Derman P. Nababan S.H. M.H.

Pendahuluan

Mahkamah Agung memiliki peran strategis dalam membentuk arah dan kebijakan sistem peradilan di Indonesia. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan inklusif. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan paradigma global yang menekankan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup menjadikan isu ini bagian integral dari fungsi dan tanggung jawab peradilan.

Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim. Dalam banyak kasus, akar permasalahannya terletak pada lemahnya penegakan hukum lingkungan, minimnya kapasitas kelembagaan, dan ketidakadilan ekologis yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan. Hal ini mendorong perlunya sistem peradilan yang tidak hanya tegas terhadap pelanggaran hukum lingkungan tetapi juga proaktif dalam mengadvokasi keberlanjutan.

Sebagai wujud respons terhadap tantangan tersebut, Mahkamah Agung seyogyanya sebagai bentuk kepemimpinan hijau juga melakukan kebijakan untuk memastikan, bahwa peradilan merupakan peradilan hijau dalam arti mendukung adanya penegakan hukum lingkungan yang substantif. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dianalisis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mahkamah Agung untuk memastikan adanya hal tersebut.

Tantangan Lingkungan dan Kesenjangan Penegakan Hukum

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi juga termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi dan pencemaran lingkungan tertinggi. Berdasarkan data, sekitar 1,47 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan. Pencemaran sungai dan laut, terutama oleh limbah industri dan plastik, semakin memperparah kondisi ekosistem. Dampak kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka.

Namun, sistem hukum yang ada sering kali belum cukup responsif untuk menghadapi persoalan ini. Beberapa tantangan utama yang dihadapi sistem peradilan antara lain:

  1. Kurangnya Kapasitas dan Keahlian Spesifik
    Banyak aparat penegak hukum, termasuk hakim, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Akibatnya, banyak kasus lingkungan yang tidak ditangani dengan optimal atau menghasilkan putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan ekologis.
  2. Minimnya Penegakan Hukum yang Efektif
    Pelanggaran hukum lingkungan sering kali tidak mendapatkan sanksi yang sepadan. Banyak pelaku kejahatan lingkungan, seperti korporasi besar, berhasil menghindari tanggung jawab hukum melalui celah-celah regulasi atau praktik korupsi.
  3. Ragam Penafsiran Penegakan Hukum
    Terdapat ragam penafsiran atas norma-norma hukum lingkungan yang ada. Hal ini, karena masih terdapat beberapa aturan yang multitafsir satu dengan yang lain.

Komitmen Mahkamah Agung: Menuju Peradilan Hijau

Dalam manifesto kepemimpinannya, Mahkamah Agung menggarisbawahi pentingnya transformasi sistem peradilan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Konsep peradilan hijau yang diusung bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang:

  1. Responsif terhadap Isu Lingkungan
    Sistem peradilan harus dapat merespons isu-isu lingkungan secara cepat dan efektif, memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum lingkungan mendapatkan penanganan yang serius.
  2. Berbasis pada Prinsip Keberlanjutan
    Putusan-putusan pengadilan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan, masyarakat, dan generasi mendatang.
  3. Menghormati Hak Ekologis Masyarakat
    Hak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat harus diakui dan dilindungi secara hukum.

Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung sebagai upaya “menghijaukan” pengadilan mengambil beberapa kebijakan yang mendukung penegakan hukum lingkungan secara substantif antara lain:

  1. Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan
    Mahkamah Agung menekankan pentingnya peningkatan kapasitas hakim dan aparat peradilan lainnya melalui pelatihan khusus di bidang hukum lingkungan. Pendidikan ini akan mencakup pemahaman tentang isu perubahan iklim, kejahatan lingkungan lintas batas, serta mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif.
    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, dalam Pasal 4  ayat (3) ditegaskan “Perkara lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadili oleh majelis Hakim Lingkungan Hidup atau minimal salah seorang hakim majelis yang merupakan Hakim Lingkungan Hidup. Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan  “Dalam hal belum ada Hakim Lingkungan Hidup, ketua/wakil ketua atau kepala/wakil kepala pengadilan karena jabatannya berwenang untuk mengadili perkara lingkungan hidup atau menunjuk hakim senior untuk mengadili perkara lingkungan hidup.”
    Sebelum lahirnya Perma 1/2023 tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Sertifikasi hakim lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup di pengadilan sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan hidup serta pemenuhan rasa keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim, sebagaimana Pasal 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut: a. Persyaratan administrasi; b. Persyaratan kompetensi; c. Mengikuti pelatihan; d. Dinyatakan lulus oleh Tim Seleksi

  2. Penguatan Kerangka Regulasi
    Melalui kerja sama dengan legislator dan pemangku kepentingan lainnya, Mahkamah Agung perlu mendorong revisi atau penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan. Hal ini mencakup peningkatan sanksi bagi pelanggaran hukum lingkungan serta penguatan mekanisme perlindungan bagi masyarakat terdampak.
    Aturan terbaru yang dibuat oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara lingkungan hidup agar dapat menghasilkan putusan yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan, memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang hak lingkungan hidup, dan menjamin terwujudnya keadilan lingkungan hidup serta keadilan iklim, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Perma ini. Mencakup pedoman untuk mengadili perkara lingkungan hidup di pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.
    Meskipun perlindungan terhadap korban/pemerhati lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU PPLH namun gugatan maupun laporan polisi terus terjadi. Berbagai modus yang digunakan SLAPP-er untuk melawan korban/pegiat lingkungan hidup, yaitu gugatan Perbuatan Melanggar  Hukum (Pasal 1365 BW) dan Penghinaan (Pasal 310 KUHP) dan pasal-pasal lain. Hal itu dimaksudkan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut agar masyarakat tidak lagi menyatakan  keberatan/mengkritisi/membuat pengaduan atas kegiatan usaha mereka yang diduga/telah menimbulkan pencemaran lingkungan. Karenanya perlindungan hukum perdata dan pidana terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup telah diatur dalam ketentuan Perma 1/2023.  Perlindungan hukum perdata diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 Perma 1/2023. Demikian juga, perlindungan hukum terhadap pejuang hak-hak atas lingkungan hidup yang menjadi terdakwa di depan persidangan diatur dalam ketentuan Pasal 76 sampai dengan Pasal 78 Perma 1/2023.
    Pasal 76 ayat (4) Perma 1/2023 disebutkan dalam hal terdakwa dan/atau penasihat hukum dapat membuktikan bahwa Terdakwa adalah pejuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah mendengar tanggapan dari penuntut umum, hakim mengambil putusan akhir yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa harus memeriksa pokok perkara. Dalam ayat (5) disebutkan, terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
    Pasal 77 Perma 1/2023, menyebutkan “Dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.”
    Perma 1/2023 telah memberikan arahan, bahwa tanggapan dalam eksepsi atau pembelaan tentang gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pelapor adalah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (perdata) dan/atau pembelaan dalam perkara pidana. 
    Sebelumnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Perma ini lahir, untuk menyahuti ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Bagaimana tata cara penggugat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan/atau tuntutan pelaksanaan tindakan tertentu yang bertujuan untuk memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

  3. Menerbitkan Landmark Decision sebagai Percontohan
    Mahkamah Agung menerbitkan landmark decision terkait lingkungan hidup sebagai percontohan bagi hakim-hakim dalam mengambil sikap terkait sengketa lingkungan. Hal ini, misal dapat dilihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 yang merupakan landmark decision pilihan Mahkamah Agung di Laporan Tahun 2023. Di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 kaidah hukumnya: “Kondisi penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana, namun hanya menjadi pertimbangan untuk meringankan perbuatan Terdakwa.” Hal ini muncul karena adanya dualisme mengenai status pemidanaan terdakwa ketika penempatan limbah B3 sudah diperbaiki saat akan pemeriksaan setempat. Melalui kaidah hukum ini, dapat dipahami, bahwa meskipun penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana.

  4. Kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan
    Mahkamah Agung akan membangun kemitraan dengan pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat implementasi hukum lingkungan. Kolaborasi ini juga akan mencakup pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik dari negara lain yang telah sukses menerapkan peradilan hijau. Hal ini, misal dapat dilaksanakannya konvergensi internasional yang terselenggara atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) serta didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.

Melalui manifesto kepemimpinannya, 4 (empat kebijakan ini bisa dianggap sebagai Tetra Policy Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau. 4 (empat) kebijakan ini adalah kerangka strategis yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan hijau. Manifesto ini mencerminkan komitmen institusional untuk menjadikan Mahkamah Agung sebagai motor penggerak reformasi peradilan dalam mendukung keadilan lingkungan yang berkelanjutan.

 

Penutup

Manifesto ini diharapkan dapat menjadi pendorong perubahan yang signifikan dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan mengadopsi Tetra Policy ini, Mahkamah Agung tidak hanya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam perlindungan lingkungan. Kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung yang visioner akan menjadi landasan bagi terciptanya keadilan ekologis yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manifesto ini mencerminkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat untuk menegakkan keadilan bagi manusia, tetapi juga bagi bumi dan seluruh ekosistemnya.