
Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah salah satu konsep pendekatan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang telah dikenal oleh sistem hukum negara-negara dunia maupun di Indonesia. Terminologi Restorative justice berasal dari kata dasar “restore” berarti mengembalikan, memulihkan atau memperbaiki. Lebih lengkap "restorative justice" berasal dari gabungan dua kata yaitu "restorative" (pemulihan) dan "justice" (keadilan).
Istilah "restorative" mengacu pada proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan yang rusak atau terganggu ke kondisi semula atau lebih baik. Dalam konteks keadilan, ini berarti memulihkan kerugian yang diderita oleh korban dan memperbaiki dampak kejahatan terhadap masyarakat dan pelaku. Sedangkan istilah “justice” adalah prinsip moral dan hukum yang memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan cara yang benar, adil, dan setara. Ini melibatkan pemberian hak yang sesuai dan penanganan yang adil terhadap pelanggaran hukum. Konsep Restorative justice secara garis besar berfokus pada pemulihan kerugian yang dialami oleh korban, rehabilitasi pelaku, dan pemulihan hubungan sosial di masyarakat yang terganggu akibat perilaku tindak pidana.
Tahun 2024 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengukuhkan prinsip-prinsip restorative justice ini dalam sistem peradilan Indonesia. Sebelum restorative justice disebutkan secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, konsep restorative justice telah ditemukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Ketentuan pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan” dilanjutkan pada Pasal 5 ayat (1) UU SPPA berbunyi” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. bunyi pasal tersebut menjelaskan dalam sistem peradilan pidana anak mengutamakan pendekatan restoratif dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku.
Selang sewindu setelah konsep pendekatan restorative justice sering didengungkan, institusi-institusi penegak hukum menerbitkan peraturan internal mereka antara lain Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum) Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan beberapa ketentuan lain yang tidak secara langsung mengatur restorative justice tetapi pengaturannya telah menggunakan pendekatan yang lebih restoratif.
Empat tahun setelah Badilum menerbitkan pedoman tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut dengan tujuan mendukung kelancaran penyelenggaraan peradilan, mengisi kekosongan dalam hukum dan sebagai letigimasi pengaturan restorative justice. Pasal 1 angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2024 menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma tersebut menjelaskan pada pokoknya restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidana ringan, delik aduan, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara, pelaku anak yang diversinya tidak berhasil, dan tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan. Namun, Pasal 6 ayat (2) Perma tersebut juga membatasi kewenangan Majelis Hakim pada perkara yang tidak dapat menerapkan restorative justice, antara lain jika korban atau terdakwa menolak perdamaian, terdapat relasi kuasa, atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun.
Mekanisme yang diatur dalam Perma ini singkatnya adalah pada sidang pertama, jika terdakwa membenarkan perbuatan dan tidak ada nota keberatan, proses dilanjutkan dengan mekanisme restorative justice (vide Pasal 7). Majelis hakim memeriksa kehadiran korban dan meminta keterangannya mengenai kronologis tindak pidana, kerugian, dan perdamaian sebelumnya (vide Pasal 8). Jika sudah ada perdamaian, majelis hakim memeriksa kesepakatan tersebut dan menjadikannya pertimbangan dalam putusan (vide Pasal 9).
Jika perdamaian belum terjadi atau belum dilaksanakan sepenuhnya, majelis hakim mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh kedua belah pihak. Kesepakatan harus dicapai tanpa kesesatan, paksaan, atau penipuan (vide Pasal 10-13).
Dalam kasus delik aduan, kesepakatan antara terdakwa dan korban dapat berupa terdakwa melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan penarikan pengaduan. Jika ditandatangani di hadapan majelis hakim, penuntutan dianggap gugur. Jika belum ada perdamaian, majelis hakim akan menganjurkan terdakwa dan korban untuk mencapai kesepakatan. Jika disetujui, majelis hakim membantu mencapai kesepakatan (vide Pasal 14-15).
Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum memanggil pihak terkait, seperti tokoh agama atau masyarakat, untuk mendukung kesepakatan perdamaian. Mekanisme restorative justice harus dilakukan sebelum tuntutan pidana diajukan, dengan memperhatikan masa penahanan terdakwa dan jangka waktu penyelesaian perkara (vide Pasal 16-17).
Implementasi dalam putusan majelis hakim setelah mekanisme mengadili berdasarkan restorative justice telah dilalui sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kesepakatan perdamaian yang berisi penggantian kerugian, pelaksanaan atau tidak melaksanakan perbuatan tertentu adalah majelis hakim menerapkan dalam putusan menjadi pertimbangan yang meringankan hukuman atau sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan (vide Pasal 18-19). Adapun tanda pengukuhan bahwa restorative justice telah diterapkan yaitu majelis hakim akan mencantumkan ketentuan peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya (vide Pasal 21).
Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang lebih komprehensif daripada sekadar perdamaian. Namun, sering kali ditemukan dalam praktik peradilan pidana, baik pada tahapan sejak penyidikan hingga penuntutan di persidangan, ditemukan terjadi pergeseran pemahaman dimana restorative justice menjadi sekadar upaya untuk mencapai perdamaian antara pelaku dan korban.
Dalam beberapa kasus, pendekatan restorative justice diinterpretasikan sebagai mediasi sederhana tanpa adanya upaya untuk mengatasi dampak-dampak dari kejahatan yang terjadi. Misalnya, dalam kasus tertentu, pelaku dan korban lebih ditekankan untuk berdamai tanpa menekankan upaya untuk memperbaiki kerugian yang dialami korban atau rehabilitasi bagi pelaku, ketika ada permaafan dari korban. Pencapaian restoratif berupa pemulihan seolah menjadi asesor. Seolah ada atau tidak ada ketentuan pemulihan yang ditetapkan tidak menjadi masalah asalkan perdamaian telah tercapai.
Contoh keresahan mengenai pergeseran paradigma mengenai restorative justice antara lain dapat dilihat dalam tulisan Nurul Nur Azizah yang berjudul “Riset Komnas Perempuan: Restorative Justice Harus Berperspektif Korban, Realitasnya Belum” (2023). Ia menyebutkan bahwa restorative justice tidak seharusnya dianggap sebagai upaya untuk mendamaikan korban dan pelaku demi melupakan kasus atau menyelesaikan kasus dengan menikahkan pemerkosa dan korbannya.
Dalam tulisan Nurul Nur Azizah tersebut juga menyajikan data dari riset Komnas Perempuan bahwa dari 68 responden, 45 orang merasa belum pulih, sementara 21 lainnya merasa lebih pulih dengan hasil atau kesepakatan yang dicapai. Jumlah korban yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah, tetapi yang merasa belum pulih lebih banyak di wilayah timur (18 orang) dibandingkan dengan wilayah barat (15 orang) dan tengah (12 orang). Data tersebut menunjukkan masih banyak divergensi persepsi akan penerapan restorative justice yang ditunjukkan dari riset hasil yang dirasakan oleh korban-korban.
Tercapainya suatu perdamaian bukanlah hal buruk dalam suatu perkara pidana karena sejak dahulu dalam praktik peradilan pidana, perdamaian juga sering disebutkan sebagai keadaan yang meringankan terdakwa. Akan tetapi, apabila membahas mengenai perkara yang dinyatakan telah menerapkan pendekatan restorative justice hanya ketika perdamaian telah tercapai adalah belum tepat sepenuhnya karena konsep tercapainya perdamaian dibandingkan penerapan restorative justice adalah berbeda.
Restorative justice semestinya memiliki mekanisme yang bertujuan untuk mengedepankan bentuk pemulihan kepada korban. Hal itu merupakan kesatuan dari perdamaian, keterlibatan pihak terkait, batasan syarat, batasan waktu pelaksanaan, mekanisme proses berjalan, memperhatikan hak korban dan tanggung jawab Terdakwa, sehingga mencapai pemulihan yang berkeadilan.
Restorative justice dalam perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2024 memberikan uraian baik teknis maupun administratif dalam Sistem Peradilan Pidana, terkhusus kepada para hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan restoratif. Artinya, restoratif dianggap telah diterapkan ketika mekanisme telah dilaksanakan sesuai ketentuan tersebut hingga pelaksanaan bentuk pemulihan yang dihadirkan kepada seluruh pihak terkhusus bagi korban.
Selanjutnya, pergeseran paradigma keadilan restoratif berupa anggapan restorative justice telah diterapkan bila pencapaian perdamaian telah terlaksana tetapi tanpa menekankan pemulihan masih perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan oleh restorative justice. Di sisi lain beberapa kalangan memandang kehadiran Perma tersebut dirasa membatasi ruang gerak untuk menerapkan restorative justice dalam beberapa perkara karena pengaturan batasan kategori-kategori dan mekanisme yang cukup kompleks.