article | Opini | 2025-05-17 07:30:17
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) saat ini menghadapi dilema yang memprihatinkan. Dengan total 14 hakim yang terdiri dari 6 hakim karir, 6 hakim ad hoc, dan 2 hakim detasering, beban kerja tetap membuat sidang-sidang berlangsung hingga larut malam. Rata-rata berakhir pada pukul 21.00 WIB hingga 22.00 WIB. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada penambahan personel melalui hakim ad hoc dan detasering, volume dan kompleksitas perkara korupsi di wilayah Jakarta masih jauh melampaui kapasitas ideal pengadilan. Ketidakseimbangan antara volume perkara dan jumlah hakimkomposisi 14 hakim untuk menangani perkara korupsi di wilayah Jakarta Pusat—yang merupakan episentrum kasus korupsi nasional karena menjadi domisili sebagian besar kementerian, lembaga negara, dan BUMN—merupakan angka yang masih jauh dari mencukupi. Meskipun secara kuantitatif jumlah ini mungkin terlihat memadai, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kompleksitas dan volume perkara korupsi membuat beban kerja tetap sangat tinggi.Hakim detasering, yang merupakan solusi sementara dengan penugasan hakim dari pengadilan lain, tidak dapat menjadi jawaban permanen. Sementara hakim ad hoc membawa perspektif dan keahlian berharga dari berbagai latar belakang profesional yang memperkaya proses peradilan tipikor. Ketimpangan Kompensasi: Paradoks dalam Sistem Peradilan Ironi yang menyesakkan dalam sistem peradilan kita terletak pada ketiadaan tunjangan khusus bagi hakim tipikor karir. Seorang hakim tipikor dengan golongan IV/b menerima besaran tunjangan yang sama persis dengan hakim Pengadilan Agama (PA) dan hakim non-tipikor dengan pangkat yang sama. Kebijakan ini mengabaikan realitas bahwa beban kerja, risiko, dan tanggung jawab hakim tipikor jauh lebih berat dibandingkan rekan-rekan mereka di pengadilan lainnya.Perkara korupsi memiliki kompleksitas tinggi dengan implikasi ekonomi dan politik yang luas. Hakim tipikor dihadapkan pada materi perkara yang rumit, melibatkan jaringan yang terorganisir, dengan nilai kerugian negara yang signifikan. Belum lagi tekanan dari berbagai pihak berkepentingan yang berpotensi mengancam independensi dan keselamatan hakim. Namun, pengorbanan dan risiko tambahan ini tidak diimbangi dengan kompensasi yang proporsional.Ketimpangan ini menciptakan disinsentif struktural yang berpotensi menggerus motivasi dan komitmen dalam pemberantasan korupsi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mendorong hakim-hakim berkualitas untuk menghindari penugasan di pengadilan tipikor, yang pada gilirannya akan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan.Dampak Beban Kerja Berlebih terhadap Kualitas Putusan Ketika hakim dipaksa bekerja melebihi batas kemampuan manusiawi tanpa insentif yang memadai, ketelitian dan ketajaman analisis hukum terancam memudar. Ini bukan soal kompetensi atau integritas, melainkan keterbatasan biologis manusia dan dinamika psikologis yang wajar. Penelitian di bidang neurosains secara konsisten menunjukkan bahwa kelelahan mental berdampak langsung pada kemampuan pengambilan keputusan. Dalam konteks peradilan tipikor, putusan yang dihasilkan dalam kondisi kelelahan dan kurangnya apresiasi sistemik dapat berpotensi mengandung kekeliruan analisis atau pertimbangan yang kurang komprehensif.Perkara korupsi umumnya melibatkan kompleksitas hukum yang tinggi, dengan ratusan alat bukti, saksi, dan konstruksi hukum yang rumit. Hakim memerlukan kondisi prima untuk mencermati setiap detail dan nuansa kasus. Ketika sidang berlangsung hingga larut malam, daya kritis dan kemampuan analitis hakim dapat terganggu, sehingga berpotensi menghambat pencapaian keadilan substantif yang menjadi ruh dari pemberantasan korupsi.Dinamika Khusus Hakim Karir, Ad Hoc dan DetaseringKomposisi hakim yang beragam di PN Jakarta Pusat—6 hakim karir, 6 hakim ad hoc, dan 2 hakim detasering—menciptakan dinamika kompleks dalam penanganan perkara tipikor. Masing-masing kategori hakim memiliki latar belakang, pengalaman, dan perspektif yang berbeda, yang idealnya memperkaya proses peradilan. Namun, perbedaan status kepegawaian dan sistem kompensasi juga berpotensi menciptakan kesenjangan motivasi dan kohesi tim.Hakim ad hoc, yang direkrut dari luar lingkungan pengadilan (umumnya dari akademisi atau praktisi hukum), menerima honorarium dengan skema tersendiri dan membawa perspektif segar yang berharga dalam proses peradilan. Sementara hakim detasering, meskipun berstatus sebagai hakim karir, hanya bertugas sementara dan tetap menerima tunjangan dari pengadilan asalnya. Di tengah keberagaman ini, hakim karir tipikor justru menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan dalam sistem kompensasi, padahal mereka merupakan tulang punggung kontinuitas dan konsistensi pengadilan tipikor.Risiko terhadap Kesehatan, Keselamatan, dan IntegritasJam kerja yang eksesif dengan kompensasi yang tidak proporsional tidak hanya membahayakan kualitas putusan tetapi juga kesehatan para hakim itu sendiri. Beban kerja yang berlebihan dapat memicu stres kronis, gangguan kesehatan fisik seperti hipertensi dan penyakit jantung, serta masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat berujung pada burnout dan menurunnya kapasitas profesional.Aspek keselamatan juga menjadi pertimbangan serius. Hakim yang pulang larut malam memiliki risiko keselamatan yang lebih tinggi, baik dari aspek kecelakaan lalu lintas maupun potensi intimidasi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat posisi hakim tipikor yang rentan menjadi target ancaman karena nature perkara yang ditanganinya.Yang lebih fundamental, ketimpangan kompensasi di tengah beban dan risiko yang lebih tinggi menciptakan kerentanan terhadap godaan koruptif. Meskipun sebagian besar hakim tipikor memiliki integritas tinggi, kita tidak bisa mengabaikan aspek keadilan kompensasi sebagai salah satu pilar sistem anti-korupsi yang berkelanjutan. Sistem yang tidak adil bagi penegaknya dapat menjadi faktor kriminogenik yang justru kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.Solusi Sistemik: Pendekatan MultilevelBerdasarkan realitas komposisi hakim di PN Jakarta Pusat, beberapa solusi sistemik dapat dipertimbangkan:Pertama, optimalisasi manajemen perkara berbasis tipe hakim. Sistem manajemen perkara dapat dirancang untuk mengalokasikan kasus secara lebih efisien berdasarkan keahlian spesifik masing-masing tipe hakim. Misalnya, hakim ad hoc dengan latar belakang akuntansi atau keuangan dapat difokuskan pada perkara korupsi dengan skema keuangan yang kompleks, sementara hakim karir dengan pengalaman pidana umum yang kuat dapat difokuskan pada aspek-aspek prosedural dan pembuktian.Kedua, implementasi sistem tunjangan khusus bagi hakim tipikor karir yang memperhitungkan beban kerja, kompleksitas perkara, dan risiko tambahan yang dihadapi. Tunjangan ini dapat dirancang secara proporsional dan berbasis kinerja untuk menjaga akuntabilitas dan produktivitas, sehingga menyeimbangkan sistem kompensasi antara hakim karir, ad hoc, dan detasering. Ketiga, penambahan jumlah hakim karir tipikor secara signifikan untuk mencapai rasio ideal antara volume perkara dan jumlah hakim. Peningkatan ini harus disertai dengan program pelatihan khusus untuk mempersiapkan hakim-hakim baru menghadapi kompleksitas perkara korupsi.Keempat, pengembangan sistem pendukung teknis yang komprehensif, termasuk tim peneliti hukum dan analis keuangan yang dapat membantu proses penanganan perkara korupsi yang kompleks. Dukungan teknis ini dapat membebaskan hakim dari beban administratif dan memungkinkan mereka fokus pada aspek-aspek substansial dari perkara.Reformasi Anggaran Peradilan: Investasi untuk KeadilanAkar dari permasalahan ini tidak lepas dari keterbatasan anggaran peradilan. Indonesia mengalokasikan anggaran yang relatif kecil untuk sistem peradilan dibandingkan negara-negara dengan GDP serupa. Reformasi anggaran peradilan harus menjadi prioritas nasional, dengan mempertimbangkan beban kerja riil, kompleksitas perkara, dan risiko yang dihadapi.Pemerintah dan DPR perlu mendorong peningkatan anggaran untuk peradilan, khususnya untuk sistem remunerasi yang berkeadilan, pengadaan fasilitas, teknologi pendukung, dan penambahan SDM. Investasi pada sistem peradilan anti-korupsi adalah investasi strategis untuk memutus siklus korupsi yang menggerogoti pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia.Penutup: Menuju Peradilan Anti-Korupsi yang Berkelanjutan dan BerkeadilanProfesionalisme dan dedikasi para hakim tipikor di PN Jakarta Pusat—baik hakim karir, ad hoc, maupun detasering—di tengah keterbatasan sumber daya dan ketimpangan kompensasi patut diapresiasi. Namun, apresiasi verbal tidaklah cukup. Kita membutuhkan reformasi struktural yang komprehensif untuk membangun sistem peradilan anti-korupsi yang efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.Keberadaan 14 hakim yang masih harus bekerja hingga larut malam menunjukkan bahwa permasalahan beban kerja lebih kompleks dari sekadar jumlah personel. Dibutuhkan pendekatan holistik yang mencakup reformasi manajemen perkara, sistem kompensasi, dan dukungan teknis untuk memastikan bahwa pengadilan tipikor dapat menjalankan fungsinya secara optimal.Ketika kita menuntut integritas dan kinerja optimal dari para hakim tipikor, kita juga harus memastikan bahwa sistem memberikan dukungan, perlindungan, dan kompensasi yang proporsional. Tanpa pendekatan holistik ini, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi "proyek heroik" yang bertumpu pada pengorbanan individu-individu berintegritas, bukan sistem yang kuat dan berkelanjutan.Reformasi sistem peradilan tipikor bukan semata demi kesejahteraan para hakim, melainkan demi tegaknya keadilan substantif dan efektivitas pemberantasan korupsi jangka panjang. Dalam upaya menegakkan keadilan, sistem peradilan kita sendiri harus terlebih dahulu menjadi cerminan keadilan bagi para penegaknya.Sunoto SH MH(Hakim PN Jakpus dan Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus)