Cari Berita

Kedudukan dan Sumber Hukum dalam Putusan Peradilan Pajak, Konflik dan Kompromi Tradisi Eropa

Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-12-05 19:05:02
Dok. Ist. :

Menurut tinjauan sejarah, terdapat ketegangan fundamental antara kebutuhan akan kepastian hukum yang diwarisi dari sistem Eropa Kontinental dengan peran fleksibel hakim pajak.

Indonesia menganut tradisi hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System. Sistem ini berkembang di benua Eropa daratan setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, yang ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Kaisar Romulus Augustulus pada tahun 476 M. Hukum Eropa Kontinental ini didasarkan pada Hukum Romawi, yang bersumber pada karya agung Kaisar Iustinianus, yaitu Corpus Iuris Civilis. Tradisi ini diterapkan di Indonesia melalui penjajahan Belanda.

Pilar Tradisi Hukum Eropa Kontinental (Civil Law)

Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan

Ciri utama dan prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk perundang-undangan dan tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kodifikasi ini adalah kepastian hukum.

Dalam kerangka filosofis Civil Law yang dipengaruhi oleh aliran legisme hukum (yang menganggap Code Civil Perancis sudah sempurna), hanya undang-undang yang menjadi satu-satunya sumber hukum yang sah. Dalam konteks ini, aparatur penegak hukum, termasuk hakim, dianggap sebagai "corong dari undang-undang" (subsumtie authomat) yang bertugas menciptakan keadilan hukum (legal justice). Selain itu, putusan hakim dalam sistem ini umumnya hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (doctrins Res Ajudicata).

Namun, tradisi ini juga berpendapat bahwa hukum yang sesungguhnya adalah undang-undang yang adil (ius atau recht). Jika suatu undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, secara hakiki hukum tersebut tidak lagi bersifat normatif.

Kekhususan Peradilan Pajak dan Peran Keyakinan Hakim

Pengadilan Pajak didirikan sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Pembentukan Pengadilan Pajak (berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2002) didasarkan pada kebutuhan untuk menyelesaikan Sengketa Pajak melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana, serta mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum.

Kebutuhan untuk mencapai kebenaran materiil (yang sesuai dengan asas dalam undang-undang perpajakan) dan penyelesaian yang cepat ini mendorong dinamika dalam sumber putusan hakim yang sedikit menyimpang dari kekakuan Civil Law murni.

Sumber Hukum Putusan Pengadilan Pajak:

Putusan Pengadilan Pajak tidak hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan dan hasil penilaian pembuktian, tetapi secara eksplisit juga didasarkan pada keyakinan Hakim.

Penyertaan "keyakinan Hakim" ini adalah penyeimbang dari formalitas Civil Law murni. Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam melaksanakan pembuktian, Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Alat bukti yang sah meliputi surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak, dan/atau pengetahuan Hakim. Pengetahuan Hakim diartikan sebagai hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Hakim berwenang menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, serta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.

Peran keyakinan ini menunjukkan bahwa hakim pajak tidak semata-mata menjadi corong undang-undang, tetapi berupaya menentukan kebenaran materiil. Pendekatan ini lebih dekat dengan aliran Rechtsvinding yang dianut sistem hukum Indonesia secara umum, di mana hakim berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya secara "kebebasan yang terikat" (gebonden vrijheid) dan "keterikatan yang bebas" (vrije gebondenheid).

Kekuatan Hukum Putusan

Meskipun dalam Civil Law putusan hanya mengikat para pihak, Pengadilan Pajak ditetapkan sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sebagai putusan akhir, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi ke Peradilan Umum atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa tidak dapat diterima yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Meskipun demikian, putusan Pengadilan Pajak tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung sebagai upaya hukum luar biasa. Permohonan PK ini tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

Metafora

Interaksi antara tradisi Civil Law dan sumber hukum dalam Peradilan Pajak seperti sebuah timbangan: Di satu sisi, ada piringan berat yang menarik ke arah Kepastian Hukum yang diwakili oleh peraturan perundang-undangan (tradisi Eropa); di sisi lain, ada fleksibilitas dan orientasi pada kebenaran materiil yang menyeimbangkan timbangan tersebut, diwakili oleh kemampuan Hakim untuk menggunakan Keyakinan dan Pengetahuan-nya, yang memastikan bahwa keadilan dapat terwujud meskipun dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan. (ldr)

Daftar Pustaka

UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak

Ari, Julianto (2025), Catatan Kuliah

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…