article | Opini | 2025-03-12 12:30:03
Selasa, 26 Maret 2024 Penulis mengikuti sidang perkara pencurian. Singkatnya, Terdakwa mencuri handphone korban pada saat korban tertidur di Masjid lalu tertangkap tangan oleh korban melalui pelacakan handphone. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Hakim Ketua menanyakan kepada Penuntut Umum alasan perkara tidak dilimpahkan dengan acara cepat lalu Penuntut Umum menyampaikan nilai handphone yang dicuri sebesar Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Artinya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada pemeriksaan, Terdakwa mengakui seluruh perbuatannya dan dituntut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara.Kasus kedua, perkara membawa senjata tajam. Saat razia pihak kepolisian, Terdakwa tertangkap tangan membawa pisau dengan panjang sekitar 26 (dua puluh enam) cm. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Pada saat persidangan, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian bahwa Terdakwa mengakui alasan membawa senjata tajam tersebut untuk berjaga-jaga dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai mekanik di bengkel motor. Penuntut umum lalu menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.Pada konteks perwujudan peradilan cepat dan sederhana, perkara-perkara diatas menimbulkan problematika hukum yang perlu didiskusikan bersama untuk menjadi bahan kebijakan Mahkamah Agung untuk menerbitkan SEMA atau Rancangan PERMA (RPERMA). Pertama, mengapa pemeriksaan tidak dilakukan melalui acara singkat? Kedua, mengapa pemeriksaan tersebut tidak disidangkan dengan Hakim Tunggal guna mengurangi beban kerja Hakim? Ketiga, dari sisi keadilan hukum sekaligus pendekatan KUHP baru, apakah Terdakwa dalam kasus pencurian tersebut dapat dihukum setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan kurungan? Mengingat kerugiannya hanya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).Mengenai permasalahan ketiga, telah disinggung oleh Penulis pada Artikel Opini Majalah Dandapala Volume IX/Edisi 51 Januari-Februari 2023. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP pada saat ini memang perlu kembali disesuaikan (2024) karena aturan tersebut sudah berlaku 12 (dua belas) tahun. Mahkamah Agung melakukan perhitungan dengan pendekatan harga emas tahun 1960 (Rp50,51,-/gram) dengan harga emas tahun 2012 (Rp509.000,-/gram) sehingga terdapat kenaikan sebesar 10.000 (sepuluh ribu) lipat. Pada saat ini, apabila menggunakan metode pendekatan harga emas maka harga emas tahun 2024 (Rp1.150.000,-/gram) atau sekitar dua kali lipat dari tahun 2012. Oleh sebab itu, kategori kerugian pada tindak pidana ringan dapat disesuaikan menjadi Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) atau diselesaikan melalui Perma 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Permasalahan pertama dan kedua terletak pada hukum acara yang diatur KUHAP yang hanya memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menentukan jenis acara pemeriksaan (Biasa atau Singkat). Konsekuensinya, apabila Penuntut Umum berpandangan perkara tersebut tidak dapat dibuktikan dengan sederhana maka perkara akan dilimpahkan dengan acara biasa sehingga Ketua Pengadilan Negeri wajib menunjuk hakim dengan komposisi Majelis untuk memeriksa perkara tersebut. Akan tetapi perlu disadari, KUHAP sendiri tidak memberikan parameter “Pembuktian yang Sederhana” yang berakibat hampir seluruh perkara oleh Penuntut Umum dilimpahkan dengan acara biasa walaupun perkara tersebut (apabila dikaji) dapat diperiksa secara singkat dengan hakim tunggal. Kondisi tersebut tergambarkan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Periode 2020-2023: PERBANDINGAN JENIS PERKARA BIASA DAN SINGKAT BERDASARKAN LAPORAN TAHUNAN MAHKAMAH AGUNG PERIODE 2020-2023 TAHUN JUMLAH PERKARA PIDANA BIASA JUMLAH PERKARA PIDANA SINGKAT PERSENTASE PERBANDINGAN PIDANA BIASA DENGAN PIDANA SINGKAT 2020 134.344** 454 0,336% * 2021 123.352** 190 0,1537% * 2022 119.109** 100 0,839% * 2023 117.773** 57 0,0484% * *PERSENTASE PERKARA PIDANA SINGKAT DIBAWAH 1% DIBANDINGKAN PERKARA PIDANA BIASA **5 (LIMA) PERKARA MENDOMINASI ANTARA LAIN TINDAK PIDANA NARKOTIKA, PENCURIAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGGELAPAN, PENGANIAYAAN YANG JIKA DITELITI DAPAT DISELESAIKAN MELALUI ACARA SINGKAT Kondisi diatas memberikan beban kerja lebih kepada para hakim karena rata-rata beban per hakim adalah jumlah rasio perkara bagi setiap hakim dikalikan 3 (tiga). Karena persidangan dilakukan dengan majelis, setiap perkara didistribusikan kepada tiga orang hakim. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU tersebut memberikan wewenang pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai sulit tidaknya pembuktian sehingga suatu perkara dapat ditangani oleh Hakim Tunggal atau Majelis. Penerapan Hakim Tunggal juga pernah diterapkan berdasarkan SEMA 4/1984 tentang Sidang-Sidang dengan Hakim Tunggal yaitu pemberian izin sidang dengan hakim tunggal kecuali perkara tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi dan tindak pidana yang menarik perhatian publik;Perbandingan kondisi tersebut mendorong penulis mengkaji parameter “Pembuktian yang Sederhana”. Melalui metode kajian 200 (dua ratus) putusan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Surabaya, perbandingan dengan RKUHAP dan perbandingan peraturan dengan negara lain, maka didapat parameter sebagai berikut:Jenis perkara mayoritas atau mendominasi di suatu daerah (seperti perkara senjata tajam, pencurian, penganiayaan, penipuan, pengedaran sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan, kecuali narkotika). Tiap daerah mempunyai jenis perkara mayoritas, misalnya di Pengadilan Tinggi Surabaya adalah perkara tindak pidana kesehatan (sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan secara ilegal) dan perjudian sedangkan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin adalah perkara senjata tajam dan penganiayaan;Putusan terhadap perkara-perkara tersebut, rata-rata dibawah 2 (dua) tahun atau pidana bersyarat. Bandingkan dengan syarat Pemeriksaan Singkat pada RKUHAP yaitu Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun;Terdakwa mengakui perbuatannya atau tertangkap tangan;Perkara diselesaikan dalam waktu kurang dari 1,5 (satu setengah) bulan;Dakwaan tunggal atau alternatif;Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya (Pengakuan dari Keterangan Terdakwa) dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi. Artinya, jumlah Saksi yang diperiksa tidak lebih dari 2-3 (tiga) orang;Jenis Perkara tersebut rata-rata (secara persentase) tidak diajukan upaya hukum;Bukan perkara yang menarik perhatian publik;Parameter tersebut dapat dituangkan dalam SEMA atau lebih teknis dapat diatur pada RPERMA tentang Pedoman Acara Singkat. Apa filosofinya? Kata “Sederhana” hanya ditemukan pada Pemeriksaan Acara Singkat padahal “Sederhana” merupakan asas utama dalam pemeriksaan akan tetapi tidak ada pasal pengaturan yang mewujudkan asas tersebut lebih konkret. Asas peradilan sederhana diatur secara tegas dan lebih jelas dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “sederhana” yang berada di paling depan dibandingkan frasa “cepat” dan “biaya ringan” menjadi penekanan bahwa alur proses peradilan mengarah pada prinsip kerja yang efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.Bagaimana teknis pengaturannya? Pada RPERMA, diatur tiap pengadilan memberikan laporan kepada Pengadilan Tinggi terkait perkara-perkara yang mendominasi daerah tersebut dan memenuhi parameter diatas, lalu Pengadilan Tinggi memberikan persetujuan bahwa terhadap perkara-perkara tersebut dapat diadili dengan Hakim Tunggal. Ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk Hakim Tunggal, juga memperhatikan pengalaman hakim tersebut khususnya dalam memeriksa kasus serupa. Pemeriksaan dapat menyesuaikan, artinya Hakim dapat berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri, apabila khusus dalam pembuktian saksi memerlukan pemeriksaan secara majelis, sedangkan terkait dakwaan, tuntutan, pembelaan dan putusan tetap dilakukan oleh hakim tunggal. Pemeriksaan juga memperhatikan pengakuan Terdakwa setelah pembacaan dakwaan. Pasal 199 RKUHAP menentukan, “Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, Terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.” Terakhir, diatur juga mengenai proses pembuktian dan format putusan yang lebih sederhana. Berdasarkan parameter diatas, maka penerapan pemeriksaan acara singkat sebagai penerapan asas contante justice dapat berkorelasi positif secara faktual dengan beban kerja hakim di Indonesia, karena pemeriksaan acara tersebut dapat dilakukan dengan hakim tunggal bukan majelis. Oleh sebab itu, Penulis berharap bahwa RPERMA dapat memberikan dampak positif dan langkah yang tepat untuk mengurangi beban kerja hakim khususnya dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan, mengurangi antrian atau penundaan sidang di Pengadilan kelas IB / IA karena seringkali salah satu hakim yang memeriksa sedang berhalangan atau memeriksa perkara lain. Terakhir, RPERMA dapat menjadi salah satu jalan konkret perwujudan asas utama dalam peradilan yaitu Cepat dan Sederhana. (FAC Rd, LDR)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Ponorogo