Selasa, 26 Maret 2024
Penulis mengikuti sidang perkara pencurian. Singkatnya, Terdakwa mencuri
handphone korban pada saat korban tertidur di Masjid lalu tertangkap tangan oleh
korban melalui pelacakan handphone. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan
dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis
Hakim. Hakim Ketua menanyakan kepada Penuntut Umum alasan perkara tidak
dilimpahkan dengan acara cepat lalu Penuntut Umum menyampaikan nilai handphone
yang dicuri sebesar Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Artinya lebih
Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat
KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah). Pada pemeriksaan, Terdakwa mengakui seluruh
perbuatannya dan dituntut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan
penjara.
Kasus kedua, perkara membawa
senjata tajam. Saat razia pihak kepolisian, Terdakwa tertangkap tangan membawa
pisau dengan panjang sekitar 26 (dua puluh enam) cm. Oleh Penuntut Umum perkara
dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan
dilakukan oleh Majelis Hakim. Pada saat persidangan, sesuai dengan Berita
Acara Pemeriksaan di Kepolisian bahwa Terdakwa mengakui alasan membawa
senjata tajam tersebut untuk berjaga-jaga dan tidak ada hubungannya dengan
pekerjaannya sebagai mekanik di bengkel motor. Penuntut umum lalu menuntut
Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
Pada konteks perwujudan
peradilan cepat dan sederhana, perkara-perkara diatas menimbulkan problematika
hukum yang perlu didiskusikan bersama untuk menjadi bahan kebijakan Mahkamah
Agung untuk menerbitkan SEMA atau Rancangan PERMA (RPERMA).
Pertama,
mengapa pemeriksaan tidak dilakukan melalui acara singkat? Kedua, mengapa pemeriksaan tersebut tidak disidangkan dengan Hakim
Tunggal guna mengurangi beban kerja Hakim? Ketiga,
dari sisi keadilan hukum sekaligus pendekatan KUHP baru, apakah Terdakwa dalam
kasus pencurian tersebut dapat dihukum setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan
kurungan? Mengingat kerugiannya hanya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu)
dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah).
Mengenai permasalahan
ketiga, telah disinggung oleh Penulis
pada Artikel Opini Majalah Dandapala Volume IX/Edisi 51 Januari-Februari 2023.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP pada saat ini memang perlu kembali
disesuaikan (2024) karena aturan tersebut sudah berlaku 12 (dua belas) tahun.
Mahkamah Agung melakukan perhitungan dengan pendekatan harga emas tahun 1960
(Rp50,51,-/gram) dengan harga emas tahun 2012 (Rp509.000,-/gram) sehingga terdapat kenaikan sebesar 10.000 (sepuluh
ribu) lipat. Pada saat ini, apabila menggunakan metode pendekatan harga emas
maka harga emas tahun 2024 (Rp1.150.000,-/gram)
atau sekitar dua kali lipat dari tahun 2012. Oleh sebab itu, kategori kerugian
pada tindak pidana ringan dapat disesuaikan menjadi Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) atau diselesaikan melalui Perma
1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif.
Permasalahan pertama dan
kedua terletak pada hukum acara yang diatur KUHAP yang hanya memberikan
wewenang kepada Penuntut Umum untuk menentukan jenis acara pemeriksaan (Biasa
atau Singkat). Konsekuensinya, apabila Penuntut Umum berpandangan perkara
tersebut tidak dapat dibuktikan dengan sederhana maka perkara akan
dilimpahkan dengan acara biasa sehingga Ketua Pengadilan Negeri wajib menunjuk
hakim dengan komposisi Majelis untuk
memeriksa perkara tersebut. Akan tetapi perlu disadari, KUHAP sendiri tidak
memberikan parameter “Pembuktian yang Sederhana” yang berakibat hampir
seluruh perkara oleh Penuntut Umum dilimpahkan dengan acara biasa walaupun
perkara tersebut (apabila dikaji) dapat diperiksa secara singkat dengan hakim tunggal. Kondisi tersebut
tergambarkan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Periode 2020-2023:
PERBANDINGAN JENIS PERKARA BIASA DAN
SINGKAT BERDASARKAN LAPORAN TAHUNAN MAHKAMAH AGUNG PERIODE 2020-2023 |
|||
TAHUN |
JUMLAH PERKARA PIDANA BIASA |
JUMLAH PERKARA PIDANA SINGKAT |
PERSENTASE PERBANDINGAN PIDANA BIASA DENGAN PIDANA SINGKAT |
2020 |
134.344** |
454 |
0,336% * |
2021 |
123.352** |
190 |
0,1537% * |
2022 |
119.109** |
100 |
0,839% * |
2023 |
117.773** |
57 |
0,0484% * |
|
*PERSENTASE PERKARA PIDANA SINGKAT DIBAWAH 1% DIBANDINGKAN
PERKARA PIDANA BIASA **5 (LIMA) PERKARA MENDOMINASI ANTARA LAIN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA, PENCURIAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGGELAPAN, PENGANIAYAAN YANG JIKA
DITELITI DAPAT DISELESAIKAN MELALUI ACARA SINGKAT |
Kondisi diatas memberikan beban kerja lebih kepada para
hakim karena rata-rata beban per hakim adalah jumlah rasio perkara bagi
setiap hakim dikalikan 3 (tiga). Karena persidangan dilakukan dengan majelis,
setiap perkara didistribusikan kepada tiga orang hakim. Bandingkan dengan
ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2)
UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU tersebut memberikan wewenang pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai sulit
tidaknya pembuktian sehingga suatu perkara dapat ditangani oleh Hakim Tunggal
atau Majelis. Penerapan Hakim Tunggal juga pernah diterapkan berdasarkan
SEMA 4/1984 tentang Sidang-Sidang dengan Hakim Tunggal yaitu pemberian izin
sidang dengan hakim tunggal kecuali perkara tindak pidana ekonomi, tindak
pidana subversi dan tindak pidana yang menarik perhatian publik;
Perbandingan kondisi tersebut
mendorong penulis mengkaji parameter “Pembuktian yang Sederhana”.
Melalui metode kajian 200 (dua ratus) putusan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin
dan Pengadilan Tinggi Surabaya, perbandingan dengan RKUHAP dan perbandingan
peraturan dengan negara lain, maka didapat parameter sebagai berikut:
Parameter tersebut dapat
dituangkan dalam SEMA atau lebih teknis dapat diatur pada RPERMA tentang
Pedoman Acara Singkat. Apa filosofinya? Kata “Sederhana” hanya ditemukan pada Pemeriksaan Acara
Singkat padahal “Sederhana” merupakan asas utama dalam pemeriksaan akan tetapi
tidak ada pasal pengaturan yang mewujudkan asas tersebut lebih konkret. Asas
peradilan sederhana diatur secara tegas dan lebih jelas dalam Pasal 2 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan
bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata
“sederhana” yang berada di paling depan
dibandingkan frasa “cepat” dan “biaya ringan” menjadi penekanan bahwa alur
proses peradilan mengarah pada prinsip kerja yang efektif dan efisien dengan
tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan
keadilan.
Bagaimana teknis
pengaturannya? Pada RPERMA, diatur tiap pengadilan memberikan laporan kepada
Pengadilan Tinggi terkait perkara-perkara yang mendominasi daerah tersebut dan
memenuhi parameter diatas, lalu Pengadilan Tinggi memberikan persetujuan bahwa
terhadap perkara-perkara tersebut dapat diadili dengan Hakim Tunggal. Ketua
Pengadilan Negeri dalam menunjuk Hakim Tunggal, juga memperhatikan pengalaman
hakim tersebut khususnya dalam memeriksa kasus serupa.
Pemeriksaan dapat
menyesuaikan, artinya Hakim dapat berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri,
apabila khusus dalam pembuktian saksi memerlukan pemeriksaan secara majelis,
sedangkan terkait dakwaan, tuntutan, pembelaan dan putusan tetap dilakukan oleh
hakim tunggal. Pemeriksaan juga memperhatikan pengakuan Terdakwa setelah
pembacaan dakwaan. Pasal 199 RKUHAP menentukan, “Pada saat penuntut umum
membacakan surat dakwaan, Terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan
mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan
tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke
sidang acara pemeriksaan singkat.”
Terakhir, diatur juga mengenai proses pembuktian dan format putusan yang
lebih sederhana.
Berdasarkan parameter diatas, maka penerapan pemeriksaan acara singkat sebagai penerapan asas contante justice dapat berkorelasi positif secara faktual dengan beban kerja hakim di Indonesia, karena pemeriksaan acara tersebut dapat dilakukan dengan hakim tunggal bukan majelis. Oleh sebab itu, Penulis berharap bahwa RPERMA dapat memberikan dampak positif dan langkah yang tepat untuk mengurangi beban kerja hakim khususnya dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan, mengurangi antrian atau penundaan sidang di Pengadilan kelas IB / IA karena seringkali salah satu hakim yang memeriksa sedang berhalangan atau memeriksa perkara lain. Terakhir, RPERMA dapat menjadi salah satu jalan konkret perwujudan asas utama dalam peradilan yaitu Cepat dan Sederhana. (FAC Rd, LDR)
*Calon Hakim Pengadilan Negeri Ponorogo
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum