ini disebabkan hakim tidak dapat mengesampingkan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan begitu saja apabila pihak ketiga yang memiliki alat angkut (i.e: truk/becak/perahu/kapal) dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bermufakat jahat dengan Terdakwa terhadap barang bukti miliknya yang digunakan dalam perkara tindak pidana kehutanan. Dalam agama Islam sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim untuk senantiasa melakukan ijtihad dalam memutus sebuah perkara yang didasarkan pada fakta-fakta hukum dalam persidangan. Hakim seyogianya dapat menerapkan peraturan yang bersifat abstrak terhadap kasus konkrit dalam persidangan meski pada akhirnya hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Berbicara mengenai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan maka hal ini berkorelasi dengan adagium Summum Ius Summa Injuria Summa Lex, Summa Crux (hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya) yang dikemukakan oleh seorang filsuf di zaman Romawi Kuno, Marco Tulio Ciceróna. Apabila kepastian hukum saja yang diutamakan, maka hanya keadilan prosedural (procedural justice) yang dapat tercapai. Meskipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. Apa yang dianggap sebagai kepastian hukum atas putusan hakim yang adil, bisa jadi merupakan ketidakadilan yang besar bagi masyarakat (rigorous law is often rigorous injustice). Sebab hubungan antara keadilan dan kepastian hukum selalu bergantung kepada kultur dan harus dipertimbangkan secara berimbang case by case oleh hakim.Penulis berharap ada penyempurnaan dan pembaruan terhadap UU PPPH mengenai aturan perampasan barang bukti kedepannya, sehingga penjelasan dalam Pasal 16 UU PPPH dapat berbunyi setidak-tidaknya menjadi “alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dapat dirampas untuk negara apabila pelaku tindak pidana perusakan hutan adalah sekaligus pemilik barang bukti.” Kemudian hal yang harus diatur adalah mengenai hal-hal apa saja barang bukti berupa alat angkut yang terkait dengan pihak ketiga beritikad baik tersebut dapat dirampas untuk negara. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang memiliki legitimasi pembentukan hukum kiranya dapat menerbitkan SEMA terkait petunjuk penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang merujuk pada UU PPPH terbaru. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan rapat pleno kamar guna mewujudkan kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan.Sebagaimana dikemukakan oleh Van Oven bahwa jalan terbaik dari kepastian hukum adalah tidak terikatnya hakim pada bunyi undang-undang, tetapi justru pada kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Begitu pula menurut Franken bahwa pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta mana dalam kasus tertentu menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa. Sejatinya proses penegakan hukum bukan hanya semata-mata untuk menjamin dan mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat, in casu memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga yang beritikad baik untuk mendapatkan hak-haknya atas alat angkut miliknya yang dirampas dalam perkara tindak pidana kehutanan.Nadia Yurisa Adila, S.H., M.H.Hakim Pengadilan Negeri Sawahlunto

Cara Memahami Putusan Hakim

article | Opini | 2025-01-25 09:00:39

Seperti juga terhadap putusan-putusan yang lain, baik perdata ataupun pidana umum maka terhadap Putusan Hakim Tipikor pun lazim muncul respon bersifat pro kontra. Pro kontra itu terjadi tidak saja di kalangan awam hukum, tetapi bahkan oleh sesama alumni fakultas hukum, yang belajarnya sama pada guru yang sama pula.Tulisan ini tidak untuk menegur siapa-siapa. Tidak pula untuk mengajari bebek berenang. Tetapi hanya sebagai tanggungjawab moral akademik untuk mencerahkan publik.Dalam kapasitas sebagai warga pengadilan di bawah institusi Mahkamah Agung, saya juga tentu memiliki kewajiban moral menyampaikan esensi putusan hakim yang ideal.Kalangan awam hukum memang wajar jika mereka memahami putusan hakim dalam konteks kalah atau menang. Iya hanya sebatas itu saja, menang versus kalah. Namun bagi yang sudah belajar ilmu hukum, minimal lulus Sarjana Hukum, sebaiknya pemahaman terhadap putusan hakim perlu diperluas.Bagi yang sarjana hukum, sebaiknya putusan hakim jangan hanya dibaca pada amarnya saja. Tetapi cermati pula pertimbangan-pertimbangan yang mendasari amar tersebut serta peraturan perundangan yang menjadi rujukan majelis hakim.Saya memaklumi jika kalangan awam tidak suka mencermati dasar peraturan dan pertimbangan yang digunakan dalam suatu putusan hakim. Namun, sebaiknya tidak demikian bagi kalangan sarjana hukum.Karena ketidaktahuan terhadap dasar pertimbangan dan peraturan yang digunakan, maka apabila ada putusan yang tidak sesuai harapan publik, maka muncullah bully terhadap Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut. Tidak itu saja, lebih parah lagi kadangkala bully pun ditujukan pada institusi Mahkamah Agung yang harusnya suci dan mulia.Masyarakat non hukum sebaiknya mencermati putusan hakim secara bijak, tidak langsung terpancing dengan komentar-komentar tendensius yang membaca putusan secara tidak utuh. Maka karenanya, sebelum memberikan komentar, sebaiknya mendengar pendapat-pendapat ilmuwan hukum lain dari media-media yang berbeda.Jangan karena gara-gara satu perkara diantara ribuan perkara yang diadili dan diputuskan Hakim yang tidak pro publik, maka dihujat se-nusantara. Padahal putusan yang tak sesuai harapan publik, baru putusan pada tingkat pertama di pengadilan negeri. Tetapi hujatan sudah ditujukan kepada semua Hakim, termasuk sasarannya terhadap Hakim Tinggi dan bahkan Hakim Agung.Padahal lagi putusan banding pada Pengadilan Tinggi belum tentu sama atau menguatkan putusan pengadilan negeri. Kalaupun sama, belum tentu pula Mahkamah Agung menguatkan putusan hakim banding pada Pengadilan Tinggi.Realitanya, warga masyarakat tidak sabar menunggu putusan aquo berkekuatan hukum tetap (inkracht). Semua memberi komentar yang seakan-akan merasa tahu sekali substansi putusan tersebut. Bahkan ada profesor kedokteran yang ikut memberikan komentar pedas seakan-seakan beliau juga belajar hukum.Menghadapi situasi ini sungguh berat beban psikologis yang dialami para Hakim Indonesia. Tanpa ada yang berani membela institusi. Semua Hakim diam, seakan-seakan semua mengakui sebagai bandit dan jahat.Saya memaklumi bahwa kondisi kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung sedang menghadapi tantangan sehubungan dengan terungkapnya beberapa kasus kejahatan jabatan yang dilakukan oknum warga pengadilan yang tak berintegritas.Kejadian ini menimbulkan konsekuensi bagaikan "gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga".Karena beberapa orang oknum warga pengadilan yang tidak berintegritas, telah merusak citra Hakim senusantara.Kondisi ini mengakibatkan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan menjadi hancur berantakan dan memalukan. Padahal dimana-dimana di dunia ini, lembaga peradilan dan kehakiman adalah institusi yang dimuliakan dan disegani.Bagaimana bisa seorang Hakim pengadilan negeri diduga menyimpan uang di rumahnya hingga puluhan milyar. Bahkan ada pula seorang mantan pejabat struktural non teknis hukum diduga menyimpan uang kontan di rumahnya bergoni-goni mencapai satu trilyun. Sungguh tak masuk nalar.Akibatnya, trust yang telah dibangun susah payah hampir satu abad, dihancurkan oleh bandit-bandit dengan sebutan Yang Mulia. Kasihan sekali.

Hakim, Profesionalisme dan Integritas

article | Opini | 2025-01-21 10:10:03

Hakim dalam beberapa bulan terakhir menjadi sorotan dan highlight baik perilaku yang diperbuat maupun hasil proses persidangan yaitu putusan. Lalu bagaimana seharusnya seorang hakim menjadi profesional?Hakim sebagai penegak hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).Dalam posisi seperti ini, hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, moral dan integritas yang tinggi agar dalam memutus suatu perkara pidana yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim dalam menjaga perilaku  dan berinteraksi sosial itu penting, dan dalam menjalankan  yakni memutus suatu perkara harus benar-benar menegakkan hukum dan keadilan atas hal tersebut hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.Putusan Hakim Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat. Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, putusan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, Undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.Hakim dalam menjatuhkan Putusan secara  formiil  terdapat  2  (dua)  hal  yang  harus dipertimbangkan mengenai  dua  hal  tersebut  sebagaimana  diatur  di  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah : Pertama,   pertimbangan tentang  fakta-fakta  (apakah  terdakwa  benar-benar  melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; Kedua, mempertimbangkan tentang hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan  tindak  pidana  dan  terdakwa  bersalah,  sehingga  bisa dijatuhi putusan pidana.Hakim dalam memutus suatu perkara bukanlah “mulut/corong  undang-undang”  (bouche  de  la  loi atau spreekbuis van de wet). Hakim juga tidak boleh dipasung dengan rumusan perundang-undangan yang terasa rijid dan kaku/keras ketika dihadapkan pada fakta dominasi faktor-faktor yang meringankan yang bersubstansikan keadilan. Misalnya faktor meringankan yang terkait dengan perbuatannya (dalam perkara pidana misalnya akibat yang muncul   dari   perbuatan pidana  tersebut),   dan/atau   yang   terkait   dengan orangnya   (status   atau   kedudukan   orang   tersebut   yang   diduga melakukan  tindak  pidana),  dan/atau  yang  terkait  dengan korban (misalnya, adanya pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan terhadap kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan), sehingga perkara pidana yang diajukan dalam suatu persidangan memiliki karakteristik dan pertimbangan masing-masing, sehingga Pengadilan bukanlah merupakan lembaga stampel atau pengesah setiap terdakwa yang disidangkan harus bersalah.Pada dasarnya hakim dalam menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim dapat menggunakan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbanganya, dan kemudian  dasar  pertimbangan  tersebut  dimasuk  ke  dalam  putusan yang meliputi, pertimbangan yang bersifat yuridis hukum yang menjadi dasar perilaku dan acuan dalam memutus dan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan.Putusan hakim merupakan proses akhir dalam persidangan diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan dari segi obyektif yaitu aturan yang berlaku dan fakta hukum yang ada dengan mengacu pada dakwaan penuntut umum dan mempertimbangkan dari segi subyektif dalam berbagai aspek, mulai dari psikologis terdakwa, lingkungan sosial (sosiologis) serta berat dan ringannya suatu perbuatan pidana (tindak pidana) sehingga pidana yang diberikan kepada terdakwa mencerminkan rasa keadilan dan mempunyai nilai hukum.Putusan Hakim dalam perkara pidana memiliki perlakuan dan tanggung jawab yang sama tidak ada perbedaan, sehingga terhadap putusan hakim berupa pemidanaan, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan bebas merupakan suatu proses panjang dalam mempertimbangkan segala fakta hukum yang ada dengan berdasarkan persesusaian alat bukti dan keyakinan hakim dengan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, bagi terdakwa, korban dan masyarakat dengan pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa.Profesionalisme HakimProfesionalisme adalah sikap, perilaku, dan etika yang menunjukkan komitmen untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Profesionalisme juga dapat diartikan sebagai tingkah laku, kepakaran, atau kualitas dari seseorang yang profesional. Hakim dalam memutus harus memiliki kompetensi dan sikap profesional dalam proses peradilan sehingga dalam memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, dan sesuai dengan hukum. Beberapa kriteria tersebut misalnya: memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etnis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya) memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, mampu menegakkan Profesional dalam negara hukum dan bertindak independen dan impasial, memiliki kemampuan administratif, dan efisien.Hakim dalam menjalankan tugasnya dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek, yaitu integritas hakim dan peraturan perundang-undangan. Dalam sikap professional hakim Integritas hakim merupakan hal penting dan berpengaruh dalam memutus suatu perkara. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.Hakim yang profesional sebagaimana pendapat Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam, menyatakan bahwa good judges are not born but made. Hal tersebut sejalan dengan sambutan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam pembukaan Pendidikan Calon Hakim tahun 2019 bahwa untuk menjadi hakim yang profesional harus memenuhi 3 kriteria yaitu memiliki kompetensi yang baik, kemampuan (pengalaman), dan integritas dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa judge is not born but made with integrity, intellectual, and skill.Lebih lanjut  Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam Refleksi Akhir Tahun 2024 menyampaikan agar hakim dapat memperbaiki perilaku untuk menjaga integritas. Integritas pun juga akan menjadi isu utama   dan dijadikan tema dalam Laporan Tahunan yang akan diselenggarakan pada bulan Februari Tahun 2025. Komitmen Mahkamah Agung untuk menjadikan integritas sebagai kunci dalam upaya membangun lembaga peradilan yang berkualitas dan sebagai pondasi kepercayaan publik, sehingga para hakim diharapkan lebih baik lagi dalam berperilaku, lebih arif, bijaksana dan rendah hati dengan berpedoman pada pada etika profesi, dan  dalam memutus dengan penuh professional berpegang teguh peraturan perundang-undangan.Amirul Faqih AmzaHakim/Jubir Pengadilan Negeri (PN) Sumber

Paralax Dalam Hukum: Sumbangsih Pemikiran Lacan, Baudrillard, Zimbardo, dan Becker Untuk para Jurist

article | Opini | 2025-01-18 16:30:29

Labirin Hyperreality“Mengapa korupsi sering terjadi meski dilarang ya pak?” tanya seorang bocah saat menonton acara berita pada suatu senja di ujung nusantara. "Karena enak, dan hukumannya enteng," jawab sang ayah sambil menikmati pisang goreng hasil panen di kebun milik sendiri. Jawaban sederhana ini jika dipahami lebih dalam menjelaskan bagaimana hyperreality menurut Baudrillard dan jouissance (jouissance akan lebih banyak dibahas pada sub-judul selanjutnya) ala Lacan bekerja dalam konteks korupsi dengan bahasa yang sangat sederhana (1994: 10). Norma hukum yang seharusnya menjadi panduan sering kali hanya menjadi sebuah simulacra (simbol) yang menciptakan ilusi keadilan dan ketertiban (1994: 10). Dalam dunia yang dipenuhi ketidakstabilan politik dan ekonomi norma hukum kerap memberi kesan seolah-olah setiap persoalan bisa diatasi hanya dengan menerapkan pasal-pasal. Padahal kenyataannya norma hukum sering hanya menjadi smibol dan bukan solusi yang menyentuh akar persoalan. Ia sekedar sebagai pagar yang menjaga citra hukum dengan seolah mengatakan bahwa keadilan masih mungkin hadir.Ketika subjek terjebak dalam hyperreality hukum, mereka terdistraksi dari realitas sejati yang luar biasa kompleks. Korupsi sebagai contoh, lebih sering dilihat dari besaran vonis atau pasal yang diterapkan oleh penegak hukum, seolah-olah keadilan sudah terpenuhi jika hukuman berat dijatuhkan, publik sering kali puas dengan vonis maksimal namun segera melupakan kasus tersebut ketika hukuman diringankan di tingkat banding atau kasasi, fenomena ini menunjukkan bagaimana fokus pada simbol hukum acap kali mengalihkan perhatian dari penyebab mendalam mengapa korupsi terjadi, seperti sistem yang rusak atau budaya permisif kurang menarik untuk diulas dalam diskursus masyarakat. Korupsi dalam labirin hyperreality menjadi lebih dari sekedar pelanggaran hukum pidana, ia adalah bagian dari simulasi besar di mana hukum hanya berperan sebagai panggung drama untuk memuaskan tuntutan sosial. Dengan memahami ini, kita dapat keluar dari jebakan ilusi hukum dan mulai melihat korupsi sebagai fenomena kompleks yang membutuhkan pendekatan lebih dari sekedar hukuman simbolis melalui tuntutan atau vonis hakim yang merujuk ke norma/pasal pada peraturan perundang-undangan.Jouissance, Heroism, dan Penjara ZimbardoKetika hukum hadir sebagai simbol dalam dunia kehidupan, Jouissance hadir sebagai unsur pendorong subjek untuk menabrak aturan atau simbol tersebut, Jouissance adalah istilah Lacan yang banyak disebutkan dalam seminar-seminarnya yang dituliskan dalam beberapa cetakan, Jouissance adalah kutub yang bersebrangan dengan isitilah desire dalam bahasa Inggris (Jean, dkk, 2003:102).Berbeda dengan padanannya, jouissance bukan hanya tentang menikmati, tetapi tentang melampaui atau menembus batas-batas simbolik, moral, atau bahkan hukum menurut pandangan Jacques-Alain Miller (1992:191). Jouissance hadir sebagai sesuatu yang ambigu, menyenangkan sekaligus merusak. Sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia, jouissance merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya terjadi tindak pidana tidak terkecuali perilaku korupsi, dari titik ini kita akan melihat korupsi bukan lagi sekedar nominal uang yang bombastis atau tokoh yang tersohor melainkan cerminan dari sisi jouissance dalam diri manusia, sebuah usaha untuk melihat sisi lain dari perilaku korupsi, perspektif ini menjelaskan jika  di balik aliran dana yang fantastis ada rasa puas yang sulit untuk digambarkan secara jela, semacam kemenangan diam-diam atas sistem yang dianggap mengekang oleh seorang subjek. Dalam korupsi, pelaku tidak hanya mengejar keuntungan materi an sich, dalam pandangan Lacan mereka juga tenggelam dalam hasrat yang lebih dalam yakni hasrat untuk melawan, merusak dan untuk berdiri di atas hukum dan menginjak-injaknya sambil tertawa. Muncul sensasi nakal semacam pembangkangan yang mirisnya justru terasa nikmat dan disukai oleh subjek (Jouissance).Jika diringkas, Lacan hendak mengingatkan kita jika korupsi bukan hanya perihal adanya hukum yang dilanggar atau moralitas yang dilupakan oleh pelaku melainkan pertempuran paling purba dalam diri manusia antara hasrat liar mengenai kenikmatan yang sulit untuk dihentikan. Lacan melalui pemikirannya mendobrak simulacra dari perilaku korupsi yang disimbolkan dalam pasal-pasal dengan mengulas unsur invisible yang jarang dibahas. Dalam negara hukum dorongan untuk merusak tatanan norma ini dihalangi oleh batasan yang dipaksakan hukum dan subjek sering kali terdorong untuk melanggar itu semua. Selanjutnya pada bayangan Lacan, manusia kerap menjadi sosok pembangkang yang tidak mengenal takut meskipun akhirnya mereka adalah korban dari keinginan mereka sendiri (sebagaimana kita lihat tidak sedikit pelaku korupsi yang menangis dan menyesali perbuatannya). Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Becker, dalam "The Denial of Death", mengungkapkan bahwa manusia menciptakan berbagai mekanisme untuk menyangkal kematian, menurut Becker (1973:9) ketakutan akan kematian adalah salah satu ketakutan paling fundamental yang menghantui setiap insan. Untuk menghadapi ketakutan ini psikologi manusia menciptakan apa yang disebut sebagai "heroism", yaitu usaha untuk menemukan makna dan tujuan hidup yang dianggap abadi (Becker, 1973:9), namun heroism yang seharusnya memberikan makna dan tujuan hidup justru bisa berubah menjadi arena kejahatan, hal ini senada dengan inti dari tulisan Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (2007:19) yang berpesan jika tidak ada orang baik atau jahat, semua tergantung daripada bagaimana lingkungan membentuk mereka. Berdasarkan pandangan tersebut terlihat paradoks besar dari kedua pemikir ini. Jika Becker menunjukkan bahwa upaya psikologis manusia untuk menolak kematian bisa mengarah pada tindakan-tindakan heroik yang membawa kebaikan, namun Zimbardo memperingatkan bahwa dalam situasi yang tidak dikontrol dengan baik bisa membuat heroism berubah menjadi tindakan jahat.Dalam dunia modern seperti sekarang ini, dengan segala tekanan dan godaannya, heroism dapat berubah menjadi sesuatu yang sangat buruk seperti korupsi, tindakan korupsi tidak hanya mencerminkan kerakusan, tamak, hanyalah satu sisi mata uang dari perilaku korup. Merujuk pendapat Becker, perilaku ini juga dapat dilihat sebagai ambisi manusia untuk melawan ketakutan terbesar mereka yaitu ketidak-berartian, keinginan untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan agar diakui sebagai orang yang memiliki harta yang luar biasa banyak, keinginan untuk dikenal berkuasa atas hukum, serta keinginan untuk yang membuat legacy sering sekali harus dibayar dengan melanggar norma-norma hukum dan moral itu sendiri.Dalam heroism yang salah ini, mereka meninggalkan jejak yang bukan abadi dalam kebaikan melainkan dalam noda yang sulit dihapuskan oleh waktu sekalipun. Korupsi dengan segala daya tariknya menjadi akhir tragis di mana dorongan manusia untuk menemukan makna dalam hidup berubah menjadi penghianatan besar terhadap tujuannya tersebut. Kembali kepada Zimbardo, Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect yang disebutkan diatas menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh karakter atau moral pribadi tetapi juga oleh sistem dan situasi yang melingkupinya. Banyak pelaku kejahatan berat seperti korupsi beroperasi dalam konteks sistem yang korup, baik hukum, politik, sosial dan budaya tempat ia muncul. Dalam sistem yang korup ini, heroism yang salah tumbuh subur dan berbuah rimbun, seperti gayung bersambut, dirawat baik dan mengakar dalam diri subjek. Pada akhirnya, dari variasi perspektif ini kita berangsur-angsur melihat korupsi bukan lagi sebatas pelanggaran hukum maupun moral, tetapi sebagai pergulatan yang sangat kompleks. Sementara Baudrillard berpandangan jika hukum sering sekali hanya merupakan simbol dalam dunia yang kompleks, ia hadir sebagai representasi realitas dan sering sekali lebih diperhatikan ketimbang realitas itu sendiri. Begitupun Lacan yang ikut mengatakan jika Jouissance hidup dalam diri manusia dan merupakan alasan mengapa banyak orang berpotensi melampaui simbol-simbol/norma, kemudian Becker hadir menimpali dengan mengatakan, “tidak selesai disana, manusia juga dituntun oleh heroism, mencari makna kehidupan terus menerus”, Zimbardo mengacungkan tangan dengan berargumen, ya benar, dan semua itu akan ditentukan oleh dimana heroism itu muncul, lingkungan yang baik atau buruk.Korupsi adalah cerminan Jouissance, heroism yang salah arah, dan efek negatif dari lingkungan. Untuk memberikan solusi kita membutuhkan lebih dari hanya ribuan pasal dan vonis, kita harus melepaskan diri dari hyperreality, kita membutuhkan pemahaman yang lengkap tentang manusia, sistem dan bagaimana keduanya saling membentuk dan berkelindan. (LDR)

Putusan Pengadilan dan Kebijakan Pencegahan Korupsi

article | Opini | 2025-01-16 07:20:03

Salah satu tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah masih maraknya praktik korupsi. Selain merugikan keuangan negara, praktik korupsi juga menyebabkan negara kesulitan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk melayani dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah terdakwa mencapai 1.695 orang. Jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yakni 579 kasus dengan 1.396 terdakwa pada tahun 2022 dan 533 kasus, 1.173 terdakwa pada tahun 2021.Data tersebut sejalan dengan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92, yakni mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan IPAK tahun 2023. Pada nilai indeks tersebut, semakin rendah nilainya (semakin mendekati nol) berarti bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi. Sebaliknya, semakin tinggi nilanya (semakin mendekati 5) menunjukkan bahwa masyarakat semakin berperilaku antikorupsi. Data yang serupa menunjukkan bahwa praktik korupsi masih cukup marak dirilis oleh Transparansi International dalam Corruption Perception Index (CPI). Data pada tahun 2022 menunjukan Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34/100. Skor ini bertahan pada tahun 2023 dan menyebabkan Indonesia berada pada posisi 115. Skor 34/100 berarti bahwa Indonesia memiliki nilai yang sama dengan Ekuador, Malawi, Pilipina, Srilanka dan Turki. Khususnya di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara.Masih maraknya praktik korupsi ditengah banyaknya kasus korupsi yang terungkap dan diputus oleh pengadilan, sering kali melahirkan pertanyaan: jika sudah banyak pelaku korupsi dihukum, kenapa masih ada dan “bahkan” banyak korupsi berikutnya? Jika demikian, apakah penerapan hukuman melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi belum mampu mencegah terjadinya korupsi berikutnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut “tentu saja” sangat beragam. Salah satunya adalah karena praktik korupsi yang terbongkar hingga diputus terbukti di persidangan, tidak diimbangi dengan dibangunnya sistem pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam praktik umum yang terjadi, jika suatu dugaan korupsi terbongkar, respon pertama yang dilakukan adalah membuat deklarasi anti korupsi yang berisi komitmen untuk tidak korupsi, namun bagaimana agar tidak terjadi lagi korupsi baik perbaikan sistem kerja dan pengawasannya, seringkali diabaikan.Dalam RPJPN Tahun 2025-2045 setidaknya terdapat tiga uraian mengenai pencegahan korupsi, yakni:Pertama, penguatan upaya pencegahan korupsi melalui pembatasan transaksi tunai terutama dalam pemerintahan, penguatan sistem pelaporan harta kekayaan ASN, pemanfaatan teknologi informasi pada berbagai sektor untuk mempersempit potensi korupsi;Kedua penguatan pengawasan dan pencegahan korupsi melalui penguatan dan indepedensi lembaga pengawasan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Ketiga lemahnya pengawasan dan sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait menjadi pemicu utama rendahnya integritas tata kelola pemerintah daerah dan desa. Dari ketiga narasi ini, maka selain sistem pengawasan yang harus diperbaiki, juga adanya kesadaran bahwa “sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait” yang belum maksimal.Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi karena ketidak sengajaan. Ada niat dan usaha untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya, selain melalui pesan-pesan moral, yang paling penting adalah membangun sistem yang mampu mencegahkan, setidaknya, menjadikan niat untuk korupsi menjadi sulit direalisasikan. Secara umum, banyak orang sependapat bahwa hukum yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa diharapkan memberikan efek jera, baik bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya maupun memberi pesan kuat kepada pihak lain bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan jika dilanggar, ada sanksinya. Terbuktinya perbuatan korupsi senyatanya tidak semata terbuktinya perbuatan terdakwa melakukan tindakan korupsi, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Untuk itu, jika ingin melakukan pencegahan dari terjadinya, bahkan, terulangnya perbuatan korupsi, para pengambil kebijakan seyogyanya mulai menggunakan putusan pengadilan sebagai bahan penting melakukan perbaikan dan membangun sistem anti korupsi.Secara lebih kongkrit dan praktis, pembangunan pencegahan korupsi seyogyanya menggunakan putusan pengadilan sebagai referensi penting, karena dalam putusan tersebut, tergambarkan bagaimana perbuatan korupsi terjadi. Dengan demikian, maka putusan pengadilan khususnya dalam perkara Tipikor, tidak hanya terkait dengan pertanggungjawaban pelaku, namun juga memiliki manfaat yang lebih luas utamanya dalam membangun sistem dan strategi pencegahan korupsi. Para hakim melalui putusannya menyajikan uraian fakta dan pertimbangan bagaimana praktik korupsi terjadi. Uraian tersebut sejatinya tidak semata menunjukkan bagaimana terdakwa melakukan perbuatannya, tapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dengan mengetahui celah-celah tersebut, maka upaya membangun sistem pencegahan korupsi seharusnya lebih mudah dilakukan.Strategi pencegahan korupsi sebenarnya bersifat “tailor made”: menyesuaikan dengan keadaan penggunanya. Tidak ada strategi yang secara umum bisa efektif diberlakukan pada semua tempat karena situasi bisa jadi berbeda-beda. Oleh karena itu, maka bagi instansi yang pernah terjadi praktik korupsi dan telah diputus oleh Pengadilan, dapat mengambil pelajaran dari praktik yang terjadi sebelumnya melalui dalam merumuskan sistem pencegahan. Karena tanpa dibuatnya sistem pencegahan hanya akan melahirkan praktik korupsi berulang. Bukan begitu?(LDR)

Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi

article | Opini | 2025-01-14 06:05:38

Dokumentasi Pelaporan Gol KPKDokumentasi tanda terima pelaporan KPKUpaya mewujudkan peradilan bersih dan membantu terlaksananya kehidupan bernegara bebas korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) terus ditunjukan oleh aparatur Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya. Berdasarkan Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 yang diterbitkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 2025 yakni terdapat 62 Pejabat dan aparatur pengadilan yang melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi pada periode Oktober sampai dengan Desember 2024. Pejabat dan aparatur Mahkamah Agung RI serta badan peradilan dibawahnya yang melaporkan terdiri Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum pada Ditjen Badan Peradilan Umum, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding, Para Pimpinan Pengadillan Tingkat Pertama, Para Hakim sampai Pegawai PPNPN. Bahwa pelaporan atas penolakan atau penerimaan gratifikasi memedomani Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya Penulis salah satu pelapor penerimaan gratifikasi kepada KPK RI sebagaimana Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 akan membagikan penjelasan singkat tentang gratifikasi, contoh gratifikasi yang wajib dilaporkan penyelenggara negara serta tips singkat dan mudah dalam melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Pelaporan atas gratifikasi sangat mudah karena hanya dalam satu genggaman smartphone atau menggunakan komputer yang terkoneksi internet dapat dilakukan dari seluruh penjuru Indonesia. Pengaturan Hukum dan Bentuk Gratifikasi  Gratifikasi awalnya berasal dari Belanda yang disebut gratikatie. Selanjutnya Inggris mengadopsinya dengan istilah gratification yang dalam Black Law Dictionary memiliki pengertian sebagai pemberian yang diberikan berdasarkan bantuan atau keuntungan. Gratifikasi di Indonesia yang diberikan kepada penyelenggara negara atau PNS dapat menjadi suap bilamana berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugasnya. Adapun gratifikasi tidak menjadi delik korupsi bilamana penyelenggaran negara atau PNS yang menerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK RI sesuai Pasal 12B Ayat 1 dan Pasal 12C Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Bentuk gratifikasi secara luas berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan lain-lainnya, dimana gratifikasi tersebut diterima dalam negeri ataupun di luar negeri yang dilakukan secara konvensional atau menggunakan sarana elektronik sebagaimana Penjelasan Pasal 12 B Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 1 Angka 1 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi Contoh Gratifikasi Wajib Dilaporkan  Bahwa secara prinsip seluruh gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara wajib dilaporkan. Sedangkan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugas penyelenggara negara/pns wajib ditolak sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019. Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan ditolak, terhadap gratifikasi yang berkaitan dengan tugas Hakim atau aparatur pengadilan seperti tidak diterima secara langsung, pemberi gratifikasi tidak diketahui, penerima ragu atas kualifikasi yang diterimanya dan adanya kondisi yang tidak mungkin ditolak seperti rusaknya hubungan antar instansi, membahayakan diri sendiri/karir atau ada ancaman lain yakni wajib dilaporkan sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Hal mana telah diatur juga gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan menurut KPK RI dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI seperti pemberian terkait pernikahan, tunangan, khitan atau upacara agama/adat lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk seorang pemberi, honorarium dari profesi lain seperti mengajar yang tidak melanggar kode etik, pemberian terkait musibah atau bencana alam dan bentuk gratifikasi lainnya yang tidak wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Penulis mencontohkan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu meskipun bersinggungan jabatan atau tugas penyelenggara negara yang biasanya terjadi pada lingkungan peradilan antara lain pemberian bahan batik/baju untuk seragam perayaan ulang tahun daerah yang diberikan pejabat daerah kepada Pimpinan Pengadilan, kenang-kenangan pengantar alih tugas yang diberikan kepada Pimpinan Pengadilan oleh Instansi Penegak Hukum lainnya atau nasi kotak/hadiah makanan lainnya yang telah disiapkan untuk seluruh aparatur pengadilan dan diberikan dalam rangka perayaan keterpilihan sebuah Firma Hukum sebagai penyelenggara Pos Bantuan Hukum di suatu Pengadilan. Berdasarkan pengalaman penulis untuk pelaporan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu, maka gratifikasi akan menjadi milik institusi atau dikelola institusi, seperti bahan pakaian yang akhirnya dikelola untuk suatu instansi Pengadilan. Adapun gratifikasi makanan yang lekas rusak dapat dikonversi dalam rupiah dan penerima gratifikasi wajib membayarkan hadiah yang telah dikonversi rupiah kepada kas negara; Berdasarkan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang Hakim yang pernah melaporkan honorarium sebagai pengajar pendidikan profesi Advokat yang diselenggarakan organisasi Advokat di Provinsi Banten, meskipun honorarium mengajar tidak termasuk gratifikasi yang wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021, akan tetapi penulis ragu akan kualifikasi gratifikasi tersebut karena tidak menutup kemungkinan adanya konflik kepentingan antara penulis yang Hakim dengan Advokat walaupun berbeda wilayah hukum dengan tempat penulis bertugas. Penulis juga pernah melaporkan baju yang didapatkan ketika menjadi narasumber Siniar yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), karena penulis berpendapat dapat saja ICW menjadi pihak dalam suatu persidangan yang penulis adalah seorang hakimnya Langkah Melaporkan Penerimaan atau Penolakan Gratifikasi Adanya kemudahan dalam pelaporan atas penerimaan atau penolakan gratifikasi, dimana tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional dengan mendatangi langsung kantor Kpk RI di Jakarta atau menyampaikan kepada unit pengendali gratifikasi satuan kerja. Melainkan dapat secara daring mengakses aplikasi gratifikasi online (GOL) KPK yang hanya membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Langkah pertama bagi aparatur pengadilan yang akan melaporkan gratifikasi melalui aplikasi GOL KPK yakni dengan mendaftarkan akun pada https://gol.kpk.go.id dan mengisi biodata dari calon pelapor gratifikasi yang terdiri dari nama lengkap, jabatan, alamat, satuan kerja, unit kerja dan identitas pribadi lainnya. Selanjutnya setelah teregistrasi yakni pelapor dapat melaporkan gratifikasi pada kolom laporan gratifikasi dan memilih laporan baru. Selanjutnya mengisi informasi laporan yang dapat ditembuskan kepada UPG Mahkamah Agung RI dan memilih apakah yang dilaporkan bentuknya penolakan atau penerimaan gratifikasi. Kemudian pelapor gratifikasi mengisi identitas pemberi, institusi dan alamat gratifikasi, menjelaskan hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi, peristiwa terkait gratifikasi, lokasi objek gratifikasi, jenis dan uraian objek gratifikasi, serta konversinya dalam bentuk rupiah benda gratifikasi tersebut. Hal lain yang wajib diisi oleh pelapor gratifikasi yang menggunakan aplikasi GOL KPK adalah kronologi penerimaan atau penolakan gratifikasi yang berisikan juga tanggal penerimaan atau penolakan gratifikasi. Demikian juga pelapor gratifikasi dapat memilih apakah mengkompensasi objek gratifikasi dengan menyerahkan uang pengganti seandainya objek gratifikasi ditetapkan menjadi milik negara. Selain itu pelapor dapat melampirkan dokumentasi objek gratifikasi. Pelaporan gratifikasi menggunakan aplikasi GOL KPK disarankan dalam tenggang waktu 30 hari kerja sejak menerima atau menolak gratifikasi sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Sedangkan pelaporan diatas 30 hari kerja sejak diterima atau ditolak gratifikasi, tetap akan diproses oleh KPK RI. Semoga kemudahan pelaporan gratifikasi oleh KPK RI menjadi upaya bagi aparatur pengadilan untuk melaporkan gratifikasi yang diterima atau ditolaknya. Demikian juga contoh positif pelaporan gratifikasi yang telah dilakukan aparatur pengadilan menjadi motivasi bagi aparatur pengadilan lainnya untuk melaporkan ketika adanya penerimaan atau penolakan gratifikasi, sehingga ikut berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang bebas KKN.

Melawan Matinya Kepakaran

article | Opini | 2025-01-11 16:00:34

Sumpah serapah kembali berserak di media sosial, lagi dan lagi sasaran amuknya adalah putusan pengadilan. Kali ini perkara tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang menjadi sorotan. Berbagai hal mulai dari berat ringannya hukuman, pertimbangan putusan, hingga gestur, dan mimik wajah hakim pasca sidang turut menjadi bahan cibiran.Agar tidak salah kaprah, tulisan ini hadir bukan untuk mengomentari putusan majelis hakim. Tidak pula suatu upaya membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya berusaha untuk mengurai fenomena munculnya opini-opini rancu yang melenceng jauh dari rute kebenaran.Tentu sah-sah saja berkomentar atau berpendapat, toh itu menjadi hak yang dilindungi konstitusi kita. Namun, beberapa komentar nampaknya sudah terlampau sukar dinalar. Salah satunya adalah kritik terhadap vonis pidana penjara 6,5 tahun yang dijatuhkan kepada HM. Vonis tersebut lantas dibandingkan dengan perkara Nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu dan diancam pidana pencurian paling lama lima tahun penjara.Oleh publik, vonis perkara korupsi 6,5 tahun dan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun tersebut dianggap sebagai bukti sahih ketidakadilan. Bagaimana bisa korupsi dengan kerugian mencapai 300 Triliun divonis nyaris setara dengan pencuri tujuh batang kayu. Anggapan ini tentu keliru dan perlu diluruskan, siapapun yang pernah mengeyam pendidikan hukum, bahkan mahasiswa fakultas hukum yang belum lulus sekalipun, tentu dapat membedakan antara putusan pengadilan dan ancaman pidana yang tertuang dalam suatu pasal. Lagipula, faktanya, oleh Majelis Hakim kala itu, Nenek Asyani dijatuhi hukuman percobaan dan tidak dijatuhi pidana penjara lima tahun sebagaimana yang dibicarakan publik.Selain itu, ada pula kegamangan publik terkait dengan kerugian 300 Trilun dalam perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah tersebut. Terkait hal ini, LK2 FHUI, sebuah lembaga kajian di bawah naungan Universitas Indonesia sampai merilis tulisan berjudul “Salah Kaprah Korupsi 271 Triliun: Kerugian Negara atau Kerugian Lingkungan?”. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa angka fantastis tersebut bukanlah total uang yang dikorupsikan, melainkan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan kawasan hutan dan kawasan nonhutan. Beberapa pakar hukum pun turut angkat bicara guna mengklarifikasi mengenai kerugian 300 Triliun tersebut.Namun opini-opini dari para pakar seolah tak berdaya di hadapan gempuran komentar dari insan yang merasa dirinya lebih pakar dari seorang pakar hukum. Para pencibir ini merasa komentarnya memiliki validitas yang setara dengan komentar-komentar para pakar.The Death of ExpertiseTom Nichols, dalam bukunya, memotret fenomena ini dan menyebutnya sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran. Istilah tersebut lahir sebagai bentuk kekhawatirannya atas realita yang hari ini tengah terjadi. "Matinya Kepakaran" adalah kondisi ketika otoritas dan kredibilitas para ahli diabaikan. Fenomena ini terjadi ketika masyarakat, didukung oleh akses informasi yang luas melalui internet, media sosial, dan teknologi, merasa memiliki pengetahuan yang setara atau bahkan lebih baik daripada para ahli. Hal ini sering kali memunculkan kesalahan persepsi atau penyebaran informasi yang tidak valid.Ujar Nichols, di era ini, orang memiliki begitu banyak akses informasi ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apapun. Apabila dikaitkan dengan banyaknya kritik terhadap putusan pengadilan, boleh jadi komentar paling pedas justru datang dari seorang yang belum membaca putusan tersebut. Bahkan sama sekali tidak paham apa itu putusan pengadilan.Tragisnya, fenomena “Matinya Kepakaran” ini tidak hanya menjangkit masyarakat awam. Para pesohor dan media arus utama juga ikut terseret pusarannya. Hari ini, tak sedikit pesohor yang berduyun-duyun mengkomentari suatu hal yang belum tentu mereka pahami. Begitu pula media-media arus utama yang membuat judul berita clickbait (umpan klik) dengan muatan disinformasi.Dalam perkara-perkara hukum, komentar para pesohor dan berita bermuatan disinformasi tersebut mudah sekali ditelan oleh masyarakat. Alhasil kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum dapat merosot. Institusi penegakan hukum seperti Mahkamah Agung-lah yang terkena getahnya.Dibutuhkan Informasi PembandingPerlu dibangun jembatan untuk menutup jurang terjal antara kebebasan berpendapat dengan otoritas ahli di era matinya kepakaran. Khususnya dalam perkara hukum. Publik harus disuguhi informasi-informasi pembanding yang mampu dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.Selama ini, publik terkungkung oleh sumber-sumber informasi yang mereka kira valid. Informasi itu antara lain komentar viral, tangkapan layar, atau judul berita bermuatan clickbait belaka. Alih-alih bermanfaat, sumber informasi tersebut justru membuat publik tersesat.Dalam upaya melawan matinya kepakaran, keterbukaan informasi memainkan peran vital. Mahkamah Agung sendiri memiliki komitmen kuat dalam memberikan akses yang lebih luas pada masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh pengadilan. Jalannya suatu perkara dapat diakses secara daring melaui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) masing-masing Pengadilan. Begitu pula dengan putusan, publik dapat dengan mudah membacanya di laman direktori putusan. Semua informasi tersedia dalam genggaman dan dapat diakses kapan saja.Sebelum terburu-buru berkomentar, kiranya publik dapat meluangkan waktu sejenak untuk membaca putusan pengadilan dan mempelajari pertimbangannya. Langkah sederhana tersebut adalah upaya konkret untuk membangkitkan kepakaran dari kematiannya. Sekarang, kembali lagi kepada publik, apakah media sosial akan diisi dengan informasi yang sehat atau yang sesat. (LDR)

Belajar Keteguhan Hati Dari Spider-Man

article | Opini | 2025-01-06 10:25:02

Dalam menjalankan tugasnya, hakim selalu menghadapi tantangan yang beragam. Salah satu tantangan tersebut adalah informasi hoax yang beredar di media baik media massa maupun media sosial. Informasi hoax yang beredar tersebut tidak jarang mendiskreditkan hakim, terutama ketika hakim tersebut memutus perkara- perkara yang kontroversial dan menarik perhatian masyarakat. Hal tersebut sebagai upaya mendelegitmasi pribadi hakim tersebut dengan tujuan meruntuhkan kepercayaan publik pada putusan yang dibuat hakim tersebut. Perlu dipahami bahwa hakim sebagai pejabat publik adalah hal lumrah untuk dikritik karena sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim pada Negara dan masyarakat. Namun disisi lain hakim tetaplah manusia, terkadang terpaan fitnah dan narasi-narasi negative akan meruntuhkan mentalitas dan kepercayaaan diri dari hakim tersebut. Tentunya kita juga paham bahwa ada prinsip-prinsip independensi yang kemudian memberikan kebebasan kepada hakim tersebut untuk memutuskan sesuatu yang menurut keyakinan dan hati nuraninya benar. Putusan hakim tersebut tentulah harus dihargai demi terciptanya kepastian hukum. Walaupun putusan tersebut dapat juga diartikan tidak adil oleh sebagian kalangan atau pihak. Belajar Keteguhan HatiDalam cerita komik dan film dari Marvel, tokoh Spider-Man memiliki jalan cerita yang hampir mirip dengan tantangan hakim dalam menjalankan tugasnya. Dalam kisah superhero Spider-Man, dikisahkan bahwa Spider-Man selalu menjadi bulan-bulanan media. Semua tindakan dan aksi-aksi heroiknya selalu difitnah dan diframing negatif oleh media khususnya oleh kantor berita the Daily Bugle yang dipimpin oleh pemimpin redaksi J. Jonah Jameson.J. Jonah Jameson adalah pemimpin redaksi yang acapkali tidak mengedepankan fakta dalam pemberitaanya. Ia ingin mempengaruhi masyarakat agar Spider-Man menjadi ancaman publik atau Vigilante tak bertanggung jawab. Meskipun Spider-Man melakukan banyak hal untuk menyelamatkan kota, Spider-Man sering kali tidak mendapat pengakuan yang pantas atas pengorbanannya.Namun segala tantangan tersebut, dilalui Spider-Man dengan penuh keteguhan hati. Terlepas dari fitnah yang disebarkan media, Spider-Man tetap berfokus pada tugasnya untuk melindungi warga kota dan tetap konsisten melawan kejahatan. Spider-Man paham bahwa tidak mungkin menyenangkan semua orang dalam keputusan dan tindakannya. Keteguhan hati dari Spider-Man juga terlihat ketika sikapnya tetap diam dalam menerpa pemberitaan negatif. Spider-Man paham melawan fitnah-fitnah media bukanlah tugas utama seorang Spider-Man. Tugas utama seorang Spider-Man adalah melawan kejahatan yang membahayakan warga kota.Tantangan Profesi hakim di Era InformatikaMenjalani profesi hakim di era informatika seperti sekarang ini, hakim harus memiliki keteguhan seperti Spider-Man. Framing negatif dan hoax selalu menyertai dalam tantangan menegakkan hukum dan keadilan. Hakim dituntut memiliki ketahanan mental untuk menghadapi tekanan media, tetap tenang, dan tidak terpengaruh oleh pemberitaan yang memojokan.Tugas utama hakim adalah menghasilkan putusan yang berkualitas. Dalam kehidupan kesehariannya juga diimbangi dengan perilaku yang terpuji. Kedua hal tersebut menjadi senjata yang ampuh dalam melawan framing negatif dan narasi hoax yang tersebar di media massa ataupun media sosial. Lambat laun kepercayaan publik akan meningkat karena paduan kedua hal tersebut ada dalam diri hakim. Selain media yang selalu memberikan berita negatif tentunya ada juga yang memberikan berita berimbang dan positif pada hakim. Disisi selain tentu kita juga paham bahwa media juga memberikan kontribusi positif dalam pendidikan hukum di masyarakat. Dalam hal ini jika putusan hakim berkualitas, media pun dapat menjadi partner strategis dalam memberikan informasi ditengah masyarakat.Tanggung Jawab Besar Seorang hakimDalam salah satu percakapan di film Spider-Man, Paman Peter Parker (Spider-Man) pernah berucap  " with great power comes great responsibility"  yang artinya dalam kekuatan yang besar ada pula tanggung jawab yang besar. Hakim yang memiliki kewenangan yang besar tentunya paham harus memaknainya juga sebagai bentuk tanggung jawab yang besar. Salah satu tanggung jawab yang besar itu adalah menjalankan tugas dengan penuh tantangan. Salah satu tantangan tersebut adalah fitnah dan narasi hoax yang harus dijawab hakim dengan keteguhan hati layaknya seorang superhero seperti Spider-Man. (LDR)

Bahaya Laten AI dalam Etika Profesi

article | Opini | 2024-12-31 17:20:49

Bandar Lampung - Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan / artificial intelligence (AI) begitu cepat melakukan penetrasi ke seluruh aspek kehidupan sehingga memberikan kemudahan dalam banyak bidang pekerjaan. AI menghadirkan cara dan prosedur yang lebih efektif dan efisien. Awalnya melalui mesin pencari seperti Google kita dapat mendapatkan informasi yang melimpah. Ternyata kemudian dengan hanya mengisi satu perintah dalam prompt chatGPT diperoleh informasi lebih cepat, terstruktur dan nyaris sempurna. Kehadirannya tentu membawa harapan ke arah peradaban publik yang lebih baik. AI telah menjadi simbol modernisasi. Di sisi lain AI juga membawa dampak negatif, proses otomatisasi menciptakan mesin-mesin dan program-program yang menggantikan peran manusia dalam pekerjaan yang sifatnya rutin dan berulang. Ketika kemudian ChatGPT, Meta AI, Gemini, dan AI generatif lainnya menjadi barang publik dan populer, maka kekurangan informasi bukan lagi menjadi masalah, sebaliknya informasi yang melimpah ruah menjadi masalah baru. Tidak menggunakan sama sekali atau menolaknya tentu bukan pilihan yang realistis.Pemanfaatan Artificial  Intelligence  (AI)  dalam  sistem  hukum  di  Indonesia  telah  menjadi  topik  yang  menarik serta menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pendukung pemanfaatan AI dalam  hukum  mendasarkanpada potensi  yang dimiliki untuk merampingkan proses administratif, menganalisis data dalam jumlah besar, menyusun dokumen, mengidentifikasi kasus-kasus terdahulu dan selanjutnya menyajikan probabilistik hasil litigasi. Hal tersebut tentunya meningkatkan  efisiensi,  akurasi,  dan  aksesibilitas  sehingga mengurangi biaya, waktu dan mengubah cara pandang terhadap sistem  peradilan. Di sisi lain, pendapat kontra  terkait  dengan  pemanfaatan AI dalam hukum mengungkapkan kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas keputusan AI, masalah privasi data, serta keabsahan dan keandalan algoritma yang digunakan.Dalam kajian akademis, persinggungan antara kecerdasan buatan dan etika hukum merupakan salah satu tema kajian yang paling provokatif dalam filsafat hukum kontemporer. Dalam “Law Without Mind,” Joshua P. Davis berargumen bahwa; Meskipun AI memiliki potensi untuk merevolusi sistem hukum, perannya dalam membuat penilaian moral yang substantif menimbulkan dilema etika yang mendalam. Dapatkah sebuah sistem yang tidak memiliki moralitas dan empati manusia benar-benar mewujudkan esensi keadilan?. Hukum bukan sekadar sistem aturan, hukum adalah kerangka kerja sosial yang mewujudkan kejujuran, keadilan, dan pertanggungjawaban moral. Kualitas-kualitas ini berasal dari pertimbangan manusia, empati, dan pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai masyarakat, di mana elemen-elemen tersebut tidak dimiliki dan berada di luar jangkauan AI. Pengambilan keputusan oleh AI yang diperoleh dari algoritma yang tersembunyi dan sifat “black box” menimbulkan pertanyaan filosofis tentang akuntabilitas dan kerisauan atas hilangnya transparansi landasan keadilan. Ketika pemanfaatan hukum sebatas untuk tujuan deskriptif atau prediktif, maka kehadiran AI menjadi sangat efektif dalam menganalisis kumpulan data yang sangat besar untuk memberikan prediksi suatu perkara atau mengidentifikasi tren dan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembentukan aturan hukum. Namun di sisi lain, ketika interpretasi hukum membutuhkan panduan moral, AI gagal. Positivisme hukum tidak akan dapat menjawab kewajiban moral yang melekat dalam hukum, tanpa didukung integritas etika melalui pendekatan non-positivis.Di antara beberapa penyebab kelemahan AI adalah kekuranglengkapan dan kekurangberagamnya data, serta subjektifitas perancang dalam proses pelatihan program, sehingga outputnya mengandung bias dan stereotip dalam masyarakat. Sebagaian besar sistem AI beroperasi dalam ruang gelap dan tidak tersentuh. Di mana para perancang dapat bertindak dan memutuskan tanpa diketahui siapa pun. Ketidaktransparan ini dapat menimbulkan masalah yang serius. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab ketika sistem AI membuat kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain?. Euforia potensi AI untuk meningkatkan efisiensi perlu diimbangi dengan fondasi moral dan panduan etik dalam dalam pemanfaatan dan penggunaannya. Demikian juga bagi hakim ketika memanfaatkan AI dalam tugas profesinya memerlukan pendekatan etika profesi sebagai sebuah pedoman yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai.Hakim harus mandiri, mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ketergantungan berlebih dengan menyandarkan diri pada informasi yang disajikan oleh teknologi AI dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara yang diperiksa, sesungguhnya sama saja dengan bergantung kepada pihak lain. Selalu mengandalkan informasi yang diperoleh dari program AI lambat laun akan membentuk individu yang mudah dipengaruhi, dikendalikan dan dimobilisasi, kehilangan kemampuan berpikir kritis dalam membuat penilaian mandiri, sehingga lupa pentingnya menempa diri menjadi profesional. Dalam memanfaaatkan AI, seorang hakim lebih baik berperilaku rendah hati, dengan cara menempatkan diri sebagai kaum awam dalam urusan teknologi, sehingga muncul kesadaran diri untuk terus belajar dan bersikap hati hati dalam menggunakannya. AI sesungguhnya hanyalah alat bantu yang dapat meringankan pekerjaan namun tidak mampu menjawab seluruh pertanyaan ataupun menyelesaikan masalah. Informasi yang diperoleh dijadikan informasi awal yang sangat membantu namun perlu diperiksa kebenarannya, dikaitkan dengan informasi lainnya yang relevan, dan paling penting adalah melakukan verifikasi ulang berdasar pengetahuan yang dimiliki. Ketika AI diintegrasikan ke dalam sistem hukum, harus ditarik batas yang jelas antara tugas-tugas yang dapat dilakukan secara otomatis by sistem dan keputusan yang membutuhkan penilaian manusia yang memiliki penalaran moral dan pertimbangan etika. Disrupsi digital harus diimbangi dengan peningkatan profesionalisme dan berpegang teguh pada etika profesi.Enan Sugiarto, S.H., M.H.Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, Lampung dan mahasiswa Program Doktor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Mahkota Hakim dan Strategi Kehumasan Pengadilan

article | Opini | 2024-12-24 11:55:47

Jakarta - Putusan hakim sebaik dan sebenar apa pun ( obyektif, independen, transparan, akuntable, integritas ) akan dianggap tidak adil oleh pihak yang berperkara dengan tujuan mencari kemenangan, bukan bertujuan mencari kebenaran.Dalam konteks kelembagaan, maka Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan di bawahnya yang nota bene core bussines-nya adalah memeriksa, memutus dan mengadili perkara yang disengketakan pihak-pihak yang berhadapan kepentingan dengan out put berupa putusan, maka sudah menjadi resiko laten jika akan terus menghadapi penilaian publik dalam sudut pandang/perspektif yang berbeda. Bagi pihak yang dalam putusan hakim diuntungkan, dia akan memuji dan mengatakan putusan hakim sudah tepat dan adil, namun di satu pihak yang tidak diuntungkan,  akan menganggap putusan tidak benar dan tidak adil. Itu jika tujuan berperkara adalah mencari kemenangan. Oleh karena putusan adalah core busssines lembaga pengadilan, maka tolok ukur publik terhadap baik buruknya lembaga seringkali hanya dinilai dari putusan hakim saja, padahal sudah banyak perubahan-perubahan positif yang dilakukan lembaga pengadilan dalam melayani publik dengan berbagai inovasi baik mengenai administrasi perkara, maupun kemudahan dalam proses persidangan dengan mengoptimalkan tehnologi informasi. Salah satu contoh transparansi proses ber-acara yang bisa diakses dengan mudah oleh para pihak bahkan oleh publik yaitu SIPP ( Sistem Informasi Penelusuran Perkara ) maupun e - Court yang mendeskripsikan perjalanan proses perkara sejak didaftarkan sampai putusan, belum lagi inovasi-inovasi lainnya. Namun Succes Story atau keberhasilan semua perubahan positif dan bermanfaat bagi publik maupun pihak berperkara tersebut, ibarat panas kena hujan sehari, jika kemudian ada blow up atau viral nya sebuah putusan hakim yang dianggap atau dinilai tidak adil. Semua prestasi itu seolah tenggelam tiada arti hanya karena sebuah putusan. Dan barangkali itu semua menjadi bukti tak terbantahkan adagium yang menyatakan putusan adalah mahkota-nya hakim. Segala pernak pernik perhiasan di pakaian kebesaran tentu tidak akan semahal dan seberharga makhkota di kepala. Jika mahkota dilihat retak, maka hilanglah kewibawaan pemakainya. STRATEGI KEHUMASAN PENGADILANBertolak dari fakta demikian, lalu bagaimana seharusnya strategi kehumasan lembaga pengadilan agar mampu menjadikan putusan hakim ( putusan pengadilan ) yang merupakan core bussines menjadi Lucky Point kehumasan bukan menjadi Bad Point ? Jika kita melihat fenomena terkait pemberitaan sebuah putusan yang dinilai menjatuhkan performa lembaga pengadilan, hampir semua adalah terkait dengan putusan yang menarik perhatian masyarakat. Sehingga fokus managemen kehumasan sudah semestinya dimulai sejak perkara tersebut dilimpahkan atau didaftarkan ke pengadilan, bahkan untuk perkara pidana sudah bisa dimulai mapping-nya sejak ditetapkannya Tersangka oleh penyidik di wilayah hukum pengadilan setempat. Humas Pengadilan harus sudah melakukan semacam langkah Pulbaket ( informasi penting terkait perkara dimaksud ) agar setidaknya bisa digunakan untuk melakukan analisa yang hasilnya berupa opsi langkah-langkah antisipasi berkait dengan pemberitaan perkara dimaksud. Humas Pengadilan juga secara internal melakukan koordinasi dengan majelis hakim yang menangani perkara yang menarik perhatian masyarakat tanpa mengganggu independensinya, sekedar untuk memperoleh informasi perkembangan penanganan perkaranya, agar Humas mampu memberikan jawaban atas pertanyaan dari media pers dengan akurasi yang tepat dan tidak melanggar aturan. Selanjutnya dengan memperoleh dan mengamati jalannya persidangan, Humas akan bisa menganalisa apakah jika putusan dibacakan akan menimbulkan dampak pemberitaan yang seperti apa. Barangkali lebih tepat jika majelis hakim setelah membacakan putusan atas perkara yang menarik perhatian masyarakat mau memberikan poin-poin pertimbangan putusannya, sehingga seusai dibacakan, Humas bisa menyampaikan release singkat kepada media pers. Hal ini penting dilakukan agar publik tidak memperoleh berita tentang putusan yang seringkali ditulis secara tidak benar oleh media, dan berita yang tidak tepat tersebut sudah terlanjur dikonsumsi publik dan pada akhirnya menjadi berita yang sudah digoreng untuk kepentingan berbagai pihak. Langkah lain yaitu Humas pengadilan harus proaktif berkoordinasi dengan majelis-majelis hakim yang menangani perkara dengan isue hukum yang aktual dan diapresiasi publik agar kelak mem-blow up putusan tersebut ke media pers, agar menjadi berita yang viral. Secara singkat dapat dikatakan, putusan hakim jangan hanya menjadi berita buruk yang menenggelamkan banyaknya prestasi lembaga, tapi dikelola pemberitaannya menjadi kekuatan utama lembaga. Djuyamto SH MH (Humas PN Jakarta Selatan)

Narasi Keliru Denda Korupsi Lima Ribu Toni Tamsil

article | Opini | 2024-12-23 21:30:38

Beberapa waktu lalu, sejumlah media nasional ramai menyoroti putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang terhadap Toni Tamsil alias Akhi. Reaksi dan komentar publik menjadi cukup tajam karena Tamsil diwartakan hanya dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun dan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Oleh masyarakat, jumlah “denda” ini jelas dianggap sangat tidak proporsional dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai angka hingga Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus triliun rupiah).Sebelum terjebak pada penilaian dan konklusi yang keliru, sangat penting bagi seluruh pihak untuk memahami perbedaan antara pidana denda dan biaya perkara. Keduanya sekilas memang tampak serupa, akan tetapi sebenarnya memiliki dasar hukum dan implikasi yuridis yang jauh berbeda. Pidana denda sendiri merupakan salah satu dari lima jenis pidana pokok yang tercantum pada Pasal 10 KUHP, yakni: 1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana kurungan; 4) pidana denda; dan 5) pidana tutupan. Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka ia harus menggantinya dengan pidana kurungan paling lama hingga delapan bulan. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat ketentuan khusus mengenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti. Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka hukumannya akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokok.Jika mencermati Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK), perbuatan Tamsil diancam dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun hingga paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau dengan pidana denda Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) hingga paling banyak sejumlah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Karena rumusan pasal tersebut menggunakan konjungsi “dan atau”, maka hakim dapat memilih di antara dua opsi pilihan. Opsi pertama adalah menjatuhkan hukuman di antara pidana penjara atau denda secara alternatif. Selain itu, terdapat opsi kedua, yakni hakim menjatuhkan pidana penjara dan denda secara sekaligus dalam bentuk kumulatif.Pada persidangan dengan register Nomor 6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp, Terdakwa Tamsil dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perintangan penyidikan perkara korupsi”. Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri Pangkalpinang lalu menjatuhkan putusan “pidana penjara selama 3 (tiga) tahun”. Dengan kata lain, Tamsil telah dihukum dengan pidana penjara tanpa disertai dengan pidana denda maupun uang pengganti. Meskipun demikian, ia tetap dibebankan untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).Diktum menyangkut biaya perkara inilah yang kemudian memunculkan narasi seakan-akan Tamsil hanya dikenakan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Padahal jika merujuk Pasal 197 KUHAP, suatu putusan pemidanaan memang harus memuat mengenai “ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan”. Berdasarkan angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983, biaya perkara paling sedikit adalah sejumlah Rp500,00 (lima ratus rupiah) dan maksimal sejumlah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Perinciannya adalah maksimal Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) untuk beban biaya proses pengadilan di tingkat pertama dan Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) untuk pengadilan tingkat banding. Artinya, pengadilan memang harus menjatuhkan biaya perkara jika seseorang dinyatakan bersalah, terlepas dari apa pun kualifikasi pidananya. Ketentuan ini bersifat imperatif, mulai dari perkara sepele seperti pelanggaran lalu lintas atau penghinaan ringan, hingga perkara serius seperti pembunuhan, terorisme, atau korupsi. Jika terdakwa tidak mampu membayar, maka biaya perkara dapat ditanggung oleh negara setelah memperoleh persetujuan pengadilan.Dalam konteks narasi mengenai Toni Tamsil, tajuk pemberitaan media seakan-akan mencampuradukkan terminologi antara biaya perkara dan pidana denda. Padahal, keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda. Biaya perkara merupakan kewajiban administratif yang dibebankan kepada terpidana untuk mengganti ongkos operasional persidangan, sedangkan pidana denda adalah salah satu dari lima jenis pidana pokok yang dijatuhkan hakim sebagai bentuk sanksi penghukuman. Nominal biaya perkara ini memang relatif rendah karena belum pernah direvisi semenjak berlaku 40 tahun lalu, sementara jumlah pidana denda dapat mencapai jumlah yang jauh lebih signifikan, tergantung dari bentuk kejahatan dan akibat yang ditimbulkan terdakwa. Sebagai contoh, Mahkamah Agung pernah menjatuhkan pidana denda hingga satu milyar rupiah dalam perkara korupsi lahan sawit di Riau yang melibatkan Surya Darmadi, founder dan chairman PT Darmex Agro Group.Reaksi publik yang kuat menunjukkan bahwa masyarakat sangat memperhatikan isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Meskipun demikian, masyarakat awam yang asing dengan istilah hukum kemungkinan besar akan keliru ketika menafsirkan putusan pengadilan, sehingga timbul keprihatinan publik bahwa terdakwa korupsi seperti Toni Tamsil hanya dihukum dengan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Padahal, Pengadilan Negeri Pangkalpinang sebenarnya telah menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun, sedangkan perintah untuk membayar sejumlah lima ribu rupiah merupakan biaya perkara yang memang harus dibebankan kepada seluruh terpidana. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat sangat membutuhkan edukasi hukum yang memadai. Selain itu, media juga memegang tanggung jawab krusial untuk menghindari titel pemberitaan yang berpotensi misleading. Di lain pihak, penting bagi seluruh aparatur untuk selalu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan penegakan hukum, karena setiap pengambilan kebijakan akan selalu terpantau oleh publik yang kritis. (LDR)  

Hakim Sang OPTIMUS PRIME

article | Opini | 2024-12-22 04:40:07

Mengapa harus optimus prime?Mungkin, dalam benak pembaca akan bingung apa itu optimus prime dan apa hubungannya dengan hakim. Pencarian siapa sosok optimus prime tidaklah mengalami kesulitan jika kita sering menonton film Transformer baik versi animasi kartun maupun dalam the movies. Penonton serial film itu tentunya sudah familiar siapa itu sosok optimus prime atau di Jepang disebut sebagai convoy. Optimus prime merupakan karakter utama atau tokoh utama dalam fiksi dan protagonis dari waralaba Transformers itu sendiri.Tokoh ini digambarkan sebagai pemimpin yang berani dan mulia dari kelompok autobots. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan melakukan perlawanan terhadap semua kejahatan yang dilakukan oleh kelompok decepticons, dengan pemimpinnya yaitu megatron yang dibantu starscream yang berusaha menguasai cybertron, dunia dan alam jagat raya, begitulah secara sederhana menggambarkan sosok optimus primeLantas, bagaimana kaitannya dengan sosok hakim? jika optimus prime adalah seorang robot maka hal yang berbeda jika berbicara mengenai hakim yang merupakan sosok manusia atau person. Sosok hakim didunia nyata digambarkan sebagai tokoh sentral dalam proses penegakan hukum. Hakim adalah suatu jabatan yang mempunyai kewenangan dalam menerima, memeriksa, mengadili serta memutus perkara yang diajukan kepadanya.Titik singgung antara optimus prime dan hakim adalah sama-sama dianggap sebagai pemimpin di wilayah masing-masing. Di serial film tersebut maka sosok optimus prime dianggap sebagai sosok pemimpin yang baik dan berhasil. Begitupun seorang Hakim, agar hakim dalam menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin yang baik dan berhasil, maka Hakim dapat mengambil sisi positif dari sikap dari perilaku dalam tokoh utama seperti di film Transformers ini.Optimus Prime dan Hakim Penjaga Benteng KeadilanOptimus Prime digambarkan pahlawan dalam setiap arti kata dan perilakunya. Pendapatnya tentang kebebasan adalah hak milik semua makhluk hidup menjadikannya sebagai sosok yang disegani dan mengagumkan di mata semua bawahannya (dan bahkan musuh-musuhnya) sangat menghormatinya. Secara sederhana, ia adalah sosok panutan.Jika kita mencari arti kata optimus prime di dalam bahasa latin maka ditemukan arti dari kata optimus yang artinya terbaik atau terhebat dan prime yang artinya pertama. Optimus prime sebagai pertama dan terbaik,  begitupun seharusnya seorang Hakim juga seyogyanya menjadi yang pertama dan terbaik dalam artian sebagai penjaga keadilan, terbaik yang dituntut untuk senantiasa mempunyai etos kerjanya yang tidak goyah dan benteng terbaik yang sifatnya kokoh sebagai penjaga benteng keadilan.Perlu diingat bahwa putusan hakim sebagai benteng keadilan mempunyai dua sisi dimensi. Menurut ansyahrul, dalam karyanya Pemuliaan Peradilan Dan Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan Dan Hukum Acara (Kumpulan Makalah: 2008) menyatakan semua putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan bukan saja di kehidupan duniawi saja akan tetapi dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Tuhan.Optimus prime digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mempunyai karakteristik kepemimpinan yang efektif. Pimpinan yang mempunyai visi dan misi yang jelas, sosok yang berintegritas, dalam melakukan semua tindakan juga dibarengi dengan keberanian, dan yang tidak kalah pentingnya adalah punya kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi tim. Faktor kepemimpinannya sangatlah kuat karena dibarengi dengan kemampuan untuk mengatasi segala tantangan dengan bantuan kebijaksanaan yang tinggi dan keteguhan hati. Kepemimpinannya dapat dijadikan sebagai contoh bagi siapa yang diberi kepercayaan oleh orang lain, kelompok, organisasi maupun negara oleh terkait dengan kekuasaan dan jabatannya termasuk hakim.Begitupun harusnya seorang Hakim, untuk menjadi pemimpin yang efektif maka dalam diri seorang Hakim juga harus mempunyai visi misi yang jelas. Kepemimpinan seorang hakim juga akan dijadikan role model atau panutan baik bagi keluarganya, di satker kerjanya maupun dilingkungan sekitarnya, oleh karenanya hakim harus dapat menjaga perilaku baik didalam dan diluar persidangan, layaknya tokoh Optimus prime. Hakim akan menjadi terbaik jika dia taat dan patuh pada kode etiknya, diantaranya “berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional”.Tanpa kita sadari, kode etik hakim sebagaimana dimaksud diatas bagian dari dari sepuluh nilai utama, dan jika ditelusuri lebih lanjut akan selaras dengan kepribadian optimus prime sebagai pribadi yang mempunyai integritas, kejujuran, keberanian, berdisiplin tinggi dan profesional.Integritas dalam diri optimus prime juga kita temukan di dalam butir-butir kode etik hakim tersebut. Integritas tinggi pada hakim tercermin dalam sikap setia dan tangguh dalam berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Optimus prime adalah pemimpin yang berwibawa, demikian juga hakim akan sangat berwibawa jika didalam jiwa dan perilaku serta mempunyai integritas yang tinggi.Sosok Berani Serta Mulia dari Optimus Prime dan HakimOptimus prime sebagai sosok yang berani dan mulia, maka demikian juga seorang hakim harus bisa mencerminkan seorang yang berani dan mulia. Pemimpin yang berani dan mulia yang dilekatkan pada seorang hakim ialah bahwa hakim harus memahami apa dan tugas hakim yang tentunya sangat berat untuk dipikul hakim juga dituntut menjadi seorang yang mulia dalam artian bahwa seorang hakim haruslah seseorang yang berbudi pekerti luhur sehingga dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan (officium nobile).Hakim harus menjadikan peradilan yang agung sebagai tujuan dalam pengabdiannya. Peradilan agung dapat diwujudkan jika dalam diri dan jiwa seorang hakim tertanam Tri Prasetya Hakim, “Menjunjung tinggi citra wibawa dan martabat hakim dan menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan hakim Indonesia, serta menjunjung tinggi dan mempertahankan jiwa korps hakim Indonesia”.Pengejawantahan keberanian optimus prime juga harus dipunyai oleh seorang hakim. Keberanian hakim yang dimaksud adalah keberanian hakim menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan hukum. Sikap dan tindakan hakim juga dituntut untuk mengupayakan yang terbaik bagi lancarnya suatu persidangan. Hakim haruslah aktif dalam persidangan untuk mencari kebenaran.Begitupun pendapat Sunarto dalam bukunya Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata (Jakarta: 2021) menekankan, “tidak tepat jika hakim perdata harus semata-mata bersikap pasif karena yang aktif adalah pihak berperkara, karena menurutnya seorang hakim haruslah untuk bersikap aktif dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui proses persidangan pengadilan, termasuk dalam peradilan perdata.Pencari keadilan datang ke lembaga peradilan dengan mengajukan perkaranya karena hakim dipandang mampu sekalipun hukum tidak jelas atau belum ada aturan karena hakim adalah dipandang sebagai ius curia novit atau hakim tahu segala hukumnya sehingga hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat.Penutup Kisah Pahlawan Optimus Prime dan HakimMenggambarkan Optimus Prime sebagai pahlawan dalam tokoh fiksi Transformers dalam menjalankan perannya memberantas kejahatan seringkali mengorbankan dirinya hingga mati meskipun dalam film sifatnya sementara karena berhasil dibangkitkan kembali. Berbeda dengan dengan Hakim yang yang di dunia nyata mempunyai sikap rela berkorban demi tegaknya keadilan dengan cara apapun.Hal ini sebagaimana semboyan Fiat justitia ruat caelum yang berarti keadilan haruslah ditegakkan meski langit runtuh. Sikap rela berkorban dapat dimaknai hakim harus menjauhkan kepentingan apapun lainnya khusus kepentingan pribadi selain kepentingan keadilan itu sendiri dalam putusannya. Hakim harus bisa membawa jabatan hakim sebagai jabatan mulia sebagaimana arti dari optimus prime itu sendiri, walaupun akhir akhir ini image hakim sebagai yang mulia menemui tantangan dan cobaan yakni dengan ditangkap dan diproses tindak pidana yang dilakukan oleh hakim baik dari mulai hakim agung sampai dengan hakim tingkat pertama oleh KPK maupun kejaksaan tentunya membawa kondisi jabatan hakim menjadi terpuruk dan menjadi cibiran dari masyarakat, Oleh karenanya hakim sebagai seorang pemimpin yang dijadikan panutan bagi masyarakat sekitarnya harus dapat berperan dan bertindak sebagai optimus prime sehingga jabatan hakim menyandang sebagai yang pertama dan terbaik dibidang penegakan hukum.Selayaknya film-film yang menggambarkan sosok Optimus Prime, dibagian akhir cerita selalu menyuguhkan kisah menangnya keadilan dan berakhirnya kezaliman. Inilah akhir dari kisah yang ditunggu-tunggu para penonton film. Sementara di dunia nyata, kisah panutan seorang Hakim juga selayaknya dapat ditutup dengan kisah menjaga marwah peradilan, menegakan keadilan dan menjadikan dunia peradilan sebagai benteng terakhir tegaknya keadilan. Inilah penutup kisah yang ditunggu-tunggu oleh para pencari keadilan. (LDR, FAC)

Etika Profesi Hakim dan Semiotika Ketidak-adilan

article | Opini | 2024-12-22 04:30:19

Kontemplasi mengenai etika selalu menjadi “primus interpares” dalam pembahasan sebuah profesi. Setiap profesi pasti melekatkan etika dalam pondasi, bangunan dan puncak eksistensinya. Etika melalui turunannya kode etik, akhirnya menjadi penentu apakah sebuah profesi pantas disebut “Keadaan” atau ‘Kemuliaan”.Etika menjadi salah satu cabang filsafat terpenting selain logika, yang menduduki tempat terhormat, bukan hanya dalam khazanah ilmu pengetahuan tapi juga setiap segmentasi kehidupan. Etika adalah prinsip dan nilai yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat (Silalahi, Dkk., 2022).Menyadari pentingnya pemahaman terhadap konsep etika, Badan Peradilan Umum MA RI tanggal 7 Oktober 2024 lalu, menggagas Pertemuan Rutin dan Sarasehan Interaktif (Perisai) untuk melakukan diskusi lebih dalam tentang tema ini, meskipun perlu digaris bawahi, Perisai adalah kegiatan berkelanjutan sebagai wadah membuka ruang diskusi dan argumentasi di tengah semakin minimnya literasi. Etika, dipilih sebagai topik perdana karena keutamaannya.Salah satu etika profesi yang selalu menarik atensi adalah pembahasan tentang etika profesi hakim. Tema ini sangat fundamental bukan hanya sebagai pembahasan utama dalam cabang pemikiran filsafat etika profesi tapi juga karena profesi hakim merupakan profesi utama dalam dunia penegakan hukum.Menariknya, anomali situasi terjadi ketika diskusi perdana “Perisai” dibuka. Hari itu dua tepian peristiwa yang mungkin saja terpisah secara geografis, justru terkait secara etik. Peristiwa pertama, seperti disebutkan di awal tulisan ini adalah salah satu tema diskusi yang diangkat sebagai tema “Perisai” tentang kode etik hakim yang melibatkan seluruh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum secara daring.Peristiwa kedua, dihari yang sama, sekumpulan hakim yang menamakan diri gerakan solidaritas hakim Indonesia justru sedang “berjuang” merefleksikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dengan mendatangi gedung DPR RI,. wakil tuhan mendatangi para wakil rakyat, adalah fenomena filsafat paling layak dipikirkan abad ini.Ada beberapa tuntutan yang dikemukakan, tapi intinya lebih dari 12 (dua belas tahun) negara abai dalam memperhatikan nasib para wakil tuhan. Negara sedang mempertontonkan “cidera janji” terhadap salah satu pilar yudikatif yang menopang negara hukum.Hakim turun ke jalan. Demikian diksi yang dipilih salah satu media. Maka bermunculanlah komentar kalap sebagian netizen. Diantaranya mempertanyakan etika para hakim yang justru seolah “mengemis” kesejahteraan kepada para wakil rakyat. Satire itu muncul, mengapa para wakil tuhan meminta itu kepada wakil rakyat? etika tanpa logika, katanya.Tapi ada juga yang bijak dalam berkomentar. Kata mereka, memang pantas seorang hakim memperoleh hak sebagai pejabat negara atau sebagai wakil tuhan asalkan mereka pun siap menerima konsekuensi maksimal bila hakim menyimpang dari koridor etika yang telah digariskan. Wajar pejabat negara diperlakukan selayaknya pejabat negara dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang telah digariskan aturan.Dalam dua tepian peristiwa ini, lagi-lagi kata “etika” digaungkan. Meski memiliki definisi, faktanya dalam ruang publik, etika adalah labirin yang menimbulkan kebingungan dan kegelisahan. Etika adalah kata yang begitu mudah diucapkan tapi begitu rumit ketika bersinggungan dengan kenyataan.Dalam ruang terbatas, persepsi yang muncul dalam kedua peristiwa ini sebenarnya sangat berkaitan. Diskusi atau argumentasi terhadap etika yang digagas Perisai langsung menemukan contoh nyata dilapangan ketika etika berbenturan bukan dengan logika tapi justru dengan negara.Hakim harus punya etika. Etika diatur dalam kode etik, maka setiap hakim harus tunduk dan patuh terhadap kode etik itu. Apakah hakim yang “turun ke jalan” yang tidak sidang, bersikap layaknya demonstran, melanggar etika ?. Belum tentu.Etika tertinggi dianut oleh penguasa (baca : negara) untuk memastikan seluruh alat penggerak kekuasaan juga berjalan dalam koridor etika pula. Dalam hal ini, negara bertindak sebagai “Tuhan” bukan lagi alat penyelenggara negara.Ketika negara lalai memperhatikan eksistensi hakim termasuk kesejahteraan mereka dan hak haknya, itu satu hal. Tapi hal lain yang luput dari pemikiran adalah kelalaian ini berpotensi menyulut pelanggaran etika dari hakim itu sendiri. Godaan, ancaman kekerasan, pengabaian hak, hanya untuk menyebut sedikit diantaranya membuat hakim sangat mungkin melakukan pelanggaran kode etik dalam profesinya. Tapi perlu dicatat, sedikit banyak, hal ini bisa muncul dari “ketidak-hadiran Tuhan” dalam memperhatikan nasib mereka. Lagipula, ketika wakil rakyat menerima para wakil tuhan, para wakil rakyat ini bertindak atas semboyan ‘Vox populi Vox Dei”.Maka peristiwa hakim turun ke jalan hanyalah preferensi moral yang diterjemahkan dalam pertanyaan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan “Tuhan”. Metamorfosis penegak keadilan menjadi pencari keadilan adalah masalah lain. Tapi sekali lagi, inilah semiotika ketidak-adilan.Semiotika adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menggali makna dalam sebuah tanda. Menurut Susanne Langer, menilai simbol atau tanda merupakan sesuatu yang penting kehidupan binatang diperantarai oleh perasaan (feeling) tetapi perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah konsep, simbol dan bahasa (Morison, 2013). Meski harus diakui, sangat ironis melekatkan pertanda ini kepada para hakim yang di tangan mereka keadilan ditegakkan, di pundak mereka kebenaran terakhir dipertaruhkan, dan di dalam hati dan pikiran mereka lah konstitusi dijaga dan diwariskan.Semiotika ketidak-adilan ini menjadi begitu brutal karena beberapa hal, pertama, melibatkan “Tuhan” dan wakilnya sebagai fragmen kegagalan bernegara, kedua, keseimbangan tiga pilar penyelenggara negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dan ketiga, terbelahnya riuh persepsi publik dalam menyikapi fenomena ini.Satu hal yang pasti, etika meskipun sifatnya ideal tapi akan selalu ada dalam ruang realitas. Etika yang dijabarkan dalam kode etik, apapun profesinya adalah konjungsi timbal balik antara nilai dan penganutnya. Mustahil berharap etika akan dipenuhi, apabila nilai yang diharapkan untuk mematuhi etika itu malah diabaikan. Bila Anda berharap hakim sepenuhnya patuh pada etika sebagai pejabat negara, tapi disisi lain hak dan kewajibannya tidak sepenuhnya juga dipenuhi, maka di titik itu anda melakukan pengabaian terhadap gambaran etika itu sendiri.Hakim meskipun disimbolkan sebagai wakil tuhan tetaplah manusia biasa. Bukan sekadar tempat salah dan dosa tapi tempat segala godaan diuji coba. Saat tulisan ini dibuat penawar letih tuntutan hakim telah dipenuhi. Tapi itu hanya penawar sementara sedangkan masalah sesungguhnya lebih dari itu.Sekali lagi masalah hakim di Indonesia adalah semiotika ketidak-adilan. Tanda-tanda ini akan terus ada bila negara sebagai pengayom dan penegak konstitusi gagal atau lalai dalam menjaga konstitusi.Memang benar bahwa sampai kapan pun, dalam dunia manapun, ketidakadilan akan selalu ada tak jarang pula ketidak-adilan ini menjadi gambaran paripurna yang meruntuhkan suatu rezim. Tapi, tak ada yang lebih mengkhawatirkan bila palu yang menjadi pemukul ketidakadilan justru “break” sejenak karena sang pemegang palu sedang menuntut keadilan.Semiotika ini berbahaya dan tak boleh lagi terulang di masa depan. Bila negeri ini ingin tetap kukuh sebagai negara hukum, maka sepantasnya hukum dan hakim harus seiring sejalan.John F. Kennedy pernah berujar, jangan tanyakan apa yang dilakukan negara untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu. Biarkan hakim “berbuat” untuk negaranya, tapi pastikan “negara” juga hadir dalam proses dialektika itu. Ini semata bukan karena negara kita adalah negara hukum, tapi karena hukum, pada akhirnya, adalah “negara” itu sendiri. (FAC, LDR)

Menyederhanakan Gugatan Sederhana

article | Opini | 2024-12-18 10:25:25

Lahirnya mekanisme gugatan sederhana tentu tidak dapat dilepaskan dari cita mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Asas yang mendasari keberadaan penyelenggaraan peradilan.Kebutuhan akan penyelesaian sengketa perdata, dengan nilai obyek, gugatan serta sederhana tidaknya pembuktian karena tidak terakomodir dengan ketentuan hukum acara yang ada. Bukankah dikatakan keadilan yang terlambat adalah ketidakadilan? Karenanya dalam mekanisme gugatan sederhana, banyak ‘penyederhanaan’ yang dilakukan dengan memangkas hal menjadi penghambatnya. Salah satunya adalah mengenai domisili atau alamat Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum.Dengan merujuk pada asas gugatan diajukan di tempat tinggal atau domisili Tergugat, maka mau tidak mau hanya Penggugat yang berdomisili sama yang dapat mengajukan gugatan sederhana. Demikian diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Lalu bagaimana jika Penggugat berdomisili berbeda dengan Tergugat? Ketika baik nilai obyek gugatan maupun pembuktian masuk kategori sederhana. Nah, terkait hal tersebut Perma Nomor 4 Tahun 2019 merubah aturan Perma sebelumnya. Penggugat dapat menunjuk kuasa, kuasa insidentil bahkan wakil yang beralamat atau domisili sama dengan Tergugat. Tentu saja dengan surat kuasa atau surat tugas yang membuktikan hal tersebut.Selanjutnya menjadi menarik, kenapa atau mengapa alamat atau domisili Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum? Jika merujuk pada maksud dan tujuan keberadaan mekanisme gugatan sederhana salah satunya adalah persoalan panggilan. Diakui atau tidak, persoalan panggilan, pada saat itu masih menjadi kendala, terutama dalam hal panggilan delegasi. Ketika kedua belah pihak dalam satu wilayah hukum tentu kendala panggilan delegasi tidak akan terjadi pada gugatan sederhana.Perkembangan berikutnya, transformasi administrasi dan persidangan secara elektronik muncul kemudian. Hal tersebut juga telah disadari dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Kehadiran Pasal 6A menunjukkan hal tersebut, mekanisme gugatan sederhana juga memanfaatkan administrasi persidangan secara elektronik.Hal tersebut tentu beralasan karena, sebelum  kehadiran Perma Nomor 4 Tahun 2019, lahir aturan mengenai administrasi dan persidangan secara elektronik. Administrasi perkara secara elektronik mendapat pijakan aturan dalam Perma Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diperbarui mencakup pula persidangannya pada Perma Nomor 1 Tahun 2019. Demikian juga Perma Nomor 7 Tahun 2022 yang kemudian memperluas administrasi perkara secara elektronik juga meliputi upaya hukum.Lalu apa kaitannya semua itu dengan mekanisme gugatan sederhana? Sebelum membahas hal tersebut, tidak ada salahnya terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu domisili elektronik. Nah soal ini yang kemudian menjadi menarik jika dikaitkan dengan mekanisme gugatan sederhana.Secara singkat domisili elektronik diartikan sebagai alamat elektronik dan/atau layanan pesan (masseging services)  yang terverifikasi milik para pihak. Lalu untuk apa domisili elektronik itu? dan mengapa pula harus terverifikasi? Domisili elektronik, sebagaimana alamat atau domisili dalam gugatan konvensional adalah untuk menentukan kedudukan hukum dan keperluan bagi pemanggilan dan/atau pemberitahuan tentunya.Sebagaimana diketahui, alamat atau domisili diperlukan dalam perkara perdata karena ada kewajiban Pengadilan untuk melakukan pemanggilan dan/atau pemberitahuan bagi kelancaran jalannya persidangan, termasuk dalam hal dilakukan upaya hukum. Dalam perjalananya, panggilan dan/atau pemberitahuan juga mengalami perubahan seiring dengan administrasi, persidangan maupun upaya hukum elektronik. Jika pada awalnya panggilan dilakukan secara langsung oleh petugas pengadilan (jurusita/jurusita pengganti) secara sah dan patut, maka saat ini telah bergeser. Kehadiran domisili elektronik tentu memerlukan perlakuan khusus, yaitu dengan melakukan panggilan juga secara elektronik. Dan panggilan elektronik dijalankan langsung, tidak peduli apakah alamat atau domisili konvensionalnya berada di dalam ataupun diluar wilayah hukum pengadilan tersebut.Selain itu, saat ini, terhadap pihak yang masih menggunakan domisili atau alamat konvensional dan bukan domisili elektronik panggilan juga telah mengalami pergeseran. Tidak lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui pos tercatat khusus. Imbasnya, terhadap domisili atau alamat yang berada di luar wilayah hukum, pengadilan tidak perlu melalui delegasi akan tetapi dapat langsung mengirimkan melalui pos tersebut. Singkatnya administrasi perkara secara elektronik telah menghilangkan panggilan dan/atau pemberitahuan dengan delegasi.Dengan berbagai perkembangan terkait administrasi daan persidangan elektronik tersebut lalu bagaimana dengan gugatan sederhana? Ini yang menjadi menarik, karena dalam salah satu pasal Perma Nomor 4 Tahun 2019, Pasal 4 ayat 3a masih mensyaratkan alamat atau domisili Penggugat satu wilayah hukum dengan Tergugat?Bukankah saat ini seluruh pendaftaran gugatan wajib hukumnya didaftarkan secara elektronik? Dan konsekuensi hal tersebut adalah harus memiliki domisili elektronik yang terverifikasi? Jika demikian maka terhadap pendaftaran gugatan sederhana akan tercantum alamat atau domisili konvensional dan elektronik?Bagaimana cara menentukan bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki domisili dalam satu wilayah hukum? Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melihat sejarah serta maksud dan tujuan penyederhanaan gugatan sederhana terkait domisili para pihak. Panggilan dan/atau pemberitahuan, ya hal tersebutlah yang selama ini Mahkamah Agung terus upayakan dalam mewujudkan asas peradilan, termasuk dan tidak terbatas melalui domisili elektronik.Apa artinya? Artinya ketika pihak, dalam hal ini Penggugat telah mencantumkan domisili elektronik (terlebih telah terverifikasi melalui akun ecourt) maka seluruh panggilan dan/atau pemberitahuan seluruhnya akan disampaikan secara elektronik. Tidak akan pernah ada ceritanya panggilan dan/atau pemberitahuan akan dilakukan secara langsung oleh jurusita dan/atau jurusita pengganti, bahkan panggilan pos tercatat khusus sekalipun tidak akan dilakukan? Kenapa? Ya karena telah ada domisili elektronik yang terverifikasi.Lalu apa konsekuensinya? Kehadiran domisili elektronik, terutama untuk Penggugat yang memasukan gugatan secara elektronik telah menafikan (atau mengganggap) alamat atau domisili konvensional. La sudah tidak ada fungsinya terkait keperluan pencantumannya dalam gugatan. Pun demikian dalam gugatan sederhana tentunya.Pencantuman domisili elektronik dengan segala konsekuensinya di atas, tentu berimbas dalam cara memahami keberadaan Pasal 4 ayat 3a Perma Nomor 4 Tahun 2019. Apabila alamat atau domisili konvensional Penggugat dan Tergugat berada dalam satu wilayah hukum tentu tidak jadi persoalan. Lalu bagaimana jika sebaliknya? Tentu harus dikembalikan kepada hakekat keberadaan domisili elektronik seiring dengan perubahan administrasi perkara secara elektronik berikut perubahan tata cara pemanggilan dan atau pemberitahuan. Jika tidak demikian, maka penyederhanaan gugatan sederhana tidak akan mencapai tujuannya. Semoga tidak demikian.Kayuagung, 12122024 pada sebuah tanggal cantik dimana Timnas Indonesia kurang main cantik.