Jakarta- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tengah menghadapi dilema serius yang mengancam efektivitas penegakan hukum anti-korupsi di Indonesia. Kasus penundaan sidang mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong pada 6 Februari 2025 bukanlah sekadar insiden biasa. Melainkan cerminan dari krisis struktural yang lebih mendalam: ketidakseimbangan antara beban kerja hakim dengan kapasitas yang tersedia.
Gambaran konkret tentang tekanan yang akan dihadapi Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dapat dilihat dari berbagai alur perkara yang sedang dan akan berjalan. Selain kasus impor gula yang kompleks, data April-Mei 2025 menunjukkan tsunami perkara yang akan menghantam PN Jakarta Pusat:
Kasus-kasus besar yang sedang/akan ditangani:
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
- Kasus Impor Gula: 11 terdakwa (Tom Lembong, Charles Sitorus, plus 9 tersangka baru)
- Kasus PDNS Kominfo: 5 tersangka termasuk eks Dirjen Aptika dengan kerugian negara ratusan miliar rupiah
- Kasus Pertamina: Dugaan korupsi tata kelola minyak mentah periode 2018-2023 dengan kerugian Rp 193,7 triliun
- Kasus LPEI: 5 tersangka dengan potensi kerugian Rp 11,7 triliun yang sedang ditangani KPK
- Kasus Bank Jatim: Dugaan korupsi pemberian kredit yang ditangani Kejati Jakarta
Belum lagi ratusan kasus korupsi lainnya yang sedang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Dengan komposisi 18 hakim yang akan bertambah menjadi 23 hakim, beban kerja per hakim tetap akan sangat tinggi, mengingat kompleksitas masing-masing perkara yang melibatkan ratusan saksi, ribuan dokumen, dan analisis hukum yang mendalam.
Profesionalisme dan dedikasi para hakim tipikor di PN Jakarta Pusat—baik hakim karir, ad hoc, maupun detasering—di tengah keterbatasan sumber daya dan ketimpangan kompensasi patut diapresiasi. Namun, apresiasi verbal tidaklah cukup. Kita membutuhkan reformasi struktural yang komprehensif untuk membangun sistem peradilan anti-korupsi yang efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Keberadaan hakim yang masih harus bekerja hingga larut malam menunjukkan bahwa permasalahan beban kerja lebih kompleks dari sekadar jumlah personel. Dibutuhkan pendekatan holistik yang mencakup reformasi manajemen perkara, sistem kompensasi, dan dukungan teknis untuk memastikan bahwa pengadilan tipikor dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
Ketika kita menuntut integritas dan kinerja optimal dari para hakim tipikor, kita juga harus memastikan bahwa sistem memberikan dukungan, perlindungan, dan kompensasi yang proporsional. Tanpa pendekatan holistik ini, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi ‘proyek heroik’ yang bertumpu pada pengorbanan individu-individu berintegritas, bukan sistem yang kuat dan berkelanjutan.
Reformasi sistem peradilan tipikor bukan semata demi kesejahteraan para hakim, melainkan demi tegaknya keadilan substantif dan efektivitas pemberantasan korupsi jangka panjang. Dalam upaya menegakkan keadilan, sistem peradilan kita sendiri harus terlebih dahulu menjadi cerminan keadilan bagi para penegaknya.
Sunoto,S.H.,M.,H.
Baca Juga: Krisis Beban Kerja Hakim Tipikor
(Hakim PN Jakpus/Pengadilan Tipikor Jakarta)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI