article | Opini
| 2025-07-21 09:05:44
PERUBAHAN iklim telah menjadi
realitas konkret yang menghadirkan dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia. Manifestasi ketidakadilan iklim terlihat jelas ketika
banjir rob menerjang pesisir, kekeringan melanda sawah petani, dan kebakaran
hutan menghasilkan kabut asap yang mencekik jutaan warga.
Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Nomor: 52/G/LH/2022/PTUN.Bdg antara Yayasan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) melawan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Provinsi Jawa Barat menandai salah satu momentum penting dalam
sejarah penyelesaian perkara lingkungan di Indonesia. Putusan ini tidak hanya
menegaskan hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagai hak konstitusional,
tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan pemahaman keadilan iklim dalam
sistem peradilan Indonesia.
Keadilan Iklim dalam Konteks Indonesia
Keadilan iklim (climate
justice) menempatkan kesetaraan dan hak asasi manusia pada inti pengambilan
keputusan terhadap perubahan iklim (UNDP, 2023). Konsep ini membahas bagaimana
dampak perubahan iklim didistribusikan secara tidak merata di masyarakat.
Kelompok paling rentan seperti masyarakat miskin, komunitas pesisir, petani
kecil, dan kelompok marginal, merasakan dampak paling berat dari perubahan
iklim, padahal kontribusi mereka terhadap emisi gas rumah kaca relatif kecil.
Di Indonesia, ketidakadilan ini
terlihat ketika masyarakat perkotaan harus menghirup udara tercemar akibat
polusi industri, sementara keputusan pembangunan yang berkontribusi pada polusi
dibuat tanpa melibatkan mereka secara bermakna. Demikian pula ketika masyarakat
pesisir menghadapi ancaman kenaikan permukaan laut, sementara kebijakan
pembangunan yang berkontribusi pada emisi karbon tidak mempertimbangkan
dampaknya terhadap komunitas-komunitas ini.
Paradigma Antroposentris sebagai Pintu
Masuk Strategis
Paradigma antroposentris yang
sudah lama tertanam dalam hukum lingkungan Indonesia menempatkan manusia
sebagai pusat dari seluruh pertimbangan kebijakan hukum. Pandangan ini terlihat
dalam berbagai kerangka peraturan perundang-undangan yang mengutamakan
kepentingan manusia dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Sebenarnya, paradigma ini tidak selalu menjadi hambatan bagi pengembangan
keadilan iklim, justru dapat menjadi pintu masuk yang strategis.
Ketika kita berbicara tentang
keadilan iklim dengan pendekatan antroposentris, kita sesungguhnya sedang
berbicara tentang keadilan antar manusia dalam menghadapi perubahan iklim. Ini
berarti fokus pada bagaimana dampak perubahan iklim mempengaruhi kehidupan
manusia secara berbeda-beda, dan bagaimana sistem hukum dapat memberikan
perlindungan yang adil bagi semua orang, terutama yang paling rentan.
Integrasi keadilan iklim dalam
paradigma antroposentris memerlukan perluasan pemahaman tentang siapa yang
menjadi subjek hukum dan bagaimana kepentingan mereka dilindungi. Ini bukan
tentang mengubah paradigma fundamental, tetapi tentang memperdalam dan
memperluas aplikasinya.
Pertama, konsep keadilan
distributif dalam perubahan iklim memerlukan pengakuan bahwa dampak perubahan
iklim tidak menyebar merata. Hakim yang
diharapkan dapat menjadi "oracle of law" perlu memahami bahwa ketika memutuskan kasus
lingkungan, mereka tidak hanya memutuskan tentang kerusakan lingkungan secara
umum, tetapi juga tentang bagaimana kerusakan tersebut mempengaruhi kehidupan
konkret masyarakat yang berbeda-beda.
Kedua, prinsip tanggung jawab
yang berdiferensiasi (differentiated responsibility) perlu
diintegrasikan dalam pertimbangan hukum. Mereka yang berkontribusi lebih besar
terhadap kerusakan lingkungan harus memikul tanggung jawab yang lebih besar
pula. Ini sejalan dengan prinsip keadilan distributif yang mengutamakan
proporsionalitas antara kontribusi dan tanggung jawab.
Ketiga, konsep generasi masa
depan perlu diperluas dalam paradigma antroposentris. Keputusan-keputusan hukum
hari ini tidak hanya mempengaruhi masyarakat saat ini, tetapi juga generasi
yang akan datang. Hakim perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari
keputusan mereka terhadap kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Pembelajaran dari Kasus Tanjung Jati
Kasus
Tanjung Jati memberikan pelajaran berharga tentang operasionalisasi keadilan
iklim dalam sistem peradilan Indonesia. Putusan PTUN Bandung mengabulkan
gugatan untuk membatalkan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A, dengan penggugat
menggunakan argumen pelanggaran asas tanggung jawab negara dan asas
kehati-hatian, serta pelanggaran asas kecermatan dan kemanfaatan dalam AUPB. Hakim
berhasil menunjukkan bahwa proses penerbitan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati
A melanggar ketentuan ketika tidak memberikan pertimbangan terkait dampak
perubahan iklim.
Pertimbangan
hakim memperlihatkan keyakinan bahwa PLTU Tanjung Jati A akan menghasilkan
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tinggi, sehingga emisi ini termasuk potensi dampak
penting. Hakim juga memperhatikan bahwa berbagai ketentuan Amdal mengamanatkan
kajian holistik terhadap seluruh dampak penting, termasuk perubahan iklim.
Putusan ini menunjukkan bahwa
paradigma antroposentris dapat menjadi landasan kuat untuk keadilan iklim.
Dengan menempatkan manusia sebagai pusat, pengadilan dapat fokus pada dampak
nyata perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan mengembangkan solusi yang
berorientasi pada perlindungan hak-hak manusia.
Urgensi Konsensus Epistemik Hakim
Mengapa para hakim perlu
mengembangkan pemahaman bersama tentang keadilan iklim ? Pertama, karena dampak perubahan iklim
semakin sering menjadi isu dalam persidangan. Indonesia berkontribusi terhadap
emisi gas rumah kaca namun juga rentan terhadap perubahan iklim, dan dalam
perkembangan litigasi iklim secara internasional, kini keadilan iklim dapat
digunakan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah dan korporasi. Hakim
perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang bagaimana menangani kasus-kasus
semacam ini.
Kedua, karena keadilan iklim
pada dasarnya adalah tentang keadilan sosial. Ketika hakim memutuskan kasus
lingkungan, mereka sebenarnya sedang memutuskan tentang distribusi risiko dan
manfaat dalam masyarakat. Tanpa pemahaman yang memadai tentang keadilan iklim,
keputusan hukum berpotensi memperdalam ketidakadilan yang sudah ada. Apa lagi
Ketiga, karena sistem hukum
Indonesia memberikan kewenangan yang besar kepada hakim untuk melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding). Dalam kasus-kasus lingkungan yang
kompleks, hakim seringkali harus menginterpretasi prinsip-prinsip hukum yang
masih umum dan mengaplikasikannya pada situasi konkret. Pemahaman tentang
keadilan iklim akan membantu hakim dalam melakukan interpretasi yang lebih adil
dan komprehensif.
Kesimpulan
Pemahaman bersama tentang
keadilan iklim bukan hanya pilihan, tetapi keharusan. Perubahan iklim adalah
realitas yang tidak dapat dihindari, dan dampaknya terhadap masyarakat
Indonesia akan semakin nyata dalam tahun-tahun mendatang. Sistem peradilan kita
harus bersiap menghadapi tantangan ini dengan lebih baik.
Integrasi keadilan iklim dalam
paradigma antroposentris menunjukkan bahwa kita tidak perlu meninggalkan
fondasi hukum yang sudah ada, tetapi memperdalam dan memperluas pemahamannya.
Dengan menempatkan manusia sebagai pusat dan pemahaman komprehensif tentang
bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kehidupan manusia secara berbeda-beda,
kita dapat mengembangkan sistem peradilan yang lebih adil dan responsif
terhadap tantangan zaman. (AL/LDR)
Daftar Bacaan
Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Nomor: 52/G/LH/2022/PTUN.Bdg
Andri Gunawan Wibisana, Analisa
Putusan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A (PTUN Bandung, 2022) diakses dari https://celcj.law.ui.ac.id/analisa-putusan-izin-lingkungan-pltu-tanjung-jati-a-ptun-bandung-2022/
Bambang Hery Mulyono,
disampaikan saat pembukaan 5th ASEAN Environmental Law Conference 2025
Advancing Regional Commitments for Environmental Justice through Legal Approaches.
Bali 7 Juli 2025.
UNDP, Climate change is a matter of justice –
here’s why, diakses dari https://climatepromise.undp.org/news-and-stories/climate-change-matter-justice-heres-why