Dok. Penulis

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan, yang merupakan anti tesis dari sistem pemidanaan yang hanya befokus pada Terdakwa.

Dalam konteks negara hukum penyelesaian perkara pidan melalui pendekatan restorative justice memerlukan legimitasi yuridis agar pemberlakuannya mempunyai daya ikat, menciptakan kesatuan hukum, kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam pelaksanaannya, selain itu dasar hukum juga diperlukan untuk memberi batasan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif.

Sejalan dengan itu Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) pada tanggal 02 Mei 2024 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang secara resmi diundangkan pada tanggal 07 Mei 2024, dan bila merujuk pada konsideran menimbang dalam Perma 1 tahun 2024 tersebut. Terdapat dua alasan utama yang menjadi latar belakang terbitnya Perma 1/2024, pertama, pergeseran sistem pemidaaan dari yang semula semata-mata hanya beroerientasi pada pemidaan Terdakwa bergeser ke arah penyelarasan kepentingan pemulihan korban. Kedua, Pendekatan keadilan restoratif telah menjadi diskurus pada proses peradilan tetapi belum cukup diatur dalam sistem peradilan pidana terutama mengenai jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya dalam proses peradilan yang termuat pendekatan keadilan restoratif.

Kebijakan Mahkamah Agung tentang Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Syarat suatu tindak pidana dapat diadili berdasarkan Perma 1/2024, meliputi:

Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.

b. Tindak pidana merupakan delik aduan.

c. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;

d. Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.

e. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.

2. Terdakwa harus mengakui perbuatan/pengakuan bersalah (plea bargaining) pada tingkap pemeriksaan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), meliputi pengakuan akan perbuatan tanpa disertai keberatan atas berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan, proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Ketentuan ini menegaskan bahwa harus ada pembenaran atas perbuatan untuk bisa dilakukan mekanime retoratif justice, sehingga keberatan baik untuk sebagaian atau seluruhnya dengan sendirinya menggugurkan penggunaan mekanisme retoratif justice berdasarkan Perma 1/2024.

3. Hakim Berwenang Melakukan Koreksi kesepakatan perdamaian diatur dalamPasal 9 ayat (1) yang memberi wewenang kepada hakim untuk memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban tujuannya adalah untuk menghindari adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan serta penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak.

4. Pembuatan atau Pembaruan kesepakatan dengan prakarsa hakim, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 15, di mana dalam konteks pembaruan kesepakatan sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh Hakim dalam hal Terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat sebelum pemeriksaan perkara. Sementara dalam konteks Pasal 15 bila sebelumnya belum ada kesepakatan damai. Hakim dalam mengupayakan kesepakatan baru menggali informasi berupa, dampak tindak pidana terhadap Korban, kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan dikeluarkan Korban, kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan, ketersediaan layanan untuk membantu pemulihan Korban dan/atau Terdakwa; dan/atau informasi lain yang menurut Hakim perlu untuk diperiksa dan dipertimbangkan.

5. Kesepakatan perdamaian menjadi pertimbangan dalam putusan Hakim (vide Pasal 12 ayat (3)) sebagai alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi dasar pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 19) serta dalam perkara delik aduan kesepakatan dapat berupa pencabutan pengaduan sepanjang masih dalam tenggang waktu yang secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim (vide Pasal 14).

6. Bentuk kesepakatan perdamaian, meliputi:

a. Terdakwa mengganti kerugian;

b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atau

c. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.

7. Larangan dalam kesepakatan perdamaian

a. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.

b. Melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia.

c. Merugikan pihak ketiga; atau

d. Tidak dapat dilaksanakan.

8. Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) dalam Perma 1/2024 menegaskan ciri klasik dari hukum pidana yang kita anut, di mana perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, karena penindakan pelanggaran pidana yang inisiatifnya dari negara bertujuan untuk melindungi ketertiban umum, bukan kepentingan korban semata.

9. Hakim tidak berwenang menerapkan Perma 1/2024, dalam hal:

a. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian.

b. Terdapat Relasi Kuasa.

c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Manfaat Restorative Justice Bagi Pengadilan

1. Dapat menyelesaikan perkara secara sederhana, cepat dan biaya murah

Sejalan dengan prinsip penyelesaian perkara sederhana, cepat dan biaya murah, penerapan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif menyiapkan mekanisme yang lebih sederhana dan mendekati model plea bargaining. Kecepatan dalam penanganan perkara serta penjatuhan pidana yang ringan atau penjatuhan pidana selain pidana penjara juga dapat menghemat biaya yang timbul selama penahanan, persidangan serta pembinaan sebagai narapida di lembaga pemasyarakatan.

2. Dapat mendorong Akuntabilitas dan Transparasi Penjatuhan Pidana

Melalui penerapan restorative justice penjatuhan pidana bisa lebih transparan dan akuntabel, artinya pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif pastilah berbeda dengan pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya tidak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.

3. Memberi kepastian pada arah putusan hakim

Mekanisme keadilan restoratif yang dijalankan secara benar dan konsekuen, pastilah akan melahirkan suatu gambaran mengenai putusan yang predictable (dapat diprediksi), sehingga Terdakwa atau keluarga Terdakwa tidak perlu ragu untuk membuat komitmen perdamaian dengan korban tindak pidana, karena komitmen tersebut akan meringankan hukuman Terdakwa.

Penutup

Perma 1/2024 merupakan jalan yang paling moderat yang diambil oleh Mahkamah Agung di tengah kekosongan hukum mengenai restorative justice pada tingkat peradilan.

Perma 1/2024 menyeragamkan pandangan mengenai keberlakuan pendekatan keadilan restoratif selama proses peradilan, sekaligus memberi dasar bagi hakim untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. (SNR, MNJ, FAC)

*Hakim pada Pengadilan Negeri Bangkalan, sejak tanggal 05 Agustus 2024.