Cari Berita

Merangkai Paramater Pembuktian Sederhana dalam Pemeriksaan Singkat: Dari Asas Contante Justice hingga Beban Kerja Hakim

article | Opini | 2025-03-12 12:30:03

Selasa, 26 Maret 2024 Penulis mengikuti sidang perkara pencurian. Singkatnya, Terdakwa mencuri handphone korban pada saat korban tertidur di Masjid lalu tertangkap tangan oleh korban melalui pelacakan handphone. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Hakim Ketua menanyakan kepada Penuntut Umum alasan perkara tidak dilimpahkan dengan acara cepat lalu Penuntut Umum menyampaikan nilai handphone yang dicuri sebesar Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Artinya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar  Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada pemeriksaan, Terdakwa mengakui seluruh perbuatannya dan dituntut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara.Kasus kedua, perkara membawa senjata tajam. Saat razia pihak kepolisian, Terdakwa tertangkap tangan membawa pisau dengan panjang sekitar 26 (dua puluh enam) cm. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Pada saat persidangan, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian bahwa Terdakwa mengakui alasan membawa senjata tajam tersebut untuk berjaga-jaga dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai mekanik di bengkel motor. Penuntut umum lalu menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.Pada konteks perwujudan peradilan cepat dan sederhana, perkara-perkara diatas menimbulkan problematika hukum yang perlu didiskusikan bersama untuk menjadi bahan kebijakan Mahkamah Agung untuk menerbitkan SEMA atau Rancangan PERMA (RPERMA). Pertama, mengapa pemeriksaan tidak dilakukan melalui acara singkat? Kedua, mengapa pemeriksaan tersebut tidak disidangkan dengan Hakim Tunggal guna mengurangi beban kerja Hakim? Ketiga, dari sisi keadilan hukum sekaligus pendekatan KUHP baru, apakah Terdakwa dalam kasus pencurian tersebut dapat dihukum setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan kurungan? Mengingat kerugiannya hanya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).Mengenai permasalahan ketiga, telah disinggung oleh Penulis pada Artikel Opini Majalah Dandapala Volume IX/Edisi 51 Januari-Februari 2023. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP pada saat ini memang perlu kembali disesuaikan (2024) karena aturan tersebut sudah berlaku 12 (dua belas) tahun. Mahkamah Agung melakukan perhitungan dengan pendekatan harga emas tahun 1960 (Rp50,51,-/gram) dengan harga emas tahun 2012 (Rp509.000,-/gram) sehingga terdapat kenaikan sebesar 10.000 (sepuluh ribu) lipat. Pada saat ini, apabila menggunakan metode pendekatan harga emas maka harga emas tahun 2024 (Rp1.150.000,-/gram) atau sekitar dua kali lipat dari tahun 2012. Oleh sebab itu, kategori kerugian pada tindak pidana ringan dapat disesuaikan menjadi Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) atau diselesaikan melalui Perma 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Permasalahan pertama dan kedua terletak pada hukum acara yang diatur KUHAP yang hanya memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menentukan jenis acara pemeriksaan (Biasa atau Singkat). Konsekuensinya, apabila Penuntut Umum berpandangan perkara tersebut tidak dapat dibuktikan dengan sederhana maka perkara akan dilimpahkan dengan acara biasa sehingga Ketua Pengadilan Negeri wajib menunjuk hakim dengan komposisi Majelis untuk memeriksa perkara tersebut. Akan tetapi perlu disadari, KUHAP sendiri tidak memberikan parameter “Pembuktian yang Sederhana” yang berakibat hampir seluruh perkara oleh Penuntut Umum dilimpahkan dengan acara biasa walaupun perkara tersebut (apabila dikaji) dapat diperiksa secara singkat dengan hakim tunggal. Kondisi tersebut tergambarkan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Periode 2020-2023: PERBANDINGAN JENIS PERKARA BIASA DAN SINGKAT BERDASARKAN LAPORAN TAHUNAN MAHKAMAH AGUNG PERIODE 2020-2023 TAHUN JUMLAH PERKARA PIDANA BIASA JUMLAH PERKARA PIDANA SINGKAT PERSENTASE PERBANDINGAN PIDANA BIASA DENGAN PIDANA SINGKAT 2020 134.344** 454 0,336% * 2021 123.352** 190 0,1537% * 2022 119.109** 100 0,839% * 2023 117.773** 57 0,0484% *   *PERSENTASE PERKARA PIDANA SINGKAT DIBAWAH 1% DIBANDINGKAN PERKARA PIDANA BIASA **5 (LIMA) PERKARA MENDOMINASI ANTARA LAIN TINDAK PIDANA NARKOTIKA, PENCURIAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGGELAPAN, PENGANIAYAAN YANG JIKA DITELITI DAPAT DISELESAIKAN MELALUI ACARA SINGKAT Kondisi diatas memberikan beban kerja lebih kepada para hakim karena rata-rata beban per hakim adalah jumlah rasio perkara bagi setiap hakim dikalikan 3 (tiga). Karena persidangan dilakukan dengan majelis, setiap perkara didistribusikan kepada tiga orang hakim. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU tersebut memberikan wewenang pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai sulit tidaknya pembuktian sehingga suatu perkara dapat ditangani oleh Hakim Tunggal atau Majelis. Penerapan Hakim Tunggal juga pernah diterapkan berdasarkan SEMA 4/1984 tentang Sidang-Sidang dengan Hakim Tunggal yaitu pemberian izin sidang dengan hakim tunggal kecuali perkara tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi dan tindak pidana yang menarik perhatian publik;Perbandingan kondisi tersebut mendorong penulis mengkaji parameter “Pembuktian yang Sederhana”. Melalui metode kajian 200 (dua ratus) putusan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Surabaya, perbandingan dengan RKUHAP dan perbandingan peraturan dengan negara lain, maka didapat parameter sebagai berikut:Jenis perkara mayoritas atau mendominasi di suatu daerah (seperti perkara senjata tajam, pencurian, penganiayaan, penipuan, pengedaran sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan, kecuali narkotika). Tiap daerah mempunyai jenis perkara mayoritas, misalnya di Pengadilan Tinggi Surabaya adalah perkara tindak pidana kesehatan (sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan secara ilegal) dan perjudian sedangkan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin adalah perkara senjata tajam dan penganiayaan;Putusan terhadap perkara-perkara tersebut, rata-rata dibawah 2 (dua) tahun atau pidana bersyarat. Bandingkan dengan syarat Pemeriksaan Singkat pada RKUHAP yaitu Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun;Terdakwa mengakui perbuatannya atau tertangkap tangan;Perkara diselesaikan dalam waktu kurang dari 1,5 (satu setengah) bulan;Dakwaan tunggal atau alternatif;Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya (Pengakuan dari Keterangan Terdakwa) dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi. Artinya, jumlah Saksi yang diperiksa tidak lebih dari 2-3 (tiga) orang;Jenis Perkara tersebut rata-rata (secara persentase) tidak diajukan upaya hukum;Bukan perkara yang menarik perhatian publik;Parameter tersebut dapat dituangkan dalam SEMA atau lebih teknis dapat diatur pada RPERMA tentang Pedoman Acara Singkat. Apa filosofinya? Kata “Sederhana” hanya ditemukan pada Pemeriksaan Acara Singkat padahal “Sederhana” merupakan asas utama dalam pemeriksaan akan tetapi tidak ada pasal pengaturan yang mewujudkan asas tersebut lebih konkret. Asas peradilan sederhana diatur secara tegas dan lebih jelas dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “sederhana” yang berada di paling depan dibandingkan frasa “cepat” dan “biaya ringan” menjadi penekanan bahwa alur proses peradilan mengarah pada prinsip kerja yang efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.Bagaimana teknis pengaturannya? Pada RPERMA, diatur tiap pengadilan memberikan laporan kepada Pengadilan Tinggi terkait perkara-perkara yang mendominasi daerah tersebut dan memenuhi parameter diatas, lalu Pengadilan Tinggi memberikan persetujuan bahwa terhadap perkara-perkara tersebut dapat diadili dengan Hakim Tunggal. Ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk Hakim Tunggal, juga memperhatikan pengalaman hakim tersebut khususnya dalam memeriksa kasus serupa. Pemeriksaan dapat menyesuaikan, artinya Hakim dapat berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri, apabila khusus dalam pembuktian saksi memerlukan pemeriksaan secara majelis, sedangkan terkait dakwaan, tuntutan, pembelaan dan putusan tetap dilakukan oleh hakim tunggal. Pemeriksaan juga memperhatikan pengakuan Terdakwa setelah pembacaan dakwaan. Pasal 199 RKUHAP menentukan, “Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, Terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.”  Terakhir, diatur juga mengenai proses pembuktian dan format putusan yang lebih sederhana. Berdasarkan parameter diatas, maka penerapan pemeriksaan acara singkat sebagai penerapan asas contante justice dapat berkorelasi positif secara faktual dengan beban kerja hakim di Indonesia, karena pemeriksaan acara tersebut dapat dilakukan dengan hakim tunggal bukan majelis. Oleh sebab itu, Penulis berharap bahwa RPERMA dapat memberikan dampak positif dan langkah yang tepat untuk mengurangi beban kerja hakim khususnya dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan, mengurangi antrian atau penundaan sidang di Pengadilan kelas IB / IA karena seringkali salah satu hakim yang memeriksa sedang berhalangan atau memeriksa perkara lain. Terakhir, RPERMA dapat menjadi salah satu jalan konkret perwujudan asas utama dalam peradilan yaitu Cepat dan Sederhana. (FAC Rd, LDR)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Ponorogo

Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

article | Opini | 2025-03-11 17:00:33

PengantarSeorang hakim bukan hanya sekadar profesi Yang Mulia, tetapi sebuah amanah moral dan spiritual yang mengemban tugas suci dalam menegakkan keadilan. Di dalam sistem hukum modern, hakim terikat oleh kode etik yang mengatur integritas, independensi, hingga profesionalitasnya. Namun, jika kita melihat lebih dalam melalui perspektif agama Hindu, konsep etika hakim dapat diperkaya dengan tiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu Tattwa (filsafat kebenaran), Etika (susila dan moralitas), dan Upacara (ritual dan pengabdian).Dalam agama Hindu, tugas seorang hakim dapat disamakan dengan peran seorang Dharmaraja, yang bertugas menegakkan hukum berdasarkan dharma (kebenaran dan keadilan). Seperti yang dicontohkan dalam kisah Raja Yudhistira dalam Mahabharata, seorang pemimpin harus menjunjung tinggi kebenaran dan tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi. Hakim yang bertindak sesuai dengan prinsip agama Hindu tidak hanya melaksanakan hukum positif, tetapi juga menyeimbangkan hukum dengan kebijaksanaan dan nilai-nilai dharma.Pembahasan1. Tattwa: Hakim dan Hakikat KebenaranDalam agama Hindu, Tattwa merupakan dasar filsafat yang mengajarkan tentang hakikat kebenaran dan realitas. Dalam konteks profesi hakim, hal ini berarti seorang hakim harus mampu memahami esensi dari keadilan itu sendiri. Bhagavad Gita (Bab 4. Sloka 7-8) menegaskan bahwa Tuhan akan selalu hadir untuk menegakkan dharma dan melenyapkan adharma (ketidakadilan). Dengan demikian, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus memiliki kesadaran spiritual bahwa setiap keputusan yang ia buat harus berlandaskan pada kebenaran sejati, bukan sekadar aturan hukum tertulis.Dalam sistem peradilan modern, seorang hakim sering dihadapkan pada dilema antara hukum positif dan nilai keadilan yang lebih tinggi. Agama Hindu mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya bersifat legalistik, tetapi juga moral dan kosmis. Oleh karena itu, seorang hakim yang memahami Tattwa akan selalu mencari keseimbangan antara aturan dan hati nurani dalam menjatuhkan putusan.2. Susila: Kode Etik Hakim dan Moralitas Agama HinduKonsep Etika dan Susila dalam agama Hindu mengacu pada standar moral yang harus dijalankan oleh setiap individu, terutama mereka yang memegang posisi penting dalam masyarakat. Seorang hakim dituntut untuk memiliki karakter yang jujur (Satya), tidak memihak (Nyaya), tanpa kekerasan (Ahimsa), dan penuh kebijaksanaan (Viveka).Dalam Manusmṛti atau dikenal dengan Manawa Dharmasastra, kitab hukum agama Hindu tertua, disebutkan bahwa seorang hakim atau raja yang memutuskan perkara dengan tidak adil akan mengalami penderitaan dalam kehidupannya maupun setelah kematian. Sloka VIII-18 dalam Manawa Dharmasastra menyebutkan: “Keputusan yang salah karena ketidakadilan oleh hakim, seperempat bagian dari kesalahan menimpa yang melakukan kejahatan, seperempat bagian kepada yang memberikan kesaksian palsu, seperempat bagian kepada semua hakim, seperempat bagian kepada raja (kepala negara)”. Ini selaras dengan prinsip kode etik hakim yang menekankan pentingnya kejujuran, integritas, berdisiplin tinggi dan profesional agar hakim terhindar dari kesalahan dalam mengambil putusan.Jika dikaitkan dengan profesi hakim saat ini, prinsip Etika menegaskan bahwa seorang hakim tidak boleh: 1) Memihak dalam suatu perkara karena tekanan politik atau ekonomi; 2) Menerima suap atau gratifikasi yang dapat memengaruhi putusan; dan 3) Menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Seorang hakim yang berpegang pada Etika akan menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah laku spiritual, di mana setiap keputusan yang dibuat adalah bentuk persembahan kepada kebenaran itu sendiri.3. Upacara: Ritual dan Pengabdian sebagai HakimBagian terakhir dari tiga kerangka agama Hindu adalah Upacara, yang mencerminkan bentuk pengabdian dan ritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks hakim, Upacara bisa dimaknai sebagai disiplin, dedikasi, dan keterikatan pada tugas dengan penuh kesadaran.Dalam tradisi agama Hindu, seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan benar dianggap sedang melakukan Yadnya, yaitu pengorbanan suci tulus ikhlas untuk kesejahteraan banyak orang. Seorang hakim yang menjunjung tinggi kode etik dan menjalankan tugasnya tanpa pamrih juga dapat dikategorikan sebagai Yadnya dalam bentuk keadilan.Pengabdian seorang hakim tidak hanya terbatas pada ruang sidang, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya. Dalam Bhagavad Gita (Bab 3 Sloka 21), yang menyebutkan “Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia”. Laksana Krisna mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi contoh moral bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus menjaga kehormatannya, baik dalam tugasnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Sebuah putusan hukum yang dibuat dengan kesadaran spiritual akan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar menyelesaikan perkara.KesimpulanKode etik hakim dalam perspektif agama Hindu bukan sekadar seperangkat aturan yang mengatur perilaku profesional, tetapi merupakan bagian dari jalan Dharma yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Melalui Tattwa, seorang hakim memahami bahwa hukum bukan sekadar aturan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang lebih dalam. Dengan Etika, hakim menjunjung tinggi moralitas dan tidak terjebak hanya dalam kepentingan duniawi. Sementara Upacara menegaskan bahwa profesi ini adalah bentuk pengabdian yang harus dijalankan dengan disiplin dan penuh rasa tanggung jawab.Dalam dunia yang semakin kompleks dan dinamis, nilai-nilai agama Hindu ini dapat menjadi pedoman bagi para hakim untuk tetap berada di jalur kebenaran dan keadilan. Seorang hakim yang bekerja dengan kesadaran Dharma bukan hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga penjaga keseimbangan moral dan spiritual dalam masyarakat. Dengan demikian, keadilan yang ditegakkan bukan hanya berlaku di dunia ini, tetapi juga sejalan dengan hukum kosmis yang mengatur semesta. IKAW

Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi

article | Opini | 2025-03-11 11:00:43

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan fundamental dalam sistem peradilan di Indonesia. Langkah monumental diluncurkan oleh Mahkamah Agung RI berupa implementasi sistem e-Court dan e-Litigation sebagai upaya progresif dalam modernisasi peradilan. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga menerapkan berbagai macam inovasi yang mengandalkan teknologi-informasi untuk meningkatkan profesionalitas, integritas, akuntabilitas serta efektivitas dan efisiensi kinerjanya.Era digital saat ini, Hakim sebagai aparatur inti dari peradilan dituntut memiliki akses dan kompetensi terhadap berbagai macam tools (alat) teknologi-informasi. Sistem kecerdasan buatan atau masyhur disebut dengan Artificial Intelligence (AI) salah satunya.Implementasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia diharapkan bisa diterapkan untuk membantu proses analisis perkara dan hukumnya. Analisis yurisprudensi, deteksi terhadap pola dalam perkara-perkara yang sama, dan automasi tugas-tugas administratif peradilan bahkan prediksi putusan pengadilan. Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective, mengemukakan tentang komponen sistem hukum. Substansi hukum menjadi salah satunya yang mencakup penerapan isi, aturan, norma, dan prinsip-prinsip hukum berikut pertimbangan nurani dalam proses peradilan, khususnya sebuah putusan merupakan bagian penting dari peran Hakim. Hal itu tidak mungkin digantikan oleh siapa pun, apalagi sebuah mesin bahkan super-computer sekalipun.Putusan seorang Hakim tidak bisa didasarkan pada analisis komputasi algoritma semata, mengingat kompleksitas faktor sosial, budaya, dan kemanusiaan yang pasti melekat erat dalam setiap perkara. Oleh karena itu, di tengah kemudahan yang ditawarkan teknologi tersebut, muncul beberapa pertanyaan krusial bagi seorang Hakim yang juga seorang manusia tentang bagaimana mendudukkan peran teknologi AI dalam dunia peradilan khususnya bagi Hakim, peran nurani seorang Hakim dalam menyusun pertimbangan putusan khususnya di era serba digital ini, dan menyeimbangkan penggunaan teknologi AI dengan hati nurani dalam menyusun pertimbangan hukum suatu putusan. Peran Teknologi AI dalam Pertimbangan Hukum Putusan HakimTeknologi telah menghadirkan dimensi baru dalam proses pertimbangan hukum oleh para Hakim di Indonesia. Menurut Aharon Barak dalam bukunya Judicial Discretion, pertimbangan hukum Hakim merupakan kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk membuat pilihan diantara sejumlah alternatif yang masing-masing sah secara hukum. Dalam konteks era digital, teknologi berperan sebagai tools (alat) pendukung yang dapat memperkaya wawasan dan perspektif Hakim dalam menganalisis perkara.Richard Susskind dalam karyanya Online Courts and the Future of Justice, mengemukakan bahwa teknologi dalam peradilan modern berfungsi dalam tiga dimensi:Sebagai support system untuk analisis hukum;Sebagai basis data untuk penelusuran yurisprudensi; danSebagai alat prediktif untuk mengidentifikasi pola putusan.Penulis sendiri sudah mencoba memanfaatkan kemampuan teknologi AI untuk mengolah data berupa teks atau skrip dalam Berita Acara Sidang, menganalisis sebuah dakwaan, gugatan, dan permohonan. Selain itu, penulis pernah mencoba menganalisis konsistensi penerapan hukum dalam sebuah putusan, memahami pola-pola dalam perkara serupa, dan mencoba merumuskan fakta-fakta hukum dalam sebuah putusan.Sistem kecerdasan buatan benar-benar memudahkan manajemen dokumen elektronik juga memudahkan Hakim dalam mengorganisir berkas-berkas perkara, memungkinkan akses cepat terhadap informasi yang diperlukan dalam proses pengambilan pertimbangan dalam sebuah putusan.Hal ini sejalan dengan pendapat Richard Susskind dalam karyanya tentang Transformasi Hukum Di Era Digital yang menegaskan bahwa teknologi tidak hanya mengubah cara kerja praktisi hukum, tetapi juga mempengaruhi substansi dari praktik hukum itu sendiri. Namun dalam hal ini penulis menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi AI ini juga dapat menimbulkan tantangan dan risiko pengabaian terhadap aspek-aspek kualitatif yang tidak dapat diukur secara digital dan bahkan berpotensi munculnya dehumanisasi dalam peran seorang Hakim. Peran Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan Hakim di Era DigitalManusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang digelari sebagai aḥsani taqwīm (QS. at-Tin: 4 ) yang bermakna sebaik-baik bentuk dibekali nurani yang secara otentik menunjukkan jati diri dan potensi kebaikannya. Dalam penciptaannya, manusia diberi kemampuan akal dan hati untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk. Nurani ini merupakan instrumen penting dari fitrah manusia (kecenderungan pada kebaikan), yang membimbingnya untuk menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.Dalam konteks peran atau profesi seorang Hakim, nurani menjadi kompas moral yang tidak tergantikan khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar dalam karyanya yang berjudul Hati Nurani Hakim dan Putusannya, "Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dengan menggunakan hati nurani." Sementara itu, J.A. Pontier (2008: 94) berpendapat, nurani hakim berperan sebagai ultimate guidance yang memungkinkannya untuk melihat kearifan dan kebijaksanaan di balik formalitas hukum dan menemukan keadilan yang substantif.Di era digital yang sarat dengan kemajuan teknologi terutama AI atau kecerdasan buatan tersebut, peran nurani menjadi semakin vital sebagai penyeimbang dari kecenderungan mekanistik layaknya sistem komputer dan mesin-mesin industri. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, "Hukum bukan hanya urusan logika dan pasal-pasal peraturan, tetapi juga urusan nurani dan kepekaan sosial (2009: 67). Hal ini sejalan dengan pandangan Artidjo Alkostar yang menegaskan bahwa, "putusan hakim harus mencerminkan perpaduan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan kepekaan nurani (conscience sensitivity)” (Varia Peradilan 2009: Vol 48).Peran nurani dalam pertimbangan hukum putusan hakim di era digital merupakan aspek fundamental yang tidak tergantikan oleh kemajuan teknologi secanggih apa pun. Nurani, sebagai anugerah Ilahi yang melekat dalam fitrah manusia termasuk seorang hakim, menjadi instrumen vital dalam mewujudkan keadilan substantif yang melampaui sekadar kalkulasi algoritmik. Harmonisasi Teknologi AI dan Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan HakimDalam rangka mencapai keseimbangan pemanfaatan antara teknologi dan nurani dalam pertimbangan hukum putusan Hakim, diperlukan berbagai langkah strategis dan sistematis. Menurut Ethan Katsh (Digital Justice: Technology and the Internet of Disputes: 2017), terdapat tiga aspek fundamental yang harus diperhatikan, peningkatan kapasitas hakim dalam literasi digital, pengembangan framework etis penggunaan teknologi, dan evaluasi berkala terhadap dampak implementasi teknologi dalam sistem peradilan.Dalam praktik penggunaan teknologi khususnya AI di pengadilan Eropa, Komisi Efisiensi Kehakiman (CEPEJ) dari Dewan Eropa telah mengembangkan lima prinsip etis fundamental yang diadopsi pada Desember 2018. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:Penghormatan terhadap hak-hak fundamental, yang menekankan bahwa desain dan implementasi layanan AI harus sejalan dengan hak-hak dasar seperti privasi dan peradilan yang adil;Perlakuan yang setara, yang mengharuskan penghindaran diskriminasi antar individu atau kelompok;Keamanan data, yang mewajibkan penggunaan sumber dan data tersertifikasi dalam lingkungan teknologi yang aman;Transparansi, yang mengharuskan metode pemrosesan data dapat diaudit dan diakses publik; danKontrol pengguna atas AI, yang menegaskan bahwa algoritma tidak boleh bersifat preskriptif dan pengguna harus memiliki kemampuan untuk menyimpang dari hasil algoritma.Hal di atas mengindikasikan bahwa peran nurani seorang Hakim tetap diperlukan dalam menilai hasil analisis atau rekomendasi dari AI untuk memastikan bahwa teknologi hanya berfungsi sebagai alat bantu dan bukan sebagai pengganti keputusan akhir yang tetap berada di tangan manusia. Sejalan dengan pendapat Dory Reiling (dikutip dari artikel Sobandi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Paradigma Disrupsi Dalam Dunia Peradilan Indonesia: 2023) “Artificial Intelligence (AI) mampu membantu individu, pihak yang berperkara, dan hakim dalam mengatur informasi namun AI tidak dapat menggantikan peran hakim karena hakikatnya AI hanya dapat membantu dalam memberikan nasehat dan saran saja.” Dengan demikian teknologi AI idealnya diposisikan sebagai "alat bantu” atau “pendamping" yang membantu Hakim dalam memahami dan mengolah data secara lebih efisien, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasari hukum.Selain itu, perlu adanya pengawasan terhadap hasil analisis yang dikerjakan oleh teknologi AI untuk mencegah ketergantungan penuh pada teknologi yang berpotensi mengandung bias atau keterbatasan tertentu yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, pemanfaatan AI dalam proses hukum dapat tetap menghormati tanggung jawab moral dan nurani yang melekat pada peran seorang Hakim.Keseimbangan pemanfaatan teknologi AI dan nurani manusia diharapkan akan memudahkan kinerja Hakim khususnya dalam membuat pertimbangan hukum sebuah putusan pada setiap perkara. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa pemanfaatan teknologi tidak boleh mengesampingkan nurani. Mengutip ungkapan populis dari Satjipto Rahardjo (Membedah Hukum Progresif: 2008), "Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani hukum". Oleh karena itu, jika penulis boleh berpendapat dengan mengutip ungkapan Prof. Tjip di atas, “Teknologi juga adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Teknologi bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani teknologi”. Jika hal tersebut—manusia (Hakim) melayani teknologi—sampai terjadi, maka yang akan timbul justru dehumanisasi keadilan. Integrasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia perlu diimbangi dengan tetap menjaga peran nurani manusia, khususnya bagi seorang Hakim dalam membuat keputusan yang adil dan bijaksana. Hakim bukan hanya sekadar corong undang-undang, tetapi juga penjaga nilai-nilai keadilan yang berperan penting dalam melindungi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat luas. Keputusan akhir harus tetap berada di tangan Hakim, sementara teknologi digunakan sebagai alat bantu untuk memberikan informasi atau analisis pendukung, bukan sebagai pengganti pertimbangan nurani seorang manusia. Dengan cara ini, penulis berpendapat keadilan digital dan substansial dapat tercapai dengan tidak hanya mengedepankan efisiensi kinerja tetapi juga tetap mengedepankan aspek kemanusiaan yang esensial dalam hukum. (LDR,SEG)

Analogi Dalam Putusan Pidana, Apakah Terobosan Atau Kemunduran Hukum ?

article | Opini | 2025-03-09 16:00:39

Putusan hakim merupakan mahkotanya hakim. Putusan hakim adalah produk kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh hakim sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa atau perkara di tingkat pengadilan. Hakim wajib menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit). Selain itu, dalam membuat putusan, hakim juga dituntut memiliki kemampuan intelektual, moral, dan integritas yang tinggi.Masyarakat pencari keadilan (Yustitiabelen) berharap bahwa pengadilan menjadi pihak yang netral dan mampu bersikap independen, sehingga menghasilkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan profesional. Putusan hakim harus disertai dengan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam bahasa hukum, pertimbangan yang memuat alasan-alasan faktual dan dasar hukum dari putusan itu disebut motivering.Putusan pengadilan juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Selain itu,pertimbangan hendaknya memuat aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selanjutnya penulis menyampaikan opininya tentang bagaimana pertimbangan putusan hakim yang ideal dalam berbagai perspektif perkara yang beragam. Contoh saja Hakim legendaris Bismar Siregar pernah menggunakan penafsiran analogi dalam putusannya. Pada saat itu terdakwa MR Sidabutar terbukti melakukan tindak pidana pencurian. Amar putusan Bismar juga menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Yang membuat putusan Bismar mencuat adalah analogi alat kelamin perempuan sebagai barang, atau bonda dalam bahasa Tapanuli.Sidharta berpendapat agar suatu putusan dikatakan baik harus diterima di empat komunitas, yaitu komunitas peradilan, komunitas ahli hukum, komunitas masyarakat umum, dan komunitas para pihak. Faktanya, tak semua komunitas itu menerima putusan Bismar. MA bahkan kemudian membatalkannya.Dalam ilmu penafsiran hukum, mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-undangan dikenal dengan konstruksi hukum dan interpretasi (penafsiran). Konstruksi (rekayasa) Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi (rekayasa hukum) terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu analogi (abstraksi), determinasi (penghalusan hukum) dan argumentasi a contrario.Akan tetapi dalam melakukan konstruksi hukum dan interpretasi hukum tersebut  perlu diperhatikan kepastian hukum yang berdasarkan kepada hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak menjadi perluasan makna dalam konteks undang-undang sehingga bisa menjadikan putusan hakim berlandaskan pada pemikiran subyektif  saja.Menariknya bagaimana putusan Pengadilan itu untuk dikaji, apakah yang dilakukan hakim itu termasuk penafsiran atau perluasan, karena dalam penafsiran dan penemuan hukum tetap ada batasan-batasannya.Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah Majelis Hakim sebagai poros utamanya. Majelis Hakim memegang peranan sentral dalam membuat putusan atas memutus sengketa yang sedang ditanganinya. Implementasi hukum dalam putusan Majelis Hakim mengacu pada kerangka pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori hukum (legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing  Majelis Hakim menyusun putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Dalam mengambil putusan, masing-masing Hakim mempunyai hak yang sama dalam melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar. Pertama, tahap konstatir. Mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut. Mengkonstatir berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, membenarkan, telah terjadinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan, yang didasarkan alat bukti pembuktian.Proses pembuktian dimulai meletakkan beban bukti yang tepat, kepada siapa beban bukti ditimpakan. Menilai alat bukti yang diajukan, apakah alat bukti tersebut memenuhi syarat formil, syarat materil, memenuhi batas minimal bukti serta mempunyai nilai kekuatan pembuktian.Menentukan terbukti atau tidak/dalil peristiwa yang diajukan. Bagi Hakim yang penting fakta peristiwa, bukan hukumnya. Pembuktian adalah ruh bagi putusan Hakim.Kedua, tahap kualifisir. Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Peristiwa yang telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir ituKetiga, tahap konstituir. Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui seorang Hakim untuk membuat putusan di atas (konstatir, kualifisir dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai pertimbangan hukum suatu putusan, maka dapat disimpulkan apabila Hakim tidak melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tahap konstatir,  karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir, karena tidak menyimpulkan mana fakta hukum yang terbukti dan apa saja dasar hukum yang berkaitan dengan pokok perkara. Ketidak berhasilan pada dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan ketidak berhasilan dalam dalam menjatuhkan putusan yang merupakan tahap konstituir ini.Bahwa Sudikno memberikan tiga acuan untuk menyelesaikan perkara yang ditangani hakim hal ini sebagai rujukan mereka dalam mengadili dan memutus perkara, diantaranya adalah yurisprudensi, landmark Decision, dan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.KesimpulanMayoritas para ahli ilmu hukum menentang analogi, hanya beberapa gelintir saja yang berani terang-terangan menerimanya,Penulis tidak sepakat dengan larangan menggunakan analogi, tetapi membenarkan analogi dengan catatan hakimnya harus kompeten dan berintegritas seperti Bismar Siregar yang tujuan untuk menemukan hukum (recht vinding). Jika hakimnya memang tidak mampu untuk beranalogi, maka ia masih bisa menggunakan interpretasi untuk menemukan hukumnya tanpa memperluas tafsirannya.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (FAC)Literatur:C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I Pengantar Ilmu Hukum (Semester Ganjil), Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Mochtar Kusumaatmadja dan Arip B. Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. *Eliyas Eko Setyo (Hakim PN Sampang)

Vigilantisme dalam Kejahatan Jalanan Klitih

article | Opini | 2025-03-09 12:15:03

Kejahatan jalanan klitih bagi sebagian orang adalah hal yang sangat familiar. Namun, tidak sedikit pula orang yang tidak mengetahui apa itu kejahatan jalanan klitih. Kejahatan jalanan klitih merupakan kejahatan jalanan yang marak terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan sudah mulai berkembang ke daerah lain. Terdapat empat ciri khas kejahatan jalanan klitih yaitu adanya penganiayaan fisik, dilakukan secara berkelompok, tanpa motif yang jelas, dan korban bersifat acak (Sarmini, Kurniyatuti, & Sukartiningsih, 2018; Sarwono, 2019; Winarno, 2020; Zainuri, Yanto, & Hartanti, 2020; Dwitama, Liestyasari, & Pranawa, 2021; Harahap & Sulhin, 2022). Sesuai dengan namanya sebagai kejahatan jalanan, klitih merupakan kejahatan yang dilakukan di jalan. Klitih sendiri mengalami pergeseran makna dari yang semula berarti berjalan-jalan di sore hari menjadi tindakan yang memuat unsur pidana dengan adanya kejahatan. Hal ini yang mendasari himbauan untuk tidak lagi menyebut klitih pada kejahatan yang terjadi di jalanan oleh sekelompok orang tersebut. Kini klitih disebut dengan kejahatan jalanan. Sesuai dengan tindak pidananya, kejahatan jalanan klitih dapat termasuk ke penganiayaan, pengeroyokan, maupun tindak pidana senjata api atau benda tajam. Hal yang membedakan kejahatan jalanan klitih dengan kejahatan lainnya adalah kejahatan tersebut dilakukan di jalan. Dalam tulisan ini, klitih disebut dengan kejahatan jalanan klitih untuk mengerucutkan klitih sebagai sebuah tindak kejahatan.Pada tahun 2023 terdapat 84 laporan kasus kejahatan jalanan klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Yogyakarta. Dari 84 kasus tersebut terdapat 71 pelaku dewasa dan 76 pelaku anak. Kejahatan jalanan klitih kerap disangkutkan dengan geng sekolah. Akan tetapi, kejahatan jalanan klitih berbeda dengan tawuran antar geng sekolah. Korban dari kejahatan jalanan klitih tidak ditentukan targetnya. Kondisi ini menyebabkan siapa saja dapat menjadi korban kejahatan jalanan klitih. Anak-anak, dewasa, laki-laki, atau perempuan semuanya memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi korban kejahatan jalanan klitih. Bahkan kejahatan jalanan klitih yang semula sering terjadi di malam hari pun kini dapat terjadi di siang hari. Berita kejahatan jalanan klitih cukup sering dimuat dalam akun media sosial seperti di Instagram @merapi_uncover atau grup komunitas Facebook seperti Info Cegatan Jogja. Info kejahatan jalanan klitih disampaikan oleh anggota dari komunitas media sosial. Dari info di media sosial tersebut dapat diketahui bahwa penganiayaan fisik yang dilakukan oleh pelaku kejahatan jalanan klitih dilakukan dengan melukai korbannya menggunakan senjata tajam seperti pedang, celurit, pisau, pecahan botol, bahkan gir sepeda motor. Dengan persiapan senjata tajam seperti itu, dapat dikatakan bahwa pelaku kejahatan jalanan klitih memang telah memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Tidak hanya menyebabkan korbannya terluka, terdapat pula korban kejahatan jalanan klitih yang meninggal dunia. Kejahatan jalanan klitih sudah ada sejak lama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan semakin meresahkan.Setiap unggahan yang memuat berita tertangkapnya pelaku kejahatan jalanan klitih oleh warga, sering terdapat komentar dengan emosi marah dan menginginkan pelaku kejahatan jalanan klitih tersebut untuk dihajar saja. Vigilantisme atau tindakan main hakim sendiri muncul ketika terdapat keyakinan bahwa hanya dengan bersikap main hakim sendiri maka masyarakat akan terlindungi (Spencer, 2020). Masyarakat meyakini dengan memperlakukan pelaku kejahatan jalanan klitih sama seperti apa yang pelaku lakukan terhadap korbannya akan menimbulkan trauma sehingga pelaku akan jera. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan jalanan klitih tidak mengulangi perbuatannya setelah “dihajar” oleh masyarakat. Akan tetapi, keinginan untuk main hakim sendiri tentu saja tidak sesuai dengan hukum di Indonesia. Lantas mengapa masyarakat ingin melakukan tindakan main hakim sendiri untuk mengatasi pelaku kejahatan jalanan klitih?Keinginan masyarakat untuk melakukan tindakan vigilantisme pada pelaku kejahatan jalanan klitih menjadi pertanda bahwa terdapat keraguan masyarakat pada Aparat Penegak Hukum dalam menangani pelaku kejahatan jalanan klitih. Kondisi ini ditunjukkan dengan komentar-komentar masyarakat di media sosial terkait kejahatan jalanan klitih. Terdapat pula komentar masyarakat yang menginginkan pelaku kejahatan jalanan klitih untuk dihukum hingga jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Keinginan masyarakat atas hukuman yang membuat jera pelaku kejahatan jalanan klitih tersebut dianggap belum dipenuhi oleh Aparat Penegak Hukum sehingga mereka meyakini cara membuat pelaku kejahatan jalanan klitih agar jera adalah dengan balas memberikan kekerasan fisik. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan serius, tentu dapat mendorong terjadinya chaos di masyarakat.Tidak peduli apakah vigilantisme bermanfaat dalam membuat pelaku kejahatan jalanan klitih jera atau tidak, sebagai negara hukum, vigilantisme tentu tidak dibenarkan. Tanggung jawab penyelesaian kasus kejahatan jalanan klitih tentu saja tidak hanya dibebankan pada Aparat Penegak Hukum. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga bertanggung jawab dalam menghentikan kasus kejahatan jalanan klitih. Dibutuhkan kolaborasi lembaga eksekutif sebagai pelaksana upaya preventif dan lembaga yudikatif sebagai pihak yang mengadili pelaku kejahatan jalanan klitih. (FAC)*Alfi Pangestuti (Operator – Penata Layanan Operasional Pengadilan Negeri Purwokerto)Referensi:Dwitama, M. R., Liestyasari, S. I., & Pranawa, S. (2021). Pola Interaksi Geng "Klitih" di Yogyakarta. Jurnal Studi Masyarakat dan Pendidikan Volume 5, Nomor 1, 1-10.Harahap, C. B., & Sulhin, I. (2022). Pengendalian Kejahatan pada Sub-Kebudayaan Geng Klitih (Dalam Paradigma Kriminologi Budaya). Deviance Jurnal Kriminologi, 86-102.Sarmini, Kurniyatuti, N., & Sukartiningsih, S. (2018). Klithih: Invisible Crime by Teenagers. Advances in Social Science, Education and Humanities Research Vol. 226, 1578-1582.Sarwono, R. B. (2019). Menelisik Dorongan Agresi Para Pelajar Pelaku "Klithih" di Yogyakarta. Solution, Journal of Conseling and Personal Development Vol. 1 No. 1, 58-70.Spencer, L. (2020). The Role of Identify in Vigilantism & State Involvement: Explored in Khayelitsha, South Africa. Australian Review of African Studies, 123-146.Winarno, E. (2020). Klithih: Manifestasi Penyimpangan Agresivitas Remaja. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial Vo. 44 No. 1, 21-38.Zainuri, Yanto, & Hartanti. (2020). Tinjauan Kriminologis terhadap Kejahatan Penganiayaan yang Dilakukan oleh Anak (Klithih) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kajian Hasil Penelitian Hukum 3 (2), 351-365.

Tinjauan Etis Pergaulan Seorang Hakim dan Jaminan Keamanan Bagi Dirinya

article | Opini | 2025-03-09 09:30:05

Profesi hakim di Indonesia kini tengah menghadapi tantangan kompleks yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Di satu sisi, seorang hakim dituntut untuk menjaga integritas dan independensi melalui pembatasan pergaulan yang diatur dalam Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun di sisi lain, mereka tetap manusia yang memiliki kebutuhan bersosialisasi dan hak atas rasa aman dalam menjalankan tugasnya. Pertanyaannya, bagaimana menyeimbangkan kedua aspek ini tanpa mengorbankan salah satunya?Realitas menunjukkan bahwa hakim di Indonesia kerap menghadapi dilema dalam konteks pergaulan sosial. Sebagai pejabat publik yang memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan keadilan, setiap gerak-gerik para hakim pasti senantiasa akan menjadi sorotan publik. KEPPH yang menjadi pedoman etis bagi hakim memang telah mengatur secara rigid batasan-batasan dalam pergaulan, mulai dari pertemanan hingga hubungan profesional. Namun implementasinya tidaklah sesederhana yang tertulis di atas kertas.Perkembangan teknologi informasi juga tampaknya membuat rumit situasi ini. Media sosial dan kemudahan komunikasi modern membuat batas-batas pergaulan pertemanan menjadi kabur. Seorang hakim bisa saja tanpa sengaja terlibat dalam percakapan atau interaksi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Belum lagi tantangan dalam memisahkan antara kehidupan profesional dan personal, yang kini semakin tipis batasnya.Paradigma "silent corps" yang masih mengakar dalam kultur peradilan Indonesia tersebut dipandang sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika sosial kontemporer. Konsep yang menghendaki hakim untuk ‘diam’ dan meminimalisasi interaksi sosial ini pada praktiknya justru kontraproduktif dengan kebutuhan adaptasi terhadap kompleksitas permasalahan hukum modern. Ketika masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari lembaga peradilan, sikap "membisu" justru dapat menimbulkan kesenjangan pemahaman dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik.Lebih lanjut, doktrin silent corps yang cenderung mengisolasi hakim dari realitas sosial sesungguhnya bertentangan dengan kebutuhan hakim untuk memahami dinamika masyarakat secara komprehensif. Bagaimana mungkin seorang hakim dapat menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat jika ia terisolasi dari realitas sosial itu sendiri? Paradigma ini juga paradoks dengan kebutuhan hakim untuk membangun sistem deteksi dini terhadap ancaman keamanan yang justru mengharuskan dirinya untuk membangun jejaring sosial yang sehat.Di era keterbukaan informasi dan media sosial, konsep silent corps perlu ditafsirkan ulang secara lebih kontekstual. Yang dibutuhkan bukanlah keheningan total, melainkan kearifan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di kehidupan sosial. Hakim modern dituntut untuk mampu mengelola pergaulan sosial secara proporsional, bukan menghindarinya sama sekali. Mereka perlu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara keterbukaan yang konstruktif dan pergaulan yang berpotensi mengganggu independensi.Berbicara tentang keamanan, fenomena ancaman terhadap hakim bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa kasus intimidasi, ancaman fisik, hingga teror terhadap hakim dan keluarganya telah menciptakan kekhawatiran yang valid. Kondisi ini tentu berpengaruh signifikan terhadap independensi dan objektivitas hakim dalam pengambilan putusan. Seorang hakim yang merasa terancam, secara sadar atau tidak, pasti akan terpengaruh dalam mengambil keputusan.Menariknya, pergaulan dan keamanan hakim sesungguhnya memiliki hubungan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, pembatasan pergaulan yang terlalu ketat dan kaku bisa mengisolasi hakim dari manajemen risiko pekerjaannya melalui sistem peringatan dini yang berbasis pada komunitas masyarakat. Padahal, jaringan sosial yang sehat justru dapat menjadi salah satu instrumen untuk memitigasi ancaman-ancaman potensial terhadap pribadi maupun jabatannya. Di sisi lain, pergaulan yang terlalu longgar dapat membuka celah kebocoran informasi sensitif dan manipulasi yang mengancam keamanan hakim itu sendiri.Lantas, bagaimana solusi yang dapat ditawarkan? Pertama, penulis merasa perlu ada reformulasi sebuah kebijakan yang mengakomodasi keseimbangan antara pembatasan pergaulan dan jaminan keamanan. Kode etik hakim perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan konteks kekinian, terutama terkait pergaulan di era digital. Sistem perlindungan keamanan bagi hakim juga perlu segera direalisasikan dengan mengadopsi teknologi dan protokol keamanan terkini.Kedua, penulis menilai perlu adanya penguatan kapasitas bagi para hakim itu sendiri melalui pelatihan manajemen risiko dan protokol keamanan bagi hakim secara berkala. Para hakim perlu dibekali kemampuan untuk mengenali potensi ancaman sejak dini, sekaligus memahami cara mengelola pergaulan yang aman, sehat tanpa mengorbankan fungsi etis jabatan maupun sosialnya.Ketiga, penulis berpendapat perlu adanya pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai stakeholder. Keamanan hakim bukanlah tanggung jawab institusi peradilan semata, melainkan membutuhkan dukungan dari aparat keamanan, pemerintah, hingga masyarakat sipil dalam hal ini adalah Forkopimda. Sistem pengamanan partisipatif yang melibatkan Forkopimda dapat digalakkan demi memberikan perlindungan keamanan bagi hakim, namun dengan tetap menjaga independensi peradilan.Akhirnya, harus dipahami bahwa pergaulan hakim dalam tinjauan etis demi jaminan keamanan pribadi maupun jabatannya bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya, seperti dua sisi mata uang, yang justru harus dilihat sebagai elemen yang saling melengkapi dalam menciptakan sistem peradilan yang sehat. Pembatasan pergaulan seharusnya tidak mengorbankan aspek keamanan, dan sebaliknya, jaminan keamanan tidak boleh membatasi secara berlebihan hak hakim untuk bersosialisasi secara wajar.Tantangan ke depan adalah menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kedua aspek tersebut. Diperlukan komitmen bersama terutama para pimpinan Mahkamah Agung RI untuk menciptakan ekosistem yang mendukung hakim dalam menjalankan tugasnya secara independen, namun tetap terlindungi keamanan dan keselamatannya. Hanya dengan demikian, menurut penulis, marwah dan wibawa peradilan dapat terjaga, dan keadilan dapat ditegakkan tanpa adanya rasa takut terhadap apa pun. (FAC)*John Malvino Seda Noa Wea (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Putussibau)

Nebis In Idem Dalam Perkara Pidana Perbuatan Berlanjut (Vorgezette Handling)Yang Diajukan Penuntutan Secara Terpisah

article | Opini | 2025-03-05 13:00:58

Ne Bis In Idem merupakan asas hukum, yang mana orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap, dan mengenai prinsip ini telah diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP. Adapun dasar pikiran atau ratio dari asas ini adalah: a. untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan negara); b. untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan (Barda Nawawi Arief: 2012:97).Penerapan Ne Bis In Idem dalam praktik peradilan mengacu pada beberapa syarat. Pertama, harus ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, baik berupa putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), maupun putusan pemidanaan (veroordeling) yang telah melalui tahapan pemeriksaan pokok perkara. Kedua, orang yang diadili dalam perkara sebelumnya haruslah pihak yang sama dengan perkara yang diajukan kembali. Ketiga, perbuatan yang dituntut harus identik dengan perbuatan yang telah diputus sebelumnya.Perlu diketahui, Ne Bis In Idem dalam perkara pidana juga dapat terjadi dalam hal apabila perkara yang termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) namun penuntutan diajukan secara terpisah, sedangkan dari salah satu perkara tersebut telah ada yang diputus oleh Hakim dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) itu sendiri merupakan salah satu bentuk perbarengan tindak pidana (concursus). Dalam konteks perbuatan berlanjut, penerapan asas Ne Bis In Idem menjadi semakin kompleks. Pasal 64 ayat (1) KUHP mengatur bahwa jika seseorang melakukan beberapa perbuatan yang memiliki keterkaitan erat sehingga harus dianggap sebagai satu kesatuan, maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut. Perbuatan berlanjut berbeda dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP. Adapun dalam perbuatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ancaman pidana terberat dari perbuatan yang dilakukan. Sementara itu, dalam concursus realis sistem pemidanaannya adalah absorbsi yang dipertajam, di mana ancaman hukuman tertinggi masih dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana yang berlaku.Perbedaan antara perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan kerap menimbulkan perbedaan penafsiran dalam praktik peradilan. Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketika perkara yang seharusnya dituntut sebagai satu kesatuan dalam perbuatan berlanjut justru diajukan secara terpisah. Hal ini dapat mengakibatkan terdakwa menghadapi tuntutan ganda untuk perbuatan yang secara substansi merupakan satu rangkaian tindak pidana, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan serta bertentangan dengan asas Ne Bis In Idem. Sekilas antara perbuatan berlanjut (vorgezette handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP memang terdapat kemiripan karakteristik yaitu berkaitan dengan ciri “perbarengan beberapa perbuatan”. Namun, perlu menjadi catatan bahwa salah satu karakteristik dalam perbuatan berlanjut adalah perbuatan-perbuatan itu haruslah ada hubungan sedemikian rupa. Terkait dengan “hubungan sedemikian rupa”, MvT telah memberikan tiga kriteria, yaitu: 1. Harus ada suatu keputusan kehendak, 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis, dan 3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.Menilik dari praktik putusan pengadilan, terdapat beberapa putusan pidana baik itu putusan pada tingkat judex fakti dan putusan pada tingkat judex juris berkaitan dengan Ne Bis In Idem dalam perbuatan berlanjut (vorgezette handling) yang diajukan penuntutan secara terpisah, di antaranya:1. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 6/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 15 Januari 2012 dan 16 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor Nomor 5/Pid.B/2012/PN Pky, namun kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 15 Januari 2012. Dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mempertimbangkan bahwa perkara tersebut termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dalam putusannya kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/hapus karena Ne Bis In Idem;2. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 9/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 25 Januari 2012 dan 30 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 25 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 8/Pid.B/2012/PN Pky. Kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 30 Januari 2012.  Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/ hapus karena Ne Bis In Idem;3. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 2/Pid.B/2019/PN Spn;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian dari kurun waktu 20 Maret 2018 sampai dengan 27 Maret 2018, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 27 Maret 2018 tersebut terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 58/Pid.B/2018/PN Spn. Kemudian penuntutan terhadap terdakwa kembali diajukan berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang juga dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 20 Maret 2018. Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem;4. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 7/Pid.Sus/2024/PN Pts;Putusan ini merupakan putusan perkara pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mana terdakwa pada kurun waktu bulan Juni 2023 sampai dengan bulan Agustus tahun 2023, telah melakukan tindak pidana melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia secara perseorangan tanpa izin dari pihak berwenang, atas perbuatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 tersebut terdakwa telah diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kemudian Penuntut Umum kembali mengajukan terdakwa dalam persidangan sehubungan dengan perkara yang serupa terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan pada bulan Juni 2023. Atas hal tersebut kemudian dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mengkualifikasikan bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah merupakan rangkaian perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diadili dan diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts. Sehingga dalam putusannya, kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem. Terhadap putusan tersebut telah dilakukan upaya hukum banding dan pada tingkat banding putusan tingkat pertama telah dikuatkan sebagaimana putusan nomor 142/Pid.Sus/2024/PT Ptk, kemudian pada tingkat kasasi/judex juris melalui putusan Nomor 6975 K/Pid.Sus/2024 Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan pertimbangan yang pada pokoknya putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;Dengan melihat berbagai putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka penuntutan seharusnya dilakukan secara bersamaan dalam satu perkara. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan penerapan hukuman yang berlebihan serta memberikan perlindungan hukum bagi terdakwa dari risiko tuntutan ganda. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep perbuatan berlanjut dan perbedaannya dengan concursus realis menjadi kunci dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penuntutan, aparat penegak hukum perlu menelaah secara cermat hubungan antara setiap perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan, hak-hak terdakwa tetap terlindungi, dan prinsip Ne Bis In Idem dapat diterapkan secara konsisten sesuai dengan asas kepastian hukum.

Menelisik Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian

article | Opini | 2025-03-03 13:20:29

Perceraian tidak hanya mengakhiri hubungan perkawinan antara suami dan istri, tetapi juga membawa implikasi hukum yang signifikan, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah kewajiban nafkah anak yang harus tetap dipenuhi oleh ayah pasca-perceraian. Sayangnya, dalam praktiknya banyak mantan suami yang mengabaikan kewajiban ini, sehingga ibu atau wali anak terpaksa mengajukan gugatan nafkah anak di Pengadilan Negeri untuk memastikan hak anak tetap terpenuhi.Konstitusi dan berbagai peraturan nasional telah menegaskan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pendidikan, dan kesejahteraan anak meskipun telah bercerai. Bahkan, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan, tempat tinggal, serta pendidikan yang memadai meskipun orangtuanya bercerai.Kewajiban orang tua untuk (ayah) tetap memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian juga ditegaskan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa ayah tetap berkewajiban menanggung pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai dengan kemampuannya. Sementara itu, Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memperkuat bahwa orang tua, meskipun telah bercerai, tetap wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, ibu atau wali anak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri agar hak anak tetap terlindungi.Dalam konteks hukum acara, gugatan nafkah anak dapat diajukan baik bersamaan dengan gugatan perceraian maupun sebagai gugatan terpisah jika perceraian telah diputus tetapi ayah tidak menjalankan kewajibannya. Meskipun tidak ada aturan tegas mengenai waktu pengajuan gugatan nafkah anak, yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1020/K/Pdt/1986 tanggal 29 September 1987 menyatakan bahwa tuntutan biaya nafkah harus diajukan secara tersendiri, dan tidak dapat digabung dengan gugatan perceraian.Proses pengajuan gugatan nafkah anak dimulai dengan mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan menyertakan dokumen pendukung seperti salinan putusan cerai, akta kelahiran anak, dan bukti pengeluaran biaya hidup anak maupun bukti penghasilan ayah. Setelah itu, pengadilan akan melakukan pemanggilan para pihak, yang kemudian dilanjutkan dengan proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti dan saksi untuk menentukan besaran nafkah yang harus dibayar oleh ayah sesuai dengan kemampuannya. Jika ayah tidak mematuhi putusan secara sukarela, pengadilan dapat melakukan eksekusi berdasarkan permohonan ibu atau wali anak dengan menyita aset atau memerintahkan pemotongan gaji.Bagi ayah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdapat mekanisme khusus untuk menjamin pembayaran nafkah anak pasca perceraian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyatakan bahwa seorang PNS pria yang bercerai wajib menyerahkan 1/3 dari gajinya kepada mantan istri dan anaknya. Demikian pula, aturan serupa berlaku bagi anggota Polri dan TNI melalui Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017. Dalam Permenpan Nomor 54 Tahun 2018 mewajibkan pranata keuangan (bendahara) melakukan pemotongan hak keuangan PNS yang bercerai supaya terpenuhinya kewajiban nafkah anak sesuai putusan Pengadilan.Bebrapa contoh putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan nafkah anak dengan pertiimbangan Majelis Hakim sebagai berikut:1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 219/Pdt.G/2013/PN Jkt-Sel, dalam amar Putusan, Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak-anak, biaya pendidikan, kesehatan secara terus menertus kepada anak-anaka sebesar lima juta rupiah secara tunai setiap bulannya melalui Penggugat setiap tanggal 01 terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap samapai anak tersebut dewasa dan telah menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya setingkat Universitas. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan besaran biaya nafkah anak dalam perkara dari tuntutan Penggugat sebesar sepuluh juta rupiah menjadi lima juta rupiah ini menyesuaikan dengan penghasilan Tergugat dengan mempertimbangkan kepantasan dan rasa keadilan berdasarkan bukti-bukti surat yang dihadirkan Tergugat seperti Fotocopi slip gaji, Fotokopi harta benda milik Tergugat maupun kewajiban pinjaman Bank yang ditanggung oleh Tergugat.2. Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 4/Pdt.G/2021/PN Pts, dalam amar Putusan, Majelis Hakim memerintahkan kepada Tergugat melalui bendahara kantor Tergugat bekerja untuk melakukan pembagian besaran gaji Tergugat pada setiap bulannya kepada Penggugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya dan anak-anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya. Adapun pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berlaku pemotongan 1/3 (sepertiga) bagian penghasilan PNS yang bercerai oleh bendahara untuk diberikan sebagai nafkah anak.Meskipun berbagai regulasi telah mengatur dengan jelas kewajiban nafkah anak, dalam praktik masih terdapat kendala seperti ketidakpatuhan mantan suami terhadap putusan pengadilan, kesulitan eksekusi bagi ayah yang bekerja di sektor informal dan penghasilan tetap yang tidak mudah untuk ditelusuri, serta kurangnya kesadaran hukum di masyarakat untuk memperjuankan hak nafkah anak melalui jalur hukum. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kebijakan, termasuk penerapan sanksi pidana bagi ayah yang lalai membayar nafkah, seperti yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengancam pidana bagi pelaku penelantaran anak. Sebagai langkah lanjutan, pemerintah perlu memperkuat mekanisme pemotongan gaji bagi PNS yang bercerai oleh bendahara, mengoptimalkan prosedur persidangan dengan memanfaatkan teknologi digital (E-Litigasi, Mediasi Online, pemeriksaan Saksi secara online dsb), serta meningkatkan edukasi hukum bagi masyarakat agar para ibu dan wali anak lebih memahami hak mereka dalam menuntut nafkah anak. Dapat juga dirumuskan bentuk sanksi pemblokiran layanan publik, kependudukan dan perbankan sebagaimana pendapat Prof. Amran Suadi. Dengan berbagai perbaikan ini, diharapkan hak-hak anak tetap terlindungi dan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian dapat lebih efektif ditegakkan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung prinsip keadilan.

Hakim di Era AI: Menuju Badan Peradilan Yang Agung dan Modern Indonesia

article | Opini | 2025-02-25 09:25:17

Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau dalam KBBI disebut sebagai Akal Imitasi, kini telah merambah sistem peradilan global. Sebagai seorang Hakim di lingkungan Badan Peradilan Umum Indonesia, kami mengamati bagaimana Estonia telah menerapkan inovasi berupa "AI Judge" untuk menangani perkara-perkara perdata kecil, sementara itu Tiongkok juga berhasil mengimplementasikan "Smart Court" dalam membantu proses pengambilan keputusan di pengadilannya. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu teknologi domestik, melainkan telah menjadi realitas yang mengubah paradigma cara kerja sistem peradilan modern secara global.Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam pidato Laporan Tahunan 2024 Ketua Mahkamah Agung RI, YM Bapak Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., mencatat lebih dari 30.000 perkara yang harus ditangani setiap tahunnya. Beban kerja yang tinggi ini belum termasuk jumlah perkara-perkara di tingkat pertama dan banding. Warga peradilan khususnya para Hakim di Indonesia harus melihat peluang dan potensi besar penggunaan AI untuk membantu mengatasi penumpukan perkara tersebut. Namun, perlu disadari bahwa penggunaan AI dalam pengambilan keputusan hukum membutuhkan pertimbangan yang matang karena menyangkut nasib para pencari keadilan.Program transformasi digital peradilan oleh Mahkamah Agung RI melalui e-Court dan e-Litigation, telah membuka peluang integrasi AI di masa depan. Para Hakim harus siap menghadapi tantangan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi AI dalam meningkatkan efisiensi kinerja, tanpa harus mengalienasi aspek kemanusiaan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan terdapat wajah-wajah para pencari keadilan (justicia bellen) yang datang dengan harapan. Mereka bukan sekadar nomor perkara atau data yang bisa diproses algoritma—mereka adalah manusia dengan berbagai kisah dan konteks yang unik. Di sinilah muncul pertanyaan mendasar tentang sejauh mana teknologi AI dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum, serta batasan-batasan yang diperlukan untuk memastikan keadilan substantif tetap tegak dan berpihak pada kemanusiaan.Sistem peradilan Indonesia memang telah mengalami perubahan signifikan semenjak implementasi e-Court dan e-Litigation. Sebagai Hakim yang mengalami langsung transformasi digital ini, kami melihat bagaimana teknologi telah membantu mempercepat proses administrasi perkara yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari menjadi lebih sangkil dan mangkus (efektif dan efisien). Perlu disadari bersama bahwa efektivitas dan efisiensi dalam administrasi peradilan sangat krusial dalam memberikan akses keadilan yang lebih baik.Teknologi AI diharapkan dapat membuka peluang baru dalam pengelolaan dan analisis yurisprudensi secara lebih efektif. Di Indonesia sendiri, Direktori Putusan Mahkamah Agung telah menerapkan sistem pencarian yang memungkinkan pencarian putusan berdasarkan kata kunci tertentu, meskipun menurut penulis masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk mengintegrasikan kemampuan AI dalam menganalisis putusan. Teknologi AI berpotensi membantu mengidentifikasi pola-pola pertimbangan hukum, meningkatkan kemudahan akses terhadap informasi putusan, dan untuk mendorong konsistensi putusan dalam kasus-kasus yang memiliki corak serupa sebagaimana amanat yang dituangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan  2010-2035 Mahkamah Agung RI.Namun, di tengah berbagai potensi tersebut, aspek yang perlu digaris bawahi adalah batasan-batasan hukum dan etis dalam penggunaan AI pada sistem peradilan di Indonesia. Keseimbangan antara pemanfaatan teknologi untuk efisiensi dan penegakan keadilan substantif menjadi pertaruhan penting dalam upaya modernisasi peradilan. Realitas ini membawa kita pada serangkaian risiko dan tantangan yang harus dihadapi dalam mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan Indonesia.Pengalaman sebagai Hakim dalam mengadopsi berbagai teknologi baru di pengadilan telah memberikan pembelajaran berharga tentang risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Setidaknya, teknologi AI, menurut penulis, membawa tiga aspek krusial yang memerlukan perhatian khusus. Pertama aspek teknis, kedua aspek hukum, dan ketiga aspek etis. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat dalam praktik peradilan sehari-hari.Bias dalam algoritma menjadi persoalan teknis yang mungkin akan kami hadapi di lapangan. Database berupa dokumen putusan pengadilan yang menjadi basis pembelajaran bagi kami dalam menggunakan AI sering kali mencerminkan kondisi sosial tertentu yang tidak sama. Putusan-putusan perceraian di wilayah perkotaan, misalnya, memiliki konteks yang sangat berbeda dengan dinamika hukum keluarga di masyarakat adat daerah. Ketergantungan pada teknologi juga menciptakan kerentanan baru dalam sistem peradilan, terutama dalam hal keamanan data para pencari keadilan.Tidak hanya itu, sistem peradilan Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam aspek pertanggungjawaban hukum ketika AI mulai diintegrasikan dalam proses pengadilan. Sebagai Hakim, kami harus memastikan bahwa setiap putusan tetap mencerminkan independensi dan imparsialitas peradilan, terlepas dari bantuan teknologi yang digunakan. Sudah saatnya para Hakim mendiskusikan ini untuk menyoroti perlunya keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan prinsip-prinsip fundamental peradilan yang harus tetap terjaga.Di balik semua tantangan teknis dan hukum tersebut, aspek kemanusiaan dalam penegakan keadilan juga tidak boleh luntur oleh mekanisasi proses peradilan. Ragam macam perkara yang kami tangani, seperti sengketa hak asuh anak dalam perceraian maupun sengketa hak atas tanah, memiliki kandungan dimensi emosional dan dampak sosial yang tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa algoritma. Keadilan substantif sering kali terletak pada kepekaan nurani terhadap konteks sosio-kultural khas Indonesia. Sebab Hakim manusia sebagai pemegang palu putusan Hakim, tidak akan tergantikan AI selama memegang teguh etika, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, YM Bapak Prof. Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., dalam acara Talkshow Kampung Hukum Mahkamah Agung Tahun 2024 (Selasa, 18/2/2024) yang lalu.Dari sisi substantif, tidak semua jenis perkara dapat diserahkan pada bantuan AI. Perkara-perkara seperti Gugatan Sederhana mungkin dapat memanfaatkan AI untuk membantu proses administrasi dan analisis awal (dismissal process). Namun, perkara-perkara yang kompleks seperti Tindak Pidana Korupsi atau kejahatan terorganisir lainnya membutuhkan pertimbangan mendalam yang hanya dapat dilakukan oleh Hakim. AI hanya dapat dilibatkan dalam tahapan-tahapan tertentu seperti pengecekan kelengkapan berkas atau penjadwalan sidang.Berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, penulis berpendapat sudah saatnya sistem hukum di Indonesia memerlukan kerangka regulasi yang komprehensif untuk mengatur penggunaan AI. Upaya merumuskan batasan yang mencakup aspek substantif dan prosedural perlu diatur secara sistematis dan jelas sebagai langkah penting dalam memastikan teknologi tetap menjadi alat bantu yang efektif bagi penegakan hukum dan keadilan.Mahkamah Agung RI dapat berkolaborasi dengan Kementerian terkait, untuk menyusun kerangka regulasi yang jelas dan komprehensif guna mengatur penggunaan AI dalam sistem peradilan di Indonesia. Seperti contoh dalam implementasi e-Court dan e-Litigation, standardisasi mutu menjadi fondasi penting dalam mengadopsi teknologi baru. Standar pengembangan AI untuk peradilan harus mencakup tidak hanya aspek teknologi, tetapi juga prinsip-prinsip perlindungan hak para pencari keadilan terlebih pasca terbitnya UU Perlindungan Data Pribadi pada tahun 2022 silam.Protokol keamanan data dan mekanisme audit algoritma menjadi komponen yang tak kalah krusial dalam kerangka regulasi ini. Sebagai Hakim di pengadilan, kami memahami betapa sensitifnya data para pihak yang berperkara dan pentingnya menjaga integritas sistem peradilan. Standar keamanan yang ketat harus diterapkan untuk melindungi tidak hanya data pribadi, tetapi juga kredibilitas putusan Hakim.Pengembangan infrastruktur pendukung lainnya juga menjadi prasyarat keberhasilan implementasi AI. Para Hakim dan pegawai peradilan nantinya harus membutuhkan pelatihan khusus untuk memahami dan mengoperasikan sistem teknologi berbasis AI. Sistem monitoring dan evaluasi secara berkala dan responsif juga harus dibangun untuk menjaga akuntabilitas penggunaan teknologi di lingkungan peradilan. Semua hajat ini hanya bisa dilaksanakan bila seluruh stakeholder terkait saling berkolaborasi untuk mengisi demi terwujudnya badan peradilan yang agung dan modern.Implementasi AI dalam sistem peradilan Indonesia diharapkan membuka babak baru dalam upaya modernisasi pengadilan. Keberhasilan inisiatif ini akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam menyeimbangkan inovasi teknologi tanpa mengesampingkan nurani demi tegaknya keadilan yang sejati. Pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan peran Hakim dalam memberikan pertimbangan dan pengambilan keputusan.

Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?

article | Opini | 2025-02-23 14:40:45

Beberapa waktu lalu, peradilan di Indonesia digemparkan oleh insiden kericuhan dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan Razman Nasution sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kericuhan terjadi saat Razman meluapkan emosinya dan berusaha menghampiri Hotman Paris, yang saat itu memberikan kesaksian. Ketegangan semakin memuncak ketika salah satu anggota tim kuasa hukum Razman bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja persidangan, menginjaknya, dan melontarkan kata-kata kasar. Kejadian tersebut terekam kamera media dan kemudian viral di media sosial.Mahkamah Agung (MA) dalam konferensi pers menanggapi insiden tersebut dengan tegas. MA mengecam keras kericuhan yang terjadi dalam persidangan karena tindakan tersebut dinilai tidak pantas dan tidak tertib. Lebih lanjut, MA menyatakan bahwa peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court. MA menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi, siapa pun pelakunya harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik secara pidana maupun etik.Menindak lanjuti hal tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Kemudian selanjutnya pada 11 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten mengeluarkan penetapan untuk membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat atas nama Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo. Tindakan Pembekuan BAS Advokat tersebut tidak dilakukan secara gegabah oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada 8 Februari 2025, KAI merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat M. Firdaus Oiwobo. Dukungan juga datang dari organisasi advokat PERADIN pada 13 Februari 2025. PERADIN adalah organisasi advokat yang menaungi Razman Arif Nasution, menyatakan dalam suratnya bahwa penindakan tersebut bagian dari penindakan tata tertib dan pembebanan etika bagi advokat sudah tepat dan benar oleh karenanya dengan ini mengucapkan ribuan terimakasih. Keputusan pembekuan BAS Advokat tersebut kemudian menimbulkan diskursus mengenai keabsahan serta dampaknya terhadap profesi advokat secara keseluruhan. Hal ini menarik untuk dikaji secara mendalam dalam dinamika hukum di Indonesia.Kekuatan Hukum Sumpah AdvokatSumpah advokat merupakan salah satu tahapan wajib bagi seseorang yang ingin menjalankan profesi sebagai advokat di Indonesia. Pelaksanaan sumpah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan harus dilakukan di hadapan pengadilan tinggi.  Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal tersebut dalam perkembangannya kemudian diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat tertentu seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Maka implikasi hukumnya, sumpah advokat adalah syarat seorang Advokat dapat menjalankan profesinya yang dibuktikan dengan BAS.Mewujudkan Tujuan HukumGustav Radburch dalam Introduction to Jurisprudence seperti yang dikutip Satjipto Rahardjo bukunya Ilmu Hukum menyebutkan setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Apabila hukum yang ada di masyarakat telah memenuhi ketiga unsur tersebut maka dapat dikatakan tujuan hukum telah tercapai. Ketiganya bersinergi untuk menciptakan hukum yang ideal.Jika dikaji dari perspektif kepastian hukum, memang sampai saat ini belum ada aturan hukum yang tegas yang menyatakan adanya aturan terkait pembekuan BAS Advokat sehingga menimbulkan konsekuensi kepada Advokat untuk menjalankan profesinya. Namun, jika dikaji dalam kerangka hukum yang lebih luas, dalam hal ini Negara juga sudah mengatur mengenai hal tersebut. Sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berkesinambungan juga dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) Pasal 2 ayat (2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.Perbuatan membuat kegaduhan di ruang persidangan dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang tidak beradab dan juga MA yang bertanggungjawab dalam terselengaranya peradilan Negara mempunyai kewenangan terhadap menerapkan dan juga menegakkan hal tersebut. Ini memberikan konsekuensi logis bahwa MA mempunyai hak untuk menegakkan sanksi kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang tidak beradab dalam peradilan Negara khususnya dalam persidangan. Kemudian disebutkan pula pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal senada juga dijumpai dalam Pasal 218 jo. 232 ayat (2) dan (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa setiap orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.Peristiwa contempt of court tersebut adalah tindakan yang mengakibatkan hambatan dan rintangan dengan cara tidak menunjukan sikap hormat dan bahkan menganggu jalannya persidangan sehingga peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan tidak tercapai. Aturan hukum tersebut kemudian juga menjadi pertimbangan dan kewenangan MA dalam menerbitkan penetapan pembekuan BAS Advokat kedua oknum tersebut. Jika dikaji perspektif Hukum Admistrasi Negara terdapat asas contrarius actus,  yang dapat diartikan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), juga berwenang untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya keputusan tersebut. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Sehingga dari asas tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat. Dikutip dari artikel di dandapala.com penulis Dr Tri Cahya Indra Permana yang berjudul Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya.Jika dikaji dari perspektif kemanfaatan hukum, penerbitan penetapan pembekuan BAS Advokat tersebut juga mendapat dukungan masif dari profesi advokat sendiri. Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa organisasi advokat PERADIN yang merekomendasikan yang notabene juga adalah organisasi dimana salah satu oknum advokat tersebut bernaung. Beberapa waktu lalu puluhan advokat juga berbondong-bondong ke pengadilan memberikan dukungan simbolik untuk pembekuan BAS advokat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari fenomena para Advokat se Banyumas Raya yang memberikan dukungan kepada insan peradilan dengan melakukan aksi keprihatinan di halaman Pengadilan Negeri Purwokerto.Dikutip dari dandapala.com pada tanggal 13 Februari 2025, puluhan advokat dari berbagai organisasi di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar aksi dukungan moral di depan Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Mereka menyampaikan aspirasi agar Mahkamah Agung dan institusi terkait mengambil langkah tegas terhadap siapa pun yang melecehkan simbol-simbol keadilan negara. Advokat adalah profesi yang mulia dan harus menjaga integritas serta kewibawaan peradilan.Dalam dinamika sosial media juga terlihat banyak komentar positif juga terkait pembekuan BAS Advokat tersebut. Dalam hal ini kepentingan masyarakat adalah memiliki penegak hukum yang menjunjung tinggi adab dan moralitas. Penindakan tegas terhadap oknum advokat tersebut dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak dapat dimungkinkan oknum advokat yang tidak bermoral beraktivitas dunia peradilan.Jika dikaji dari perspektif keadilan dan moralitas, keadilan bukan hanya konsep yuridis, melainkan pada hakikatnya merupakan konsep etis dan moral. Sebagai konsep moral, keadilan bertujuan mengusahakan perbaikan bagi semua orang. Menurut Sidharta dalam bukunya Aliran Hukum Kodrat, moralitas merupakan keseluruhan norma, nilai, dan sikap yang dianut oleh seseorang atau masyarakat, sedangkan moral adalah dasar untuk menentukan benar atau salah atas tindakan manusia.Hal ini kemudian dapat dikorelasikan dalam penyumpahan di Pengadilan Tinggi, advokat melafalkan sumpah advokat yang antara lain berbunyi:"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta ahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;."Dari pengertian tentang keadilan dan moralitas yang dikaitkan dengan pelafalan sumpah advokat, terkandung makna bahwa advokat harus menegakkan moralitas serta menjaga tingkah laku dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan peristiwa penghinaan terhadap pengadilan/ contempt of court tersebut, tindakan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan mencederai sumpah yang telah dilafalkan oleh advokat itu sendiri. Hal ini menjadi dasar pijakan bagi Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan sanksi berupa pembekuan BAS Advokat sebagai bentuk perwujudan asas keadilan dan menjaga nilai moralitas dalam peradilan khususnya dalam persidangan.Dapat disimpulkan bahwa, jika dikaji dari ketiga asas hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat tersebut telah memenuhi ketiga unsur tersebut. Dalam hal ini, perlu dimaknai bahwa langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung sudah tepat dan terukur sehingga perlu diapresiasi bersama.Pembekuan BAS Bukanlah Ancaman Terhadap Independensi AdvokatAdvokat sebagai penegak hukum yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan harus independen dan bebas dari intervensi. Jika dikaji secara ontologis yang tertera dalam bagian konsideran pertimbangan UU Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi  Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Dengan adanya independensi, maka advokat dapat membela masyarakat (public defender) dan memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan tekanan dari pihak manapun juga. Kebebasan profesi advokat (independence of the legal profession) merupakan syarat mutlak terciptanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) dengan tetap bertanggungjawab terhadap etik profesi. Namun seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa independensi tersebut kemudian tentunya harus berdasarkan etika dan profesi yang berlaku. Dengan dibuktikan adanya surat dari organisasi advokat yang menyatakan bahwa kedua oknum advokat telah melanggar etik. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan kewenangan dari organisasi advokat pada Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.Dalam kerangka ini perlu dimaknai bahwa independensi tersebut tentunya dibatasi dengan etika profesi sehingga Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi atas hal tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab moral untuk menegakkan hal tersebut sesuai dengan sumpah advokat yang dilafalkan di Pengadilan Tinggi. Selain itu juga hal tersebut juga dimaknai bahwa penetapan pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tersebut bukanlah tindakan yang sewenang-wenang yang dapat mengancam independensi advokat. Sehingga tentunya para Advokat tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat. Justru jika disikapi secara arif dan bijaksana ini tentunya hal ini dapat memberikan perlindungan bagi para advokat yang senantiasa menegakan moral dan etika. Hal tersebut karena memberikan rasa aman kepada advokat yang sedang beracara karena akan memungkinkan untuk tidak bertemu atau berhadapan dengan advokat yang tidak bermoral dan tidak beradab sehingga kedepan akan meminimalisir dampak kerugian yang terjadi.Demi mewujudkan Cita Luhur Negara dan KeadilanTentunya hal ini dapat dimaknai secara positif bahwa bagian dari mewujudkan cita luhur dari Advokat yaitu profesi terhormat (officium Nobile). Dinamika terkait multibar organisasi advokat yang kemudian menciptakan celah hukum bagi para advokat yang sudah dihukum dan dikeluarkan oleh Organisasi Advokat namun karena masih banyak pilihan organisasi advokat yang lain. Hal tersebut kemudian Oknum advokat masih dapat menjalankan profesinya karena berpindah organisasi advokat yang lain. Celah hukum tersebut akhirnya mencederai peradaban hukum yang perlu dibangun bersama. Meskipun begitu, dalam pembekuan BAS Advokat juga tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (UPB), yaitu setidak-tidaknya menerapkan asas kecermatan, asas kehati-hatian dan asas kemanfaatan. Sehingga sudah selayaknya terhadap Advokat yang melanggar sumpah Advokat dan/atau melakukan contempt of court dilakukan Pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tentunya dapat menjadi solusi atas kebuntuan permasalahan tersebut. Dalam salah satu isi sumpahnya, advokat wajib menjaga tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai Advokat. Dengan demikian, dalam hal ditemukannya adanya pelanggaran sumpah dan jabatan Advokat dalam proses persidangan atau perbuatan advokat yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan atau perbuatan yang mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim, aparatur pengadilan dan masyarakat pencari keadilan atau perbuatan yang menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan atau perbuatan tercela lainnya yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan, maka sanksi Pembekuan BAS Advokat dapat diterapkan.Jika disimpulkan bahwa penetapan pembekuan BAS advokat selain telah memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai perwujudan tujuan hukum, perlu juga dimaknai bahwa pembekuan BAS bukanlah tindakan sewenang-wenang yang mengancam independensi advokat, melainkan bentuk perlindungan bagi advokat yang telah menjunjung etika profesi advokat. Sehingga tentunya para advokat di Indonesia tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat yang diucapkan di Pengadilan Tinggi.  Peristiwa ini menjadi momen penting bagi dunia peradilan bahwa penghinaan terhadap pengadilan bukan hanya merendahkan wibawa lembaga peradilan, tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh Bangsa dan Negara yang kita cintai.

Mencapai Tipping Point dan Mendorong Perubahan di Pengadilan

article | Opini | 2025-02-21 20:55:35

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu buku yang menarik untuk dibahas ketika berbicara mengenai perubahan sosial adalah buku Malcolm Gladwell yang berjudul Tipping Point. Di dalam buku tersebut Gladwell menjelaskan dengan ringkas dan sistematis bagaimana mendorong suatu perubahan di dalam suatu komunitas dengan waktu yang relatif cepat dan berdampak secara signifikan menuju ke arah yang lebih baik. Buku ini menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada 3 aspek yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai Tipping Point. Tipping Point di dalam buku Gladwell adalah suatu kondisi yang mana suatu perubahan terjadi dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi bukan suatu kebetulan namun dipengaruhi oleh 3 hal yang sangat menentukan.Pertama, Law of the Few. Dalam hal ini, Galdwell menjelaskan bahwa inisiasi perubahan lahir dari orang-orang yang sedikit. Hal ini sejalan dengan pandangan Arnold Toynbee tentang Creative Minorities yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa orang-orang yang sedikit atau minoritas di dalam suatu komunitas yang mempunyai kemampuan atau kapabilitas di atas rata-rata dapat mendorong terciptanya perubahan sosial dengan lebih cepat. Hal ini didasarkan pada tesis dari Gladwell sendiri bahwa 80 % suatu pekerjaan pada faktanya bisa diselesaikan oleh 20% orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Tesis ini didasarkan pada prinsip efisiensi Pareto.Menurut Gladwell, orang-orang di atas rata-rata ini harus membagi perannya menjadi 3 yaitu: (1) Penghubung (Connector); (2) Mavens; (3) Salesman/Persuaders. Penghubung (connector) pada umumnya merupakan orang-orang yang mempunyai banyak teman di berbagai circle pertemanan. Selain itu, pada umumnya seorang penghubung itu mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan supel dalam pergaulan sehingga mempunyai banyak teman. Selanjutnya, Mavens pada umumnya adalah orang-orang yang suka mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya ke khalayak umum. Bisa dikatakan orang dengan karakter mavens adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan suka dengan gagasan-gagasan baru yang inovatif. Selain itu, orang dengan karakter Mavens pada umumnya senang menyelesaikan suatu permasalahan. Sementara itu, Salesman/Persuaders adalah orang dengan karakter yang senang bernegosiasi untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain.Kemudian, faktor kedua untuk mendorong suatu perubahan adalah Stickiness Factor atau faktor pelekat. Di dalam buku ini Gladwell menjelaskan bahwa gagasan atau ide akan mempunyai faktor pelekat apabila ide tersebut mudah diingat, menyentuh secara psikologis atau emosional, dapat diterapkan, dan mempunyai hook. Gladwell mencontohkan di dalam bukunya bagaimana serial anak-anak di Amerika Serikat yaitu Sesame Street dan Blue’s Clues mempengaruhi anak-anak di Amerika Serikat pada masanya.Selanjutnya yang ketiga adalah Power of Context. Menurut Gladwell dalam mendorong perubahan lingkungan atau konteks yang mendukung sangat mempengaruhi bagaimana cepat atau lambatnya perubahan tersebut. Lingkungan eksternal sangat mempengaruhi bagaimana tingkah laku seseorang berubah. Apabila lingkungan eksternal mendorong terciptanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik, maka tingkah laku orang-orang yang berada di dalam lingkungan tersebut akan menyesuaikan ke arah yang lebih baik.Pengadilan yang bersih dan bermartabat            Sebagai seseorang yang bekerja di pengadilan, penulis melihat pengadilan bisa menjadi institusi yang bersih dan bermartabat apabila menerapkan 3 hal ini. Pertama, pimpinan pengadilan harus menjadi teladan baik di pusat ataupun di daerah dalam menjaga kualitas dan integritas. Keteladanan ini harus dimulai dari atas bukan dari bawah. Sebagai pimpinan institusi keteladanan yang baik secara tidak langsung akan menyebarkan pengaruh yang baik kepada para jajaran di bawahnya. Para pimpinan harus menjadi the few sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell yang mampu menginspirasi para jajaran di bawahnya. Oleh sebab itu, tidak mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menjaga integritas tanpa disertai dengan keteladanan dari para pimpinan untuk menjaga integritas. Selain itu, proses pemilihan pimpinan pengadilan harus mampu menempatkan orang-orang yang mampu menjaga integritasnya menjadi pimpinan pengadilan. Hal ini dikarenakan pimpinan pengadilan adalah motor apabila pengadilan tersebut ingin menjadi bersih.Kedua, menciptakan lingkungan yang anti-suap dan gratifikasi baik di pengadilan maupun di lingkungan Mahkamah Agung. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa context atau lingkungan sangat berpengaruh dalam mendorong suatu perubahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong terciptanya lingkungan yang anti suap dan gratifikasi adalah dengan memberikan hukuman yang tegas bagi aparatur pengadilan yang melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi. Upaya ini harus dilakukan tanpa pandang bulu tidak melihat latar belakang atau hubungan saudara.            Kemudian, yang ketiga adalah memberikan insentif bagi para aparatur pengadilan yang menjaga integritasnya dengan baik. Para aparatur pengadilan yang mampu menjaga integritasnya harus diapresiasi oleh institusi. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa dibutuhkan faktor pelekat untuk mendorong suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Apresiasi atau insentif dapat menjadi faktor pelekat kepada para aparatur pengadilan untuk terus menjaga integritasnya yang nantinya apabila jumlah aparatur pengadilan yang bersih menjadi banyak dan dominan sehingga dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan menjadikan pengadilan sebagai institusi yang bersih dan bermartabat.  

Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy

article | Opini | 2025-02-20 16:40:29

PendahuluanMahkamah Agung memiliki peran strategis dalam membentuk arah dan kebijakan sistem peradilan di Indonesia. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan inklusif. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan paradigma global yang menekankan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup menjadikan isu ini bagian integral dari fungsi dan tanggung jawab peradilan.Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim. Dalam banyak kasus, akar permasalahannya terletak pada lemahnya penegakan hukum lingkungan, minimnya kapasitas kelembagaan, dan ketidakadilan ekologis yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan. Hal ini mendorong perlunya sistem peradilan yang tidak hanya tegas terhadap pelanggaran hukum lingkungan tetapi juga proaktif dalam mengadvokasi keberlanjutan.Sebagai wujud respons terhadap tantangan tersebut, Mahkamah Agung seyogyanya sebagai bentuk kepemimpinan hijau juga melakukan kebijakan untuk memastikan, bahwa peradilan merupakan peradilan hijau dalam arti mendukung adanya penegakan hukum lingkungan yang substantif. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dianalisis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mahkamah Agung untuk memastikan adanya hal tersebut.Tantangan Lingkungan dan Kesenjangan Penegakan HukumIndonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi juga termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi dan pencemaran lingkungan tertinggi. Berdasarkan data, sekitar 1,47 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan. Pencemaran sungai dan laut, terutama oleh limbah industri dan plastik, semakin memperparah kondisi ekosistem. Dampak kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka.Namun, sistem hukum yang ada sering kali belum cukup responsif untuk menghadapi persoalan ini. Beberapa tantangan utama yang dihadapi sistem peradilan antara lain:Kurangnya Kapasitas dan Keahlian SpesifikBanyak aparat penegak hukum, termasuk hakim, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Akibatnya, banyak kasus lingkungan yang tidak ditangani dengan optimal atau menghasilkan putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan ekologis.Minimnya Penegakan Hukum yang EfektifPelanggaran hukum lingkungan sering kali tidak mendapatkan sanksi yang sepadan. Banyak pelaku kejahatan lingkungan, seperti korporasi besar, berhasil menghindari tanggung jawab hukum melalui celah-celah regulasi atau praktik korupsi.Ragam Penafsiran Penegakan HukumTerdapat ragam penafsiran atas norma-norma hukum lingkungan yang ada. Hal ini, karena masih terdapat beberapa aturan yang multitafsir satu dengan yang lain.Komitmen Mahkamah Agung: Menuju Peradilan HijauDalam manifesto kepemimpinannya, Mahkamah Agung menggarisbawahi pentingnya transformasi sistem peradilan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Konsep peradilan hijau yang diusung bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang:Responsif terhadap Isu LingkunganSistem peradilan harus dapat merespons isu-isu lingkungan secara cepat dan efektif, memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum lingkungan mendapatkan penanganan yang serius.Berbasis pada Prinsip KeberlanjutanPutusan-putusan pengadilan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan, masyarakat, dan generasi mendatang.Menghormati Hak Ekologis MasyarakatHak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat harus diakui dan dilindungi secara hukum.Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung sebagai upaya “menghijaukan” pengadilan mengambil beberapa kebijakan yang mendukung penegakan hukum lingkungan secara substantif antara lain:Pendidikan dan Pelatihan BerkelanjutanMahkamah Agung menekankan pentingnya peningkatan kapasitas hakim dan aparat peradilan lainnya melalui pelatihan khusus di bidang hukum lingkungan. Pendidikan ini akan mencakup pemahaman tentang isu perubahan iklim, kejahatan lingkungan lintas batas, serta mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, dalam Pasal 4  ayat (3) ditegaskan “Perkara lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadili oleh majelis Hakim Lingkungan Hidup atau minimal salah seorang hakim majelis yang merupakan Hakim Lingkungan Hidup. Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan  “Dalam hal belum ada Hakim Lingkungan Hidup, ketua/wakil ketua atau kepala/wakil kepala pengadilan karena jabatannya berwenang untuk mengadili perkara lingkungan hidup atau menunjuk hakim senior untuk mengadili perkara lingkungan hidup.”Sebelum lahirnya Perma 1/2023 tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Sertifikasi hakim lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup di pengadilan sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan hidup serta pemenuhan rasa keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim, sebagaimana Pasal 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut: a. Persyaratan administrasi; b. Persyaratan kompetensi; c. Mengikuti pelatihan; d. Dinyatakan lulus oleh Tim SeleksiPenguatan Kerangka RegulasiMelalui kerja sama dengan legislator dan pemangku kepentingan lainnya, Mahkamah Agung perlu mendorong revisi atau penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan. Hal ini mencakup peningkatan sanksi bagi pelanggaran hukum lingkungan serta penguatan mekanisme perlindungan bagi masyarakat terdampak.Aturan terbaru yang dibuat oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara lingkungan hidup agar dapat menghasilkan putusan yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan, memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang hak lingkungan hidup, dan menjamin terwujudnya keadilan lingkungan hidup serta keadilan iklim, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Perma ini. Mencakup pedoman untuk mengadili perkara lingkungan hidup di pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.Meskipun perlindungan terhadap korban/pemerhati lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU PPLH namun gugatan maupun laporan polisi terus terjadi. Berbagai modus yang digunakan SLAPP-er untuk melawan korban/pegiat lingkungan hidup, yaitu gugatan Perbuatan Melanggar  Hukum (Pasal 1365 BW) dan Penghinaan (Pasal 310 KUHP) dan pasal-pasal lain. Hal itu dimaksudkan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut agar masyarakat tidak lagi menyatakan  keberatan/mengkritisi/membuat pengaduan atas kegiatan usaha mereka yang diduga/telah menimbulkan pencemaran lingkungan. Karenanya perlindungan hukum perdata dan pidana terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup telah diatur dalam ketentuan Perma 1/2023.  Perlindungan hukum perdata diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 Perma 1/2023. Demikian juga, perlindungan hukum terhadap pejuang hak-hak atas lingkungan hidup yang menjadi terdakwa di depan persidangan diatur dalam ketentuan Pasal 76 sampai dengan Pasal 78 Perma 1/2023.Pasal 76 ayat (4) Perma 1/2023 disebutkan dalam hal terdakwa dan/atau penasihat hukum dapat membuktikan bahwa Terdakwa adalah pejuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah mendengar tanggapan dari penuntut umum, hakim mengambil putusan akhir yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa harus memeriksa pokok perkara. Dalam ayat (5) disebutkan, terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi.Pasal 77 Perma 1/2023, menyebutkan “Dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.”Perma 1/2023 telah memberikan arahan, bahwa tanggapan dalam eksepsi atau pembelaan tentang gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pelapor adalah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (perdata) dan/atau pembelaan dalam perkara pidana. Sebelumnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Perma ini lahir, untuk menyahuti ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Bagaimana tata cara penggugat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan/atau tuntutan pelaksanaan tindakan tertentu yang bertujuan untuk memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.Menerbitkan Landmark Decision sebagai PercontohanMahkamah Agung menerbitkan landmark decision terkait lingkungan hidup sebagai percontohan bagi hakim-hakim dalam mengambil sikap terkait sengketa lingkungan. Hal ini, misal dapat dilihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 yang merupakan landmark decision pilihan Mahkamah Agung di Laporan Tahun 2023. Di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 kaidah hukumnya: “Kondisi penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana, namun hanya menjadi pertimbangan untuk meringankan perbuatan Terdakwa.” Hal ini muncul karena adanya dualisme mengenai status pemidanaan terdakwa ketika penempatan limbah B3 sudah diperbaiki saat akan pemeriksaan setempat. Melalui kaidah hukum ini, dapat dipahami, bahwa meskipun penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana.Kolaborasi dengan Pemangku KepentinganMahkamah Agung akan membangun kemitraan dengan pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat implementasi hukum lingkungan. Kolaborasi ini juga akan mencakup pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik dari negara lain yang telah sukses menerapkan peradilan hijau. Hal ini, misal dapat dilaksanakannya konvergensi internasional yang terselenggara atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) serta didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.Melalui manifesto kepemimpinannya, 4 (empat kebijakan ini bisa dianggap sebagai Tetra Policy Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau. 4 (empat) kebijakan ini adalah kerangka strategis yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan hijau. Manifesto ini mencerminkan komitmen institusional untuk menjadikan Mahkamah Agung sebagai motor penggerak reformasi peradilan dalam mendukung keadilan lingkungan yang berkelanjutan. PenutupManifesto ini diharapkan dapat menjadi pendorong perubahan yang signifikan dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan mengadopsi Tetra Policy ini, Mahkamah Agung tidak hanya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam perlindungan lingkungan. Kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung yang visioner akan menjadi landasan bagi terciptanya keadilan ekologis yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manifesto ini mencerminkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat untuk menegakkan keadilan bagi manusia, tetapi juga bagi bumi dan seluruh ekosistemnya.

Tes Urin Negatif Narkotika, Bisakah Dipenjara di Bawah Minimum Khusus?

article | Opini | 2025-02-17 15:45:09

Penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dalam perkara narkotika dimungkinkan bagi Terdakwa yang terbukti sebagai Penyalah Guna, meskipun Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Sebagai pedoman, Hakim dapat merujuk pada SEMA Nomor 3/2015 dan SEMA Nomor 1/2017 yang mengatur bahwa penerapan pidana di bawah minimum khusus dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria penting: terdakwa terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, barang bukti yang ditemukan jumlahnya relatif kecil, dan dalam hal tertangkap tidak sedang memakai narkotika namun ditemukan barang bukti kecil serta hasil tes urine positif. Ketentuan ini menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara narkotika dengan memperhatikan aspek keadilan dan kemanusiaan.Perkembangan terbaru, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 3/2023 memberikan rumusan yang lebih komprehensif. Adapun dalam salah satu poin rumusan SEMA Nomor 3/2023 menyebutkan dalam hal Terdakwa didakwa Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dengan barang bukti sesuai ketentuan SEMA Nomor 4/2010 jo. SEMA Nomor 3/2015 jo. SEMA Nomor 1/2017, hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus. Namun demikian, pidana dendanya tetap harus sesuai dengan ancaman dalam pasal tersebut. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum namun tetap dalam koridor kepastian hukum.Persoalan menarik muncul ketika hasil tes urine terdakwa negatif, sementara fakta persidangan justru menunjukkan bahwa maksud terdakwa membeli, memiliki, dan menguasai narkotika adalah untuk dipakai sendiri. Dalam praktik peradilan, Penuntut Umum seringkali hanya mendakwakan Pasal 112 atau 114 tanpa mendakwakan Pasal 127 ayat (1) huruf a, meskipun barang bukti yang ditemukan relatif kecil dan tidak ditemukan bukti adanya tujuan pengedaran. Alasan utama Penuntut Umum tidak mendakwakan pasal penyalah guna narkotika adalah karena hasil tes urine terdakwa yang negatif, meskipun indikasi-indikasi lain mengarah pada penyalahgunaan untuk diri sendiri.Mahkamah Agung telah memberikan beberapa preseden penting melalui putusannya. Putusan MA Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal 3 Agustus 2011 menjadi tonggak penting karena memutus perkara narkotika yang pada tingkat penyidikan tidak dilakukan tes urine terhadap Terdakwa. Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena tindakan penguasaan atau kepemilikan narkotika oleh Terdakwa dalam jumlah relatif kecil dan ditujukan untuk digunakan sendiri, maka lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.Putusan lain yang menerapkan pidana penjara dengan menyimpagi pidana penjara minimum khusus meskipun tes urine terdakwa negatif dapat dilihat dalam Putusan PN Putussibau Nomor 14/Pid.Sus/2021/PN Pts dan Nomor 25/Pid.Sus/2021/PN Pts yang keduanya dikuatkan hingga tingkat kasasi. Kedua putusan ini memperlihatkan bahwa penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dapat diterapkan meski hasil tes urine negatif, sepanjang dalam persidangan benar terbukti bahwa narkotika yang dimiliki terdakwa relatif kecil sesuai SEMA Nomor 7/2009 jo. SEMA Nomor 4/2010, tujuannya untuk dipakai sendiri, dan tidak ada bukti keterlibatan dalam peredaran narkotika. Putusan-putusan ini memperkuat prinsip bahwa penegakan hukum harus memperhatikan aspek keadilan substantif, tidak semata-mata pada aspek formal prosedural.Dalam mempertimbangkan hasil tes urine negatif, Hakim harus benar-benar menilai secara kasuistis berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa seringkali terdakwa ditangkap pada saat baru menerima pesanan narkotika dan belum sempat memakainya, atau jangka waktu pemakaian sebelumnya sudah terlampau lama sehingga hasil tes urine menjadi negatif. Oleh karena itu, demi terciptanya kebenaran materiil dan mengedepankan asas keadilan hukum faktor waktu dan kondisi penangkapan ini juga sepatutnya menjadi pertimbangan penting dalam menilai status terdakwa sebagai penyalah guna.SEMA Nomor 3/2023 memberikan angin segar dalam perkembangan hukum perkara narkotika dengan tidak lagi menjadikan hasil tes urine positif sebagai syarat untuk dapat menerapkan pidana penjara menyimpangi minimum khusus. Namun demikian, hakim tetap wajib mempertimbangkan jumlah barang bukti sesuai ketentuan SEMA yang berlaku. Hal ini mencerminkan evolusi pemikiran hukum yang lebih progresif dalam memandang perkara narkotika, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana yang tidak semata-mata mengedepankan aspek pembalasan, tetapi juga memperhatikan aspek pembinaan dan pemulihan bagi pelaku tindak pidana narkotika, khususnya bagi mereka yang terbukti sebagai penyalah guna.

Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia

article | Opini | 2025-02-17 13:25:11

Program acara yang digagas Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yakni perisai pada episode yang ketiga mengajukan tema Kinerja berkualitas dengan Integritas. Tema ini disampaikan dalam  upaya dari peradilan khususnya peradilan umum  untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik yang sedikit terganggu dengan  adanya pimpinan pengadilan dan beberapa hakim serta staf pengadilan  yang  saat ini menjalani pesakitan maupun yang telah dijatuhi sanksi etik karena dianggap telah tersangkut perkara gratifikasi . Penjatuhan hukuman disiplin sepanjang tahun 2024  dilingkungan peradilan umum  yakni untuk hakim ada 84 hukuman disiplin dengan perincian 21 hukuman disiplin berat, sedang 9  dan 54 sanksi ringan, sedangkan untuk panitera ada 65  yakni berat 18, sedang 10 dan ringan 37. Bertitik tolak dari program perisai maka tidaklah salah kalau kita merenungi apa yang diramalkan oleh seorang pujangga jawa pada abad 18 yakni raden ronggo warsito dengan karyanya yakni serat kalatidha . Serat Kalatidha  ditulis sang pujangga kurang lebih seabad yang lalu, yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX (1862 - 1893 M).  Serat Kalatidha merupakan refleksi atas kondisi kerajaan pada masa itu, akan  tetapi jika kita  renungi dan resapi, maka akan sesuai juga dengan kondisi  sekarang  Serat Kalatidha merupakan ramalan akan datangnya suatu zaman. Yang mana sang pujangga  telah memprediksikannya sebab ia dikenal  sebagai ngerti sadurunge winarah, mengerti apa yang akan terjadi kelak yang biasanya ramalan itu dikemukakan secara terang-terangan maupun symbol dan dunia nyata pernyataan itu memang terjadi. Berikut ini adalah cuplikan serat Kalatidha “ Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kalatida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda “Dan jika kita artikan akan seperti ini “ Kondisi  negara  kita saat ini  sudah semakin mengalami kemunduran,  situasi  bangsa makin parah, karena sudah tak ada seseorang yang dapat dijadikan panutan, hal tersebut dikarenkan sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/ aturan-aturan lama yang baik yang luhur yang dimiliki bangsa ini. Diperparah dengan golongan  cerdik cendekiawan terbawa arus kalatidha (zaman yang penuh keragu-raguan), sehingga  keadaan menjadi  mencekam dan dunia penuh dengan kerepotan”Demikian  sepenggal  gambaran dari sang pujangga Ronggowarsito  terkait dengan kondisi tata negara yang telah rusak. Para pemimpin tak mampu meneladani rakyatnya dengan perbuatan-perbuatan bermoral. "Karana tanpa palupi", begitu tulis Ronggowarsito.  Jika kita renungi dan resapi,  maka sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bisa diikuti. Negeri ini nyaris kehabisan pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Tentu teladan di sini merupakan sesuatu yang baik dan layak ditiru. Mengapa tak bisa diteladani? Karena para pemimpin itu, "atilar silatusti", meninggalkan tradisi. Di sini tradisi dimaksud lebih kepada etika. Sejatinya etika itu merupakan rambu-rambu untuk menuju hidup yang lebih baik, tetapi rambu-rambu itu ditinggalkan sehingga hidup ini jadi "rusak". Dunia dilanda kerepotan lantaran kerusakan itu.( Toto Tis Suparto : 2021)Karna Tanpa Palupi Mahkamah Agung dan Lembaga peradilan sebagai salah satu gerbang terakhir para pencari keadilan  tentunya harus menjadi garda terdepan dalam perubahan kearah yang lebih baik. Dalam Upaya memperbaiki kondisi di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, Ketua Mahkamah Agung  telah memulai dengan langkah yang baik dengan menerapkan kebijakan ketika beliau diangkat menjadi Nahkoda tertinggi di Lembaga Peradilan  diantaranya melalui statemen beliau  bahwa Ketua Mahkamah Agung akan menerapkan demosi jika ada jamuan  ketika  ada kunjungan ke daerah dan tanpa perlu VIP Room dibandara  bagi Pimpinan maupun Hakim Agung.Langkah dan upaya Ketua Mahkamah Agung perlu kita maknai sebagai pengejawantahan dari ingin memberikan contoh atau teladan pada tataran dibawahnya dan sebagai langka antisipatif untuk mengantisipasi gambaran yang dikemukakan oleh sang Pujangga yakni “Karna tanpa Palupi “ dan jika kita kaitkan dengan sosok pemimpin bahwa seorang pemimpin yang kebanyakan minta dilayani maka ini merupakan  anti tesisnya adagium terdahulu karena hal ini mencerminkan jiwa seorang pemimpin yang melayani. Pimpinan Mahkamah Agung telah memberikan suatu contoh perilaku  kesederhanaan yang baik dan  untuk itu patutlah dan layak untuk  ditiru dan diikuti oleh seluruh insan peradilan.Menurut Greenleaf, seorang pemimpin yang baik  bukanlah  orang yang otoriter dan beranggapan bahwa aktivitas  kantor akan lamcar jika berada  ditangan pemimpin. Sebaliknya  pemimpin adalah orang yang punya semangat untuk berkontribusi  dan melayani  orang-orang yang dipimpinnya yakni pegawai, pengguna layanan atau siapa saja yang berinteraksi dengannya. Servant Leader tidak akan bertanya, “apa yang perlu dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri  tetapi apa yang perlu dilakukan agar menguntungkan kita dan banyak orang ?”.Orientasi berpikir dan bertindak adalah orang lain bukan dirinya sendiri dan untuk itu kita harus berpikiran bahwa semua insan peradilan adalah pemimpin, yakni seseorang  yang mempunyai perilaku perilaku positif  dan menginsipirasi  orang lain, membawa  pengaruh postof  serta dapat menjadi panutan dan teladan (Louis Sastrawijaya; 2022).Atilar silatustiSalah satu hal tradisi yang baik dan luhur  yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah tradisi atau petuah-petuah luhur  atau etika yang sarat makna sebagai bangsa yang mempunyai adat ketimuran yang tinggi. Etika yang dimaksud  antara lain  budaya malu dan  tenggang rasa yang tinggi, serta selalu mementingkan kepentingan orang banyak. Sebelum membahas mengenai tradisi yang baik dan luhur patutlah kita merenungi arti makna atau  purpose yakni memaknai sebuah pekerjaan, tentunya pekerjaan yang kita emban saat ini sebagai insan peradilan yang kita jalani saat ini, dunia dimana masyarakat yang kita layani adalah masyarakat yang mencari keadilan.Jika kita renungkan bahwa kita adalah manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk bekerja di Peradilan tentunya Tuhan memilih kita dari sekian banyak orang  dan kenapa kita dipilih tentunya harapannya agar kita dapat bermanfaat khususnya  bagi masyarakat pencari keadilan.Setelah menngerti makna atau tujuan tadi jika kita kaitkan dengan nilai nilai  leluhur bangsa kita  yakni budaya malu maka akan berdampak sangat positif, bahwa kita seharusnya malu jika bekerja tanpa integritas karena pengertian integritas itu sendiri adalah konsistensi dan keteguhan yang tidak tergoyahkan  dalam menjunjung tinggi nilai nilai luhur dan keyakinan.Budaya malu yang lain yang seharusnya ada pada diri kita aparatur peradilan yakni  malu terlambat masuk kantor, malu tidak masuk kerja tanpa alasan. Pulang kerja sebelum waktunya, sering meninggalkan kantor tanpa alasan, bekerja tanpa pertanggungjawaban, dan tidak amanah.Fondasi utama dalam melayani adalah  prioritas pada orang lain, maka orang yang bekerja didunia peradilan jika sudah mengerti apa yang menjadi makna pekerjaan kita  tentunya akan mempunyai  tujuan dalam bekerja sebagai  orang-orang yang mendapatkan amanat untuk melayani masyarakat pencari keadilan  dan pondasi utama  dalam melayani  adalah memberikam kontribusi kepada orang lain.  Joel Oesteen dalam bukunya Your Best Life Now yang isinya adalah tentang kunci rahasia agar seseorang dapat mengalami kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari  yaitu dengan menjadi seorang pemberi, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi selalu memberikan kontribusi kepada orang lain.Hal tersebut kadang sangatlah berat  karena pada kebanyakan yang terjadi pada semua orang menghadapi godaaan umtuk mementingkan diri sendiri sebagaimana dicontohkan kepada kolega yang tersandung kasus pidana maupun pelanggaran kode etik lainnya  dan tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai nilai luhur bangsa kita yang cenderung mementingkan orang lain seperti kegiatan kerja bakti  dan  hal hal baik lainnya.Aplikasi  dalam hal berkontribusi kepada orang lain yakni dengan memberikan service excellent atau pelayanan prima, artinya fokus kita tidak memberikan pelayanan asala-asalan tetapi memberikan pelayanan melalui kecepatan, ketepatan, kenyamanan, kemudahan  dan berbagai manfaat lain yang dapat dirasakan oleh pengguna layanan pengadilan. Dengan begitu kepercayaan masyarakat pencari keadilan akan merasa terlayani dan berimpilikasi pada meningkatnya kepercayaan kepada lembaga.Kinerja yang berkualitas tidak secara otomatis dan natural terbentuk, melainkan hasil dari upaya yang cerdas dan berintegritas, inovatif, sistematis dan terus menerur (Bambang Myanto:2025). Apa yang disampaikan oleh pak Dirjen perlu kita renungkan  dan jangan lupa kita petuah dari sang pujangga ternama Ronggowarsito yang memberikan nasehat  dari satu bait akhir tembang sinom Serat Kalatida, “Sak begjabegjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada!” (seberuntung- beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada). Eling lan waspada  dapat dibahasakan menjadi mawas diri.  Eling lan waspada pada dimensi kemanusiaan berupa kesadaran atas potensi kekuatan dan kelemahan manusia.  Eling lan waspada pada dimensi Ketuhanan, berupa kesadaran atas Sangkan Paraning Dumadi, sebuah perjalanan anak manusia dari akan kembali kepada Sang Causa Prima, Tuhan Maha Esa.  Marilah mulai menjadi pribadi mawas diri yang mempunyai pengetahuan untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia dan ke arah mana dirinya akan dibawa, sesuai dengan pengetahuan, sesuai yang dikehendaki Penciptanya.Mari kita perbaiki niat kita dalam bekerja bukan untuk mementingkan diri sendiri akan tetapi dapat selalu berkontribusi kepada orang lain  selalu menjadi pribadi yang mawas diri.

Mengenal Contempt of Court

article | Opini | 2025-02-15 06:35:57

Contempt of court pada awalnya berkembang di negara Common law. Secara histroris berkembang di Kerajaan Inggris pada abad pertengahan yang mana pada saat itu terdapat anggapan bahwa raja memiliki hak seperti Tuhan. Oleh karena itu, setiap rakyat harus tunduk kepada raja dan menghormati raja. Pada saat itu contempt of court identik dengan Contempt of King karena belum ada independensi peradilan. Selanjutnya dalam perkembangannya Contempt of court mendapat tempat dalam UNCAC ( United Nations Convention Against Corruption) , Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa melawan Korupsi dalam Pasal 25 yang mengharuskan negara-negara anggotanya untuk mengkriminalisasi perbuatan menghalangi jalannya persidangan dan Negara Indonesia sebagai salah satu negara anggota wajib mengikuti aturan tersebut;Di Indonesia ,Istilah Contempt of Court sudah ada sejak dibentuknya UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Penghinaan terhadap peradilan diartikan sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan. Hal ini termuat dalam Penjelasan Umum butir 4 Alinea ke 4 UU No 14 Tahun 1985 yang menyatakan:..........Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/ atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court”.Berdasarkan penjelasan umum diatas artinya wajib dibentuknya suatu UU khusus yang mengatur lebih lanjut tentang contempt of Court ini karena memang diatur dalam UU tersebut. Selain itu mengingat betapa banyaknya penghujatan terhadap pejabat peradilan yang sejatinya materi penghujatan tersebut tidak pernah ada, sementara itu terjadi pergeseran dari norma-norma sikap dan perilaku di kalangan masyarakat , yang dapat diketahui dengan rendahnya kepercayaan masyarakat baik terhadap pejabat peradilan, maupun terhadap lembaga peradilan dalam mencederai keadilan. Lahirnya UU Contempt of Court adalah prioritas utama demi terwujudnya kekuasan kehakiman yang mandiri serta tegaknya negara hukum.Untuk itu MA sudah menggagasnya dalam program legislasi nasional tahun 2015-2019 untuk menjaga harkat martabat lembaga peradilan dari campur tangan pihak luar kekuasaan pengadilan. MA telah mengelompokan bentuk-bentuk contempt of court sebagaimana yang tertuang dalam Naskah Publikasi tersebut diatas yaitu:    Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan ( Misbehaving in Court);    Tidak mentaati perintah pengadilan ( Disobeying Court Orders);    Menyerang Integritas dan Imparsialitas pengadilan ( Scandalising The Court)    Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan ( Obstructing jJustice)    Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan ( Contempt of court) dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub Judice Rule)Pengaturan Contempt of Court di IndonesiaMeskipun UU Contempt of Court belum disahkan namun Contempt of court terdapat pengaturannya secara terbatas dalam Pasal 207 KUHP. Pasal 217 KUHP dan Pasal 224 KUHP.Pasal 207 KUHP: “ Barang siapa membuat gaduh di dalam persidangan pengadilan atau di tempat seorang pegawai negeri menjalankan jabatannya yang sah di depan umum dan tidak mau pergi sesudah diperintahkan oleh atau atas nama kekuasaan yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya tiga minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiahPasal 217 KUHPbarang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat dimana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah dimuka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seibu delapan ratus rupiahPasal 224 KUHP:barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa menurut UU dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan UU yang harus dipenuhinya, diancam;    Dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;    Dalam Perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan;Pasal 218 KUHAPbahwa siapa wajib menunjukan sikap hormat kepada pengadilan. Jika bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya maka yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. dalam hal pelanggaran tata tertib tersebut termasuk dalam tindak pidana maka pelaku dapat dituntut.Selanjutnya dalam KUHP baru UU Nomor 1 tahun 2023 yang akan mulai berlaku tahun depan mengatur contempt of court dalam Bab VI tentang tindak pidana terhadap proses peradilan, yang terdiri dari penyesatan proses peradilan, mengganggu dan merintangi proses peradilan, pengrusakan gedung, ruang sidang dan alat perlengkapan persidangan dan perlindungan terhadap saksi dan korban .Adapun Pasal-Pasal dalam KUHP Baru yang berkenaan dengan Contempt of court yaitu;: Pasal 279 UU Nomor 1 Tahun 2023 ( KUHP Baru) menyatakan:    Setiap orang yang membuat gaduh di dekat Ruang Sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I;    Setiap orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama hakim dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IIPasal 280 KUHP baru menegaskan bahwa;    Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung;    tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;    Bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim;    Menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, mempublikasikan, proses persidangan secara langsung    Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dan huruf chanya dapat dituntut berdasarkan aduan;    Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh hakim.Pasal 281 KUHP Baru :Setiap orang yang menghalang-halangi mengintimidasi atau mempengaruhi Pejabat yang melaksanakan tugas penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, atau putusan pengadilan dengan maksud untuk memaksa atau membujuknya agar melakukan atau tidak melakukan tugasnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori VI.BEBERAPA KASUS CONTEMPT OF COURTBeberapa kasus di Indonesia yang termasuk ke dalam tindak pidana Contempt of Court adalah :    Tahun 1980 di PN Jakarta Pusat seorang Pengacara dalam Kasus HR Dharsono melakukan contempt of court dalam pembelaanya;    Tahun 1987 Mimi Lidawati , pelapor , melempar sepatu kepada majelis Hakim karena kesal kepada Hakim sudah memberi uang namun terdakwa dihukum ringan;    Tahun 1993 Pengunjung nasabah BPR PT Surya yang mengipas-ngipas uang sepuluh ribuan dalam sidang di PN Surabaya    Tahun 1999 seorang pengacara sering meninggalkan ruang sidang tanpa persetujuan majelis hakim dan pernah mengusulkan Majelis Hakim yang - menyidangkan perkara tersebut diganti;    Tanggal 15 November 2003 terjadi pembakaran gedung PN Larantuka NTT oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,;     Tanggal 23 Desember 2008 seorang Jaksa menyerang Hakim di PN Poso Sulteng sesaat setelah membebaskan terdakwa;    Tahun 2005 seorang Hakim ditusuk di ruang sidang - PA Sidoarjo    Pembakaran gedungi di PN Temanggung, Jawa Tengah tahun 2011,    tahun 2013 PN depok    Tahun 2013 seorang Hakim PN Gorontalo di serang saat berkendara    Tahun 2013 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ditembak hingga tewas saat berkendara menuju kantornya.    Tahun 2015 Kasus mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana, marah menantang majelis hakim dengan ucapan yang tak pantas ;    Tahun 2018 Pembakaran dan pengrusakan di PN Bantul    Tanggal 18 Juli 2019 seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membaca putusan dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakarta Pusat    Yang terbaru tanggal 6 Februari 2025 di PN Jakarta Utara, dua orang advokat yang bertengkar mulut di ruang sidang dan salah satu anak buah dari advokat itu naik ke meja ruang sidang;KESIMPULAN DAN SARANSanksi hukum terhadap etika di peradilan harus terus disosialisasikan dan diberlakukan agar perbuatan contempt of court tidak terus berulang.Contempt of court ada dimana mana . Tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga dilakukan oleh tokoh publik dan orang yang berlatar belakang pendidikan yang baik, bahkan berlatar belakang hukum dan berprofesi di bidang hukum. Untuk itu perlu disosialisasikan edukasi hukum kepada masyarakat untuk menjaga kesadaran hukum dan mengedepankan etika berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai nilai hukum. Perlu adanya perangkat hukum menyangkut pengamanan yang baku di ruang sidang yang melibatkan aparat hukum lainnya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan dan jaminan perlindungan yang cukup agar aparatur pengadilan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.Begitu seriusnya akibat dari tindak pidana contempt of court maka penyelesaian pembahasan Rancangan UU Contempt of Court menjadi prioritas utama demi kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tegaknya negara hukum

Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya

article | Opini | 2025-02-13 16:30:49

Berita Acara Sumpah Advokat Razman Arif Nasution yang diterbitkan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan Ketua Pengadilan Tinggi Banten dibekukan. Ini adalah pembekuan sumpah advokat yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Lalu apa dasar hukumnya?Pada hari Kamis, tanggal 13 Februari 2025 saya mendapatkan pesan di WhatsApp mengenai Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) 2 (dua) orang advokat yakni Razman Arif Nasution, S.H. yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan M. Firdaus Oiwobo, S.H. yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banten karena melanggar sumpah/janji advokat pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 6 Februari 2025. Sependek pengetahuan saya, hal tersebut merupakan praktik hukum baru yang belum ada atau belum pernah dilakukan sebelumnya, maka saya mencoba meninjau keabsahannya dari sudut pandang hukum administrasi apakah praktik ini merupakan bid’ah dholalah atau justru hasanah. Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada pokoknya ditentukan bahwa syarat sahnya keputusan meliputi : ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. dibuat sesuai prosedur dan substansi yang sesuai dengan objek keputusan dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan  dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Pejabat dalam menerbitkan keputusan, sekaligus menjadi alasan bagi warga masyarakat jika keberatan terhadap keputusan Pejabat serta menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menguji keabsahan keputusan pejabat.Dari aspek wewenang, pertanyaan yang timbul adalah apakah Ketua Pengadilan Tinggi berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat? Pasal 4 Undang-Undang Advokat menyebutkan: “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Produk yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi adalah Berita Acara Sumpah. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Berita Acara Sumpah Advokat merupakan Keputusan atau bukan, maka secara praktik berita acara dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu berita acara yang hanya menggambarkan suatu peristiwa misalnya berita acara sidang, namun ada pula berita acara yang tidak hanya menggambarkan suatu peristiwa melainkan juga mengandung unsur penetapan/keputusan misalnya berita acara yang diterbitkan oleh KPU tentang penetapan pasangan calon kepala daerah. Dalam hal ini Berita Acara Sumpah Advokat selain menggambarkan suatu peristiwa penyumpahan juga mengandung unsur penetapan/keputusan yaitu sempurnanya hak seseorang untuk menjalankan profesinya sebagai advokat.  Dari ketentuan-ketentuan tersebut dan ketentuan lain didalam Undang-Undang Advokat memang tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan wewenang bagi Ketua Pengadilan Tinggi untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat, namun demikian jika ditarik ke atas, maka berdasarkan asas contrarius actus, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), berwenang pula untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Dengan demikian, Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat sebagaimana disebutkan di atas.Selanjutnya bagaimana dengan prosedur dan substansinya? Oleh karena peraturan perundang-undangan belum mengatur, maka haruslah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik setidak-tidaknya asas kecermatan, asas kehatian-hatian dan asas kemanfaatan. Jika membaca konsideran pertimbangan penetapan Ketua Pengadilan Tinggi tersebut diketahui telah ada keputusan organisasi advokat yang menaunginya yang memberhentikan keduanya dari kepengurusan dan keanggotaan advokat. Hal tersebut yang mendasari diterbitkannya Penetapan Pembekuan BAS. Dalam menjatuhkan sanksi administratif berupa pembekuan, KPT juga tidak langsung mencabut dan membatalkan BAS, malainkan membekukannya terlebih dahulu. Pembekuan biasanya diterapkan dalam kasus perizinan dalam rangka menghentikan seketika pelanggaran namun masih dalam rangka menunggu adanya fakta-fakta hukum. Hal tersebut menunjukan adanya sikap cermat dan hati-hati dari KPT. Sedangkan asas manfaat antara lain dengan menerbitkan Penetapan Pembekuan BAS bagi advokat yang melanggar sumpah/janji, maka masyarakat akan merasakan hadirnya penegak hukum dengan membawa manfaat yaitu adanya penegakan hukum dan etika bagi Advokat yang melanggar sehingga masyarakat pencari keadilan sebagai user dari advokat akan terlindungi dari perilaku buruk advokat pelanggar etika. Para advokat yang lain dan organisasi advokat juga akan menerima manfaat yaitu terlindungi marwah profesinya advokat dari advokat pelanggar etika, serta bagi Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan lebih terjaga kondusifitasnya karena pemeriksaan perkara dengan terdakwa Razman Arif Nasution masih berjalan.Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ambon selain berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat juga telah menjalankan wewenang tersebut sesuai dengan prosedur dan substansi. Selanjutnya bagaimana implikasi dari pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat ? Berdasarkan asas praesumptio justae causa, maka keputusan pejabat harus dianggap benar sebelum adanya pembatalan dari pejabat yang bersangkutan, atasannya atau oleh pengadilan. Dengan demikian maka Penetapan Pembekuan BAS dapat dilaksanakan dan tidak tertunda pelaksanaannya meskipun diajukan sebagai objek gugatan.Meskipun demikian, perlu diingat bahwa pembekuan bersifat sementara sambil menunggu kepastian adanya pelanggaran etika atau bahkan pelanggaran hukum sebagaimana laporan Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada pihak Kepolisian, karenanya kelak jika telah ada kepastian hukum atas dugaan tindak pidana kedua advokat tersebut, tentu harus disikapi lagi apakah kepada kedua advokat tersebut akan direhabilitasi atau justru sebaliknya akan dilakukan pencabutan BAS Advokat secara permanen. Saya secara pribadi mengapresiasi sikap Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ambon yang telah menerbitkan Penetapan Pembekuan BAS Advokat karena pernah ada seorang advokat yang telah diberhentikan oleh organisasi advokat, ternyata masih dapat bersidang lagi diseluruh Pengadilan di Indonesia karena setelah pindah organisasi advokat tidak pernah dilakukan pembekuan apalagi pencabutan BAS. Keputusan KPT Banten dan Ambon tentunya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Mahkamah Agung untuk melakukan perbaikan dalam beberapa hal misalnya : membuat template Berita Acara Sumpah Advokat karena ternyata Berita Acara Sumpah Advokat di masing-masing Pengadilan Tinggi berbeda-beda format satu sama lain serta membuat kebijakan Mahkamah Agung yang memuat kewenangan, Prosedur dan substansi pembekuan dan pencabutan Berita Acara Sumpah Advokat agar lebih memiliki kepastian hukum.Dr Tri Cahya Indra PermanaHakim Yustisial Kamar Tata Usaha Negara

Jangan Berkecil Hati, Hakim Indonesia

article | Opini | 2025-02-12 18:00:21

Setiap tahunnya ribuan hakim, Panitera, Jurusita, aparatur administratif peradilan dari seluruh indonesia dididik dan dilatih di badan Diklat Strategi Kebijakan Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI. Ribuan hakim dan aparatur teknis dan adminitratif kesekretariatan Peradilan Indonesia itu setiap di kelas selalu mengungkapkan keinginan untuk menjadikan peradilan dan Mahkamah Agung yang kami cintai ini menjadi lembaga yang agung. Yang mana pengadilan menghasilkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan, melalui putusan-putusan yang di dalamnya mengandung legal resoning yang cerdas, bijak dan diputus oleh jiwa-jiwa yang berintegritas.Tapi tahukah kamu kawan, bahwa sesungguhnya kami para hakim dan aparatur pengadilan di berbagai pelosok di tanah air ini setiap hari bersidang, mempertimbangkan dengan matang dan telah banyak memutus perkara-perkara dengan mempertimbangkan aspek kebenaran, kemanfaatan, kepastian dan keadilan bagi masyarakat. Ada banyak putusan-putusan hakim yang secara nyata memyelesaikan konflik, mengembalikan harmoni di masyarakat dan diterima putusan tersebut sebagai putusan yang adil dan menyelesaikan masalah. Contoh misalnya banyak penetapan diversi pengadilan dan putusan pidana dengan mengembalikan pelaku pidana yang dilakukan anak kepada orangtuanya setelah orangtua pelaku memulihkan kerugian korban dan korban memaafkan pelaku. Putusan Pidana dalam kasus kekerasan dan pengerusakan barang yang mengakibatkan pertikaian sosial di mana pengadilan mampu mendamaikan para pihak berkonflik dan menjatuhkan putusan pidana yang diterima baik oleh korban, pelaku dan masyarakat. Putusan-putusan perdata terkait sengketa kepemilikan lahan yang mampu didamaikan oleh pengadilan dan putusan-putusan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan TUN dan Pengafilan Militer di pelosok negeri ini yang  isi putusannya berpihak pada rakyat, kemanusiaan dan keadilan. Namun demikian putusan-putusan yang mengandung kepastian, kemanfaatan dan keadilan itu memang tidak banyak diberitakan media massa sehingga tidak banyak diketahui orang. Kami menyadari bahwa jika Pengadilan menjatuhkan putusan-putusan yang adil itu, maka sesungguhnya memang tugas  dan kewajiban yang melekat pada kami sehingga kami tidak perlu pujian untuk itu.Sama halnya jika dalam putusan-putusan yang dibuat oleh kolega-kolega kami di beberapa pengadilan yang dinilai kontroversial atau dianggap tidak tepat bahkan dinilai tidak adil. Yang sesungguhnya jumlahnya hanya sedikit saja itu namun viral. Kemudian seolah-olah putusan tersebut merepresentuasikan seluruh aparatur pengadilan di Indonesia tentu saja kami perlu meluruskan hal itu.  Bahwa putusan hakim terkadang tidak selalu memuaskan keinginan semua pihak namun dalam suatu putusan perkara yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama sesungguhnya masih diberikan ruang upaya hukum pada level pengadilan diatasnya. Maka seharusnya jangan dulu cepat mengambil kesimpulan bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Bahwa kami menyadari masih ada aparatur kami di peradilan yang masih belum amanah ditangkap karena memperjualbelikan putusan. Namun percayalah jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan puluhan ribu aparatur peradilan  yang bekerja dengan baik, amanah dan jujur.Sahabat peradilan Indonesia jangan berkecil hati. Mari tegakkan terus keadilan. Jadikan tugas pengadilan yaitu menerima, memeriksa dan mengadili perkara itu sebagai pengabdian diri  pada komitmen kerja, kemuliaan profesi dan pada akhirnya kebanggan kita sebagai pengabdi pada kemanusiaan dan keadilan. Mari wujudkan peradilan yang agung, mari latih akal logika yang lurus. Kepastian, kemanfaatan dan keadilan yakinkan dalam tekad sungguh. Jangan takut kawan, karena kamu cadas : cerdas berintegritas. Miskin kaya tidak akan membuatmu tumbang . Susah senang  mental hakim akan selalu tenang. Ingat selalu Tuhan serap pengetahuan, lingkungan dan semesta kehidupan. Mari para hakim Indonesia jatuhkan putusan yang sesuai fakta dan bukti kebenaran, menggunakan logika dan akal sehat dalam kecerdasan hukum dan ilmu pengetahuan, serta mempertimbangkan asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan hukum dengan jiwa-jiwa integritas.Inilah suara kami, suara Kader Mahkamah Agung Indonesia!Salam  Cadas: Cerdas Berintegrigritas.Syamsul Arief(Kapusdiklat Teknis Peradilan MA dan Redaktur Senior Petitum ID)

Persidangan Merupakan Bagian Dari Negara Yang Harus Dihormati

article | Opini | 2025-02-11 19:00:30

Dalam sistem ketatanegaraan kita dikenal adanya 3 (tiga) cabang kekuasan (trias politica) yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function) dan ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Ketiga cabang kekuasaan tersebut berdiri sejajar, yang satu sama lain dapat saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Ini merupakan cita-cita reformasi pasca amandemen UUD 1945.Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan  peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan  peradilan  umum, lingkungan peradilan  agama, lingkungan  peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, menjalankan tugasnya melalui persidangan. Persidangan merupakan konkretisasi dari Pengadilan yang harus dihormati dan dijaga kewibawaannya. Dari segi hukum formil, Negara telah mengatur secara tegas bentuk penghormatan kepada Pengadilan. Dalam pasal 218                           Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. Bahkan dalam Pasal 232 Undang-Undang tersebut menyebutkan “(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang. (2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat. (3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat.” Di dalam setiap ruangan persidangan harus dipasang lambang Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1958 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1959. Ini menunjukkan kalau persidangan yang dilaksanakan dan dipimpin oleh Hakim merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi sebuah Negara.Akhir-akhir ini dunia peradilan kita tercoreng dengan peristiwa yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang sangat menciderai kehormatan persidangan maupun Pengadilan. Peristiwa tersebut layaknya seperti fenomena gunung es, yang terlihat di atas hanya sedikit, padahal telah banyak kejadian yang terjadi sebelumnya. Adanya peristiwa tersebut kiranya menjadi urgensi bagi pembuat undang-undang dalam mengesahkan Undang-Undang Contempt Of Court, karena akan menjadi tidak efektif kalau tata cara berperilaku di persidangan telah diatur dengan baik, namun pelanggaran terhadap tata cara tersebut tidak diatur dengan tegas.  

Trial by Social Media: Keadilan Sejati Vs Trending Topic

article | Opini | 2025-02-11 10:00:14

Putussibau- Sebagai seorang hakim yang berhadapan langsung dengan dinamika peradilan kontemporer, kami menyaksikan bagaimana era digital telah membawa transformasi dalam sistem peradilan kita. Fenomena trial by social media bukan lagi sekadar istilah asing. Ia telah menjadi realitas sehari-hari yang harus kami hadapi. Sebuah perkara kini tidak hanya diadili di ruang pengadilan, tetapi juga menghadapi "pengadilan" di ruang publik digital yang berlangsung secara masif dan real-time.Pergeseran dari court of law menuju court of public opinion ini mengakibatkan keresahan bagi kami. Dengan lebih dari 170 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, setiap langkah dalam proses peradilan kini berada di bawah pengawasan publik yang ketat. Saya teringat bagaimana kasus-kasus seperti Ferdy Sambo, Jessica-Mirna, hingga Yu Hoa, kasus tambang emas yang melibatkan WNA China, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh narasi media sosial dalam membentuk persepsi publik, bahkan sebelum palu hakim diketuk.Di Hari Pers Nasional ini, izinkan kami berbagi kegelisahan sekaligus harapan. Bagi kami para hakim, tantangan tidak lagi sekadar tentang menimbang alat bukti dan menegakkan hukum dan keadilan. Kami kini harus berhadapan dengan berbagai bentuk tekanan digital, mulai dari doxing yang mengancam privasi keluarga, intimidasi digital yang mengganggu ketenangan jiwa, hingga kampanye terstruktur yang berusaha mempengaruhi putusan. Belum lagi tekanan psikologis saat hashtag-hashtag terkait perkara yang kami tangani menjadi trending topic.Dilema yang kami hadapi semakin kompleks ketika harus menyeimbangkan antara asas praduga tak bersalah dan tuntutan transparansi publik. Ada saat-saat di mana kami harus menjelaskan kepada keluarga mengapa komentar-komentar negatif di media sosial tidak boleh mempengaruhi objektivitas putusan, meski terkadang komentar tersebut menyakitkan dan tidak berdasar. Kebebasan pers dan ekspresi yang menjadi pilar demokrasi terkadang berbenturan dengan ketentuan contempt of court, menciptakan area abu-abu yang perlu diluruskan dengan hati-hati.Bagian yang memprihatinkan juga adalah bagaimana "bukti sosial" yang viral kerap dianggap lebih valid oleh publik dibanding pembuktian formal di pengadilan (Post-truth era). Dalam beberapa kasus yang kami tangani, publik lebih mempercayai tangkapan layar percakapan atau video viral dibandingkan dengan bukti-bukti yang telah diuji di persidangan. Tantangan ini menunjukkan pentingnya edukasi publik tentang proses hukum dan pembuktian yang sah.Sebagai respons terhadap tantangan ini, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yudikatif harus mengambil berbagai langkah strategis. Urgensi pembaruan regulasi contempt of court yang lebih adaptif terhadap era digital tidak bisa ditunda lagi. Regulasi ini harus mampu mengakomodasi berbagai bentuk penghinaan pengadilan di ruang digital, namun tetap menjamin kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Pengalaman menghadapi berbagai bentuk intimidasi digital membuat kami menyadari pentingnya publikasi dan edukasi lembaga dalam penanganan krisis media sosial di setiap pengadilan.Hal yang tidak kalah krusial adalah perlunya membangun kolaborasi strategis dengan platform media sosial untuk mendeteksi dan memoderasi konten yang berpotensi mengganggu proses peradilan. Upaya ini harus diimbangi dengan penguatan kapasitas internal, termasuk literasi digital dan manajemen krisis media sosial bagi para hakim. Kami menilai, hal ini bukan sekadar tentang memahami teknologi, tetapi juga tentang membangun ketahanan mental dalam menghadapi berbagai bentuk tekanan digital.Di tengah kompleksitas tantangan ini, kami tetap optimis. Pengalaman menangani berbagai perkara yang menjadi sorotan publik mengajarkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan harus dibangun melalui dialog yang konstruktif. Di momentum Hari Pers Nasional ini, kami mengajak kita semuanya—para jurnalis, warganet, dan seluruh elemen masyarakat—untuk bersama-sama menjadi bagian dari solusi. Mari jadikan media sosial sebagai ruang diskusi yang sehat tentang hukum dan keadilan, bukan arena untuk trial by social media yang dapat mencederai marwah peradilan.Marilah bersama menjaga marwah peradilan di era digital dengan menjadi insan Indonesia yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, keadilan sejati tidak pernah bisa direduksi menjadi sekadar trending topic. Ia adalah buah dari proses hukum yang sakral, independen, objektif, dan bermartabat. Pada akhirnya, kami ucapkan Selamat Hari Pers Nasional!

Jalan Keadilan Itu Bernama Harmonisasi Yurisprudensi dan SEMA Perdata

article | Opini | 2025-02-10 10:25:23

Yurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Lalu bagaimana cara ‘mengawinkan’ keduanya?PendahuluanSistem peradilan di Indonesia bertumpu pada beberapa sumber hukum yang membentuk dan mengarahkan praktik hukum di pengadilan. Di antara sumber hukum tersebut, yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) memegang peran penting dalam memberikan kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan. Yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di masa depan. Sementara itu, SEMA merupakan pedoman resmi yang dikeluarkan Mahkamah Agung guna memberikan arahan terhadap penerapan hukum di seluruh tingkat peradilan.Meskipun memiliki kedudukan yang berbeda dalam sistem hukum, yurisprudensi dan SEMA sering kali memiliki titik singgung dalam berbagai aspek hukum. Beberapa putusan yang telah menjadi yurisprudensi diperjelas atau diperluas cakupannya dalam SEMA, atau sebaliknya, SEMA mengkodifikasi prinsip yang telah berkembang dalam yurisprudensi. Dengan demikian, keduanya berperan dalam membentuk harmoni dalam sistem peradilan Indonesia.Artikel ini akan mengupas empat contoh spesifik di mana terdapat kesamaan prinsip antara yurisprudensi dan rumusan kamar perkara dalam SEMA, serta bagaimana titik singgung tersebut memberikan dampak pada praktik hukum di Indonesia.Prinsip Ne Bis In Idem: Perbedaan Subjek dalam Kasus yang SamaYurisprudensi Nomor Register 1226 K/Pdt/2001 menegaskan bahwa meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan nebis in idem.SEMA Nomor 7 Tahun 2012, Sub Perdata Umum – XVII, Gugatan nebis in idem yang menentukan menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai  nebis in idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan: pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak dan status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.Dalam praktik hukum, prinsip ne bis in idem berfungsi untuk mencegah terjadinya gugatan ganda terhadap objek yang telah diputus secara berkekuatan hukum tetap. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah perubahan dalam subjek gugatan dapat menghindarkan suatu perkara dari prinsip ini?Yurisprudensi menyatakan bahwa perubahan dalam subjek gugatan tidak serta-merta menggugurkan prinsip ne bis in idem apabila objek yang disengketakan tetap sama. SEMA kemudian menegaskan prinsip ini dengan memberikan panduan yang lebih rinci bahwa perubahan kecil dalam subjek merupakan ne bis in idem. Dengan demikian, titik singgung antara keduanya adalah bahwa perubahan dalam pihak yang berperkara tidak boleh menjadi celah untuk mengajukan gugatan baru terhadap objek yang telah diputus sebelumnya.Hak Asuh Anak Pasca PerceraianYurisprudensi Nomor 126 K/Pdt/2001 menetapkan bahwa bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu.SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata umum, 1.d. menentukan bahwa hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.Hak asuh anak merupakan aspek krusial dalam hukum keluarga yang sering kali menjadi sengketa dalam perceraian. Yurisprudensi secara umum mengakui bahwa ibu lebih pantas mendapatkan hak asuh karena kedekatan emosional dan perannya dalam kehidupan anak sejak dini. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua ibu dapat memberikan lingkungan yang optimal bagi tumbuh kembang anak.Melihat kebutuhan hukum yang lebih dinamis, SEMA memberikan fleksibilitas dengan menegaskan bahwa hak asuh anak dapat diberikan kepada ayah apabila terdapat kondisi yang membuktikan bahwa anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama ayahnya. Titik singgung antara kedua rujukan ini adalah bahwa hak asuh pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu yang lebih menguntungkan bagi anak.Konversi Mata Uang Asing dalam Putusan PengadilanYurisprudensi Nomor 1/Yur/Pdt/2018 menyatakan bahwa Petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing harus memuat perintah Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai kurs tengah Bank Indonesia pada saat pembayaran dilakukan.SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata Umum, 1.e., menguatkan prinsip ini dengan menyatakan bahwa dalam hal hakim mengabulkan petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing, maka dalam diktum amar harus memuat pula perintah kepada Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai “Kurs Tengah” yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada hari dan tanggal pelaksanaan pembayaran dilakukan (vide Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang).Dalam transaksi keuangan internasional yang melibatkan mata uang asing, sering kali muncul permasalahan mengenai bagaimana pembayaran dalam mata uang asing harus dilakukan dalam konteks hukum Indonesia. Yurisprudensi memberikan panduan bahwa dalam putusan yang menyangkut pembayaran dalam mata uang asing, harus ada perintah untuk mengonversikannya ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.SEMA kemudian mengadopsi prinsip ini dengan memberikan dasar hukum yang lebih kuat dari UU Mata Uang. Dengan demikian, titik singgungnya adalah bahwa konversi ke Rupiah wajib dilakukan dalam setiap putusan yang mengharuskan pembayaran dalam mata uang asing, dan patokan kurs yang digunakan adalah kurs tengah Bank Indonesia.Kriteria Pembeli Beritikad Baik dalam Jual Beli TanahYurisprudensi Nomor 6/Yur/Pdt/2018 menetapkan bahwa apabila jual beli tanah dilakukan dihadapan PPAT dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau membeli melalui kantor lelang negara pembeli tanah harus dipandang sebagai pembeli yang beritikad.SEMA Nomor 4 Tahun 2016, Perdata, 4. memberikan kriteria lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan pembeli beritikad baik yakni dengan melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan dan melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal yang  kaitan dengan objek Tanah yang diperjanjikan.Dalam transaksi jual beli tanah, sering kali muncul persoalan mengenai status pembeli yang dapat dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Yurisprudensi menyatakan bahwa pembeli yang melakukan transaksi dengan prosedur sah harus dianggap sebagai pembeli beritikad baik. Namun, SEMA menambahkan kriteria lebih lanjut, termasuk pengecekan status tanah, tidak adanya sengketa, serta verifikasi dokumen kepemilikan.Dengan demikian, titik singgung antara yurisprudensi dan SEMA adalah bahwa pembeli yang mengikuti prosedur hukum yang berlaku harus dilindungi, tetapi perlindungan tersebut hanya diberikan jika pembeli telah melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap status tanah yang dibelinya.KesimpulanYurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Yurisprudensi sering kali menjadi pedoman awal yang kemudian diperjelas atau diperluas oleh SEMA, mencerminkan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas dalam praktik peradilan. Titik singgung utama antara keduanya adalah:Prinsip Ne Bis In Idem tetap berlaku meskipun terjadi perubahan kecil dalam subjek gugatan.Hak asuh anak pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu.Konversi mata uang asing ke Rupiah wajib dilakukan dengan kurs tengah Bank Indonesia.Pembeli beritikad baik adalah mereka yang melakukan transaksi dengan prosedur sah dan telah melakukan uji tuntas terhadap status tanah.Dengan harmonisasi antara yurisprudensi dan SEMA, sistem peradilan Indonesia dapat terus berkembang dalam memberikan keadilan yang lebih jelas, konsisten, dan adaptif terhadap dinamika hukum yang terus berubah.

Judol : Penjudi Atau Korban Penipuan?

article | Opini | 2025-02-09 10:00:26

Menurut Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, perputaran uang judi online (judol) di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp900 triliun. Angka ini hampir menyaingi APBN Indonesia itu sendiri. Dampak sosial yang dirasakan dari adanya judi online dapat dilihat dari meningkatnya kriminalitas, korban bunuh diri, keretakan rumah tangga serta memperlemah daya beli masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, Pemerintah memerintahkan Kepolisian melakukan tindakan tegas dan juga meminta semua Instansi untuk melakukan sosialisasi pelarangan di dalam Instansinya masing-masing. Alhasil, banyak kasus terbongkar yang bahkan melibatkan pihak Kementerian. Mahkamah Agung juga tidak tinggal diam dan melakukan rapat khusus untuk menanggulangi hal ini dengan cara memerintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi untuk menyampaikan kepada setiap Ketua Pengadilan Negeri agar mensosialisasikan pelarangan pegawai untuk bermain judi online.Perbedaan Judi Online dan Judi KonvensionalJudi online pada dasarnya berbeda dengan judi konvensional pada umumnya. Pada judi konvensional, seperti sabung ayam dan lain sebagainya, terjadi permainan untung-untungan dimana semua pihak tidak tahu siapa yang akan menang dari pertandingan tersebut. Keacakan dan ketidaktahuan hasil yang akan datang dari para pemain adalah kunci dari judi. Namun, berbeda dengan judi online. Judi online yang marak terjadi adalah permainan dari aplikasi dimana disediakan oleh mesin yang berbasis algoritma. Disini banyak pengguna aplikasi judi online tidak tahu, bahwa pada dasarnya hasil yang dimainkannya tersebut sudah ditentukan dari awal. Tidak ada variabel acak dari judi online. Mengapa Penulis berani mengatakan demikian? Mereka yang mengerti bagaimana komputer bekerja akan paham bahwa tidak ada namanya algoritma acak. Ketika programmer menyusun algoritma, algoritma itu disusun berdasarkan sistem matematika. Programmer tidak bisa membuat suatu algoritma dimana komputer dapat bekerja di luar daripada algoritma yang disusunnya sendiri. Karena pada sejatinya komputer tidak memiliki kehendak bebas (freewill). Selama peradaban dunia belum menemukan komputer quantum dan masih memakai sistem bits nol dan satu, maka kita tidak dapat menyuruh komputer untuk bekerja diluar daripada susunan perintah yang diberikan. Kalaupun ada Machine Learning, itu bukan berarti komputer tersebut memiliki kehendak bebas (freewill). Tetapi, komputer merekam pola-pola baru dari data baru yang diperintahkan oleh pembuat algoritma. Artinya, tidak ada sesuatu yang acak dan bersifat probabilistik didalam Sistem Komputer. Semuanya telah ditentukan dari awal. Semuanya Newtonian. Semuanya Predeterministik. Dan pembuat algoritma tersebut tahu apa hasil yang akan terjadi selanjutnya dari sistem yang dibuatnya sendiri. Sehingga, para pembuat game dan aplikasi judi online membuat ilusi keacakan kepada penggunanya. Karena kembali lagi ke motif ekonomi, tidak ada bandar judi online yang ingin rugi.Pelajaran dari Kasus BinomoAkan tetapi, bukankah seharusnya pemain judol mengerti hal ini? Tidakkah sebelumnya ada hal yang mirip yang pernah terjadi yakni aplikasi Binomo yang dipopulerkan oleh Indra Kenz yang sekarang menjadi Terpidana? Dimana pada aplikasi Binomo, chart-chart saham atau forex yang ditayangkan berbeda dengan chart pasar sebenarnya dan ternyata sudah ditentukan oleh pembuat algoritma Binomo itu sendiri? Tidakkah harusnya hal ini menjadi pelajaran untuk para penjudol?Efek Psikologis Judi OnlineApa yang membedakan Binomo dengan judi online adalah judi online jauh lebih canggih daripada Binomo. Pada judi online memiliki perbedaan dimana mereka tidak saja menggunakan ilusi keacakan, namun juga mempelajari bagaimana otak manusia bekerja dan juga memanfaatkan data jaringan relasi dari pemain judol, sehingga menghasilkan efek euforia dan kecanduan yang luar biasa dan pemviralan yang merambat dengan cepat. Penulis pernah menonton film dokumenter dari National Geographic Channel berjudul Brain Games. Dimana pada film dokumenter tersebut menjelaskan bahwa bunyi-bunyi tertentu dan warna-warna tertentu dapat menghasilkan kebahagian luar biasa bagi penggunanya. Ini sering dipakai pada acara kuis pada acara TV dahulu. Jika peserta menjawab dengan benar, maka akan muncul lagu, cahaya dan warna-warna yang menggambarkan kegembiraan, sehingga membuat euforia lebih dalam lagi. Menurut ahli Neurosains, lampu, suara dan warna-warna tersebut akan membuat level kecanduan pemain lebih besar. Karena pemain ternyata tidak hanya ingin mendapatkan kemenangan dalam bentuk uangnya saja, tetapi dia ingin mendapatkan euforia yang tersedia yang menghasilkan dophamine di kepalanya. Ini alasan mengapa beberapa penjudi walaupun tahu dia memiliki peluang kecil untuk menang, tapi dia tetap ingin bermain karena sebenarnya dia tidak mengincar uangnya, tetapi euforianya. Ini mirip seperti efek Narkoba. Para Bandar Judol Memanfaatkan Network ScienceNetwork Science adalah ilmu yang mempelajari jaringan atau koneksi seperti Telekomunikasi, Biologi, Sosial Antropologi dan lain sebagainya. Ilmu ini sangat penting dikarenakan mampu memprediksi dengan akurat dan bahkan mempengaruhi objek yang dituju. Ini dipakai dalam banyak hal, termasuk dalam mempengaruhi calon pemilih untuk memilih pasangan Calon Presiden mana yang akan dimenangkan, seperti skandal Cambridge Analytica yang pernah bocor di Tahun 2018. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nial Ferguson dalam film dokumenter berjudul Networld menunjukkan bahwa pengaruh jaringan dan koneksi dapat mempengaruhi manusia. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa obesitas ternyata memiliki dampak menular. Dimana orang yang memiliki lingkaran relasi yang obesitas akan memiliki probabilitas untuk menjadi obesitas juga. Padahal obesitas bukanlah penyakit menular. Tapi, dalam penelitian itu menunjukkan obesitas dapat menular seperti penyakit karena pengaruh orang disekitarnya. Jaringan dan relasi dapat sangat mempengaruhi seseorang. Ini juga dapat dilihat pada bagaimana pengguna rokok menyebar. Orang yang tidak merokok pada awalnya akan mulai ikut-ikutan merokok dikarenakan lingkarannya juga merupakan perokok. Sehingga, sifat dapat menular kepada seseorang dikarenakan pengaruh jaringan. Ini mirip seperti apa yang tertulis dalam Hadis yang berkata “Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (Hadis Abu Daud).  Juga dijelaskan dalam ayat Alkitab yang berkata “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik. Sadarlah kembali sebaik-baiknya dan jangan berbuat dosa lagi! Ada di antara kamu yang tidak mengenal Allah. Hal ini kukatakan, supaya kamu merasa malu.” (1 Korintus 15:33-34).Penggunaan Network Science juga digunakan oleh pembuat aplikasi judol dimana mereka akan melihat data para pemainnya. Dia akan melihat apakah pemain ini mempunyai jaringan yang banyak, posisi jabatan yang tinggi, rekan, anggota atau teman yang banyak dan relasi lainnya. Jikalau iya, maka pembuat aplikasi judi online akan sesekali memberikan kemenangan kepada orang-orang pada kategori tersebut. Tujuannya? Agar ketika orang tersebut menang, dia akan menceritakan ke relasinya atau mengadakan pesta atau menjamu relasinya yang banyak tersebut. Kemudian relasinya akan tertarik melihat kemenangan dan euforia yang mereka lihat, sehingga ikut bermain dan terjadilah keviralan yang efektif mempengaruhi dan menambah para pemain judi online. Kemudian, dari antara mereka yang punya jaringan yang paling banyak juga akan dibiarkan menang agar menularkan kembali euforia tersebut. Begitu terus sampai merambat bahkan sampai ke pelosok ibu Pertiwi. Ini mengapa kerugian Judol tersebut bisa mencapai 900 Triliun karena perambatannya yang luar biasa. Ini seperti Multi Level Marketing (MLM) tapi lebih efektif dikarenakan ekspresi dari pemenang tersebut adalah asli dan dilihat oleh relasinya. Sedangkan, MLM sering seperti sales yang berpura-pura dan teman-temannya mengerti kepura-puraan itu. Inilah yang membuat penularan judol tersebut begitu marak. Apalagi, relasinya kadang melihat yang menang tidak hanya satu orang saja, tetapi lebih dari satu. Lebih parahnya lagi, mereka yang punya relasi sedikit dan punya teman yang sedikit dan sering di dalam kamar sendirian, menurut ahli Psikologi, memiliki kerentanan akan depresi yang tinggi. Jika orang tersebut terkena judol, maka tingkat untuk bunuh diri sangat tinggi.  Sering orang yang seperti itulah yang dibuat kalah karena dia tidak memiliki jaringan yang banyak untuk “ditularkan”, sehingga tidak terlalu menguntungkan bagi bandar judi online. Tentu ada pemain yang diberikan kemenangan palsu agar mengira apa yang dimainkannya adalah benar-benar nyata. Disini juga bandar judol juga melihat status orang tersebut dan berapa pendapatannya. Dari pola permainannya, Bandar dapat mengetahui apakah pemain tersebut sudah kecanduan atau belum. Bahkan lebih parahnya lagi, jika pemain tersebut tidak memiliki uang, maka bandar judol dapat menawarkan Pinjol kepada dirinya. Padahal, seperti yang Penulis jelaskan sebelumnya, tidak ada algoritma acak. Semua telah ditentukan dari awal siapa yang akan menang. Pemain hanya mendapatkan ilusi keacakan belaka dari kejahatan yang terorganisir. Oleh karena itu, untuk mencegah penyebaran judol secara masif, maka Pemerintah pun harus juga menggunakan Network Science untuk mengkampanyekan anti judi online serta penipuan dibaliknya agar penyebaran masif dari judi online dapat ditekan. Kampanyekan penipuan dibaliknya, sehingga para penjudi dan calon penjudi akan mengerti bahwa apa yang mereka mainkan bukanlah judi, tetapi penipuan sistematis.

Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan

article | Opini | 2025-02-09 09:00:40

UU Kepailitan di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Lalu bagaimana seharusnya?Kepailitan merupakan suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor yang ditujukan untuk membagi harta tersebut untuk membayar utang-utang debitor kepada para kreditornya secara pari passu atau berimbang, kecuali ada kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.Kepailitan terhadap suatu subjek hukum baik perseorangan (natuurlijke persoon, individual insolvency) maupun badan hukum atau perusahaan (rechtspersoon, corporate insolvency) dapat terjadi jika beberapa persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat terpenuhi, antara lain minimal ada dua kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Persyaratan tersebut tanpa membedakan apakah debitor hanya sekedar tidak bersedia membayar kreditornya karena adanya alasan-alasan tertentu, misalnya jika kreditor tidak melaksanakan prestasi yang telah diperjanjikan sebelumnya, atau memang benar debitor sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utang nya tersebut (insolven).Memperhatikan syarat kepailitan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, sedangkan hukum kepailitan dalam hal ini sama sekali tidak melarang dan mengatur mengenai kemungkinan dipailitkannya debitor yang masih memiliki kekayaan yang masih cukup untuk membayar utang-utangnya. Hal ini dapat merugikan perusahaan yang sebenarnya masih dalam keadaan solven pada saat Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan pailit. Kondisi tersebut bisa terjadi karena Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia mengatur demikian.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut tidak mensyaratkan kondisi atau hal lain selain dua hal tersebut, termasuk tidak mensyaratkan solvabilitas debitor. Hal ini berarti bahwa apabila hakim hanya menggunakan parameter dua hal tersebut, maka tidak dapat disalahkan dan bahkan telah melaksanakan ketentuan undang-undang. Bahkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengharuskan hakim untuk mengabulkan permohonan pailit tersebut.Penerapan hukum kepailitan dalam hal ini Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 oleh hakim pengadilan niaga secara legistis, tekstual dan sinkronis, dapat menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks serta menciptakan suatu ketidakadilan untuk kasus tertentu, seperti dalam kasus-kasus kepailitan terhadap debitor yang sangat solven dalam kasus kepailitan tersebut di atas. Di sinilah perlunya pembatasan untuk kasus tertentu. Oleh karena itu, solvabilitas perusahaan harus dipertimbangkan oleh hakim yang memutus permohonan pailit.Landasan Filosofis Tidak Diberlakukannya Insolvency Test di IndonesiaUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 cenderung lebih memudahkan kreditor dalam mengajukan permohonan pailit. Permohonan dengan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta diketahui debitor memiliki dua kreditor permohonan pengajuan pailit dapat langsung diterima serta diputuskan oleh hakim. Selain itu, disertai prinsip pembuktian sederhana membuat debitor semakin mudah untuk dipailitkan. Debitor susah untuk membela diri dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kondisi keuangan debitor tidak dipandang sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hal ini seringkali dipandang sebagai asal mula terjadinya ketidakadilan bagi debitor karena permasalahan antara kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan terkadang bukan disebabkan oleh alasan debitor tidak mampu membayar tapi debitor tidak mau membayar karena ada sengketa perdata mengenai pelaksanaan perjanjian antara debitor dan kreditor.Secara filosofis terjadi ketidakadilan terhadap debitor, khususnya terhadap debitor yang berada dalam keadaan keuangan sehat dan memiliki aset jauh lebih besar dari pada utangnya. Kondisi keuangan debitor yang sehat dan usaha yang prospektif tidak dapat dijadikan alasan untuk hakim menolak permohonan pailit. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, pada umumnya terjadi hanya untuk pemenuhan unsur jumlah kreditor lebih dari satu dan keadaan gagal bayar (tidak membayar) salah satu utang yang jatuh tempo, maka keadaan tersebut dapat dimohonkan pailit, pemenuhan unsur ini seringkali tidak melihat keadaan debitor apakah solven (mampu membayar) atau insolvensi. Hal ini karena dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit di Indonesia hanya didasarkan pada sistem pembuktian sederhana terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) terkait pembuktian sederhana yang hanya menyandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) terkait persyaratan dapat tidaknya debitor dipailitkan justru berisi aturan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak adanya pengujian apakah benar seorang debitor telah dalam keadaan tidak mampu (insolvency test). Tidak diaturnya insolvensi test untuk menentukkan kepailitan di Indonesia adalah berkaitan dengan asas actori incumbit probitio yang dianut dalam hukum pembuktian di Indonesia. Asas tersebut terdapat dalam Pasal 163 HIR yang bermakna, barangsiapa yang mendalilkan hak maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa hukum acara perdata di Indonesia menganut asas actori incumbit probitio sehingga apabila insolvensi tes diterapkan maka pemohon pailit harus bisa membuktikan termohon pailit berada dalam keadaan insolvensi. Atas kondisi tersebut akan menjadi semakin rumit jika pemohon tidak bisa untuk mengakses laporan keuangan termohon.Tidak diaturnya insolvensi tes dalam hukum kepailitan di Indonesia erat kaitannya dengan sistem pembuktian di dalam Hukum Kepailitan Indonesia menerapkan prinsip pembuktian sederhana. Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana merupakan suatu syarat absolut yang membatasi kewenangan dari pengadilan niaga dalam upaya membuktikan apakah seorang debitor yang dimohonkan pailit tersebut terbukti mempunyai sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta tidak dapatnya debitor tersebut untuk melunasi utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Adanya prinsip pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia inilah yang menjadi alasan tidak diterapkannya insolvensi tes di Indonesia. Adanya ketentuan untuk membuktikan terlebih dahulu seorang debitor benar-benar insolvent atau yang lazim disebut insolvency test akan mengakibatkan pemohon pailit dibebani kewajiban membuktikan bahwa usaha termohon sudah kolaps, modalnya di bawah 50 persen, dan terus tergerus utang. Masalah ini akan dibuktikan di pemeriksaan awal, semacam dismissal process di Pengadilan Tata Usaha Negara. Keberadaan insolvensi tes akan membuat pembuktian tidak lagi dapat dilakukan dengan sederhana karena masih harus dilakukan beberapa tahapan.Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Solven Yang Beritikad BaikItikad baik dalam perkara kepailitan ini tidak hanya berupa “niat” atau “keinginan” semata tetapi niat dan keinginan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata berupa hal-hal yang mengarah untuk melakukan pembayaran utang debitor kepada kreditor. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi itikad baik dapat dilihat dari dua aspek yaitu; aspek subyektif dimana itikad baik tersebut masih bersifat “niat” atau “will” atau kehendak dan aspek obyektif, dimana itikad baik bersifat “act” atau “tindakan” yang dapat menimbulkan hubungan hukum.Hal yang perlu untuk diperhatikan dalam perkara kepailitan adalah adanya itikad buruk yang tidak hanya datang dari debitor tetapi juga dari kreditor. Proses kepailitan digunakan oleh kreditor yang beritikad buruk untuk mengancam debitor yang tidak mau membayar utangnya, bukan karena tidak mampu (unable) untuk membayar utangnya, bahkan yang nilai tagihannya tidak sebanding dengan nilai aset yang dimiliki termohon, karena dalam UU Kepailitan di Indonesia, tidak adanya persyaratan minimum utang yang dijadikan dasar pengajuan permohonan pailit. Salah satu tujuan hukum kepailitan seperti yang disebutkan di atas yaitu melindungi debitor yang jujur dan beritikad baik dari para kreditornya. Debitor yang dianggap masih punya prospek dan itikad baik untuk meneruskan usahanya bisa mendapatkan bantuan dana baru sehingga dapat melanjutkan perusahaannya kembali. Hal ini karena ketidakmampuan debitor membayar utang tidak selalu karena kesalahan debitor sendiri dan apabila debitor tersebut diberi kesempatan akan dapat bangkit kembali meneruskan kegiatan usahanya dan mampu membayar utang-utangnya.Debitor yang beritikad baik dalam kepailitan adalah debitor yang tidak menyalahgunakan keadaan pailit sebagai sarana untuk menguntungkan dirinya sendiri, bersedia membukakan secara jujur tentang keberadaan seluruh hartanya dan utang-utang lainnya serta kooperatif dalam mengusahakan pembayaran utang-utangnya. Oleh karena itu, meskipun digolongkan sebagai hukum kepailitan modern, pelaku bankkruptcy fraud yang dengan sengaja menggunakan peristiwa kepailitan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain masih tetap dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap harta benda dan dijatuhi hukuman pidana.Sampai dengan saat ini Undang-Undang Kepailitan yang berlaku tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum secara preventif yang diberikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya diberikan setelah terjadinya putusan pailit melalui sarana perdamaian. Atas kondisi tersebut asas itikad baik serta asas solvabilitas dapat menjadi landasan bagi debitor yang sebenarnya masih solven untuk memperoleh perlindungan.Hakikat penerapan asas solvabilitas adalah memberikan perlindungan hukum bagi debitor yang solven terhadap kreditor beritikad buruk yang hendak menyalah gunakan instrumen hukum kepailitan untuk keuntungan dirinya sendiri maupun keuntungan pihak lain, misalnya kreditor yang sengaja mempailitkan debitor dengan niat ingin mendapatkan aset debitor dengan harga murah melalui lelang dan lain-lain. Penggunaan instrumen hukum kepailitan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang dari hakikat tujuan hukum kepailitan oleh pihak- pihak yang bertitikad tidak baik harus dapat dicegah dengan penataan dan penyempurnaan aturan kepailitan itu sendiri. Asas solvabiltas semestinya menjadi landasan bagi hakim pada saat hendak memutus  permohonan pailit. Sebelum memutus perkara terlebih dahulu Majelis Hakim harus melakukan penilaian terhadap usaha debitur apakah layak untuk dijatuhi pailit atau masih dapat diperbaiki. Hal ini memiliki koherensi dengan ketentuan Passal 1131 KUHPerdata yang menempatkan harta debitor yang mengalami pailit sebagai jaminan umum bagi para kreditornya, sehingga dengan demikian akan menjadi tidak relevan secara filosofis apabila debitor yang sebenarnya masih solven namun kemudian dipailitkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi bahwa dengan adanya kepailitan apabila jumlah harta debitor lebih besar dari hutangnya maka tidak akan terjadi perebutan harta debitor oleh para kreditor karena dengan jumlah harta yang lebih besar akan menjamin semua kreditor memperoleh pelunasan. Perubahan pola pikir serta analisis dari para hakim Niaga dalam hal ini mutlak diperlukan guna memberikan perlindungan hukum bagi debitor solven yang beritikad baik. Adapun perlindungan hukum tersebut dapat dilaksanakan dengan cara bahwa hakim niaga tidak telampau kaku dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tetapi  dalam memutus perkara kepailitan majelis hakim niaga juga wajib menggali nilai-nilai keadilan, kewajaran dan kepatutan yang ada didalam masyarakat. Keberadaan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 seyogyanya telah memberikan celah bagi Hakim Pengadilan Niaga untuk melakukan suatu terobosan hukum, yaitu dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan hukum tak tertulis namun dianggap mampu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara.Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka oleh undang-undang Hakim dibebani tugas sebagai legislator judgé maka sesungguhnya penerapan asas solvabilitas acara pemeriksaan sederhana dalam koridor permohonan pailit masih dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Pasal 8 ayat (6) tanpa perlu mengubah ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Konstruksi tersebut di atas merupakan saran untuk memberikan perlindungan hukum represif bagi debitor. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan permyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya.KesimpulanLandasan filosofis tidak diberlakukannya insolvensi tes dalam undang-undang kepailitan di Indonesia adalah, pertama, pembuktian dalam perkara perdata di Indonesia dibebankan pada pihak yang mendalilkan adanya suatu hak. Dalam hal ini tidak mudah untuk membuktikan pihak debitor berada dalam kondisi insloven apabila debitor bukan perusahaan publik. Kedua, begitu mudahnya untuk berutang di Indonesia sehingga apabila insolvensi tes diterapkan di Indonesia akan berpotensi merugikan banyak kreditor karena pembuktiannya tidak lagi dapat dilakukan secara sederhana. Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum terhadap debitor solven yang beritikad baik dapat diperoleh secara represif dengan membuktikan di hadapan persidangan bahwa debitor masih dalam kondisi solven. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya. (Boedi Haryantho)

Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi

article | Opini | 2025-02-07 12:05:56

Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Menjamurnya praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini kehidupan di Indonesia sangat ironis dengan banyaknya strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM seperti MTI dan ICW. Seluruh strategi yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi yang sudah menggejala.Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia mengingatkan pada suatu konsep yang disebut Capture Theory dari Amle O Krueger. Capture Theory  menyatakan bahwa segala sesuatunya di atas kertas secara yuridis formal adalah sah dan legal. Sayangnya pada tataran realitasnya teori ini banyak disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan beberapa pihak. Pendekatan akuntansi forensik akan sangat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para pelakunya. Berbagai kasus memperlihatkan yang diutamakan dalam mempertanggungjawabkan suatu pekerjaan adalah dalam rangka memenuhi persyaratan-persyaratan formal yang akan diminta oleh pemeriksa. Misalnya keharusan adanya kuitansi pengeluaran, daftar hadir rapat untuk pembayaran honor atau tiket pesawat terbang dan bording pass dalam kasus-kasus pertanggungjawaban belanja. Dokumen-dokumen formal yang disiapkan atau khusus disiapkan untuk mengesankan bahwa secara yuridis formal sebuah belanja adalah legal padahal didalamnya ada upaya rekayasa dengan dokumen fiktif, konspirasi pelaksanaan tender atau mark up.Dihadapkan pada korupsi yang melibatkan praktik-praktik sistemik dan melembaga seperti yang dijelaskan oleh capture theory membuat upaya dan strategi pemberantasan korupsi menjadi semakin rumit. Strategi dalam pemberantasan korupsi setidaknya harus memuat dua persyaratan yaitu adanya komitmen politik nasional untuk memberantas korupsi dan adanya sejumlah aktivitas yang dapat dilihat oleh masyarakat luas sebagai entry-point atau pintu masuk pemberantasan korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah memuat komitmen politik secara resmi. Demikian pula komitmen politik rakyat secara konkrit telah dibuktikan dalam  banyak kegiatan unjuk rasa, demonstrasi, diskusi, pernyataan pendapat, analisis dan saran-saran yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat yang menyatakan agar segera dihapuskannya praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Berkaitan dengan entry-point diperlukan adanya strategi pemberantasan korupsi nasional yang disosialisasikan kepada masyarakat luas serta adanya upaya nyata untuk memperkuat lembaga-lembaga yang berkewenangan untuk pemberantasan korupsi. Berikutnya adalah tersedianya profesional dengan kompetensi memadai untuk melacak dan membuktikan suatu kejadian korupsi. Kompetensi profesional yang dilindungi oleh lembaga profesi khususnya profesi akuntan forensik belum ada dan belum digunakan dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus korupsi di Indoensia. Artikel ini mengkaji strategi pemberantasan korupsi serta potensi dari akuntansi forensik sebagai ilmu dan akuntan forensik sebagai profesi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Artikel ini memfokuskan pembahasan pada peran akuntansi forensik dalam upaya pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi melalui pemutusan mata rantai model segi tiga kecurangan fraud triangle dari Donald R. Cressy.Forensik Accounting, Forensik Investigation, Forensik Audit dan Litigation Support adalah beberapa terminologi penting dalam memahami akuntnasi forensik sebagai bagian dari ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan pencegahan tindak pidana korupsi. Beberapa terminologi ini dibahasa sebagai berikut.Forensik AccountingForensik Accounting, provides an accounting analysis that is suitable to the court which will form the basis for discussion, debate and ultimately dispute resolution.Akuntansi forensik, menyediakan suatu analisis akuntansi yang dapat digunakan dalam perdebatan di pengadilan yang merupakan basis untuk diskusi serta resolusi di pengadilan. Penerapan pendekatan-pendekatan dan analisis-analisis akuntansi dalam akuntansi forensik dirancang untuk menyediakan analisis dan bukti memeadai atas suatu asersi yang nantinya dapat dijadikan bahan untuk pengambilan berbagai keputusan di pengadilan. Forensik InvestigationThe utilization of specialized investigative skills in carrying out an inquiry conducted in such a manner that the outcome will have application to a court of law.  A Forensik Investigation may be grounded in accounting, medicine, engineering or some other discipline.Investigasi forensik pemanfaatan keterampilan khusus dalam penyelidikan untuk menyelesaikan suatu permintaan pemeriksaan yang hasilnya akan mempunyai aplikasi atau digunakan untuk kepentingan di pengadilan. Suatu penyelidikan forensik mungkin didasarkan pada akuntansi, obat kedokteran, rancang-bangun atau beberapa  disiplin lain. Prinsipnya forensik investigasi merupakan penerapan tekink-teknik auditing yang ditujukan dan dirancang khusus untuk mencari atau menemukan bukti dan pembuktian atas suatu perngungkapan keuangan yang nantinya dapat digunakan dalam proses persidangan di pengadilan.Forensik AuditAn examination of evidence regarding an assertion to determine its correspondence to established criteria carried out in a manner suitable to the court. Suatu pengujian mengenai bukti atas suatu pernyataan atau pengungkapan informasi keuangan nuntuk menentukan keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang memadai untuk kebutuhan pembuktian di pengadilan. Audit forensik lebih menekankan proses pencarian buki serta penilaian keseuaian bukti atau temuan audit tersebut dengan ukuran pembuktian yang dibutuhkan untuk proses persidangan. Audit forensik merupakan perluasan dari penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan bukti untuk kebutuhan persidangan di pengadilan.Litigation Support "Litigation Support", provides assistance of an accounting nature in a matter involving existing or pending litigation.  It deals primarily with issues related to the quantification of economic damages.  A typical litigation support assignment would be calculating the economic loss resulting from a breach of contract.Litigation support menyediakan bantuan dari pengetahuan akuntansi dalam hal menyatakan ada atau menunda proses pengadilan terutama mengenai isu yang berhubugna dengan kuantifikasi dari kerusakan ekonomi.  Jenis dukungan pengadilan menyediakan dukungan menganai perhitungan kerugian ekonomi dari dilanggarnya suatu kontrak atau tugas public yang idbebankan kepada seseorang karena jabatannya.Mencari Jurus Baru Pemberantasan KorupsiAnalisis atas perbuatan-perbuatan korupsi dapat didasarkan pada berbagai pilihan pendekatan. Berdasarkan pendekatan yang dipilih, selanjutnya dapat dirumuskan strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang tepat. Praktik korupsi dapat dilihat berdasarkan aliran prosesnya, yaitu dengan melihatnya pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi, pada posisi perbuatan korupsi terjadi dan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi. Pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi upaya pencegahannya bersifat preventif. Pada posisi perbuatan korupsi terjadi upaya mengidentifikasi atau mendeteksi terjadinya korupsi bersifat detektif. Sedangkan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi upaya untuk meyelesaikannya secara hukum dengan sebaik-baiknya bersifat represif. Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal yang menjadi penyebab timbulnya praktik korupsi. Setiap penyebab korupsi yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi. Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang singkat dan akurat. Deteksi dini mengenai suatu tindakan korupsi dapat mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan tepat sehingga akan menghindarkan kerugian lebih besar yang mungkin timbul. Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi  hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi. Dengan demikian, proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dilkaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya sehingga proses penanganan tersebut akan dapat dilakukan secara cepat dan tepat.Akuntansi forensik dalam kontek preventif, detektik dan represif secara aksiomatik dapat mengambil peranannya dengan menyediakan pendekatan-pendektan yang efektif dalam mencegah, mengetahui atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi. Untuk kepentingan ini akuntansi forensik di Indoensia belum banyak digunakan karena profesi akuntansi belum menetapkan standar dari penerapan akuntansi forensik sebagai salah satu profesi akuntan.Akuntansi forensik dan profesi akuntan forensik yang di negara-negara maju mengambil peran strategik dalam pengungkapan kecurangan termasuk korupsi di Indonesia belum begitu umum peranannya. Kondisi ini tidak terlepas dari belum ditetapkannya standar untuk profesi ini dan belum dimasukannya akuntansi forensik dalam kurikulum perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga akuntan. Pendidikan akuntan forensik merupakan sinergi dari pendidikan tinggi dan profesi akuntansi yang secara khusus dalam kurikulumnya memberikan dasar-dasar ilmu hukum khusus yang berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti perkara.Akuntansi forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan menyediakan alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud triangle tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi akuntan forensiknya dapat menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku korupsi bahwa ada peluang untuk melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan mampu mengungkapkannya. Keyakinan bahwa tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk transactive corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive corruption, exortive corruption maupun defensive corruption menjadi terbatasi karena ada profesi kompeten yang akan menginvestigasi. Dalam kontek ini akuntansi forensik berperan sebagai strategi preventif untuk mencegah tindak pidana korupsi karena ada kekawatiran dari pelaku bahwa korupsi yang dilakukan dengan mudah akan terungkap oleh para akuntan forensik.Akuntansi forensik juga dapat mengambil peranan dalam upaya pengungkapan tindak pidana korupsi atau strategi detektif. Secara sistemik prosedur-prosedur investigasi dalam audit forensik memang berbeda dari auditing pada umumnya. Audit forensik yang sejak awal memang dirancang guna mengumpulkan dan menyediakan bukti untuk kepentingan persidangan di pengadilan akan menghasilkan temuan audit yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan audit umum yang disediakan oleh jasa profesi akuntan. Dalam kontek strategi detektif audit forensik menrapkan prosedur-prosedur investigasi unik yang memadukan kemampuan investigasi bukti keuangan dengan muatan transaksinya dengan investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat atau modus operandi dari pelakunya.  Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian dari profesi akuntan di Indoensia khususnya dari kompartemen akuntan pendidik maupun kompartemen lainnya.Perhatian tersebut dapat berupa sumbangan kajian empiris atau konseptual mengenai bagaimana kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia dan bagaimana sistem pendidikan dan kurikulum ideal untuk menghasilkan tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle yang mendorong orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.SimpulanAkuntansi forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif dan persuasif melalui penerapan prosedur audit forensik dan audit investigatif yang bersifat litigation suport untuk menghasilkan temuan dan bukti yang dapat digunakan dalam proses pengambilan putusan di pengadilan.Belum tersedianya institusi yang menghasilkan tenaga akuntansi forensik dan audit forensik memerlukan upaya dari institusi penyelenggara pendidikan dalam menyediakan kurikulum yang membekali lulusan dengan kompetensi akuntansi forensik.Belum tersedianya lembaga dan standar profesi auditor dan akuntan forensik merupakan tantangan bagi profesi akuntansi di Indonesia untuk mengoptimalkan peran profesi dalam penanganan masalah nasional khususnya pengungkapan dan penanganan kasus korupsi. SaranMengacu dari pembahasan dan simpulan maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut.Kepada para peneliti dapat disarankan untuk melakukan penelitian empiris yang bertujuan untuk memformulasikan kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia. Kepada praktisi akademis dapat disarankan untuk merancang kurikulum pendidikan yang memungkinkan untuk dihasilkannya tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle sebagai penyebab tindakan orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.

Keberatan Pihak Ketiga Dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika

article | Opini | 2025-02-05 10:50:47

Perkara Narkotika sampai tahun 2024 masih mendominasi di setiap lingkungan Peradilan Tingkat Pertama. Berdasarkan Data yang dirilis oleh Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, MARTHINUS HUKOM, S.I.K., M.SI pada 25 November 2024, setidaknya terdapat 41.120 (empat puluh satu ribu seratus dua puluh) perkara Narkotika yang berhasil diproses sampai dengan bulan Oktober 2024. Salah satu permasalahan yang terjadi dalam penyelesaian perkara Narkotika yakni terkait Status Barang Bukti yang bernilai Ekonomis seperti kendaraan bermotor. Dalam prakteknya umumnya, barang bukti seperti kendaraan bermotor dalam tuntutan Penuntut Umum maupun Putusan Hakim akan dirampas untuk Negara sepanjang terbukti memiliki keterkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika.Namun dalam beberapa kasus Terdakwa memberikan keterangan dalam persidangan bahwasannya kendaraan bermotor tersebut ternyata bukanlah milik Terdakwa, melainkan milik Pihak Ketiga yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana narkotika. Tidak jarang, Terdakwa dalam perkara narkotika meminjam kendaraan bermotor milik Pihak Ketiga dengan dalih “jalan-jalan” ataupun “meminjam sebentar” sehingga pada saat tertangkap tangan barang bukti kendaraan bermotor disita dari Terdakwa karena sedang dalam penguasaan Terdakwa. Terlebih, Pihak Ketiga terlambat menerima informasi tentang pelaksanaan persidangan perkara pokok sehingga Pihak Ketiga tidak menjadi Saksi untuk menerangkan status barang bukti kendaraan bermotor miliknya.Dirampasnya Kendaraan Bermotor Pihak Ketiga yang disita dari Terdakwa tentu menjadi suatu polemik karena menyebabkan kerugian bagi Pihak Ketiga yang tidak tahu menahu perihal tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa. Sejatinya, terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur mengenai prosedur pengajuan keberatan bagi Pihak Ketiga yang alat atau barangnya dirampas dalam perkara narkotika vide Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun ketentuan ini terasa sumir bagi sebagian Hakim karena tidak diikuti dengan peraturan turunannya yang mengatur hal-hal teknis prosedural sehingga mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaanya.Adapun permasalahan teknis pelaksanaan persidangan keberatan Pihak Ketiga dalam perampasan barang bukti perkara Narkotika dirangkum oleh Penulis sebagai berikut:Bagaimana nomor register perkaranya? Apakah diregister dalam SIPP?Siapa yang menjadi Termohon keberatan?Apa Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan? Apakah Penetapan atau Putusan?Bagaimana pelaksanaan hukum acaranya?Oleh karena keterbatasan peraturan turunan tersebut, salah satu alternatif yang ditempuh oleh Pihak Ketiga apabila keberatan dengan status perampasan barang bukti yakni melebur dengan kepentingan Terdakwa melalui prosedur pengajuan upaya hukum yang dimohonkan oleh Terdakwa kepada Pengadilan Tinggi dan/atau Mahkamah Agung. Padahal Pihak Ketiga memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Terdakwa, dimana Pihak Ketiga hanya memperjuangkan kendaraan bermotor yang dirampas melalui Putusan Pengadilan Tingkat Pertama sedangkan Terdakwa memiliki kepentingan mengenai pemidanaan maupun strafmaat straafmaat atau lamanya Pidana Penjara.Maka dari itu artikel ini akan membahas mengenai prosedur keberatan Pihak Ketiga terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika berdasarkan pengalaman Penulis dalam mengadili perkara keberatan Pihak Ketiga yang beritikad baik terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika.Ketiadaan prosedur seharusnya tidak menghalangi tercapainya keadilan substantif Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah barang tentu menjadi norma hukum dasar dalam menangani perkara a quo. Dimana Pihak Ketiga dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan barang bukti milik Pihak Ketiga dirampas dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.Kemudian bagaimana dengan hukum acaranya yang tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundangan undangan? Untuk mengisi kekosongan peraturan, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang. Artinya, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, namun hakim juga tidak mengabaikan prinsip hukum sebagai suatu sistem. Maka dari itu Konstruksi Hukum Argumentum Per Analogium (Analogi) diperlukan dalam menangani perkara a quo karena bagaimanapun juga berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.Konstruksi Hukum secara analogis dalam perkara Narkotika perlu merujuk secara limitatif kepada Perma Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Hal itu telah dilakukan Penulis dalam mengadili perkara Penetapan Nomor 1/Keberatan-Pid.Sus/2024/PN Lsm Jo. Nomor 104/Pid.Sus/2024/PN Lsm di Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Dimana Pihak Ketiga diberikan akses secara khusus untuk mengajukan keberatan secara terpisah dengan perkara pokoknya. Pemohon Keberatan selaku Pihak yang mengakui kepemilikan kendaraan bermotor mengajukan keberatan atas perkara pokok yang telah menetapkan sepeda motornya dirampas untuk Negara.Permohonan keberatan tersebut diajukan secara tertulis dengan Termohon yaitu Kejaksaan Negeri selaku eksekutor atas barang bukti. Selain itu, oleh karena perkara keberatan ini diajukan tanpa dipungut biaya, maka panggilan sidang dilaksanakan secara manual oleh Juru Sita Pengadilan Negeri. Kemudian, jalannya persidangan memiliki kemiripan dengan persidangan Pra Peradilan dengan tahapan beracara yaitu Pembacaan Permohonan Keberatan, Tanggapan dari Termohon, Pembuktian dari Para Pihak dan diakhiri dengan Pembacaan Penetapan. Secara keseluruhan Penetapan sudah harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak sidang pertama.Hanya saja, dalam pelaksanaan persidangan keberatan, Majelis Hakim sekiranya perlu teliti untuk mengetahui apakah barang bukti tersebut sudah dieksekusi oleh Termohon ataukah belum, sebab apabila barang bukti tersebut sudah dieksekusi maka sudah sepatutnya perlu ditarik Menteri Keuangan sebagai Turut Termohon. Selain itu, oleh karena terdapat kemungkinan adanya Permohonan Keberatan dan Permohonan Banding dilakukan secara bersamaan maka Panitera Pengadilan Negeri harus memberitahukan adanya Permohonan keberatan kepada Majelis Hakim pada tingkat Banding dan/atau Kasasi.Kemudian, apabila Permohonan Keberatan dikabulkan maka per se Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan status keberatan barang bukti dirampas berubah menjadi dikembalikan kepada Pemohon Keberatan dan diperintahkan kepada Termohon untuk melaksanakanan Putusan keberatan tersebut.KesimpulanKeterbatasan Peraturan Teknis dalam Prosedur Keberatan Pihak Ketiga dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika menuntut Hakim melakukan Konstruksi Hukum analogis dengan Peraturan lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan guna memastikan pemberian akses kepada Warga Negara untuk memperjuangkan hak atas barangnya di persidangan. Ketidakhadiran Pihak Ketiga dalam perkara pokok tidak serta merta menghapuskan Hak Pihak Ketiga untuk dapat mengajukan Keberatan atas perampasan barang. Sepanjang Pihak Ketiga dapat membuktikan itikad baik, bukti-bukti yang relevan dan tidak ada keterkaitannya dengan tindak pidana narkotika maka hal tersebut dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim untuk memutus status barang bukti secara berimbang dengan menerapkan asas audi et alteram partem.

Hakim dan Dilema Terobosan Hukum di Kasus Kehutanan

article | Opini | 2025-02-02 14:30:10

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada pasal tersebut maka kepastian hukum yang adil merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Namun kenyataannya, tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum kerap menjadi bentrokan yang tidak terhindarkan dalam penerapan hukum pidana khususnya terkait penetapan status barang bukti berupa alat angkut milik pihak ketiga yang beritikad baik dalam tindak pidana kehutanan. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) telah mengatur bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 16 disebutkan bahwa di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut. Sebelum adanya pembaruan terhadap UU PPPH tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 16 Mei 2008 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Mahkamah Agung melalui SEMA tersebut mengingatkan hakim agar memperhatikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama ketentuan dalam Pasal 50, Pasal 78 dan Pasal 38. Lebih lanjut pada poin ke-3 (ketiga) dalam SEMA tersebut menyebutkan bahwa Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dengan tegas menentukan bahwa “semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.”Aturan-aturan tersebut secara eksplisit tidak membedakan kepemilikan dari alat angkut yang dirampas untuk negara apakah milik Terdakwa atau milik pihak ketiga. Barang bukti milik Terdakwa telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Selanjutnya dalam ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (3) KUHP. Hal yang menjadi question of law selanjutnya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya dirampas untuk negara?Adanya aturan yang mengatur alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara tersebut seolah mendudukkan hakim sebagai corong undang-undang. Dalam ranah kebijakan pidana hakim memang memiliki peran sebagai pemegang kebijakan aplikatif yang bertugas untuk menerapkan suatu peraturan hukum. Namun demikian, hakim tidak harus selalu menjadi juru cakap dari undang-undang (la bouche de la loi) yang menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing). Aturan perampasan barang bukti tersebut di satu sisi dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut dan sebagai upaya penyelamatan kekayaan negara. Tetapi di sisi lainnya ada hak dari pihak ketiga yang beritikad baik yang harus dilindungi. Pada dasarnya aturan hukum memiliki aspek kepastian hukum dan seharusnya memenuhi kebutuhan akan keadilan. Keadilan sejatinya meletakan sesuatu pada tempatnya dengan memberikan orang atas sesuatu yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere) dan tidak mengakibatkan kerugian bagi pemilik barang bukti berupa alat angkut tersebut. Terlebih lagi apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya merupakan alat yang digunakan untuk bekerja yang berkaitan dengan mata pencahariannya.Pada praktik penegakan hukum kerap kali ditemui perspektif yang berbeda dalam menilai pihak ketiga yang beritikad baik khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan. Definisi dari pihak ketiga yang beritikad baik dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pihak ketiga yang beritikad baik berdasarkan aturan tersebut merupakan pihak yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang sah, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan atas barang-barang yang tidak ada kaitannya secara hukum dalam proses terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, pihak ketiga yang beritikad baik juga harus dapat membuktikan bahwa (a) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan sebelum dilakukan penyidikan dan/atau penyitaan; (b) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan berdasarkan itikad baik; (c) Objek keberatan merupakan barang yang dirampas atau dimusnahkan dalam perkara tindak pidana korupsi; dan (d) Pemohon tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.Menurut hemat Penulis, PERMA Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dapat menjadi rujukan dalam menentukan pihak ketiga yang beritikad baik dengan menyesuaikan karakteristik perkara tindak pidana kehutanan, sebab karakteristik penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan tindak pidana kehutanan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar yaitu keamanan kekayaan negara khususnya perlindungan kelestarian lingkungan hidup pada tindak pidana kehutanan. Berkaitan dengan perampasan barang bukti berupa alat angkut tersebut pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005, tanggal 1 Maret 2006, perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang Telah Diubah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pertimbangannya halaman 80 sampai dengan 81 juga telah menguraikan sebagai berikut: “…Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law di atas, hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, good faith) tetap harus dilindungi…”Lebih lanjut mengenai hak milik dalam hukum perdata telah ditegaskan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan hak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak–hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.Salah satu wujud perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik terhadap barang bukti miliknya dapat terlihat dalam peraturan tindak pidana perikanan yang mencantumkan kata “dapat” dalam rumusan Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) yang menyebutkan bahwa “benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara”. Begitu juga halnya dalam Pasal 76A UU Perikanan yang mengatur bahwa “benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.” Terlihat bahwa dengan adanya kata “dapat” tersebut tidak membatasi cakupan suatu ketentuan secara restriktif perihal penetapan status barang bukti. Dengan kata lain undang-undang memberikan ruang bagi hakim untuk menilai dan menetapkan apakah barang bukti tindak pidana kehutanan sudah sepatutnya dikembalikan kepada pihak ketiga yang beritikad baik selaku pemilik atau menetapkan barang bukti dirampas untuk negara. Hal ini disebabkan hakim tidak dapat mengesampingkan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan begitu saja apabila pihak ketiga yang memiliki alat angkut (i.e: truk/becak/perahu/kapal) dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bermufakat jahat dengan Terdakwa terhadap barang bukti miliknya yang digunakan dalam perkara tindak pidana kehutanan. Dalam agama Islam sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim untuk senantiasa melakukan ijtihad dalam memutus sebuah perkara yang didasarkan pada fakta-fakta hukum dalam persidangan. Hakim seyogianya dapat menerapkan peraturan yang bersifat abstrak terhadap kasus konkrit dalam persidangan meski pada akhirnya hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Berbicara mengenai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan maka hal ini berkorelasi dengan adagium Summum Ius Summa Injuria Summa Lex, Summa Crux (hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya) yang dikemukakan oleh seorang filsuf di zaman Romawi Kuno, Marco Tulio Ciceróna. Apabila kepastian hukum saja yang diutamakan, maka hanya keadilan prosedural (procedural justice) yang dapat tercapai. Meskipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. Apa yang dianggap sebagai kepastian hukum atas putusan hakim yang adil, bisa jadi merupakan ketidakadilan yang besar bagi masyarakat (rigorous law is often rigorous injustice). Sebab hubungan antara keadilan dan kepastian hukum selalu bergantung kepada kultur dan harus dipertimbangkan secara berimbang case by case oleh hakim.Penulis berharap ada penyempurnaan dan pembaruan terhadap UU PPPH mengenai aturan perampasan barang bukti kedepannya, sehingga penjelasan dalam Pasal 16 UU PPPH dapat berbunyi setidak-tidaknya menjadi “alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dapat dirampas untuk negara apabila pelaku tindak pidana perusakan hutan adalah sekaligus pemilik barang bukti.” Kemudian hal yang harus diatur adalah mengenai hal-hal apa saja barang bukti berupa alat angkut yang terkait dengan pihak ketiga beritikad baik tersebut dapat dirampas untuk negara. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang memiliki legitimasi pembentukan hukum kiranya dapat menerbitkan SEMA terkait petunjuk penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang merujuk pada UU PPPH terbaru. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan rapat pleno kamar guna mewujudkan kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan.Sebagaimana dikemukakan oleh Van Oven bahwa jalan terbaik dari kepastian hukum adalah tidak terikatnya hakim pada bunyi undang-undang, tetapi justru pada kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Begitu pula menurut Franken bahwa pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta mana dalam kasus tertentu menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa. Sejatinya proses penegakan hukum bukan hanya semata-mata untuk menjamin dan mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat, in casu memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga yang beritikad baik untuk mendapatkan hak-haknya atas alat angkut miliknya yang dirampas dalam perkara tindak pidana kehutanan.Nadia Yurisa Adila, S.H., M.H.Hakim Pengadilan Negeri Sawahlunto

Cara Memahami Putusan Hakim

article | Opini | 2025-01-25 09:00:39

Seperti juga terhadap putusan-putusan yang lain, baik perdata ataupun pidana umum maka terhadap Putusan Hakim Tipikor pun lazim muncul respon bersifat pro kontra. Pro kontra itu terjadi tidak saja di kalangan awam hukum, tetapi bahkan oleh sesama alumni fakultas hukum, yang belajarnya sama pada guru yang sama pula.Tulisan ini tidak untuk menegur siapa-siapa. Tidak pula untuk mengajari bebek berenang. Tetapi hanya sebagai tanggungjawab moral akademik untuk mencerahkan publik.Dalam kapasitas sebagai warga pengadilan di bawah institusi Mahkamah Agung, saya juga tentu memiliki kewajiban moral menyampaikan esensi putusan hakim yang ideal.Kalangan awam hukum memang wajar jika mereka memahami putusan hakim dalam konteks kalah atau menang. Iya hanya sebatas itu saja, menang versus kalah. Namun bagi yang sudah belajar ilmu hukum, minimal lulus Sarjana Hukum, sebaiknya pemahaman terhadap putusan hakim perlu diperluas.Bagi yang sarjana hukum, sebaiknya putusan hakim jangan hanya dibaca pada amarnya saja. Tetapi cermati pula pertimbangan-pertimbangan yang mendasari amar tersebut serta peraturan perundangan yang menjadi rujukan majelis hakim.Saya memaklumi jika kalangan awam tidak suka mencermati dasar peraturan dan pertimbangan yang digunakan dalam suatu putusan hakim. Namun, sebaiknya tidak demikian bagi kalangan sarjana hukum.Karena ketidaktahuan terhadap dasar pertimbangan dan peraturan yang digunakan, maka apabila ada putusan yang tidak sesuai harapan publik, maka muncullah bully terhadap Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut. Tidak itu saja, lebih parah lagi kadangkala bully pun ditujukan pada institusi Mahkamah Agung yang harusnya suci dan mulia.Masyarakat non hukum sebaiknya mencermati putusan hakim secara bijak, tidak langsung terpancing dengan komentar-komentar tendensius yang membaca putusan secara tidak utuh. Maka karenanya, sebelum memberikan komentar, sebaiknya mendengar pendapat-pendapat ilmuwan hukum lain dari media-media yang berbeda.Jangan karena gara-gara satu perkara diantara ribuan perkara yang diadili dan diputuskan Hakim yang tidak pro publik, maka dihujat se-nusantara. Padahal putusan yang tak sesuai harapan publik, baru putusan pada tingkat pertama di pengadilan negeri. Tetapi hujatan sudah ditujukan kepada semua Hakim, termasuk sasarannya terhadap Hakim Tinggi dan bahkan Hakim Agung.Padahal lagi putusan banding pada Pengadilan Tinggi belum tentu sama atau menguatkan putusan pengadilan negeri. Kalaupun sama, belum tentu pula Mahkamah Agung menguatkan putusan hakim banding pada Pengadilan Tinggi.Realitanya, warga masyarakat tidak sabar menunggu putusan aquo berkekuatan hukum tetap (inkracht). Semua memberi komentar yang seakan-akan merasa tahu sekali substansi putusan tersebut. Bahkan ada profesor kedokteran yang ikut memberikan komentar pedas seakan-seakan beliau juga belajar hukum.Menghadapi situasi ini sungguh berat beban psikologis yang dialami para Hakim Indonesia. Tanpa ada yang berani membela institusi. Semua Hakim diam, seakan-seakan semua mengakui sebagai bandit dan jahat.Saya memaklumi bahwa kondisi kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung sedang menghadapi tantangan sehubungan dengan terungkapnya beberapa kasus kejahatan jabatan yang dilakukan oknum warga pengadilan yang tak berintegritas.Kejadian ini menimbulkan konsekuensi bagaikan "gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga".Karena beberapa orang oknum warga pengadilan yang tidak berintegritas, telah merusak citra Hakim senusantara.Kondisi ini mengakibatkan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan menjadi hancur berantakan dan memalukan. Padahal dimana-dimana di dunia ini, lembaga peradilan dan kehakiman adalah institusi yang dimuliakan dan disegani.Bagaimana bisa seorang Hakim pengadilan negeri diduga menyimpan uang di rumahnya hingga puluhan milyar. Bahkan ada pula seorang mantan pejabat struktural non teknis hukum diduga menyimpan uang kontan di rumahnya bergoni-goni mencapai satu trilyun. Sungguh tak masuk nalar.Akibatnya, trust yang telah dibangun susah payah hampir satu abad, dihancurkan oleh bandit-bandit dengan sebutan Yang Mulia. Kasihan sekali.

Hakim, Profesionalisme dan Integritas

article | Opini | 2025-01-21 10:10:03

Hakim dalam beberapa bulan terakhir menjadi sorotan dan highlight baik perilaku yang diperbuat maupun hasil proses persidangan yaitu putusan. Lalu bagaimana seharusnya seorang hakim menjadi profesional?Hakim sebagai penegak hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).Dalam posisi seperti ini, hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, moral dan integritas yang tinggi agar dalam memutus suatu perkara pidana yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim dalam menjaga perilaku  dan berinteraksi sosial itu penting, dan dalam menjalankan  yakni memutus suatu perkara harus benar-benar menegakkan hukum dan keadilan atas hal tersebut hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.Putusan Hakim Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat. Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, putusan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, Undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.Hakim dalam menjatuhkan Putusan secara  formiil  terdapat  2  (dua)  hal  yang  harus dipertimbangkan mengenai  dua  hal  tersebut  sebagaimana  diatur  di  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah : Pertama,   pertimbangan tentang  fakta-fakta  (apakah  terdakwa  benar-benar  melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; Kedua, mempertimbangkan tentang hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan  tindak  pidana  dan  terdakwa  bersalah,  sehingga  bisa dijatuhi putusan pidana.Hakim dalam memutus suatu perkara bukanlah “mulut/corong  undang-undang”  (bouche  de  la  loi atau spreekbuis van de wet). Hakim juga tidak boleh dipasung dengan rumusan perundang-undangan yang terasa rijid dan kaku/keras ketika dihadapkan pada fakta dominasi faktor-faktor yang meringankan yang bersubstansikan keadilan. Misalnya faktor meringankan yang terkait dengan perbuatannya (dalam perkara pidana misalnya akibat yang muncul   dari   perbuatan pidana  tersebut),   dan/atau   yang   terkait   dengan orangnya   (status   atau   kedudukan   orang   tersebut   yang   diduga melakukan  tindak  pidana),  dan/atau  yang  terkait  dengan korban (misalnya, adanya pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan terhadap kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan), sehingga perkara pidana yang diajukan dalam suatu persidangan memiliki karakteristik dan pertimbangan masing-masing, sehingga Pengadilan bukanlah merupakan lembaga stampel atau pengesah setiap terdakwa yang disidangkan harus bersalah.Pada dasarnya hakim dalam menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim dapat menggunakan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbanganya, dan kemudian  dasar  pertimbangan  tersebut  dimasuk  ke  dalam  putusan yang meliputi, pertimbangan yang bersifat yuridis hukum yang menjadi dasar perilaku dan acuan dalam memutus dan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan.Putusan hakim merupakan proses akhir dalam persidangan diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan dari segi obyektif yaitu aturan yang berlaku dan fakta hukum yang ada dengan mengacu pada dakwaan penuntut umum dan mempertimbangkan dari segi subyektif dalam berbagai aspek, mulai dari psikologis terdakwa, lingkungan sosial (sosiologis) serta berat dan ringannya suatu perbuatan pidana (tindak pidana) sehingga pidana yang diberikan kepada terdakwa mencerminkan rasa keadilan dan mempunyai nilai hukum.Putusan Hakim dalam perkara pidana memiliki perlakuan dan tanggung jawab yang sama tidak ada perbedaan, sehingga terhadap putusan hakim berupa pemidanaan, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan bebas merupakan suatu proses panjang dalam mempertimbangkan segala fakta hukum yang ada dengan berdasarkan persesusaian alat bukti dan keyakinan hakim dengan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, bagi terdakwa, korban dan masyarakat dengan pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa.Profesionalisme HakimProfesionalisme adalah sikap, perilaku, dan etika yang menunjukkan komitmen untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Profesionalisme juga dapat diartikan sebagai tingkah laku, kepakaran, atau kualitas dari seseorang yang profesional. Hakim dalam memutus harus memiliki kompetensi dan sikap profesional dalam proses peradilan sehingga dalam memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, dan sesuai dengan hukum. Beberapa kriteria tersebut misalnya: memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etnis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya) memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, mampu menegakkan Profesional dalam negara hukum dan bertindak independen dan impasial, memiliki kemampuan administratif, dan efisien.Hakim dalam menjalankan tugasnya dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek, yaitu integritas hakim dan peraturan perundang-undangan. Dalam sikap professional hakim Integritas hakim merupakan hal penting dan berpengaruh dalam memutus suatu perkara. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.Hakim yang profesional sebagaimana pendapat Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam, menyatakan bahwa good judges are not born but made. Hal tersebut sejalan dengan sambutan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam pembukaan Pendidikan Calon Hakim tahun 2019 bahwa untuk menjadi hakim yang profesional harus memenuhi 3 kriteria yaitu memiliki kompetensi yang baik, kemampuan (pengalaman), dan integritas dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa judge is not born but made with integrity, intellectual, and skill.Lebih lanjut  Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam Refleksi Akhir Tahun 2024 menyampaikan agar hakim dapat memperbaiki perilaku untuk menjaga integritas. Integritas pun juga akan menjadi isu utama   dan dijadikan tema dalam Laporan Tahunan yang akan diselenggarakan pada bulan Februari Tahun 2025. Komitmen Mahkamah Agung untuk menjadikan integritas sebagai kunci dalam upaya membangun lembaga peradilan yang berkualitas dan sebagai pondasi kepercayaan publik, sehingga para hakim diharapkan lebih baik lagi dalam berperilaku, lebih arif, bijaksana dan rendah hati dengan berpedoman pada pada etika profesi, dan  dalam memutus dengan penuh professional berpegang teguh peraturan perundang-undangan.Amirul Faqih AmzaHakim/Jubir Pengadilan Negeri (PN) Sumber

Paralax Dalam Hukum: Sumbangsih Pemikiran Lacan, Baudrillard, Zimbardo, dan Becker Untuk para Jurist

article | Opini | 2025-01-18 16:30:29

Labirin Hyperreality“Mengapa korupsi sering terjadi meski dilarang ya pak?” tanya seorang bocah saat menonton acara berita pada suatu senja di ujung nusantara. "Karena enak, dan hukumannya enteng," jawab sang ayah sambil menikmati pisang goreng hasil panen di kebun milik sendiri. Jawaban sederhana ini jika dipahami lebih dalam menjelaskan bagaimana hyperreality menurut Baudrillard dan jouissance (jouissance akan lebih banyak dibahas pada sub-judul selanjutnya) ala Lacan bekerja dalam konteks korupsi dengan bahasa yang sangat sederhana (1994: 10). Norma hukum yang seharusnya menjadi panduan sering kali hanya menjadi sebuah simulacra (simbol) yang menciptakan ilusi keadilan dan ketertiban (1994: 10). Dalam dunia yang dipenuhi ketidakstabilan politik dan ekonomi norma hukum kerap memberi kesan seolah-olah setiap persoalan bisa diatasi hanya dengan menerapkan pasal-pasal. Padahal kenyataannya norma hukum sering hanya menjadi smibol dan bukan solusi yang menyentuh akar persoalan. Ia sekedar sebagai pagar yang menjaga citra hukum dengan seolah mengatakan bahwa keadilan masih mungkin hadir.Ketika subjek terjebak dalam hyperreality hukum, mereka terdistraksi dari realitas sejati yang luar biasa kompleks. Korupsi sebagai contoh, lebih sering dilihat dari besaran vonis atau pasal yang diterapkan oleh penegak hukum, seolah-olah keadilan sudah terpenuhi jika hukuman berat dijatuhkan, publik sering kali puas dengan vonis maksimal namun segera melupakan kasus tersebut ketika hukuman diringankan di tingkat banding atau kasasi, fenomena ini menunjukkan bagaimana fokus pada simbol hukum acap kali mengalihkan perhatian dari penyebab mendalam mengapa korupsi terjadi, seperti sistem yang rusak atau budaya permisif kurang menarik untuk diulas dalam diskursus masyarakat. Korupsi dalam labirin hyperreality menjadi lebih dari sekedar pelanggaran hukum pidana, ia adalah bagian dari simulasi besar di mana hukum hanya berperan sebagai panggung drama untuk memuaskan tuntutan sosial. Dengan memahami ini, kita dapat keluar dari jebakan ilusi hukum dan mulai melihat korupsi sebagai fenomena kompleks yang membutuhkan pendekatan lebih dari sekedar hukuman simbolis melalui tuntutan atau vonis hakim yang merujuk ke norma/pasal pada peraturan perundang-undangan.Jouissance, Heroism, dan Penjara ZimbardoKetika hukum hadir sebagai simbol dalam dunia kehidupan, Jouissance hadir sebagai unsur pendorong subjek untuk menabrak aturan atau simbol tersebut, Jouissance adalah istilah Lacan yang banyak disebutkan dalam seminar-seminarnya yang dituliskan dalam beberapa cetakan, Jouissance adalah kutub yang bersebrangan dengan isitilah desire dalam bahasa Inggris (Jean, dkk, 2003:102).Berbeda dengan padanannya, jouissance bukan hanya tentang menikmati, tetapi tentang melampaui atau menembus batas-batas simbolik, moral, atau bahkan hukum menurut pandangan Jacques-Alain Miller (1992:191). Jouissance hadir sebagai sesuatu yang ambigu, menyenangkan sekaligus merusak. Sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia, jouissance merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya terjadi tindak pidana tidak terkecuali perilaku korupsi, dari titik ini kita akan melihat korupsi bukan lagi sekedar nominal uang yang bombastis atau tokoh yang tersohor melainkan cerminan dari sisi jouissance dalam diri manusia, sebuah usaha untuk melihat sisi lain dari perilaku korupsi, perspektif ini menjelaskan jika  di balik aliran dana yang fantastis ada rasa puas yang sulit untuk digambarkan secara jela, semacam kemenangan diam-diam atas sistem yang dianggap mengekang oleh seorang subjek. Dalam korupsi, pelaku tidak hanya mengejar keuntungan materi an sich, dalam pandangan Lacan mereka juga tenggelam dalam hasrat yang lebih dalam yakni hasrat untuk melawan, merusak dan untuk berdiri di atas hukum dan menginjak-injaknya sambil tertawa. Muncul sensasi nakal semacam pembangkangan yang mirisnya justru terasa nikmat dan disukai oleh subjek (Jouissance).Jika diringkas, Lacan hendak mengingatkan kita jika korupsi bukan hanya perihal adanya hukum yang dilanggar atau moralitas yang dilupakan oleh pelaku melainkan pertempuran paling purba dalam diri manusia antara hasrat liar mengenai kenikmatan yang sulit untuk dihentikan. Lacan melalui pemikirannya mendobrak simulacra dari perilaku korupsi yang disimbolkan dalam pasal-pasal dengan mengulas unsur invisible yang jarang dibahas. Dalam negara hukum dorongan untuk merusak tatanan norma ini dihalangi oleh batasan yang dipaksakan hukum dan subjek sering kali terdorong untuk melanggar itu semua. Selanjutnya pada bayangan Lacan, manusia kerap menjadi sosok pembangkang yang tidak mengenal takut meskipun akhirnya mereka adalah korban dari keinginan mereka sendiri (sebagaimana kita lihat tidak sedikit pelaku korupsi yang menangis dan menyesali perbuatannya). Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Becker, dalam "The Denial of Death", mengungkapkan bahwa manusia menciptakan berbagai mekanisme untuk menyangkal kematian, menurut Becker (1973:9) ketakutan akan kematian adalah salah satu ketakutan paling fundamental yang menghantui setiap insan. Untuk menghadapi ketakutan ini psikologi manusia menciptakan apa yang disebut sebagai "heroism", yaitu usaha untuk menemukan makna dan tujuan hidup yang dianggap abadi (Becker, 1973:9), namun heroism yang seharusnya memberikan makna dan tujuan hidup justru bisa berubah menjadi arena kejahatan, hal ini senada dengan inti dari tulisan Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (2007:19) yang berpesan jika tidak ada orang baik atau jahat, semua tergantung daripada bagaimana lingkungan membentuk mereka. Berdasarkan pandangan tersebut terlihat paradoks besar dari kedua pemikir ini. Jika Becker menunjukkan bahwa upaya psikologis manusia untuk menolak kematian bisa mengarah pada tindakan-tindakan heroik yang membawa kebaikan, namun Zimbardo memperingatkan bahwa dalam situasi yang tidak dikontrol dengan baik bisa membuat heroism berubah menjadi tindakan jahat.Dalam dunia modern seperti sekarang ini, dengan segala tekanan dan godaannya, heroism dapat berubah menjadi sesuatu yang sangat buruk seperti korupsi, tindakan korupsi tidak hanya mencerminkan kerakusan, tamak, hanyalah satu sisi mata uang dari perilaku korup. Merujuk pendapat Becker, perilaku ini juga dapat dilihat sebagai ambisi manusia untuk melawan ketakutan terbesar mereka yaitu ketidak-berartian, keinginan untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan agar diakui sebagai orang yang memiliki harta yang luar biasa banyak, keinginan untuk dikenal berkuasa atas hukum, serta keinginan untuk yang membuat legacy sering sekali harus dibayar dengan melanggar norma-norma hukum dan moral itu sendiri.Dalam heroism yang salah ini, mereka meninggalkan jejak yang bukan abadi dalam kebaikan melainkan dalam noda yang sulit dihapuskan oleh waktu sekalipun. Korupsi dengan segala daya tariknya menjadi akhir tragis di mana dorongan manusia untuk menemukan makna dalam hidup berubah menjadi penghianatan besar terhadap tujuannya tersebut. Kembali kepada Zimbardo, Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect yang disebutkan diatas menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh karakter atau moral pribadi tetapi juga oleh sistem dan situasi yang melingkupinya. Banyak pelaku kejahatan berat seperti korupsi beroperasi dalam konteks sistem yang korup, baik hukum, politik, sosial dan budaya tempat ia muncul. Dalam sistem yang korup ini, heroism yang salah tumbuh subur dan berbuah rimbun, seperti gayung bersambut, dirawat baik dan mengakar dalam diri subjek. Pada akhirnya, dari variasi perspektif ini kita berangsur-angsur melihat korupsi bukan lagi sebatas pelanggaran hukum maupun moral, tetapi sebagai pergulatan yang sangat kompleks. Sementara Baudrillard berpandangan jika hukum sering sekali hanya merupakan simbol dalam dunia yang kompleks, ia hadir sebagai representasi realitas dan sering sekali lebih diperhatikan ketimbang realitas itu sendiri. Begitupun Lacan yang ikut mengatakan jika Jouissance hidup dalam diri manusia dan merupakan alasan mengapa banyak orang berpotensi melampaui simbol-simbol/norma, kemudian Becker hadir menimpali dengan mengatakan, “tidak selesai disana, manusia juga dituntun oleh heroism, mencari makna kehidupan terus menerus”, Zimbardo mengacungkan tangan dengan berargumen, ya benar, dan semua itu akan ditentukan oleh dimana heroism itu muncul, lingkungan yang baik atau buruk.Korupsi adalah cerminan Jouissance, heroism yang salah arah, dan efek negatif dari lingkungan. Untuk memberikan solusi kita membutuhkan lebih dari hanya ribuan pasal dan vonis, kita harus melepaskan diri dari hyperreality, kita membutuhkan pemahaman yang lengkap tentang manusia, sistem dan bagaimana keduanya saling membentuk dan berkelindan. (LDR)

Putusan Pengadilan dan Kebijakan Pencegahan Korupsi

article | Opini | 2025-01-16 07:20:03

Salah satu tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah masih maraknya praktik korupsi. Selain merugikan keuangan negara, praktik korupsi juga menyebabkan negara kesulitan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk melayani dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah terdakwa mencapai 1.695 orang. Jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yakni 579 kasus dengan 1.396 terdakwa pada tahun 2022 dan 533 kasus, 1.173 terdakwa pada tahun 2021.Data tersebut sejalan dengan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92, yakni mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan IPAK tahun 2023. Pada nilai indeks tersebut, semakin rendah nilainya (semakin mendekati nol) berarti bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi. Sebaliknya, semakin tinggi nilanya (semakin mendekati 5) menunjukkan bahwa masyarakat semakin berperilaku antikorupsi. Data yang serupa menunjukkan bahwa praktik korupsi masih cukup marak dirilis oleh Transparansi International dalam Corruption Perception Index (CPI). Data pada tahun 2022 menunjukan Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34/100. Skor ini bertahan pada tahun 2023 dan menyebabkan Indonesia berada pada posisi 115. Skor 34/100 berarti bahwa Indonesia memiliki nilai yang sama dengan Ekuador, Malawi, Pilipina, Srilanka dan Turki. Khususnya di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara.Masih maraknya praktik korupsi ditengah banyaknya kasus korupsi yang terungkap dan diputus oleh pengadilan, sering kali melahirkan pertanyaan: jika sudah banyak pelaku korupsi dihukum, kenapa masih ada dan “bahkan” banyak korupsi berikutnya? Jika demikian, apakah penerapan hukuman melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi belum mampu mencegah terjadinya korupsi berikutnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut “tentu saja” sangat beragam. Salah satunya adalah karena praktik korupsi yang terbongkar hingga diputus terbukti di persidangan, tidak diimbangi dengan dibangunnya sistem pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam praktik umum yang terjadi, jika suatu dugaan korupsi terbongkar, respon pertama yang dilakukan adalah membuat deklarasi anti korupsi yang berisi komitmen untuk tidak korupsi, namun bagaimana agar tidak terjadi lagi korupsi baik perbaikan sistem kerja dan pengawasannya, seringkali diabaikan.Dalam RPJPN Tahun 2025-2045 setidaknya terdapat tiga uraian mengenai pencegahan korupsi, yakni:Pertama, penguatan upaya pencegahan korupsi melalui pembatasan transaksi tunai terutama dalam pemerintahan, penguatan sistem pelaporan harta kekayaan ASN, pemanfaatan teknologi informasi pada berbagai sektor untuk mempersempit potensi korupsi;Kedua penguatan pengawasan dan pencegahan korupsi melalui penguatan dan indepedensi lembaga pengawasan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Ketiga lemahnya pengawasan dan sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait menjadi pemicu utama rendahnya integritas tata kelola pemerintah daerah dan desa. Dari ketiga narasi ini, maka selain sistem pengawasan yang harus diperbaiki, juga adanya kesadaran bahwa “sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait” yang belum maksimal.Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi karena ketidak sengajaan. Ada niat dan usaha untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya, selain melalui pesan-pesan moral, yang paling penting adalah membangun sistem yang mampu mencegahkan, setidaknya, menjadikan niat untuk korupsi menjadi sulit direalisasikan. Secara umum, banyak orang sependapat bahwa hukum yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa diharapkan memberikan efek jera, baik bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya maupun memberi pesan kuat kepada pihak lain bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan jika dilanggar, ada sanksinya. Terbuktinya perbuatan korupsi senyatanya tidak semata terbuktinya perbuatan terdakwa melakukan tindakan korupsi, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Untuk itu, jika ingin melakukan pencegahan dari terjadinya, bahkan, terulangnya perbuatan korupsi, para pengambil kebijakan seyogyanya mulai menggunakan putusan pengadilan sebagai bahan penting melakukan perbaikan dan membangun sistem anti korupsi.Secara lebih kongkrit dan praktis, pembangunan pencegahan korupsi seyogyanya menggunakan putusan pengadilan sebagai referensi penting, karena dalam putusan tersebut, tergambarkan bagaimana perbuatan korupsi terjadi. Dengan demikian, maka putusan pengadilan khususnya dalam perkara Tipikor, tidak hanya terkait dengan pertanggungjawaban pelaku, namun juga memiliki manfaat yang lebih luas utamanya dalam membangun sistem dan strategi pencegahan korupsi. Para hakim melalui putusannya menyajikan uraian fakta dan pertimbangan bagaimana praktik korupsi terjadi. Uraian tersebut sejatinya tidak semata menunjukkan bagaimana terdakwa melakukan perbuatannya, tapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dengan mengetahui celah-celah tersebut, maka upaya membangun sistem pencegahan korupsi seharusnya lebih mudah dilakukan.Strategi pencegahan korupsi sebenarnya bersifat “tailor made”: menyesuaikan dengan keadaan penggunanya. Tidak ada strategi yang secara umum bisa efektif diberlakukan pada semua tempat karena situasi bisa jadi berbeda-beda. Oleh karena itu, maka bagi instansi yang pernah terjadi praktik korupsi dan telah diputus oleh Pengadilan, dapat mengambil pelajaran dari praktik yang terjadi sebelumnya melalui dalam merumuskan sistem pencegahan. Karena tanpa dibuatnya sistem pencegahan hanya akan melahirkan praktik korupsi berulang. Bukan begitu?(LDR)

Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi

article | Opini | 2025-01-14 06:05:38

Dokumentasi Pelaporan Gol KPKDokumentasi tanda terima pelaporan KPKUpaya mewujudkan peradilan bersih dan membantu terlaksananya kehidupan bernegara bebas korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) terus ditunjukan oleh aparatur Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya. Berdasarkan Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 yang diterbitkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 2025 yakni terdapat 62 Pejabat dan aparatur pengadilan yang melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi pada periode Oktober sampai dengan Desember 2024. Pejabat dan aparatur Mahkamah Agung RI serta badan peradilan dibawahnya yang melaporkan terdiri Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum pada Ditjen Badan Peradilan Umum, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding, Para Pimpinan Pengadillan Tingkat Pertama, Para Hakim sampai Pegawai PPNPN. Bahwa pelaporan atas penolakan atau penerimaan gratifikasi memedomani Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya Penulis salah satu pelapor penerimaan gratifikasi kepada KPK RI sebagaimana Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 akan membagikan penjelasan singkat tentang gratifikasi, contoh gratifikasi yang wajib dilaporkan penyelenggara negara serta tips singkat dan mudah dalam melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Pelaporan atas gratifikasi sangat mudah karena hanya dalam satu genggaman smartphone atau menggunakan komputer yang terkoneksi internet dapat dilakukan dari seluruh penjuru Indonesia. Pengaturan Hukum dan Bentuk Gratifikasi  Gratifikasi awalnya berasal dari Belanda yang disebut gratikatie. Selanjutnya Inggris mengadopsinya dengan istilah gratification yang dalam Black Law Dictionary memiliki pengertian sebagai pemberian yang diberikan berdasarkan bantuan atau keuntungan. Gratifikasi di Indonesia yang diberikan kepada penyelenggara negara atau PNS dapat menjadi suap bilamana berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugasnya. Adapun gratifikasi tidak menjadi delik korupsi bilamana penyelenggaran negara atau PNS yang menerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK RI sesuai Pasal 12B Ayat 1 dan Pasal 12C Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Bentuk gratifikasi secara luas berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan lain-lainnya, dimana gratifikasi tersebut diterima dalam negeri ataupun di luar negeri yang dilakukan secara konvensional atau menggunakan sarana elektronik sebagaimana Penjelasan Pasal 12 B Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 1 Angka 1 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi Contoh Gratifikasi Wajib Dilaporkan  Bahwa secara prinsip seluruh gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara wajib dilaporkan. Sedangkan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugas penyelenggara negara/pns wajib ditolak sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019. Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan ditolak, terhadap gratifikasi yang berkaitan dengan tugas Hakim atau aparatur pengadilan seperti tidak diterima secara langsung, pemberi gratifikasi tidak diketahui, penerima ragu atas kualifikasi yang diterimanya dan adanya kondisi yang tidak mungkin ditolak seperti rusaknya hubungan antar instansi, membahayakan diri sendiri/karir atau ada ancaman lain yakni wajib dilaporkan sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Hal mana telah diatur juga gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan menurut KPK RI dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI seperti pemberian terkait pernikahan, tunangan, khitan atau upacara agama/adat lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk seorang pemberi, honorarium dari profesi lain seperti mengajar yang tidak melanggar kode etik, pemberian terkait musibah atau bencana alam dan bentuk gratifikasi lainnya yang tidak wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Penulis mencontohkan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu meskipun bersinggungan jabatan atau tugas penyelenggara negara yang biasanya terjadi pada lingkungan peradilan antara lain pemberian bahan batik/baju untuk seragam perayaan ulang tahun daerah yang diberikan pejabat daerah kepada Pimpinan Pengadilan, kenang-kenangan pengantar alih tugas yang diberikan kepada Pimpinan Pengadilan oleh Instansi Penegak Hukum lainnya atau nasi kotak/hadiah makanan lainnya yang telah disiapkan untuk seluruh aparatur pengadilan dan diberikan dalam rangka perayaan keterpilihan sebuah Firma Hukum sebagai penyelenggara Pos Bantuan Hukum di suatu Pengadilan. Berdasarkan pengalaman penulis untuk pelaporan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu, maka gratifikasi akan menjadi milik institusi atau dikelola institusi, seperti bahan pakaian yang akhirnya dikelola untuk suatu instansi Pengadilan. Adapun gratifikasi makanan yang lekas rusak dapat dikonversi dalam rupiah dan penerima gratifikasi wajib membayarkan hadiah yang telah dikonversi rupiah kepada kas negara; Berdasarkan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang Hakim yang pernah melaporkan honorarium sebagai pengajar pendidikan profesi Advokat yang diselenggarakan organisasi Advokat di Provinsi Banten, meskipun honorarium mengajar tidak termasuk gratifikasi yang wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021, akan tetapi penulis ragu akan kualifikasi gratifikasi tersebut karena tidak menutup kemungkinan adanya konflik kepentingan antara penulis yang Hakim dengan Advokat walaupun berbeda wilayah hukum dengan tempat penulis bertugas. Penulis juga pernah melaporkan baju yang didapatkan ketika menjadi narasumber Siniar yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), karena penulis berpendapat dapat saja ICW menjadi pihak dalam suatu persidangan yang penulis adalah seorang hakimnya Langkah Melaporkan Penerimaan atau Penolakan Gratifikasi Adanya kemudahan dalam pelaporan atas penerimaan atau penolakan gratifikasi, dimana tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional dengan mendatangi langsung kantor Kpk RI di Jakarta atau menyampaikan kepada unit pengendali gratifikasi satuan kerja. Melainkan dapat secara daring mengakses aplikasi gratifikasi online (GOL) KPK yang hanya membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Langkah pertama bagi aparatur pengadilan yang akan melaporkan gratifikasi melalui aplikasi GOL KPK yakni dengan mendaftarkan akun pada https://gol.kpk.go.id dan mengisi biodata dari calon pelapor gratifikasi yang terdiri dari nama lengkap, jabatan, alamat, satuan kerja, unit kerja dan identitas pribadi lainnya. Selanjutnya setelah teregistrasi yakni pelapor dapat melaporkan gratifikasi pada kolom laporan gratifikasi dan memilih laporan baru. Selanjutnya mengisi informasi laporan yang dapat ditembuskan kepada UPG Mahkamah Agung RI dan memilih apakah yang dilaporkan bentuknya penolakan atau penerimaan gratifikasi. Kemudian pelapor gratifikasi mengisi identitas pemberi, institusi dan alamat gratifikasi, menjelaskan hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi, peristiwa terkait gratifikasi, lokasi objek gratifikasi, jenis dan uraian objek gratifikasi, serta konversinya dalam bentuk rupiah benda gratifikasi tersebut. Hal lain yang wajib diisi oleh pelapor gratifikasi yang menggunakan aplikasi GOL KPK adalah kronologi penerimaan atau penolakan gratifikasi yang berisikan juga tanggal penerimaan atau penolakan gratifikasi. Demikian juga pelapor gratifikasi dapat memilih apakah mengkompensasi objek gratifikasi dengan menyerahkan uang pengganti seandainya objek gratifikasi ditetapkan menjadi milik negara. Selain itu pelapor dapat melampirkan dokumentasi objek gratifikasi. Pelaporan gratifikasi menggunakan aplikasi GOL KPK disarankan dalam tenggang waktu 30 hari kerja sejak menerima atau menolak gratifikasi sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Sedangkan pelaporan diatas 30 hari kerja sejak diterima atau ditolak gratifikasi, tetap akan diproses oleh KPK RI. Semoga kemudahan pelaporan gratifikasi oleh KPK RI menjadi upaya bagi aparatur pengadilan untuk melaporkan gratifikasi yang diterima atau ditolaknya. Demikian juga contoh positif pelaporan gratifikasi yang telah dilakukan aparatur pengadilan menjadi motivasi bagi aparatur pengadilan lainnya untuk melaporkan ketika adanya penerimaan atau penolakan gratifikasi, sehingga ikut berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang bebas KKN.

Melawan Matinya Kepakaran

article | Opini | 2025-01-11 16:00:34

Sumpah serapah kembali berserak di media sosial, lagi dan lagi sasaran amuknya adalah putusan pengadilan. Kali ini perkara tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang menjadi sorotan. Berbagai hal mulai dari berat ringannya hukuman, pertimbangan putusan, hingga gestur, dan mimik wajah hakim pasca sidang turut menjadi bahan cibiran.Agar tidak salah kaprah, tulisan ini hadir bukan untuk mengomentari putusan majelis hakim. Tidak pula suatu upaya membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya berusaha untuk mengurai fenomena munculnya opini-opini rancu yang melenceng jauh dari rute kebenaran.Tentu sah-sah saja berkomentar atau berpendapat, toh itu menjadi hak yang dilindungi konstitusi kita. Namun, beberapa komentar nampaknya sudah terlampau sukar dinalar. Salah satunya adalah kritik terhadap vonis pidana penjara 6,5 tahun yang dijatuhkan kepada HM. Vonis tersebut lantas dibandingkan dengan perkara Nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu dan diancam pidana pencurian paling lama lima tahun penjara.Oleh publik, vonis perkara korupsi 6,5 tahun dan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun tersebut dianggap sebagai bukti sahih ketidakadilan. Bagaimana bisa korupsi dengan kerugian mencapai 300 Triliun divonis nyaris setara dengan pencuri tujuh batang kayu. Anggapan ini tentu keliru dan perlu diluruskan, siapapun yang pernah mengeyam pendidikan hukum, bahkan mahasiswa fakultas hukum yang belum lulus sekalipun, tentu dapat membedakan antara putusan pengadilan dan ancaman pidana yang tertuang dalam suatu pasal. Lagipula, faktanya, oleh Majelis Hakim kala itu, Nenek Asyani dijatuhi hukuman percobaan dan tidak dijatuhi pidana penjara lima tahun sebagaimana yang dibicarakan publik.Selain itu, ada pula kegamangan publik terkait dengan kerugian 300 Trilun dalam perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah tersebut. Terkait hal ini, LK2 FHUI, sebuah lembaga kajian di bawah naungan Universitas Indonesia sampai merilis tulisan berjudul “Salah Kaprah Korupsi 271 Triliun: Kerugian Negara atau Kerugian Lingkungan?”. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa angka fantastis tersebut bukanlah total uang yang dikorupsikan, melainkan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan kawasan hutan dan kawasan nonhutan. Beberapa pakar hukum pun turut angkat bicara guna mengklarifikasi mengenai kerugian 300 Triliun tersebut.Namun opini-opini dari para pakar seolah tak berdaya di hadapan gempuran komentar dari insan yang merasa dirinya lebih pakar dari seorang pakar hukum. Para pencibir ini merasa komentarnya memiliki validitas yang setara dengan komentar-komentar para pakar.The Death of ExpertiseTom Nichols, dalam bukunya, memotret fenomena ini dan menyebutnya sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran. Istilah tersebut lahir sebagai bentuk kekhawatirannya atas realita yang hari ini tengah terjadi. "Matinya Kepakaran" adalah kondisi ketika otoritas dan kredibilitas para ahli diabaikan. Fenomena ini terjadi ketika masyarakat, didukung oleh akses informasi yang luas melalui internet, media sosial, dan teknologi, merasa memiliki pengetahuan yang setara atau bahkan lebih baik daripada para ahli. Hal ini sering kali memunculkan kesalahan persepsi atau penyebaran informasi yang tidak valid.Ujar Nichols, di era ini, orang memiliki begitu banyak akses informasi ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apapun. Apabila dikaitkan dengan banyaknya kritik terhadap putusan pengadilan, boleh jadi komentar paling pedas justru datang dari seorang yang belum membaca putusan tersebut. Bahkan sama sekali tidak paham apa itu putusan pengadilan.Tragisnya, fenomena “Matinya Kepakaran” ini tidak hanya menjangkit masyarakat awam. Para pesohor dan media arus utama juga ikut terseret pusarannya. Hari ini, tak sedikit pesohor yang berduyun-duyun mengkomentari suatu hal yang belum tentu mereka pahami. Begitu pula media-media arus utama yang membuat judul berita clickbait (umpan klik) dengan muatan disinformasi.Dalam perkara-perkara hukum, komentar para pesohor dan berita bermuatan disinformasi tersebut mudah sekali ditelan oleh masyarakat. Alhasil kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum dapat merosot. Institusi penegakan hukum seperti Mahkamah Agung-lah yang terkena getahnya.Dibutuhkan Informasi PembandingPerlu dibangun jembatan untuk menutup jurang terjal antara kebebasan berpendapat dengan otoritas ahli di era matinya kepakaran. Khususnya dalam perkara hukum. Publik harus disuguhi informasi-informasi pembanding yang mampu dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.Selama ini, publik terkungkung oleh sumber-sumber informasi yang mereka kira valid. Informasi itu antara lain komentar viral, tangkapan layar, atau judul berita bermuatan clickbait belaka. Alih-alih bermanfaat, sumber informasi tersebut justru membuat publik tersesat.Dalam upaya melawan matinya kepakaran, keterbukaan informasi memainkan peran vital. Mahkamah Agung sendiri memiliki komitmen kuat dalam memberikan akses yang lebih luas pada masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh pengadilan. Jalannya suatu perkara dapat diakses secara daring melaui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) masing-masing Pengadilan. Begitu pula dengan putusan, publik dapat dengan mudah membacanya di laman direktori putusan. Semua informasi tersedia dalam genggaman dan dapat diakses kapan saja.Sebelum terburu-buru berkomentar, kiranya publik dapat meluangkan waktu sejenak untuk membaca putusan pengadilan dan mempelajari pertimbangannya. Langkah sederhana tersebut adalah upaya konkret untuk membangkitkan kepakaran dari kematiannya. Sekarang, kembali lagi kepada publik, apakah media sosial akan diisi dengan informasi yang sehat atau yang sesat. (LDR)

Belajar Keteguhan Hati Dari Spider-Man

article | Opini | 2025-01-06 10:25:02

Dalam menjalankan tugasnya, hakim selalu menghadapi tantangan yang beragam. Salah satu tantangan tersebut adalah informasi hoax yang beredar di media baik media massa maupun media sosial. Informasi hoax yang beredar tersebut tidak jarang mendiskreditkan hakim, terutama ketika hakim tersebut memutus perkara- perkara yang kontroversial dan menarik perhatian masyarakat. Hal tersebut sebagai upaya mendelegitmasi pribadi hakim tersebut dengan tujuan meruntuhkan kepercayaan publik pada putusan yang dibuat hakim tersebut. Perlu dipahami bahwa hakim sebagai pejabat publik adalah hal lumrah untuk dikritik karena sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim pada Negara dan masyarakat. Namun disisi lain hakim tetaplah manusia, terkadang terpaan fitnah dan narasi-narasi negative akan meruntuhkan mentalitas dan kepercayaaan diri dari hakim tersebut. Tentunya kita juga paham bahwa ada prinsip-prinsip independensi yang kemudian memberikan kebebasan kepada hakim tersebut untuk memutuskan sesuatu yang menurut keyakinan dan hati nuraninya benar. Putusan hakim tersebut tentulah harus dihargai demi terciptanya kepastian hukum. Walaupun putusan tersebut dapat juga diartikan tidak adil oleh sebagian kalangan atau pihak. Belajar Keteguhan HatiDalam cerita komik dan film dari Marvel, tokoh Spider-Man memiliki jalan cerita yang hampir mirip dengan tantangan hakim dalam menjalankan tugasnya. Dalam kisah superhero Spider-Man, dikisahkan bahwa Spider-Man selalu menjadi bulan-bulanan media. Semua tindakan dan aksi-aksi heroiknya selalu difitnah dan diframing negatif oleh media khususnya oleh kantor berita the Daily Bugle yang dipimpin oleh pemimpin redaksi J. Jonah Jameson.J. Jonah Jameson adalah pemimpin redaksi yang acapkali tidak mengedepankan fakta dalam pemberitaanya. Ia ingin mempengaruhi masyarakat agar Spider-Man menjadi ancaman publik atau Vigilante tak bertanggung jawab. Meskipun Spider-Man melakukan banyak hal untuk menyelamatkan kota, Spider-Man sering kali tidak mendapat pengakuan yang pantas atas pengorbanannya.Namun segala tantangan tersebut, dilalui Spider-Man dengan penuh keteguhan hati. Terlepas dari fitnah yang disebarkan media, Spider-Man tetap berfokus pada tugasnya untuk melindungi warga kota dan tetap konsisten melawan kejahatan. Spider-Man paham bahwa tidak mungkin menyenangkan semua orang dalam keputusan dan tindakannya. Keteguhan hati dari Spider-Man juga terlihat ketika sikapnya tetap diam dalam menerpa pemberitaan negatif. Spider-Man paham melawan fitnah-fitnah media bukanlah tugas utama seorang Spider-Man. Tugas utama seorang Spider-Man adalah melawan kejahatan yang membahayakan warga kota.Tantangan Profesi hakim di Era InformatikaMenjalani profesi hakim di era informatika seperti sekarang ini, hakim harus memiliki keteguhan seperti Spider-Man. Framing negatif dan hoax selalu menyertai dalam tantangan menegakkan hukum dan keadilan. Hakim dituntut memiliki ketahanan mental untuk menghadapi tekanan media, tetap tenang, dan tidak terpengaruh oleh pemberitaan yang memojokan.Tugas utama hakim adalah menghasilkan putusan yang berkualitas. Dalam kehidupan kesehariannya juga diimbangi dengan perilaku yang terpuji. Kedua hal tersebut menjadi senjata yang ampuh dalam melawan framing negatif dan narasi hoax yang tersebar di media massa ataupun media sosial. Lambat laun kepercayaan publik akan meningkat karena paduan kedua hal tersebut ada dalam diri hakim. Selain media yang selalu memberikan berita negatif tentunya ada juga yang memberikan berita berimbang dan positif pada hakim. Disisi selain tentu kita juga paham bahwa media juga memberikan kontribusi positif dalam pendidikan hukum di masyarakat. Dalam hal ini jika putusan hakim berkualitas, media pun dapat menjadi partner strategis dalam memberikan informasi ditengah masyarakat.Tanggung Jawab Besar Seorang hakimDalam salah satu percakapan di film Spider-Man, Paman Peter Parker (Spider-Man) pernah berucap  " with great power comes great responsibility"  yang artinya dalam kekuatan yang besar ada pula tanggung jawab yang besar. Hakim yang memiliki kewenangan yang besar tentunya paham harus memaknainya juga sebagai bentuk tanggung jawab yang besar. Salah satu tanggung jawab yang besar itu adalah menjalankan tugas dengan penuh tantangan. Salah satu tantangan tersebut adalah fitnah dan narasi hoax yang harus dijawab hakim dengan keteguhan hati layaknya seorang superhero seperti Spider-Man. (LDR)

Bahaya Laten AI dalam Etika Profesi

article | Opini | 2024-12-31 17:20:49

Bandar Lampung - Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan / artificial intelligence (AI) begitu cepat melakukan penetrasi ke seluruh aspek kehidupan sehingga memberikan kemudahan dalam banyak bidang pekerjaan. AI menghadirkan cara dan prosedur yang lebih efektif dan efisien. Awalnya melalui mesin pencari seperti Google kita dapat mendapatkan informasi yang melimpah. Ternyata kemudian dengan hanya mengisi satu perintah dalam prompt chatGPT diperoleh informasi lebih cepat, terstruktur dan nyaris sempurna. Kehadirannya tentu membawa harapan ke arah peradaban publik yang lebih baik. AI telah menjadi simbol modernisasi. Di sisi lain AI juga membawa dampak negatif, proses otomatisasi menciptakan mesin-mesin dan program-program yang menggantikan peran manusia dalam pekerjaan yang sifatnya rutin dan berulang. Ketika kemudian ChatGPT, Meta AI, Gemini, dan AI generatif lainnya menjadi barang publik dan populer, maka kekurangan informasi bukan lagi menjadi masalah, sebaliknya informasi yang melimpah ruah menjadi masalah baru. Tidak menggunakan sama sekali atau menolaknya tentu bukan pilihan yang realistis.Pemanfaatan Artificial  Intelligence  (AI)  dalam  sistem  hukum  di  Indonesia  telah  menjadi  topik  yang  menarik serta menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pendukung pemanfaatan AI dalam  hukum  mendasarkanpada potensi  yang dimiliki untuk merampingkan proses administratif, menganalisis data dalam jumlah besar, menyusun dokumen, mengidentifikasi kasus-kasus terdahulu dan selanjutnya menyajikan probabilistik hasil litigasi. Hal tersebut tentunya meningkatkan  efisiensi,  akurasi,  dan  aksesibilitas  sehingga mengurangi biaya, waktu dan mengubah cara pandang terhadap sistem  peradilan. Di sisi lain, pendapat kontra  terkait  dengan  pemanfaatan AI dalam hukum mengungkapkan kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas keputusan AI, masalah privasi data, serta keabsahan dan keandalan algoritma yang digunakan.Dalam kajian akademis, persinggungan antara kecerdasan buatan dan etika hukum merupakan salah satu tema kajian yang paling provokatif dalam filsafat hukum kontemporer. Dalam “Law Without Mind,” Joshua P. Davis berargumen bahwa; Meskipun AI memiliki potensi untuk merevolusi sistem hukum, perannya dalam membuat penilaian moral yang substantif menimbulkan dilema etika yang mendalam. Dapatkah sebuah sistem yang tidak memiliki moralitas dan empati manusia benar-benar mewujudkan esensi keadilan?. Hukum bukan sekadar sistem aturan, hukum adalah kerangka kerja sosial yang mewujudkan kejujuran, keadilan, dan pertanggungjawaban moral. Kualitas-kualitas ini berasal dari pertimbangan manusia, empati, dan pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai masyarakat, di mana elemen-elemen tersebut tidak dimiliki dan berada di luar jangkauan AI. Pengambilan keputusan oleh AI yang diperoleh dari algoritma yang tersembunyi dan sifat “black box” menimbulkan pertanyaan filosofis tentang akuntabilitas dan kerisauan atas hilangnya transparansi landasan keadilan. Ketika pemanfaatan hukum sebatas untuk tujuan deskriptif atau prediktif, maka kehadiran AI menjadi sangat efektif dalam menganalisis kumpulan data yang sangat besar untuk memberikan prediksi suatu perkara atau mengidentifikasi tren dan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembentukan aturan hukum. Namun di sisi lain, ketika interpretasi hukum membutuhkan panduan moral, AI gagal. Positivisme hukum tidak akan dapat menjawab kewajiban moral yang melekat dalam hukum, tanpa didukung integritas etika melalui pendekatan non-positivis.Di antara beberapa penyebab kelemahan AI adalah kekuranglengkapan dan kekurangberagamnya data, serta subjektifitas perancang dalam proses pelatihan program, sehingga outputnya mengandung bias dan stereotip dalam masyarakat. Sebagaian besar sistem AI beroperasi dalam ruang gelap dan tidak tersentuh. Di mana para perancang dapat bertindak dan memutuskan tanpa diketahui siapa pun. Ketidaktransparan ini dapat menimbulkan masalah yang serius. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab ketika sistem AI membuat kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain?. Euforia potensi AI untuk meningkatkan efisiensi perlu diimbangi dengan fondasi moral dan panduan etik dalam dalam pemanfaatan dan penggunaannya. Demikian juga bagi hakim ketika memanfaatkan AI dalam tugas profesinya memerlukan pendekatan etika profesi sebagai sebuah pedoman yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai.Hakim harus mandiri, mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ketergantungan berlebih dengan menyandarkan diri pada informasi yang disajikan oleh teknologi AI dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara yang diperiksa, sesungguhnya sama saja dengan bergantung kepada pihak lain. Selalu mengandalkan informasi yang diperoleh dari program AI lambat laun akan membentuk individu yang mudah dipengaruhi, dikendalikan dan dimobilisasi, kehilangan kemampuan berpikir kritis dalam membuat penilaian mandiri, sehingga lupa pentingnya menempa diri menjadi profesional. Dalam memanfaaatkan AI, seorang hakim lebih baik berperilaku rendah hati, dengan cara menempatkan diri sebagai kaum awam dalam urusan teknologi, sehingga muncul kesadaran diri untuk terus belajar dan bersikap hati hati dalam menggunakannya. AI sesungguhnya hanyalah alat bantu yang dapat meringankan pekerjaan namun tidak mampu menjawab seluruh pertanyaan ataupun menyelesaikan masalah. Informasi yang diperoleh dijadikan informasi awal yang sangat membantu namun perlu diperiksa kebenarannya, dikaitkan dengan informasi lainnya yang relevan, dan paling penting adalah melakukan verifikasi ulang berdasar pengetahuan yang dimiliki. Ketika AI diintegrasikan ke dalam sistem hukum, harus ditarik batas yang jelas antara tugas-tugas yang dapat dilakukan secara otomatis by sistem dan keputusan yang membutuhkan penilaian manusia yang memiliki penalaran moral dan pertimbangan etika. Disrupsi digital harus diimbangi dengan peningkatan profesionalisme dan berpegang teguh pada etika profesi.Enan Sugiarto, S.H., M.H.Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, Lampung dan mahasiswa Program Doktor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Mahkota Hakim dan Strategi Kehumasan Pengadilan

article | Opini | 2024-12-24 11:55:47

Jakarta - Putusan hakim sebaik dan sebenar apa pun ( obyektif, independen, transparan, akuntable, integritas ) akan dianggap tidak adil oleh pihak yang berperkara dengan tujuan mencari kemenangan, bukan bertujuan mencari kebenaran.Dalam konteks kelembagaan, maka Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan di bawahnya yang nota bene core bussines-nya adalah memeriksa, memutus dan mengadili perkara yang disengketakan pihak-pihak yang berhadapan kepentingan dengan out put berupa putusan, maka sudah menjadi resiko laten jika akan terus menghadapi penilaian publik dalam sudut pandang/perspektif yang berbeda. Bagi pihak yang dalam putusan hakim diuntungkan, dia akan memuji dan mengatakan putusan hakim sudah tepat dan adil, namun di satu pihak yang tidak diuntungkan,  akan menganggap putusan tidak benar dan tidak adil. Itu jika tujuan berperkara adalah mencari kemenangan. Oleh karena putusan adalah core busssines lembaga pengadilan, maka tolok ukur publik terhadap baik buruknya lembaga seringkali hanya dinilai dari putusan hakim saja, padahal sudah banyak perubahan-perubahan positif yang dilakukan lembaga pengadilan dalam melayani publik dengan berbagai inovasi baik mengenai administrasi perkara, maupun kemudahan dalam proses persidangan dengan mengoptimalkan tehnologi informasi. Salah satu contoh transparansi proses ber-acara yang bisa diakses dengan mudah oleh para pihak bahkan oleh publik yaitu SIPP ( Sistem Informasi Penelusuran Perkara ) maupun e - Court yang mendeskripsikan perjalanan proses perkara sejak didaftarkan sampai putusan, belum lagi inovasi-inovasi lainnya. Namun Succes Story atau keberhasilan semua perubahan positif dan bermanfaat bagi publik maupun pihak berperkara tersebut, ibarat panas kena hujan sehari, jika kemudian ada blow up atau viral nya sebuah putusan hakim yang dianggap atau dinilai tidak adil. Semua prestasi itu seolah tenggelam tiada arti hanya karena sebuah putusan. Dan barangkali itu semua menjadi bukti tak terbantahkan adagium yang menyatakan putusan adalah mahkota-nya hakim. Segala pernak pernik perhiasan di pakaian kebesaran tentu tidak akan semahal dan seberharga makhkota di kepala. Jika mahkota dilihat retak, maka hilanglah kewibawaan pemakainya. STRATEGI KEHUMASAN PENGADILANBertolak dari fakta demikian, lalu bagaimana seharusnya strategi kehumasan lembaga pengadilan agar mampu menjadikan putusan hakim ( putusan pengadilan ) yang merupakan core bussines menjadi Lucky Point kehumasan bukan menjadi Bad Point ? Jika kita melihat fenomena terkait pemberitaan sebuah putusan yang dinilai menjatuhkan performa lembaga pengadilan, hampir semua adalah terkait dengan putusan yang menarik perhatian masyarakat. Sehingga fokus managemen kehumasan sudah semestinya dimulai sejak perkara tersebut dilimpahkan atau didaftarkan ke pengadilan, bahkan untuk perkara pidana sudah bisa dimulai mapping-nya sejak ditetapkannya Tersangka oleh penyidik di wilayah hukum pengadilan setempat. Humas Pengadilan harus sudah melakukan semacam langkah Pulbaket ( informasi penting terkait perkara dimaksud ) agar setidaknya bisa digunakan untuk melakukan analisa yang hasilnya berupa opsi langkah-langkah antisipasi berkait dengan pemberitaan perkara dimaksud. Humas Pengadilan juga secara internal melakukan koordinasi dengan majelis hakim yang menangani perkara yang menarik perhatian masyarakat tanpa mengganggu independensinya, sekedar untuk memperoleh informasi perkembangan penanganan perkaranya, agar Humas mampu memberikan jawaban atas pertanyaan dari media pers dengan akurasi yang tepat dan tidak melanggar aturan. Selanjutnya dengan memperoleh dan mengamati jalannya persidangan, Humas akan bisa menganalisa apakah jika putusan dibacakan akan menimbulkan dampak pemberitaan yang seperti apa. Barangkali lebih tepat jika majelis hakim setelah membacakan putusan atas perkara yang menarik perhatian masyarakat mau memberikan poin-poin pertimbangan putusannya, sehingga seusai dibacakan, Humas bisa menyampaikan release singkat kepada media pers. Hal ini penting dilakukan agar publik tidak memperoleh berita tentang putusan yang seringkali ditulis secara tidak benar oleh media, dan berita yang tidak tepat tersebut sudah terlanjur dikonsumsi publik dan pada akhirnya menjadi berita yang sudah digoreng untuk kepentingan berbagai pihak. Langkah lain yaitu Humas pengadilan harus proaktif berkoordinasi dengan majelis-majelis hakim yang menangani perkara dengan isue hukum yang aktual dan diapresiasi publik agar kelak mem-blow up putusan tersebut ke media pers, agar menjadi berita yang viral. Secara singkat dapat dikatakan, putusan hakim jangan hanya menjadi berita buruk yang menenggelamkan banyaknya prestasi lembaga, tapi dikelola pemberitaannya menjadi kekuatan utama lembaga. Djuyamto SH MH (Humas PN Jakarta Selatan)

Narasi Keliru Denda Korupsi Lima Ribu Toni Tamsil

article | Opini | 2024-12-23 21:30:38

Beberapa waktu lalu, sejumlah media nasional ramai menyoroti putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang terhadap Toni Tamsil alias Akhi. Reaksi dan komentar publik menjadi cukup tajam karena Tamsil diwartakan hanya dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun dan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Oleh masyarakat, jumlah “denda” ini jelas dianggap sangat tidak proporsional dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai angka hingga Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus triliun rupiah).Sebelum terjebak pada penilaian dan konklusi yang keliru, sangat penting bagi seluruh pihak untuk memahami perbedaan antara pidana denda dan biaya perkara. Keduanya sekilas memang tampak serupa, akan tetapi sebenarnya memiliki dasar hukum dan implikasi yuridis yang jauh berbeda. Pidana denda sendiri merupakan salah satu dari lima jenis pidana pokok yang tercantum pada Pasal 10 KUHP, yakni: 1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana kurungan; 4) pidana denda; dan 5) pidana tutupan. Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka ia harus menggantinya dengan pidana kurungan paling lama hingga delapan bulan. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat ketentuan khusus mengenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti. Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka hukumannya akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokok.Jika mencermati Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK), perbuatan Tamsil diancam dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun hingga paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau dengan pidana denda Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) hingga paling banyak sejumlah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Karena rumusan pasal tersebut menggunakan konjungsi “dan atau”, maka hakim dapat memilih di antara dua opsi pilihan. Opsi pertama adalah menjatuhkan hukuman di antara pidana penjara atau denda secara alternatif. Selain itu, terdapat opsi kedua, yakni hakim menjatuhkan pidana penjara dan denda secara sekaligus dalam bentuk kumulatif.Pada persidangan dengan register Nomor 6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp, Terdakwa Tamsil dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perintangan penyidikan perkara korupsi”. Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri Pangkalpinang lalu menjatuhkan putusan “pidana penjara selama 3 (tiga) tahun”. Dengan kata lain, Tamsil telah dihukum dengan pidana penjara tanpa disertai dengan pidana denda maupun uang pengganti. Meskipun demikian, ia tetap dibebankan untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).Diktum menyangkut biaya perkara inilah yang kemudian memunculkan narasi seakan-akan Tamsil hanya dikenakan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Padahal jika merujuk Pasal 197 KUHAP, suatu putusan pemidanaan memang harus memuat mengenai “ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan”. Berdasarkan angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983, biaya perkara paling sedikit adalah sejumlah Rp500,00 (lima ratus rupiah) dan maksimal sejumlah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Perinciannya adalah maksimal Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) untuk beban biaya proses pengadilan di tingkat pertama dan Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) untuk pengadilan tingkat banding. Artinya, pengadilan memang harus menjatuhkan biaya perkara jika seseorang dinyatakan bersalah, terlepas dari apa pun kualifikasi pidananya. Ketentuan ini bersifat imperatif, mulai dari perkara sepele seperti pelanggaran lalu lintas atau penghinaan ringan, hingga perkara serius seperti pembunuhan, terorisme, atau korupsi. Jika terdakwa tidak mampu membayar, maka biaya perkara dapat ditanggung oleh negara setelah memperoleh persetujuan pengadilan.Dalam konteks narasi mengenai Toni Tamsil, tajuk pemberitaan media seakan-akan mencampuradukkan terminologi antara biaya perkara dan pidana denda. Padahal, keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda. Biaya perkara merupakan kewajiban administratif yang dibebankan kepada terpidana untuk mengganti ongkos operasional persidangan, sedangkan pidana denda adalah salah satu dari lima jenis pidana pokok yang dijatuhkan hakim sebagai bentuk sanksi penghukuman. Nominal biaya perkara ini memang relatif rendah karena belum pernah direvisi semenjak berlaku 40 tahun lalu, sementara jumlah pidana denda dapat mencapai jumlah yang jauh lebih signifikan, tergantung dari bentuk kejahatan dan akibat yang ditimbulkan terdakwa. Sebagai contoh, Mahkamah Agung pernah menjatuhkan pidana denda hingga satu milyar rupiah dalam perkara korupsi lahan sawit di Riau yang melibatkan Surya Darmadi, founder dan chairman PT Darmex Agro Group.Reaksi publik yang kuat menunjukkan bahwa masyarakat sangat memperhatikan isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Meskipun demikian, masyarakat awam yang asing dengan istilah hukum kemungkinan besar akan keliru ketika menafsirkan putusan pengadilan, sehingga timbul keprihatinan publik bahwa terdakwa korupsi seperti Toni Tamsil hanya dihukum dengan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Padahal, Pengadilan Negeri Pangkalpinang sebenarnya telah menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun, sedangkan perintah untuk membayar sejumlah lima ribu rupiah merupakan biaya perkara yang memang harus dibebankan kepada seluruh terpidana. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat sangat membutuhkan edukasi hukum yang memadai. Selain itu, media juga memegang tanggung jawab krusial untuk menghindari titel pemberitaan yang berpotensi misleading. Di lain pihak, penting bagi seluruh aparatur untuk selalu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan penegakan hukum, karena setiap pengambilan kebijakan akan selalu terpantau oleh publik yang kritis. (LDR)  

Hakim Sang OPTIMUS PRIME

article | Opini | 2024-12-22 04:40:07

Mengapa harus optimus prime?Mungkin, dalam benak pembaca akan bingung apa itu optimus prime dan apa hubungannya dengan hakim. Pencarian siapa sosok optimus prime tidaklah mengalami kesulitan jika kita sering menonton film Transformer baik versi animasi kartun maupun dalam the movies. Penonton serial film itu tentunya sudah familiar siapa itu sosok optimus prime atau di Jepang disebut sebagai convoy. Optimus prime merupakan karakter utama atau tokoh utama dalam fiksi dan protagonis dari waralaba Transformers itu sendiri.Tokoh ini digambarkan sebagai pemimpin yang berani dan mulia dari kelompok autobots. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan melakukan perlawanan terhadap semua kejahatan yang dilakukan oleh kelompok decepticons, dengan pemimpinnya yaitu megatron yang dibantu starscream yang berusaha menguasai cybertron, dunia dan alam jagat raya, begitulah secara sederhana menggambarkan sosok optimus primeLantas, bagaimana kaitannya dengan sosok hakim? jika optimus prime adalah seorang robot maka hal yang berbeda jika berbicara mengenai hakim yang merupakan sosok manusia atau person. Sosok hakim didunia nyata digambarkan sebagai tokoh sentral dalam proses penegakan hukum. Hakim adalah suatu jabatan yang mempunyai kewenangan dalam menerima, memeriksa, mengadili serta memutus perkara yang diajukan kepadanya.Titik singgung antara optimus prime dan hakim adalah sama-sama dianggap sebagai pemimpin di wilayah masing-masing. Di serial film tersebut maka sosok optimus prime dianggap sebagai sosok pemimpin yang baik dan berhasil. Begitupun seorang Hakim, agar hakim dalam menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin yang baik dan berhasil, maka Hakim dapat mengambil sisi positif dari sikap dari perilaku dalam tokoh utama seperti di film Transformers ini.Optimus Prime dan Hakim Penjaga Benteng KeadilanOptimus Prime digambarkan pahlawan dalam setiap arti kata dan perilakunya. Pendapatnya tentang kebebasan adalah hak milik semua makhluk hidup menjadikannya sebagai sosok yang disegani dan mengagumkan di mata semua bawahannya (dan bahkan musuh-musuhnya) sangat menghormatinya. Secara sederhana, ia adalah sosok panutan.Jika kita mencari arti kata optimus prime di dalam bahasa latin maka ditemukan arti dari kata optimus yang artinya terbaik atau terhebat dan prime yang artinya pertama. Optimus prime sebagai pertama dan terbaik,  begitupun seharusnya seorang Hakim juga seyogyanya menjadi yang pertama dan terbaik dalam artian sebagai penjaga keadilan, terbaik yang dituntut untuk senantiasa mempunyai etos kerjanya yang tidak goyah dan benteng terbaik yang sifatnya kokoh sebagai penjaga benteng keadilan.Perlu diingat bahwa putusan hakim sebagai benteng keadilan mempunyai dua sisi dimensi. Menurut ansyahrul, dalam karyanya Pemuliaan Peradilan Dan Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan Dan Hukum Acara (Kumpulan Makalah: 2008) menyatakan semua putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan bukan saja di kehidupan duniawi saja akan tetapi dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Tuhan.Optimus prime digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mempunyai karakteristik kepemimpinan yang efektif. Pimpinan yang mempunyai visi dan misi yang jelas, sosok yang berintegritas, dalam melakukan semua tindakan juga dibarengi dengan keberanian, dan yang tidak kalah pentingnya adalah punya kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi tim. Faktor kepemimpinannya sangatlah kuat karena dibarengi dengan kemampuan untuk mengatasi segala tantangan dengan bantuan kebijaksanaan yang tinggi dan keteguhan hati. Kepemimpinannya dapat dijadikan sebagai contoh bagi siapa yang diberi kepercayaan oleh orang lain, kelompok, organisasi maupun negara oleh terkait dengan kekuasaan dan jabatannya termasuk hakim.Begitupun harusnya seorang Hakim, untuk menjadi pemimpin yang efektif maka dalam diri seorang Hakim juga harus mempunyai visi misi yang jelas. Kepemimpinan seorang hakim juga akan dijadikan role model atau panutan baik bagi keluarganya, di satker kerjanya maupun dilingkungan sekitarnya, oleh karenanya hakim harus dapat menjaga perilaku baik didalam dan diluar persidangan, layaknya tokoh Optimus prime. Hakim akan menjadi terbaik jika dia taat dan patuh pada kode etiknya, diantaranya “berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional”.Tanpa kita sadari, kode etik hakim sebagaimana dimaksud diatas bagian dari dari sepuluh nilai utama, dan jika ditelusuri lebih lanjut akan selaras dengan kepribadian optimus prime sebagai pribadi yang mempunyai integritas, kejujuran, keberanian, berdisiplin tinggi dan profesional.Integritas dalam diri optimus prime juga kita temukan di dalam butir-butir kode etik hakim tersebut. Integritas tinggi pada hakim tercermin dalam sikap setia dan tangguh dalam berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Optimus prime adalah pemimpin yang berwibawa, demikian juga hakim akan sangat berwibawa jika didalam jiwa dan perilaku serta mempunyai integritas yang tinggi.Sosok Berani Serta Mulia dari Optimus Prime dan HakimOptimus prime sebagai sosok yang berani dan mulia, maka demikian juga seorang hakim harus bisa mencerminkan seorang yang berani dan mulia. Pemimpin yang berani dan mulia yang dilekatkan pada seorang hakim ialah bahwa hakim harus memahami apa dan tugas hakim yang tentunya sangat berat untuk dipikul hakim juga dituntut menjadi seorang yang mulia dalam artian bahwa seorang hakim haruslah seseorang yang berbudi pekerti luhur sehingga dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan (officium nobile).Hakim harus menjadikan peradilan yang agung sebagai tujuan dalam pengabdiannya. Peradilan agung dapat diwujudkan jika dalam diri dan jiwa seorang hakim tertanam Tri Prasetya Hakim, “Menjunjung tinggi citra wibawa dan martabat hakim dan menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan hakim Indonesia, serta menjunjung tinggi dan mempertahankan jiwa korps hakim Indonesia”.Pengejawantahan keberanian optimus prime juga harus dipunyai oleh seorang hakim. Keberanian hakim yang dimaksud adalah keberanian hakim menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan hukum. Sikap dan tindakan hakim juga dituntut untuk mengupayakan yang terbaik bagi lancarnya suatu persidangan. Hakim haruslah aktif dalam persidangan untuk mencari kebenaran.Begitupun pendapat Sunarto dalam bukunya Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata (Jakarta: 2021) menekankan, “tidak tepat jika hakim perdata harus semata-mata bersikap pasif karena yang aktif adalah pihak berperkara, karena menurutnya seorang hakim haruslah untuk bersikap aktif dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui proses persidangan pengadilan, termasuk dalam peradilan perdata.Pencari keadilan datang ke lembaga peradilan dengan mengajukan perkaranya karena hakim dipandang mampu sekalipun hukum tidak jelas atau belum ada aturan karena hakim adalah dipandang sebagai ius curia novit atau hakim tahu segala hukumnya sehingga hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat.Penutup Kisah Pahlawan Optimus Prime dan HakimMenggambarkan Optimus Prime sebagai pahlawan dalam tokoh fiksi Transformers dalam menjalankan perannya memberantas kejahatan seringkali mengorbankan dirinya hingga mati meskipun dalam film sifatnya sementara karena berhasil dibangkitkan kembali. Berbeda dengan dengan Hakim yang yang di dunia nyata mempunyai sikap rela berkorban demi tegaknya keadilan dengan cara apapun.Hal ini sebagaimana semboyan Fiat justitia ruat caelum yang berarti keadilan haruslah ditegakkan meski langit runtuh. Sikap rela berkorban dapat dimaknai hakim harus menjauhkan kepentingan apapun lainnya khusus kepentingan pribadi selain kepentingan keadilan itu sendiri dalam putusannya. Hakim harus bisa membawa jabatan hakim sebagai jabatan mulia sebagaimana arti dari optimus prime itu sendiri, walaupun akhir akhir ini image hakim sebagai yang mulia menemui tantangan dan cobaan yakni dengan ditangkap dan diproses tindak pidana yang dilakukan oleh hakim baik dari mulai hakim agung sampai dengan hakim tingkat pertama oleh KPK maupun kejaksaan tentunya membawa kondisi jabatan hakim menjadi terpuruk dan menjadi cibiran dari masyarakat, Oleh karenanya hakim sebagai seorang pemimpin yang dijadikan panutan bagi masyarakat sekitarnya harus dapat berperan dan bertindak sebagai optimus prime sehingga jabatan hakim menyandang sebagai yang pertama dan terbaik dibidang penegakan hukum.Selayaknya film-film yang menggambarkan sosok Optimus Prime, dibagian akhir cerita selalu menyuguhkan kisah menangnya keadilan dan berakhirnya kezaliman. Inilah akhir dari kisah yang ditunggu-tunggu para penonton film. Sementara di dunia nyata, kisah panutan seorang Hakim juga selayaknya dapat ditutup dengan kisah menjaga marwah peradilan, menegakan keadilan dan menjadikan dunia peradilan sebagai benteng terakhir tegaknya keadilan. Inilah penutup kisah yang ditunggu-tunggu oleh para pencari keadilan. (LDR, FAC)

Etika Profesi Hakim dan Semiotika Ketidak-adilan

article | Opini | 2024-12-22 04:30:19

Kontemplasi mengenai etika selalu menjadi “primus interpares” dalam pembahasan sebuah profesi. Setiap profesi pasti melekatkan etika dalam pondasi, bangunan dan puncak eksistensinya. Etika melalui turunannya kode etik, akhirnya menjadi penentu apakah sebuah profesi pantas disebut “Keadaan” atau ‘Kemuliaan”.Etika menjadi salah satu cabang filsafat terpenting selain logika, yang menduduki tempat terhormat, bukan hanya dalam khazanah ilmu pengetahuan tapi juga setiap segmentasi kehidupan. Etika adalah prinsip dan nilai yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat (Silalahi, Dkk., 2022).Menyadari pentingnya pemahaman terhadap konsep etika, Badan Peradilan Umum MA RI tanggal 7 Oktober 2024 lalu, menggagas Pertemuan Rutin dan Sarasehan Interaktif (Perisai) untuk melakukan diskusi lebih dalam tentang tema ini, meskipun perlu digaris bawahi, Perisai adalah kegiatan berkelanjutan sebagai wadah membuka ruang diskusi dan argumentasi di tengah semakin minimnya literasi. Etika, dipilih sebagai topik perdana karena keutamaannya.Salah satu etika profesi yang selalu menarik atensi adalah pembahasan tentang etika profesi hakim. Tema ini sangat fundamental bukan hanya sebagai pembahasan utama dalam cabang pemikiran filsafat etika profesi tapi juga karena profesi hakim merupakan profesi utama dalam dunia penegakan hukum.Menariknya, anomali situasi terjadi ketika diskusi perdana “Perisai” dibuka. Hari itu dua tepian peristiwa yang mungkin saja terpisah secara geografis, justru terkait secara etik. Peristiwa pertama, seperti disebutkan di awal tulisan ini adalah salah satu tema diskusi yang diangkat sebagai tema “Perisai” tentang kode etik hakim yang melibatkan seluruh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum secara daring.Peristiwa kedua, dihari yang sama, sekumpulan hakim yang menamakan diri gerakan solidaritas hakim Indonesia justru sedang “berjuang” merefleksikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dengan mendatangi gedung DPR RI,. wakil tuhan mendatangi para wakil rakyat, adalah fenomena filsafat paling layak dipikirkan abad ini.Ada beberapa tuntutan yang dikemukakan, tapi intinya lebih dari 12 (dua belas tahun) negara abai dalam memperhatikan nasib para wakil tuhan. Negara sedang mempertontonkan “cidera janji” terhadap salah satu pilar yudikatif yang menopang negara hukum.Hakim turun ke jalan. Demikian diksi yang dipilih salah satu media. Maka bermunculanlah komentar kalap sebagian netizen. Diantaranya mempertanyakan etika para hakim yang justru seolah “mengemis” kesejahteraan kepada para wakil rakyat. Satire itu muncul, mengapa para wakil tuhan meminta itu kepada wakil rakyat? etika tanpa logika, katanya.Tapi ada juga yang bijak dalam berkomentar. Kata mereka, memang pantas seorang hakim memperoleh hak sebagai pejabat negara atau sebagai wakil tuhan asalkan mereka pun siap menerima konsekuensi maksimal bila hakim menyimpang dari koridor etika yang telah digariskan. Wajar pejabat negara diperlakukan selayaknya pejabat negara dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang telah digariskan aturan.Dalam dua tepian peristiwa ini, lagi-lagi kata “etika” digaungkan. Meski memiliki definisi, faktanya dalam ruang publik, etika adalah labirin yang menimbulkan kebingungan dan kegelisahan. Etika adalah kata yang begitu mudah diucapkan tapi begitu rumit ketika bersinggungan dengan kenyataan.Dalam ruang terbatas, persepsi yang muncul dalam kedua peristiwa ini sebenarnya sangat berkaitan. Diskusi atau argumentasi terhadap etika yang digagas Perisai langsung menemukan contoh nyata dilapangan ketika etika berbenturan bukan dengan logika tapi justru dengan negara.Hakim harus punya etika. Etika diatur dalam kode etik, maka setiap hakim harus tunduk dan patuh terhadap kode etik itu. Apakah hakim yang “turun ke jalan” yang tidak sidang, bersikap layaknya demonstran, melanggar etika ?. Belum tentu.Etika tertinggi dianut oleh penguasa (baca : negara) untuk memastikan seluruh alat penggerak kekuasaan juga berjalan dalam koridor etika pula. Dalam hal ini, negara bertindak sebagai “Tuhan” bukan lagi alat penyelenggara negara.Ketika negara lalai memperhatikan eksistensi hakim termasuk kesejahteraan mereka dan hak haknya, itu satu hal. Tapi hal lain yang luput dari pemikiran adalah kelalaian ini berpotensi menyulut pelanggaran etika dari hakim itu sendiri. Godaan, ancaman kekerasan, pengabaian hak, hanya untuk menyebut sedikit diantaranya membuat hakim sangat mungkin melakukan pelanggaran kode etik dalam profesinya. Tapi perlu dicatat, sedikit banyak, hal ini bisa muncul dari “ketidak-hadiran Tuhan” dalam memperhatikan nasib mereka. Lagipula, ketika wakil rakyat menerima para wakil tuhan, para wakil rakyat ini bertindak atas semboyan ‘Vox populi Vox Dei”.Maka peristiwa hakim turun ke jalan hanyalah preferensi moral yang diterjemahkan dalam pertanyaan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan “Tuhan”. Metamorfosis penegak keadilan menjadi pencari keadilan adalah masalah lain. Tapi sekali lagi, inilah semiotika ketidak-adilan.Semiotika adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menggali makna dalam sebuah tanda. Menurut Susanne Langer, menilai simbol atau tanda merupakan sesuatu yang penting kehidupan binatang diperantarai oleh perasaan (feeling) tetapi perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah konsep, simbol dan bahasa (Morison, 2013). Meski harus diakui, sangat ironis melekatkan pertanda ini kepada para hakim yang di tangan mereka keadilan ditegakkan, di pundak mereka kebenaran terakhir dipertaruhkan, dan di dalam hati dan pikiran mereka lah konstitusi dijaga dan diwariskan.Semiotika ketidak-adilan ini menjadi begitu brutal karena beberapa hal, pertama, melibatkan “Tuhan” dan wakilnya sebagai fragmen kegagalan bernegara, kedua, keseimbangan tiga pilar penyelenggara negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dan ketiga, terbelahnya riuh persepsi publik dalam menyikapi fenomena ini.Satu hal yang pasti, etika meskipun sifatnya ideal tapi akan selalu ada dalam ruang realitas. Etika yang dijabarkan dalam kode etik, apapun profesinya adalah konjungsi timbal balik antara nilai dan penganutnya. Mustahil berharap etika akan dipenuhi, apabila nilai yang diharapkan untuk mematuhi etika itu malah diabaikan. Bila Anda berharap hakim sepenuhnya patuh pada etika sebagai pejabat negara, tapi disisi lain hak dan kewajibannya tidak sepenuhnya juga dipenuhi, maka di titik itu anda melakukan pengabaian terhadap gambaran etika itu sendiri.Hakim meskipun disimbolkan sebagai wakil tuhan tetaplah manusia biasa. Bukan sekadar tempat salah dan dosa tapi tempat segala godaan diuji coba. Saat tulisan ini dibuat penawar letih tuntutan hakim telah dipenuhi. Tapi itu hanya penawar sementara sedangkan masalah sesungguhnya lebih dari itu.Sekali lagi masalah hakim di Indonesia adalah semiotika ketidak-adilan. Tanda-tanda ini akan terus ada bila negara sebagai pengayom dan penegak konstitusi gagal atau lalai dalam menjaga konstitusi.Memang benar bahwa sampai kapan pun, dalam dunia manapun, ketidakadilan akan selalu ada tak jarang pula ketidak-adilan ini menjadi gambaran paripurna yang meruntuhkan suatu rezim. Tapi, tak ada yang lebih mengkhawatirkan bila palu yang menjadi pemukul ketidakadilan justru “break” sejenak karena sang pemegang palu sedang menuntut keadilan.Semiotika ini berbahaya dan tak boleh lagi terulang di masa depan. Bila negeri ini ingin tetap kukuh sebagai negara hukum, maka sepantasnya hukum dan hakim harus seiring sejalan.John F. Kennedy pernah berujar, jangan tanyakan apa yang dilakukan negara untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu. Biarkan hakim “berbuat” untuk negaranya, tapi pastikan “negara” juga hadir dalam proses dialektika itu. Ini semata bukan karena negara kita adalah negara hukum, tapi karena hukum, pada akhirnya, adalah “negara” itu sendiri. (FAC, LDR)

Menyederhanakan Gugatan Sederhana

article | Opini | 2024-12-18 10:25:25

Lahirnya mekanisme gugatan sederhana tentu tidak dapat dilepaskan dari cita mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Asas yang mendasari keberadaan penyelenggaraan peradilan.Kebutuhan akan penyelesaian sengketa perdata, dengan nilai obyek, gugatan serta sederhana tidaknya pembuktian karena tidak terakomodir dengan ketentuan hukum acara yang ada. Bukankah dikatakan keadilan yang terlambat adalah ketidakadilan? Karenanya dalam mekanisme gugatan sederhana, banyak ‘penyederhanaan’ yang dilakukan dengan memangkas hal menjadi penghambatnya. Salah satunya adalah mengenai domisili atau alamat Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum.Dengan merujuk pada asas gugatan diajukan di tempat tinggal atau domisili Tergugat, maka mau tidak mau hanya Penggugat yang berdomisili sama yang dapat mengajukan gugatan sederhana. Demikian diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Lalu bagaimana jika Penggugat berdomisili berbeda dengan Tergugat? Ketika baik nilai obyek gugatan maupun pembuktian masuk kategori sederhana. Nah, terkait hal tersebut Perma Nomor 4 Tahun 2019 merubah aturan Perma sebelumnya. Penggugat dapat menunjuk kuasa, kuasa insidentil bahkan wakil yang beralamat atau domisili sama dengan Tergugat. Tentu saja dengan surat kuasa atau surat tugas yang membuktikan hal tersebut.Selanjutnya menjadi menarik, kenapa atau mengapa alamat atau domisili Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum? Jika merujuk pada maksud dan tujuan keberadaan mekanisme gugatan sederhana salah satunya adalah persoalan panggilan. Diakui atau tidak, persoalan panggilan, pada saat itu masih menjadi kendala, terutama dalam hal panggilan delegasi. Ketika kedua belah pihak dalam satu wilayah hukum tentu kendala panggilan delegasi tidak akan terjadi pada gugatan sederhana.Perkembangan berikutnya, transformasi administrasi dan persidangan secara elektronik muncul kemudian. Hal tersebut juga telah disadari dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Kehadiran Pasal 6A menunjukkan hal tersebut, mekanisme gugatan sederhana juga memanfaatkan administrasi persidangan secara elektronik.Hal tersebut tentu beralasan karena, sebelum  kehadiran Perma Nomor 4 Tahun 2019, lahir aturan mengenai administrasi dan persidangan secara elektronik. Administrasi perkara secara elektronik mendapat pijakan aturan dalam Perma Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diperbarui mencakup pula persidangannya pada Perma Nomor 1 Tahun 2019. Demikian juga Perma Nomor 7 Tahun 2022 yang kemudian memperluas administrasi perkara secara elektronik juga meliputi upaya hukum.Lalu apa kaitannya semua itu dengan mekanisme gugatan sederhana? Sebelum membahas hal tersebut, tidak ada salahnya terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu domisili elektronik. Nah soal ini yang kemudian menjadi menarik jika dikaitkan dengan mekanisme gugatan sederhana.Secara singkat domisili elektronik diartikan sebagai alamat elektronik dan/atau layanan pesan (masseging services)  yang terverifikasi milik para pihak. Lalu untuk apa domisili elektronik itu? dan mengapa pula harus terverifikasi? Domisili elektronik, sebagaimana alamat atau domisili dalam gugatan konvensional adalah untuk menentukan kedudukan hukum dan keperluan bagi pemanggilan dan/atau pemberitahuan tentunya.Sebagaimana diketahui, alamat atau domisili diperlukan dalam perkara perdata karena ada kewajiban Pengadilan untuk melakukan pemanggilan dan/atau pemberitahuan bagi kelancaran jalannya persidangan, termasuk dalam hal dilakukan upaya hukum. Dalam perjalananya, panggilan dan/atau pemberitahuan juga mengalami perubahan seiring dengan administrasi, persidangan maupun upaya hukum elektronik. Jika pada awalnya panggilan dilakukan secara langsung oleh petugas pengadilan (jurusita/jurusita pengganti) secara sah dan patut, maka saat ini telah bergeser. Kehadiran domisili elektronik tentu memerlukan perlakuan khusus, yaitu dengan melakukan panggilan juga secara elektronik. Dan panggilan elektronik dijalankan langsung, tidak peduli apakah alamat atau domisili konvensionalnya berada di dalam ataupun diluar wilayah hukum pengadilan tersebut.Selain itu, saat ini, terhadap pihak yang masih menggunakan domisili atau alamat konvensional dan bukan domisili elektronik panggilan juga telah mengalami pergeseran. Tidak lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui pos tercatat khusus. Imbasnya, terhadap domisili atau alamat yang berada di luar wilayah hukum, pengadilan tidak perlu melalui delegasi akan tetapi dapat langsung mengirimkan melalui pos tersebut. Singkatnya administrasi perkara secara elektronik telah menghilangkan panggilan dan/atau pemberitahuan dengan delegasi.Dengan berbagai perkembangan terkait administrasi daan persidangan elektronik tersebut lalu bagaimana dengan gugatan sederhana? Ini yang menjadi menarik, karena dalam salah satu pasal Perma Nomor 4 Tahun 2019, Pasal 4 ayat 3a masih mensyaratkan alamat atau domisili Penggugat satu wilayah hukum dengan Tergugat?Bukankah saat ini seluruh pendaftaran gugatan wajib hukumnya didaftarkan secara elektronik? Dan konsekuensi hal tersebut adalah harus memiliki domisili elektronik yang terverifikasi? Jika demikian maka terhadap pendaftaran gugatan sederhana akan tercantum alamat atau domisili konvensional dan elektronik?Bagaimana cara menentukan bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki domisili dalam satu wilayah hukum? Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melihat sejarah serta maksud dan tujuan penyederhanaan gugatan sederhana terkait domisili para pihak. Panggilan dan/atau pemberitahuan, ya hal tersebutlah yang selama ini Mahkamah Agung terus upayakan dalam mewujudkan asas peradilan, termasuk dan tidak terbatas melalui domisili elektronik.Apa artinya? Artinya ketika pihak, dalam hal ini Penggugat telah mencantumkan domisili elektronik (terlebih telah terverifikasi melalui akun ecourt) maka seluruh panggilan dan/atau pemberitahuan seluruhnya akan disampaikan secara elektronik. Tidak akan pernah ada ceritanya panggilan dan/atau pemberitahuan akan dilakukan secara langsung oleh jurusita dan/atau jurusita pengganti, bahkan panggilan pos tercatat khusus sekalipun tidak akan dilakukan? Kenapa? Ya karena telah ada domisili elektronik yang terverifikasi.Lalu apa konsekuensinya? Kehadiran domisili elektronik, terutama untuk Penggugat yang memasukan gugatan secara elektronik telah menafikan (atau mengganggap) alamat atau domisili konvensional. La sudah tidak ada fungsinya terkait keperluan pencantumannya dalam gugatan. Pun demikian dalam gugatan sederhana tentunya.Pencantuman domisili elektronik dengan segala konsekuensinya di atas, tentu berimbas dalam cara memahami keberadaan Pasal 4 ayat 3a Perma Nomor 4 Tahun 2019. Apabila alamat atau domisili konvensional Penggugat dan Tergugat berada dalam satu wilayah hukum tentu tidak jadi persoalan. Lalu bagaimana jika sebaliknya? Tentu harus dikembalikan kepada hakekat keberadaan domisili elektronik seiring dengan perubahan administrasi perkara secara elektronik berikut perubahan tata cara pemanggilan dan atau pemberitahuan. Jika tidak demikian, maka penyederhanaan gugatan sederhana tidak akan mencapai tujuannya. Semoga tidak demikian.Kayuagung, 12122024 pada sebuah tanggal cantik dimana Timnas Indonesia kurang main cantik.