Cari Berita

Duit Setan Dipangan Demit, Falsafah Jawa Anti Korupsi

Hakim Ad Hoc Tipikor PN Kupang, Bibik Nurudduja SH MAg - Dandapala Contributor 2025-08-25 17:35:40
Bibik Nurudduja, S.Ag.M.H (Hakim Ad Hoc Tipikor PN Kupang)

HAMPIR setiap hari bangsa Indonesia disusuhi dengan berita tentang korupsi. Mulai dari Operasi Tangkap Tangan, penyitaan barang barang mewah hasil korupsi, berbagai pendapat pihak pihak terkait hingga proses hukum. Korupsi telah menjadi objek berita yang menarik dan seolah-olah menjadi bagian yang selalu dinanti. Setelah itu muncul nama-nama selebriti koruptor yang selalu disebut sebut netizen. 

Guna membangun negara bebas korupsi, Indonesia telah mengundangkan berbagai peraturan perundang-undangan, melakukan proses hukum untuk para koruptor, melakukan pendidikan anti korupsi di masyarakat , menetapkan berbagai peraturan teknis agar kesempatan untuk melakukan korupsi hilang atau setidaknya semakin kecil kesempatan untuk melakukan korupsi. 

Memang sudah saatya setiap unsur bangsa mencurahkan sumbardaya yang dimilikinya untuk membangun bangsa yang bebas korupsi. Salah satunya adalah dengan mendayagunakan kearifan lokal, salah satunya berupa falsafah jawa. 

Baca Juga: Molimo, Falsafah Jawa Cara Wujudkan KEPPH yang Luhur

Falsafah Jawa diajarkan turun temurun dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda. Penyampaian ini bisa berupa ajaran keluarga dari orangtua kepada anaknya atau pendidikan di padepokan atau sistem pendidikan lainnya . 

Falsafah membentuk perilaku manusia dari cara berpikirnya atau mindset nya. Pola ini meyakini bahwa prilaku orang ditentukan oleh cara berpikirnya dan bagi kalangan tertentu ditentukan oleh norma yang diyakininya. Falsafah merupakan bahan renungan untuk membentuk pola pikir sekaligus sebagai norma yang diyakini. 

Falsafah Duit Setan Dipangan Demit

Salah satu yang diajarkan dalam falsafah jawa adalah duit setan dipangan demit. Jika diterjemahkan artinya uang setan dimakan demit. Maksudnya kekayaan atau uang yang diperoleh dengan cara yang tidak benar (cara setan) pada akhirnya akan dimakan demit. Maksudnya harta atau uang yang diperoleh dengan “cara setan” akan menjelma menjadi konsumsi demit (hal-hal buruk/ angkara murka / prilaku buruk) atau hilang, habis, tidak berguna bagi kemanusiaan. 

Ajaran tersebut menunjukkan bahwa duit setan adalah cara mendapatan uang atau harta dengan cara-cara setan; yaitu cara cara yang curang atau melawan hak orang atau melawan hak negara. Dalam konteks korupsi, cara tersebut bisa dilihat antara lain dengan cara melawan hukum, menerima suap, berbuat curang atau dengan merugikan keuangan atau perekonomian negara. 

Dalam kasus korupsi, yang sering dilihat publik adalah pemberitaan penyitaan uang dan barang-barang mewah yang diduga merupakan hasil korupsi. Bisa jadi yang terlihat publik adalah koruptor menikmati kehidupan mewah dari hasil korupsinya. Namun, cara pandang atau point of view  dari falsafah jawa tidaklah demikian. Karena cara pandang falsafah jawa tidak hanya sesaat pada saat korupsi tersebut sedang diliput oleh media massa, tetapi lebih dari itu cara pendang terhadap falsafah jawa juga khusus. 

Cara pandang falsafah jawa yang diajarkan adalah dengan melihat kisah-kisah nyata  “sak umur menungso”(dalam satu fase kehidupan manusia). Seseorang dulu melakukan apa dan sekarang mengalami apa. Dalam satu fase kehidupan manusia, biasanya bisa dilihat dua, tiga bahkan ada sebagian kecil empat generasi.  Misalnya si A, ia punya orangtua prilakunya bagaimana, yang dialami orangtuanya apa, si A mengalami apa, anaknya bagaimana dan cucunya bagaimana. 

Melihat kisah hidup itu tidak hanya berlaku bagi orang lain, tetapi juga berlaku bagi diri sendiri. Dengan bahasa lain, diri kita harus bisa menjadi orang lain yang melihat kita atau sebagai outsider.  Kita ini siapa dan sedang apa dilihat dari kacamata orang lain. Meninggalkan egodan melihat diri kita seperti melihat orang lain. 

Falsafah “duit setan dipangan demit” sebenarnya terhubung langsung dengan falsafah jawa yang lain, Yaitu : “sangkan paraning dumadi” dan “Mo limo”. Pertama, “sangkan paraning dumadi”  merupakan falsafah jawa yang mengingatkan bahwa manusia itu berasal dari mana dan akan menuju kemana. Manusia dari tidak ada menjadi ada dan akan kembali kepada yang menciptakan manusia. Falsafah ini mengingatkan bahwa manusia tidaklah kekal dan akan pulang kepada yang menciptakan. Di sana manusia akan mempertanggung jawabkan segala yang dilakukan selama hidup di dunia. 

Kedua “Mo Limo” . agar hidup tenang orang harus menghindari lima hal, yaitu : Maling, Madon, Madat, Mabuk  lain Main  ( Mencuri, main perempuan, menggunakan narkoba/ candu, Mabuk dan Judi). Dalam hal ini korupsi dipahami sebsgai bagian dari mencuri.  

Perlunya Mendayagunakan Kearifan Lokal dalam Gerakan Anti Korupsi 

Kepribadian seseorang mulai dibentuk dari kecil, remaja hingga dewasa. Nilai -nilai yang diyakini, mengontrol prilaku dan mengonrol pola pikir dan membimbing arah hidup seseorang. Prilaku anti korupsi harus dikwal dari dalam diri seseorang dan dari luar, yaitu kebijakan pemerintah. 

Nilai-nilai budaya salah satunya berupa filsafat atau tuntunan hidup dalam masyarakat lokal harus didayagunakan untuk memperbaiki prilaku orang perorangan anggota keluarga. Orang perorangan inilah yang kemudian tersusun menjadi masyarakat dan negara. 

Bertutur dengan cerita cerita dan kisah-kisah untuk menyampaikan pentingnya menjaga penghasilan kita dari yang bukan hak kita merupakan salah satu cara dan kekuatan melawan korupsi. Tentunya dengan bahasa bahasa sesuai umur dan sesuai situasi agar nilai-nilai anti korupsi tetap hidup dan berkembang, disamping negara dan pemerintah terus mengembangkan peraturan dan tata cara hidup yang tidak memberi kesempatan korupsi . 



Baca Juga: MA Kumpulkan Seluruh Hakim Pengadilan Negeri di Jakarta, Ada Apa?

Bibik Nurudduja, S.Ag.M.H

Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Kupang/Mahasiswa S3 UIN Walisongo, Semarang

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI