Dalam perkembangan penegakan hukum dan penyelesaian perkara tindak pidana saat ini, masing-masing instansi penegak hukum telah menggaungkan atau berlomba-lomba melakukan penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice). Berkaitan dengan penyelesaian perkara tindak pidana melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice) tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkap Tentang Keadilan Restoratif dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja tentang Keadilan Restoratif serta untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma tentang Keadilan Restoratif). Dalam Perma tersebut pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
Berkaitan dengan penjelasan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, lalu timbul pertanyaan yakni bagaimana seandainya apabila ternyata Penyidik Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim pada Pengadilan berhasil menyelesaikan perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif? Apakah perkaranya bisa dihentikan pada tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun Pengadilan?
Menurut Penulis jawabannya yakni kalau pada tingkat Penyidikan atau Penuntutan, baik Penyidik maupun Penuntut Umum dapat melakukan langkah hukum/prosedur penghentian penyidikan/penuntutan melalui aturan internal Kepolisian Negara Republik Indonesia/Kejaksaan Agung Republik Indonesia, salah satunya yaitu Perkap tentang Keadilan Restoratif dan Perja tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan melalui pendekatan keadilan restoratif? Berdasarkan Perma tentang Keadilan Restoratif pada pokoknya menerangkan apabila tercapai penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif dengan mengedepankan perdamaian antara pelaku dan korban serta pihak terkait, maka hanya menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa/pelaku dalam menjatuhkan putusan dan tidak serta-merta menghentikan perkaranya.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, kesimpulannya yakni ternyata masing-masing instansi penegak hukum seperti Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki aturan tersendiri mengenai penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif (Restorative Justice).
Sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus tentang jenis-jenis perkara pidana apa saja yang bisa diselesaikan melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) serta bagaimana syarat dan tata cara (Hukum Acara) penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, karena Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana saat inipun belum mengatur bagaimana tata cara/mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif tersebut, sehingga perlu dibentuk payung hukum berupa Undang-undang atau aturan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum dan keseragaman dalam penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa bagi instansi penegak hukum termasuk pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Keadilan Restoratif dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum UU SPPA dengan menyebutkan Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka menurut pendapat Penulis, apabila suatu Instansi Kepolisian/Kejaksaan/Pengadilan berhasil melakukan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif sebaiknya sama halnya dengan melakukan penyelesaian perkara yang pelakunya anak yakni melalui keadilan restoratif dan juga “diversi”, sehingga apabila penyelesaian perkara pidana tersebut berhasil melalui keadilan restoratif dan juga “diversi” dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan, maka sebaiknya hal tersebut dilaporkan kepada Ketua Pengadilan untuk selanjutnya dikeluarkan Penetapan.
Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan tersebut, menurut pendapat penulis sama halnya dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, artinya meskipun penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa berhasil dilakukan dengan keadilan restoratif dan diversi maka tersangka/terdakwa dianggap telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, sehingga apabila tersangka/terdakwa mengulanginya maka terhadap tersangka/terdakwa tersebut tidak bisa dilakukan penyelesaian perkaranya melalui keadilan restoratif maupun diversi karena telah berulang melakukan suatu tindak pidana.
Dengan demikian penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi ini selain bertujuan untuk mencapai keadilan dimasyarakat tentunya sebagai sarana pencegahan bagi tersangka/terdakwa itu sendiri, supaya tidak berulang melakukan tindak pidana.
Dalam kesepakatan perdamaian melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut juga, jika berhasil sebaiknya mengenai barang bukti apabila dalam perkara tindak pidananya terdapat barang bukti, maka harus dimuat juga mengenai status barang bukti tersebut dalam Penetapan Diversi. Dengan tercapainya penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan yang dilaporkan serta dikuatkan dengan Penetapan oleh Ketua Pengadilan setempat sebagaimana penyelesaian perkara pidana melalui “Diversi” dalam perkara pidana yang pelakunya “Anak”, maka Penulis berpendapat itulah keadilan yang sesungguhnya yang memenuhi Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfatan dan Asas Keadilan serta Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara tindak pidana.
Sejalan dengan hal tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa Instansi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik indonesia dapat bersama-sama untuk menyelaraskan aturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif yang dituangkan dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif dengan dukungan penuh dari lembaga eksekutif atau setidak-tidaknya dibuat aturan yang mengikat bagi masing-masing instansi penegak hukum yang dapat mengadopsi aturan penyelesaian perkara pidana melalui “keadilan restoratif” dan “diversi” yang termuat dalam UU SPPA.
Penulis berpendapat penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat memungkinkan juga untuk diselesaikan melalui Diversi (Pengalihan Penyelesaian Perkara dari Proses Peradilan ke Proses di Luar Peradilan Pidana). Mengapa demikian? karena ketika sudah terjadi perdamaian dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif melalui pemulihan keadaan semula yang dituangkan dalam kesepakatan perdamaian yang dapat dilakukan dengan atau tanpa ganti kerugian.
Misalnya bentuk pemulihan terhadap korban dalam perkara tipiring pencurian buah kelapa sawit yang pelaku/tersangka/terdakwanya tertangkap tangan bersama barang bukti berupa buah kelapa sawit, maka hal tersebut tentunya tidak membawa kerugian yang signifikan bagi korban, sehingga penyelesaiannya dapat ditempuh melalui diversi dengan mengupayakan keadilan restoratif yang melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang dianggap perlu dengan dibantu fasilitator diversi dengan penyelesaian/perdamaian tanpa ganti rugi tetapi dengan syarat para pihak harus saling memaafkan atau pelaku diberikan sanksi sosial untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi khalayak umum seperti membersihkan/melakukan pelayanan di tempat ibadah/fasilitas umum dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk/bagian yang termasuk keadilan restoratif yang bertujuan untuk mempererat hubungan baik para pihak (hubungan sosial) agar tidak ada dendam, artinya keadilan restoratif ini jangkauan dan manfaatnya sangat luas terutama dalam hal pencegahan tindak pidana atau misalnya dalam perkara penganiayaan ringan dimana pelaku dan korban sudah saling memaafkan dengan perdamaian melalui ganti rugi biaya pengobatan, maka contoh-contoh perkara tersebut sebaiknya dapat diselesaikan melalui diversi yang pelakunya sudah dewasa sebagaimana diversi dalam perkara pidana anak artinya penyelesaiannya tidak mesti melalui persidangan.
Selain itu, apabila memungkinkan dibentuknya undang-undang atau setidak-tidaknya aturan hukum yang mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum mengenai penyelesaian perkara tindak pidana melalui keadilan restoratif dan diversi bagi pelaku yang sudah dewasa. Maka hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana yakni asas ultimum remedium yang pada pokoknya memiliki arti bahwa pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia.
Apabila suatu perkara tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain dengan cara kekeluargaan, negosiasi, mediasi dan lain sebagainya yang dapat berujung pada perdamaian para pihak yang berperkara pidana, maka hendaknya cara-cara tersebutlah yang harus terlebih dahulu dilakukan apalagi dalam penanganan perkara tindak pidana ringan yang kategori ancaman hukuman maupun akibat perbuatan pelaku tindak pidana dalam kategori ringan.
Penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat perlu diselesaikan tidak hanya melalui proses keadilan restoratif (restorative justice) akan tetapi dapat mengacu dan mengadopsi penyelesaian perkara pidana melalui “diversi” sebagaimana penyelesaian perkara pidana yang pelakunya “Anak”. Hal inilah yang menjadi alasan penting untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut.
Penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa dan memenuhi persyaratan atau kualifikasi untuk diupayakan melalui keadilan restoratif dan diversi ini menurut Penulis juga merupakan salah satu bentuk implementasi terhadap nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 karena budaya masyarakat Indonesia yaitu menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah untuk mufakat mencari solusi penyelesaian terbaik. Sehingga harus dibuat aturan khusus mengenai hukum acara pidana terkait penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa melalui aturan undang-undang/aturan hukum lainnya yang berlaku mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum di negara indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan sesuai dengan keadaban publik saat ini dimana penanganan perkara pidana pada masing-masing instansi penegak hukum harus mudah dijangkau oleh masyarakat/pencari keadilan dan bersifat transparan.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum