Ius Curia Novit. Hakim harus dianggap tahu hukum yang berlaku. Namun, sebenarnya di dalam adagium itu, tersembunyi makna bahwa Hakim harus mengetahui segalanya. Ini dikarenakan di dalam Filsafat dan Teori Hukum mengatakan bahwa hukum tidak hanya membahas hukum tertulis, tetapi juga semua variabel yang menyusun peradaban. Pada dasarnya, Hukum itu sendiri adalah peradaban.
Oleh karena itu, maka Hakim harus dianggap tahu segala hal yang menyusun peradaban tersebut. Hakim tidak hanya dianggap tahu hukum tertulis, namun juga harus dianggap tahu ekonomi, sosiologi, filsafat, matematika, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Di sinilah alasan mengapa Hakim tidak terikat akan pendapat ahli. Karena pada dasarnya, Hakim “dianggap” lebih mengetahui hal-hal tersebut sehingga diberi kewenangan menilai sendiri.
Konsep manusia Renaissance sangat relevan dalam konteks ini. Konsep ini mengacu pada individu yang tidak hanya ahli dalam satu disiplin ilmu, tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, seorang Hakim yang dianggap sebagai manusia Renaissance adalah sosok yang tidak hanya memahami hukum positif, tetapi juga memiliki wawasan yang mendalam di bidang psikologi, sosiologi, budaya dan lainnya. Dengan penguasaan berbagai bidang ini, Hakim dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan adil dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor yang melampaui aspek hukum positif semata.
Konsep dan Relevansinya
Konsep manusia renaissance mengacu pada individu yang memiliki pengetahuan yang luas di berbagai bidang ilmu dan seni. Pada era Renaisans, mayoritas tokoh besar, seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo tidak hanya menguasai seni, tetapi juga memiliki pemahaman tentang sains, filsafat, dan teknologi (Richard H. Shaffern, 1992: 56-58). Karakter ini pun tepat untuk dimiliki oleh Hakim, yang tidak hanya terfokus pada hukum tertulis semata, tetapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijaksana.
Seorang Hakim yang mengadopsi konsep manusia Renaissance harus memiliki kemampuan untuk memahami berbagai perspektif, mulai dari perspektif hukum itu sendiri hingga sudut pandang sosial, budaya, psikologis dan lainnya. Pengetahuan tentang psikologi, misalnya, akan membantu Hakim untuk memahami kondisi mental Terdakwa dan Korbannya, serta menentukan demarkasi yang pas untuk hukumannya berdasarkan pertimbangan rasa sakit para pihak serta cara pemulihannya sehingga mampu memberikan besaran hukuman pidana yang dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh lain adalah pengetahuan sosiologi memungkinkan Hakim untuk memahami faktor-faktor sosial yang melatarbelakangi tindakan kriminal seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, ataupun lingkungan yang tidak sehat yang turut menyebabkan kemunculan tindak pidana. Serta, dengan mengetahui Sosiologi dan Antropologi, Hakim juga dapat mengetahui hukum kebiasaan (Customary Law) yang berlaku di masyarakat itu. Ke depannya, mengetahui hal-hal ini menjadi kewajiban bagi Hakim sebagaimana telah diatur dalam pasal 54 KUHP Nasional yang Baru (S. T. Santoso, 2019: 123-125).
Tantangan dalam Mengembangkan Pengetahuan Multidisiplin di Kalangan Hakim
Salah satu tantangan terbesar dalam menerapkan peran Hakim sebagai manusia Renaissance adalah keterbatasan waktu dan sumber daya. Hakim sering kali terjebak dalam rutinitas yang padat, dengan puluhan perkara yang harus diputuskan dalam waktu yang singkat. Meskipun pendidikan formal di luar hukum dapat memperkaya pemahaman Hakim, keterbatasan waktu dan akses terhadap pelatihan multidisiplin menjadi hambatan utama.
Selain itu, dalam sistem peradilan yang cenderung kaku, penerapan pengetahuan multidisiplin memerlukan keterampilan khusus. Tidak semua Hakim memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin ilmu dalam setiap kasus yang mereka hadapi. Meskipun hal ini sangat penting, penerapan pengetahuan tersebut memerlukan latihan dan dukungan yang lebih intensif agar dapat diterapkan secara efektif.
Solusi untuk Mewujudkan Hakim sebagai Manusia Renaissance
Untuk mewujudkan Hakim sebagai manusia Renaissance, beberapa langkah perlu dilakukan:
Pendidikan dan Pelatihan Multidisiplin
Sistem peradilan harus memberikan pendidikan berkelanjutan bagi Hakim, yang mencakup berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dan lainnya. Dengan adanya pelatihan ini, Hakim dapat mengembangkan wawasan yang lebih luas dan mampu mengintegrasikan berbagai perspektif dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi, jikalaupun tidak ada waktu dan dana untuk memfasilitasi itu semua, maka yang paling fundamental untuk diberikan kepada Hakim adalah Pendidikan Filsafat. Karena filsafat adalah akar dari segala ilmu. Sehingga, menguasai filsafat hampir menguasai segala ilmu yang ada. Setidaknya, Hakim mengetahui akar dari fundamental dari segala ilmu. Dengan begitu, Hakim dapat mengetahui mana pendapat ahli yang “abal-abal” dan pendapat ahli yang genuine dengan yakin penuh.
Mempermudah Akses Literatur
Hakim memerlukan akses ke literatur dan sumber daya yang memungkinkan mereka memperdalam pengetahuan di luar hukum. Pustaka peradilan yang lengkap dan seminar-seminar multidisiplin dapat membantu Hakim memperkaya pengetahuan mereka. Mahasiswa Hukum di Uni Eropa misalnya memiliki akses untuk berbagai buku elektronik yang tersedia dalam Perpustakaan mereka. Seharusnya, hal ini juga tersedia untuk Hakim.
Mempermudah rekomendasi Putusan untuk kasus yang mirip:.
Kadang, Hakim dapat belajar dari Putusan rekan sejawatnya dari Direktori Putusan. Sehingga, Para Hakim dapat mempelajari Putusan satu sama lain, sehingga terjadi proses dialektika antara Hakim yang mengakibatkan peningkatan pengetahuan antara Hakim, serta menyeragamkan Putusan yang meningkatkan Kepastian Hukum. Memudahkan rekomendasi ini dapat menggunakan Kecerdasan Buatan, dimana Kecerdasan Buatan (AI) akan membaca Gugatan, Permohonan atau Dakwaan yang masuk kedalam SIPP dan kemudian memberikan notifikasi rekomendasi kepada Majelis Hakim. Ketika Hakim mendapatkan kasus yang variabelnya sama seperti Putusan yang lainnya, Hakim dapat menjadikan Putusan sebelumnya itu menjadi acuan. Sehingga, untuk kasus yang variabelnya berulang (“kasus yang itu-itu saja”), Hakim dapat menggunakan rekomendasi Putusan, sehingga Para Hakim dapat fokus untuk mempelajari kasus yang memiliki variabel yang unik dan berdampak. (SNR/LDR)
Refrensi:
Richard H. Shaffern, The Renaissance Man: Leonardo da Vinci, New York: Harper & Row, 1992.
S. T. Santoso, Hukum Pidana Sosial: Pendekatan Sosiologi dalam Pengadilan. Jakarta: Gramedia, 2019.
Oleh karena itu, maka Hakim harus dianggap tahu segala hal yang menyusun peradaban tersebut. Hakim tidak hanya dianggap tahu hukum tertulis, namun juga harus dianggap tahu ekonomi, sosiologi, filsafat, matematika, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Di sinilah alasan mengapa Hakim tidak terikat akan pendapat ahli. Karena pada dasarnya, Hakim “dianggap” lebih mengetahui hal-hal tersebut sehingga diberi kewenangan menilai sendiri.
Konsep manusia Renaissance sangat relevan dalam konteks ini. Konsep ini mengacu pada individu yang tidak hanya ahli dalam satu disiplin ilmu, tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, seorang Hakim yang dianggap sebagai manusia Renaissance adalah sosok yang tidak hanya memahami hukum positif, tetapi juga memiliki wawasan yang mendalam di bidang psikologi, sosiologi, budaya dan lainnya. Dengan penguasaan berbagai bidang ini, Hakim dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan adil dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor yang melampaui aspek hukum positif semata.
Konsep dan Relevansinya
Konsep manusia renaissance mengacu pada individu yang memiliki pengetahuan yang luas di berbagai bidang ilmu dan seni. Pada era Renaisans, mayoritas tokoh besar, seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo tidak hanya menguasai seni, tetapi juga memiliki pemahaman tentang sains, filsafat, dan teknologi (Richard H. Shaffern, 1992: 56-58). Karakter ini pun tepat untuk dimiliki oleh Hakim, yang tidak hanya terfokus pada hukum tertulis semata, tetapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijaksana.
Seorang Hakim yang mengadopsi konsep manusia Renaissance harus memiliki kemampuan untuk memahami berbagai perspektif, mulai dari perspektif hukum itu sendiri hingga sudut pandang sosial, budaya, psikologis dan lainnya. Pengetahuan tentang psikologi, misalnya, akan membantu Hakim untuk memahami kondisi mental Terdakwa dan Korbannya, serta menentukan demarkasi yang pas untuk hukumannya berdasarkan pertimbangan rasa sakit para pihak serta cara pemulihannya sehingga mampu memberikan besaran hukuman pidana yang dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh lain adalah pengetahuan sosiologi memungkinkan Hakim untuk memahami faktor-faktor sosial yang melatarbelakangi tindakan kriminal seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, ataupun lingkungan yang tidak sehat yang turut menyebabkan kemunculan tindak pidana. Serta, dengan mengetahui Sosiologi dan Antropologi, Hakim juga dapat mengetahui hukum kebiasaan (Customary Law) yang berlaku di masyarakat itu. Ke depannya, mengetahui hal-hal ini menjadi kewajiban bagi Hakim sebagaimana telah diatur dalam pasal 54 KUHP Nasional yang Baru (S. T. Santoso, 2019: 123-125).
Tantangan dalam Mengembangkan Pengetahuan Multidisiplin di Kalangan Hakim
Salah satu tantangan terbesar dalam menerapkan peran Hakim sebagai manusia Renaissance adalah keterbatasan waktu dan sumber daya. Hakim sering kali terjebak dalam rutinitas yang padat, dengan puluhan perkara yang harus diputuskan dalam waktu yang singkat. Meskipun pendidikan formal di luar hukum dapat memperkaya pemahaman Hakim, keterbatasan waktu dan akses terhadap pelatihan multidisiplin menjadi hambatan utama.
Selain itu, dalam sistem peradilan yang cenderung kaku, penerapan pengetahuan multidisiplin memerlukan keterampilan khusus. Tidak semua Hakim memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin ilmu dalam setiap kasus yang mereka hadapi. Meskipun hal ini sangat penting, penerapan pengetahuan tersebut memerlukan latihan dan dukungan yang lebih intensif agar dapat diterapkan secara efektif.
Solusi untuk Mewujudkan Hakim sebagai Manusia Renaissance
Untuk mewujudkan Hakim sebagai manusia Renaissance, beberapa langkah perlu dilakukan:
Pendidikan dan Pelatihan Multidisiplin
Sistem peradilan harus memberikan pendidikan berkelanjutan bagi Hakim, yang mencakup berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dan lainnya. Dengan adanya pelatihan ini, Hakim dapat mengembangkan wawasan yang lebih luas dan mampu mengintegrasikan berbagai perspektif dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi, jikalaupun tidak ada waktu dan dana untuk memfasilitasi itu semua, maka yang paling fundamental untuk diberikan kepada Hakim adalah Pendidikan Filsafat. Karena filsafat adalah akar dari segala ilmu. Sehingga, menguasai filsafat hampir menguasai segala ilmu yang ada. Setidaknya, Hakim mengetahui akar dari fundamental dari segala ilmu. Dengan begitu, Hakim dapat mengetahui mana pendapat ahli yang “abal-abal” dan pendapat ahli yang genuine dengan yakin penuh.
Mempermudah Akses Literatur
Hakim memerlukan akses ke literatur dan sumber daya yang memungkinkan mereka memperdalam pengetahuan di luar hukum. Pustaka peradilan yang lengkap dan seminar-seminar multidisiplin dapat membantu Hakim memperkaya pengetahuan mereka. Mahasiswa Hukum di Uni Eropa misalnya memiliki akses untuk berbagai buku elektronik yang tersedia dalam Perpustakaan mereka. Seharusnya, hal ini juga tersedia untuk Hakim.
Mempermudah rekomendasi Putusan untuk kasus yang mirip:.
Kadang, Hakim dapat belajar dari Putusan rekan sejawatnya dari Direktori Putusan. Sehingga, Para Hakim dapat mempelajari Putusan satu sama lain, sehingga terjadi proses dialektika antara Hakim yang mengakibatkan peningkatan pengetahuan antara Hakim, serta menyeragamkan Putusan yang meningkatkan Kepastian Hukum. Memudahkan rekomendasi ini dapat menggunakan Kecerdasan Buatan, dimana Kecerdasan Buatan (AI) akan membaca Gugatan, Permohonan atau Dakwaan yang masuk kedalam SIPP dan kemudian memberikan notifikasi rekomendasi kepada Majelis Hakim. Ketika Hakim mendapatkan kasus yang variabelnya sama seperti Putusan yang lainnya, Hakim dapat menjadikan Putusan sebelumnya itu menjadi acuan. Sehingga, untuk kasus yang variabelnya berulang (“kasus yang itu-itu saja”), Hakim dapat menggunakan rekomendasi Putusan, sehingga Para Hakim dapat fokus untuk mempelajari kasus yang memiliki variabel yang unik dan berdampak. (SNR/LDR)
Refrensi:
Richard H. Shaffern, The Renaissance Man: Leonardo da Vinci, New York: Harper & Row, 1992.
S. T. Santoso, Hukum Pidana Sosial: Pendekatan Sosiologi dalam Pengadilan. Jakarta: Gramedia, 2019.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum