Cari Berita

Korupsi, Oh Korupsi: Dari Gerobak Bakso hingga Barang Bukti

article | Sidang | 2025-09-13 18:15:03

Jakarta- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjadi salah satu ladang pembuktian bila korupsi di Indonesia menjadi titik akut. Korupsi itu telah menjalar di segala lini kehidupan masyarakat.Terkini, anggaran Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga jadi ladang bancakan. Yaitu proyek gerobak UMKM seperti gerobak bakso, gerobak gorengan, gerobak kerajinan dan sebagainya. Proyek ini menggunakan APBN 2018-2019 dengan target pembuatan 7.200 gerobak. Nantinya akan disebar ke berbagai daerah di Indonesia. Nilai proyek lebih dari Rp 50 miliar. Ternyata, proyek ini bocor di sana-sini. Sejumlah orang diadili.  Berikut sejumlah nama yang terseret kasus itu:1.    Bambang WidiantoBambang adalah vendor proyek. Ia dihukum 9 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Mashur juga dihukum membayar Uang Pengganti sebesar Rp 10,6 miliar. Hukuman ini di atas tuntutan jaksa yang menuntut Bambang dihukum 8 tahun penjara. Putusan itu diketok oleh ketua majelis Sunoto dengan anggota Eryusman dan Mulyono Dwi Purwanto pada Selasa (9/9/2025).  2.    MashurMashur adalah orang kepercayaan Bambang.  Ia akhirnya dihukum 7 tahun penjara. 3.    Putu Indra WijayaPutu adalah Kepala Bagian Keuangan Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan. Bukannya mengelola APBN dengan penung tanggung jawab, ia malah menjadi otak kebocoran anggaran. Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) menghukum Putu selama 10 tahun penjara, sebelumnya Putu dihukum 9 tahun penjara. Putu dinilai terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan gerobak UMKM yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp17 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tak hanya itu, Putu juga dihukum untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp17.135.000.000 (Rp17,1 miliar) dikompensasikan dengan barang bukti nomor 64.1, nomor 64.2, nomor 67.1 dan nomor 67.2."Sehingga sisa uang pengganti Rp16.935.000.000,00 (Rp16,9 miliar) subsider lima tahun penjara," ungkap ketua majelis kasasi, hakim agung Surya Jaya dengan anggota Ansori dan Ainal Mardhiah. Panitera Pengganti Syaeful Imam. Putusan tersebut diketok pada Senin, 9 Desember 2024.Selain itu, polah korupsi juga tidak hanya dihulu, tapi dihilir. Yaitu putusan pengadilan yang seharusnya dieksekusi dengan selurus-lurusnya, malah dibengkokan oleh jaksa eksekutor. Seperti dilakukan jaksa Akhmad Akhsya (33). Sebagai jaksa eksekutor, Azam harusnya mengembalikan barang bukti puluhan miliar ke korban investasi bodong sebagai mana putusan pengadilan.Namun dalam proses eksekusi, jaksa Azam malah main mata dengan pengacara korban sehingga Rp 11 miliar lebih bukannya kembali ke korban, tapi malah masu ke kantong jaksa Azam. Akhirnya, jaksa Azam diproses dan dituntut temannya sendiri selama 4 tahun penjara. Hakim PN Jakpus tidak sependapat dengan lamanya tuntutan dan memilih menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada jaksa Azam. Putusan itu kemudian diperberat di tingkat banding menjadi 9 tahun penjara.“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Azam Akhmad Akhsya SH MH berupa pidan apenjara selama 9 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana densa sebesar Rp 500 juta subsidair 5 bulan kurungan,” demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip DANDAPALA.Putusan itu diketok oleh ketua majelis Teguh Harianto dengan majelis Budi Susilo dan Hotma Maya Marbun. Putusan itu diketok siang ini. Sebelumnya, Azam dihukum 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.“Membebankan kepada terdakwa Azam Akhmad Akhsya SH MH untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 11,7 miliar,” ucap majelis.Jika tidak membayar uang pengganti selama 1 bulan maka harta bendanya dilelang. Bila tidak cukup menutup maka diganti penjara selama 5 tahun. Lalu apa alasan majelis hakim memperberat hukuman Azam?“Terdakwa Azam sebagai jaksa yang diberi kewenangan sebagai Jaksa Penuntut Umum dalam perkara investasi bodong dan setelah putusan perkara berkekuatan hukum tetap terdakwa ditunjuk jadi jaksa eksekutor. Dalam pelaksanan tuganys tersebut, terdakwa terbukti telah menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasannya sebagai JPU dan jaksa eksekutor pelaksanaan putusan dengan cara meminta ‘uang pengertian’ kepasa para kkuasa hukum korban sebesar Rp 11,7 milar,” ucap majelis.Vonis di atas memperbanyak daftar korupsi di berbagai lini di Indonesia. Sebelumnya korupsi juga terbukti di sektor timah, maskapai penerbangan Garuda, Pertamina, Antam, sektor militer, pajak, perbankan, suap legislator, proyek e-KTP, proyek Alquran, proyek gedung ibadah, proyek pasar, proyek perumahan, hingga anggaran desa yang ditilep Kades.

Menyudahi Disparitas Vonis, Mungkinkah?

article | Opini | 2025-09-13 12:00:59

TIDAK jarang terdapat perbedaan signifikan antara tuntutan jaksa dengan putusan hakim. Bahkan hakim tingkat pertama dan tingkat banding acapkali terjadi perbedaan mencolok soal beratnya hukuman (strafmaat). Bagaimana kita harus melihatnya?Sebagai ilustrasi, ada jaksa menuntut pidana penjara 4 tahun, namun hakim Pengadilan Negeri memutus 7 tahun penjara. Kemudian Pengadilan Tinggi memperberat menjadi 9 tahun penjara. Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis: Apakah terdapat perbedaan penilaian yang mendasar terhadap berat ringannya perbuatan terdakwa? Bagaimana harmonisasi antara perspektif penuntut umum dan hakim dalam menilai suatu tindak pidana? Sejauh mana disparitas vonis ini dapat diterima dalam koridor keadilan? Dan yang tidak kalah penting, bagaimana sistem peradilan dapat menjamin keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat? Disparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan telah menjadi isu klasik yang berkembang di tengah masyarakat. Fenomena ini menyeruak kembali setiap kali terjadi peristiwa penting yang mendapat perhatian publik luas. Dalam ranah pidana, masyarakat masih sering menganggap perbedaan penjatuhan hukuman pada perkara sejenis sebagai manifestasi ketidakadilan sistem peradilan. Putusan pengadilan senantiasa bersifat kontekstual dan kasuistis. Kekhasan tersebut menimbulkan kesan bahwa antara putusan satu dengan yang lain tidak sama, bahkan dapat menimbulkan persepsi inkonsistensi. Namun, ada banyak faktor yang mempengaruhi tidak seragamnya putusan pengadilan. Pertama, perbedaan kasus perkara yang biasanya memiliki pola-pola perbuatan tidak sama, keunikan tersendiri, dan bahkan keadaan khusus yang menjadi pembedanya. Kedua, perkembangan aturan hukum seperti aturan baru yang menggantikan aturan lama (lex posterior derogat legi priori). Ketiga, perbedaan paradigma antar hakim pada saat mengadili suatu perkara yang menyebabkan munculnya perbedaan perspektif dalam menyusun pertimbangan hukum. Variabel lain yang mempengaruhi adalah pola susunan majelis hakim pemeriksa perkara. Hal ini berkaitan dengan unsur subjektif antar hakim yang akan mempengaruhi hasil akhir putusan pengadilan. Bahkan, cara pandang hakim di suatu wilayah tertentu dengan wilayah lain dapat berbeda mengingat adanya faktor pengaruh eksternal seperti pengaruh adat budaya dan kebiasaan masyarakat setempat dimana hakim bertugas, yang menyebabkan pola pikir antar hakim cenderung tidak sama. Perbedaan perspektif antara jaksa penuntut umum dan hakim juga memberikan kontribusi signifikan terhadap disparitas vonis. Jaksa penuntut umum cenderung fokus pada aspek pembuktian dan kecukupan alat bukti, mempertimbangkan kemungkinan keberhasilan dalam upaya hukum, serta menilai secara konservatif untuk menghindari putusan lepas atau bebas. Sebaliknya, hakim melakukan penilaian komprehensif terhadap seluruh aspek perkara, mempertimbangkan dampak sosial dan efek jera, serta memiliki kebebasan dalam menilai berat ringannya perbuatan berdasarkan keyakinan hukumnya. Sentencing GuidelinesUntuk mempersempit disparitas starfmaat, maka sudah tepat diberlakukan sentencing guidelines. Sentencing guidelines berperan penting sebagai katalis ideal guna mereduksi disparitas penjatuhan pidana. Artinya, pencantuman pertimbangan sentencing guidelines dalam putusan wajib dan harus dalam rangka memenuhi harapan masyarakat akan putusan yang berkeadilan, proporsional, dan ideal. Namun, implementasinya menghadapi tantangan utama dari internal korps hakim berupa resistensi terhadap perubahan paradigma, keengganan menggunakan pedoman yang dipandang membatasi diskresi, dan perlunya pelatihan intensif untuk memahami nuansa sentencing guidelines. Dari sisi masyarakat, tantangannya adalah kurangnya pemahaman tentang pergeseran paradigma hukum pidana, ekspektasi yang tidak realistis terhadap keseragaman mutlak putusan, dan perlunya edukasi tentang kompleksitas pertimbangan pemidanaan. Keniscayaan implementasi sentencing guidelines perlu mendapat dukungan dari hakim dan masyarakat. Hakim harus mampu benar-benar menggali dan mempertimbangkan sentencing guidelines dalam setiap putusannya. Hakim perkara pidana secara nurani memiliki kewajiban menjelaskan secara benar dan wajar tentang apa yang diputuskan kepada terpidana dan masyarakat. Selain itu, masyarakat diharapkan bersikap objektif ketika menilai sebuah putusan. Guna mengetahui adanya disparitas putusan, wajib ada narasi komprehensif atau setidaknya kerelaan diri untuk sungguh-sungguh memahami keseluruhan pertimbangan hakim. Memahami bagaimana hukuman diputuskan penting guna menentukan pemidanaan sudah adil dan proporsional atau tidak.  Mahkamah Agung telah memberikan sinyal kuat melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Perma ini lahir dari kondisi disparitas putusan tipikor dan bertujuan menciptakan kepastian serta proporsionalitas dalam penjatuhan pidana tipikor, menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Adanya Perma ini menjadi sinyal kuat bahwa pedoman pemidanaan dibutuhkan untuk mewujudkan putusan pengadilan yang ideal. Selain itu, KUHP Nasional memposisikan sentencing guidelines sebagai elemen wajib dalam putusan. Formula pemidanaan berubah menjadi kumulasi: Tindak Pidana + Pertanggungjawaban Pidana + Tujuan Pemidanaan + Pedoman Pemidanaan = Putusan Ideal. Dengan adanya pedoman pemidanaan, rumusan pemidanaan menjadi lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Reformasi Sistem PemidanaanDisparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan fenomena kompleks yang memerlukan pendekatan holistik.  Pada akhirnya, menakar rasa keadilan memerlukan keseimbangan antara konsistensi dan fleksibilitas, antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Sistem peradilan yang ideal adalah yang mampu memberikan putusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan dapat diterima secara sosial, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip equality before the law. Rasa keadilan tidak dapat diukur semata-mata dari angka tahun penjara yang dijatuhkan, tetapi merupakan konsep kompleks yang mencakup keadilan retributif (pembalasan yang setimpal), keadilan restoratif (pemulihan kerusakan), dan keadilan distributif (kesetaraan perlakuan). Disparitas vonis yang dapat dijelaskan melalui pertimbangan hukum yang objektif dan komprehensif berdasarkan sentencing guidelines merupakan dinamika normal sistem peradilan. Sebaliknya, disparitas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus dieliminasi melalui reformasi sistem yang berkelanjutan dan implementasi pedoman pemidanaan yang efektif. Untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih adil dan dapat diprediksi, diperlukan reformasi sistem pemidanaan melalui pengembangan pedoman pemidanaan yang lebih detail, peningkatan kapasitas penegak hukum melalui pelatihan berkala dan harmonisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam publikasi data dan analisis putusan. Serta penelitian berkelanjutan untuk evaluasi efektivitas dan pengembangan instrumen pengukuran keadilan yang lebih objektif. Hanya dengan pendekatan komprehensif inilah disparitas vonis dapat diminimalkan tanpa mengorbankan esensi keadilan itu sendiri.   Sunoto SH MHHakim PN Jakpus/Hakim Tipikor

Selain Dipenjara 9 Tahun, Jaksa Azam Juga Harus Bayar UP Rp 11,7 Miliar

article | Sidang | 2025-09-12 09:25:24

Jakarta- Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman jaksa Azam Akhmad Akhsya (33) dari 7 tahun penjara menjadi 9 tahun penjara. Selain itu, Azam juga harus membayar Uang Pengganti sebesar Rp 11,7 miliar. Sebab, jaksa Azam dinyatakan terbukti korupsi barang bukti korban investasi.“Membebankan kepada Terdakwa Azam Akhmad Akhsya, S.H., M.H. untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp11.700.000.000.00 dengan tetap memperhitungkan barang bukti yang telah dikembalikan dan disita,” demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip DANDAPALA dari webite PT Jakarta, Jumat (12/9/2025).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Teguh Harianto dengan majelis Budi Susilo dan Hotma Maya Marbun. Putusan itu diketok Kamis (11/9) siang kemarin.“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 5 tahun atau apabila terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari seluruh kewajiban membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti,” ungkap majelis.PT Jakarta menyebut dalam fakta persidangan ditemukan bahwa Terdakwa telah memperoleh uang dari hasil gratifikasi dengan cara meminta ‘uang pengertian’ kepada para kuasa hukum korban sejumlah Rp 11.700.000.000, di mana uang tersebut bukanlah hak Terdakwa karena diperoleh dengan cara melawan hukum, oleh karena itu Terdakwa harus dibebani pidana tambahan berupa uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Tipikor sejumlah Rp 11.700.000.000. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nmor 5/2014) disebutkan dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan.PT Jakarta menilai Azam telah melanggar kode etik jaksa tentang larangan menerima gratifikasi dan menjaga integritas profesi.“Bahwa perbuatan terdakwa tersebut merupakan perbuatan gratifikasi yang mencoreng nama baik dan integritas jaksa sebagai penegak hukum yang seharusnua terdakwa melindungi hak-hak korban dengan mengembalikan keseluruhan dana kepada korban. Akan tetapi terdakwa malah mengambil hak-hak para korban dan merugikan korban,” ujarnya.Sebelumnya, jaksa Azam dihukum 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus. Vonis itu di atas tuntutan jaksa terhadap jaksa Azam yang hanya dituntut 4 tahun penjara.Apa itu Uang Pengganti?Uang pengganti korupsi adalah harta benda yang diperoleh atau dinikmati dari tindak pidana korupsi yang harus dibayarkan oleh terpidana sebagai pidana tambahan.Jumlahnya harus sebanyak-banyaknya sesuai harta benda yang diperoleh dari korupsi, bukan sebesar kerugian negara yang ditimbulkan. Jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti, harta bendanya dapat disita dan dilelang, dan jika tidak cukup, ia akan dikenakan pidana penjara sebagai penggantinya. Tujuan Uang Pengganti1.  Memulihkan kerugian keuangan negara: Upaya mengembalikan kondisi keuangan negara akibat perbuatan korupsi.2. Merampas harta hasil korupsi: Selain memulihkan kerugian negara, uang pengganti juga berfungsi untuk merampas harta yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi.   

Tok! PT Jakarta Vonis Jaksa Azam 9 Tahun Bui gegara Korupsi Barang Bukti

article | Sidang | 2025-09-11 19:40:43

Jakarta- Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman jaksa Azam Akhmad Akhsya (33) dari 7 tahun penjara menjadi 9 tahun penjara. Sebelumnya, Azam dituntut hanya 4 tahun penjara gegara korupsi barang bukti lebih dari Rp 11 miliar.“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Azam Akhmad Akhsya SH MH berupa pidan apenjara selama 9 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana densa sebesar Rp 500 juta subsidair 5 bulan kurungan,” demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip DANDAPALA dari webite PT Jakarta, Kamis (11/9/2025).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Teguh Harianto dengan majelis Budi Susilo dan Hotma Maya Marbun. Putusan itu diketok siang ini. Sebelumnya, Azam dihukum 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.“Membebankan kepada terdakwa Azam Akhmad Akhsya SH MH untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 11,7 miliar,” ucap majelis.Jika tidak membayar uang pengganti selama 1 bulan maka harta bendanya dilelang. Bila tidak cukup menutup maka diganti penjara selama 5 tahun. Lalu apa alasan majelis hakim memperberat hukuman Azam?“Terdakwa Azam sebagai jaksa yang diberi kewenangan sebagai Jaksa Penuntut Umum dalam perkara investasi bodong dan setelah putusan perkara berkekuatan hukum tetap terdakwa ditunjuk jadi jaksa eksekutor. Dalam pelaksanan tuganys tersebut, terdakwa terbukti telah menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasannya sebagai JPU dan jaksa eksekutor pelaksanaan putusan dengan cara meminta ‘uang pengertian’ kepasa para kkuasa hukum korban sebesar Rp 11,7 milar,” ucap majelis.Hal itu dinilai telah melanggar kode etik jaksa tentang larangan menerima gratifikasi dan menjaga integritas profesi.“Bahwa perbuatan terdakwa tersebut merupakan perbuatan gratifikasi yang mencoreng nama baik dan integritas jaksa sebagai penegak hukum yang seharusnua terdakwa melindungi hak-hak korban dengan mengembalikan keseluruhan dana kepada korban. Akan tetapi terdakwa malah mengambil hak-hak para korban dan merugikan korban,” bebernya. 

Jaksa Azam Didakwa Korupsi Barang Bukti Rp 11 M, Istri Ngaku Buat Umroh Dll

article | Sidang | 2025-05-28 21:10:34

Jakarta- Jaksa Azam Akhmad Akhsya duduk di kursi terdakwa dengan dugaan korupsi barang bukti Rp 11 miliar lebih. Yaitu terkait penanganan kasus robot trading Fahrenheit. Istri Azam, Tiara Andini mengakui pernah diberi Rp 8 miliar dari suaminya. Lalu buat apa saja uang itu?Hal itu terungkap dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (27/5/2025) kemarin. Kepada majelis hakim yang diketuai Sunoto, Tiara Andini membenarkan seluruh aliran dana sebagaimana tercantum dalam dakwaan. Termasuk pembelian asuransi, deposito, properti, dan biaya perjalanan umroh.Berikut penggunaan uang Rp 8 miliar yang dipakai Tiara Andini sebagaimana dakwaan jaksa terhadap jaksa Azam:Rp 8 miliar dipindahkan ke  rekening Tiara Andini  (istri terdakwa) digunakan untuk:-Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) untuk membayar Asuransi BNI Life.-Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) disimpan dalam Deposito BNI.-Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) untuk membeli tanah dan bangunan rumah.-Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk umroh, jalan-jalan ke luar negeri, sumbangan ke pondok pesantren dan lain-lain.Selain itu, salah satu yang kecipratan adalah staf honorer Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kejari Jakbar), Andi Rianto. Ia mengakui telah mengetik draf Berita Acara atas perintah Azam, namun mengaku tidak mengetahui bahwa isinya berbeda. "Saya hanya ketik untuk buat draf," ujar Andi Rianto.Andi juga membenarkan bahwa rekening atas namanya digunakan oleh Azam. Ketika ditanya Hakim Ketua, Andi mengatakan bahwa Azam memintanya untuk ‘silent aja ya’ terkait penggunaan rekening tersebut. Ia mengaku hanya menerima Rp 15 juta.Dalam sidang itu, total dihadirkan tujuh saksi kunci dan istri terdakwa untuk memberikan kesaksian. Salah satu saksi, Ketua Paguyuban Solidaritas Investor Fahrenheit (SIF) Saksi Davidson Willy Arguna, yang juga pelapor kasus ini, mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses pengembalian barang bukti. Ia menegaskan bahwa dirinya yang melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Agung."Saya menemukan adanya kejanggalan dalam proses pengembalian barang bukti dan melaporkannya," ujar Willy di hadapan majelis hakim.Namun, kesaksian Willy mendapat bantahan dari terdakwa Oktavianus Setiawan yang menyatakan bahwa laporan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sakit hati. Dalam persidangan terungkap bahwa Willy merupakan mantan rekan kerja Oktavianus."Saksi dulu adalah mantan anak buah saya yang saya pecat," bantah Oktavianus dalam interupsinya.Perdebatan sengit terjadi ketika kuasa hukum Bonifasius Gunung meminta kepada Hakim Ketua untuk menunjukkan bukti Berita Acara (BA-20). Menurut kuasa hukum tersebut, berdasarkan BA yang dipegang kliennya, uang yang diterima hanya sekitar Rp 6 miliar, sementara BA-20 yang dipegang jaksa menunjukkan angka berkisar Rp 8 miliar.Dalam sesi ini, kuasa hukum dan jaksa beradu bukti di depan majelis hakim. Jaksa Penuntut Umum menunjukkan BA-20 yang menyatakan bahwa uang yang ditransfer kepada Bonifasius Gunung sebesar Rp 8.436.578.310 sedangkan kuasa hukum Bonifasius menyodorkan bukti BA yang menyebutkan nominal sekitar Rp 6 miliar. Menanggapi perbedaan tersebut, Hakim Ketua Sunoto langsung mengkonfirmasi kepada saksi Yulianisa Rahmayanti dan Khoirunnisa yang merupakan bendahara penerima di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat."Berapa jumlah sebenarnya yang ditransfer?" tanya Hakim Ketua.Kedua saksi dengan tegas menyatakan bahwa uang yang ditransfer adalah sesuai BA-20 yang dipegang Jaksa."Yang benar adalah sesuai dengan BA-20 yang dipegang jaksa, Pak Hakim. Kami telah memastikan transfer dana senilai Rp 8.436.578.310,- kepada terdakwa Bonifasius dan Rp 53.757.954.626,- (lima puluh tiga miliar tujuh ratus lima puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh empat ribu enam ratus dua puluh enam rupiah) kepada terdakwa Oktavianus," tegas Yulianisa.Dua saksi lainnya, Soeryo Sadewo dan Sandanu, keduanya ASN di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, menerangkan peran mereka sebagai petugas barang bukti. Ketika ditanya oleh Hakim Ketua mengenai dugaan penerimaan uang Rp 150 juta, Soeryo membantah tuduhan tersebut. Namun, ia mengakui menerima uang Rp 60 juta dari terdakwa Azam yang diklaim untuk operasional pengeluaran barang bukti mobil dan kegiatan lainnya."Saya tidak menerima Rp 150 juta, tapi benar ada Rp 60 juta yang digunakan untuk operasional pengeluaran barang bukti mobil dan kegiatan lainnya," terang Soeryo.Kesaksian Brian Erik First Anggitya, kuasa hukum 60 korban asal Jawa Timur, memperkuat dakwaan jaksa. Brian membenarkan telah memberikan fee kepada terdakwa Azam sebesar 15% dari bagian fee yang diterimanya sebagai bentuk terima kasih, dan hal tersebut telah disetujui oleh kliennya.Hakim Ketua juga mengonfirmasi kepada para saksi terkait dugaan aliran dana sebagaimana tercantum dalam dakwaan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa dari total Rp 11,7 miliar yang diterima terdakwa Azam, sekitar Rp 1,3 miliar ditukarkan ke mata uang dolar Singapura dan didistribusikan kepada beberapa pejabat, di antaranya Rp 300 juta kepada Dodi Gazali (Plh. Kasi Pidum/Kasi BB Kejari Jakarta Barat), Rp 500 juta kepada Hendri Antoro (Kajari Jakarta Barat), dan Rp 500 juta kepada Iwan Ginting (mantan Kajari Jakarta Barat).Selain itu, dalam dakwaan juga disebutkan adanya transfer Rp 450 juta kepada Sunarto (mantan Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat), Rp 300 juta kepada M. Adib Adam (Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat), Rp 200 juta kepada Baroto (Kasubsi Pratut Kejari Jakarta Barat), serta Rp 150 juta kepada staf. Namun, ketika dikonfirmasi di persidangan, para saksi yang hadir menyatakan tidak mengetahui adanya aliran dana tersebut.Sebelum menutup persidangan, Hakim Ketua Sunoto menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum mengenai agenda sidang berikutnya."Untuk sidang selanjutnya, apakah pihak Jaksa masih akan menghadirkan saksi-saksi lain?" tanya Hakim Ketua.Jaksa Penuntut Umum, Neldy Denny, menyatakan bahwa mereka akan memanggil saksi-saksi lanjutan pada persidangan berikutnya."Ya, Yang Mulia. Kami masih akan menghadirkan beberapa saksi lanjutan untuk memperkuat dakwaan dalam kasus ini," jawab Jaksa Penuntut Umum.