Pasal 603 KUHP Baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) ditempatkan dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini merupakan kodifikasi ulang dari inti delik korupsi unlawful enrichment yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Secara teoritis, Pasal 603 KUHP
Baru memiliki empat karakter mendasar:
- Delicta Communia artinya dapat dilakukan oleh siapa saja;
- Delik Materil yang
mensyaratkan akibat berupa kerugian negara;
- Modifikasi Sistem Delphi merupakan suatu metode penyempurnaan
dari model pemberantasan korupsi berdasarkan sistem klasifikasi delik inti (core
crime);
- Core Crime dari Pasal 2 ayat (1) UU Pemberatasan
Tipikor dalam artian bahwa inti perbuatan korupsi berupa perbuatan
melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Pasal 603 KUHP
Baru Sebagai Delicta Commune
Frasa “Setiap
Orang” Sebagai Penanda Delik Umum. Pasal
603 merumuskan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
Moeljatno menyatakan bahwa delicta
commune adalah delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak
mensyaratkan kualitas khusus pelaku seperti jabatan atau profesi tertentu (Moeljatno
2010 : 63 ). Sedangkan delicta propria adalah tindak pidana yang hanya
mungkin dilakukan oleh mereka yang memenuhi kualifikasi atau memiliki kualitas
tetentu misalnya pegawai negeri, pelaut, militer (Jan Remmelink 2003 : 72)
Karena Pasal 603 KUHP Baru tidak mensyaratkan “pejabat publik”, dapat diterapkan kepada warga biasa, dan dapat
diterapkan kepada korporasi, maka secara doktrinal ia termasuk delik umum (delicta
commune). Berbeda dari Delicta
Propria Pasal 604 KUHP Baru yang mewajibkan pelaku adalah pejabat publik,
sehingga merupakan delicta propria. Hal ini menegaskan karakter Pasal
603 sebagai delik umum yang lintas-subjek.
Pasal 603 KUHP
Baru sebagai Delik Materil
Pasal 603 KUHP Baru dikatakan sebagai delik materil karena mengharuskan
adanya unsur akibat: “Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” sebagai unsur utama.
Delik materil adalah delik yang
dianggap selesai bukan saat perbuatan dilakukan, tetapi setelah akibat terjadi
(Adami Chazawi 2012 : 212).
Unsur kerugian negara dalam Pasal
603 merupakan unsur esensial, sehingga Perbuatan belum sempurna sebelum
kerugian negara terbukti, dan harus ada hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukum dan kerugian negara, serta Kerugian negara harus bersifat nyata (actual
loss), bukan sekadar potensi.
Satjipto Rahardjo menegaskan
bahwa delik materil mensyaratkan pembuktian empiris atas akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatan (Satjipto Rahardjo 2014 : 118).
Pasal 603 sebagai delik materil
mengandung konsekuensi pada pembuktian yang lebih teknis dan kompleks. Oleh karena itu, Pasal 603 ini memerlukan
adanya : 1).Perhitungan kerugian negara (BPK/BPKP), 2).Pembuktian actus reus
(perbuatan memperkaya diri), 3).Pembuktian unsur melawan hukum, dan 4) Pembuktian
hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian keuangan atau perekonomian
negara . Hal ini membedakannya dari delik formil Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor
yang tidak memerlukan akibat nyata. Penuntut Umum lebih mudah membuktikan
delik lebih, karena cukup menunjukkan
bahwa perbuatan berpotensi (potential loss) merugikan negara.
Modifikasi
Sistem Delphi dalam Pasal 603 KUHP Baru
Konsep Dasar Sistem Delphi dalam doktrin
korupsi kontemporer, Sistem Delphi merupakan model klasifikasi delik korupsi
berdasarkan “tingkat esensialitas” terhadap kerusakan sistem publik ( Jeremy
Pope 2000 : 44) . Sistem ini membagi
delik menjadi: 1) Core Crime – delik inti atau “paling esensial” yang
menjadi pusat dari keseluruhan rangkaian kejahatan ; 2). Adjacent Crime
– delik terkait yang merupakan tindak pidana yang berhubungan langsung dengan
core cime, namun tidak menjadi unsur utama, perannya memperkuat, memfasilitasi,
atau menutupi tindak pidana inti; dan 3). Supporting Crime – delik
pendukung atau instrumental. Core crime berupa perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, Adjacent cime
misalnya pemalsuan dokumen untuk merekayasa laporan penggunaan anggaran dan Supporting
crime misalnya penghilangan barang bukti. Indonesia melalui KUHP Baru mengadopsi pola
serupa dalam restrukturisasi delik korupsi, terutama dalam delik Pasal 603–606
KUHP Baru.
Pasal 603 sebagai Modifikasi
Sistem Delphi ditempatkan sebagai Core Crime dalam kelompok delik
korupsi KUHP Baru, karena sifatnya: berorientasi pada kerugian negara, tidak
membutuhkan kualitas pelaku, fokus pada tindakan memperkaya diri secara melawan
hukum, dan sesuai dengan model korupsi “unlawful enrichment” dalam UNCAC
(UNODC 2015 : 148).
Struktur KUHP Baru menunjukkan
adanya reklasifikasi delik menuju Delphi-structured offences, di mana
Pasal 603 menjadi inti kluster.
Pasal 603 KUHP
Baru sebagai Core Crime Pasal 2 Ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor
Dalam doktrin
hukum pidana core crime merujuk pada delik inti yang mencerminkan
substansi utama suatu jenis kejahatan. Dalam konteks korupsi delik memperkaya
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian negara adalah inti filosofis
dan yuridis tindak pidana korupsi.
a. Kesamaan
Unsur Pasal 603 merupakan kodifikasi ulang dari Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan
Tipikor:
“Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara…”
Unsur-unsur antara Pasal 603 dan
Pasal 2 ayat (1) identik, yakni : 1) Unsur
Subjek: setiap orang; 2) Unsur Perbuatan: memperkaya diri; 3). Unsur Sifat:
melawan hukum; dan 4) Unsur Akibat: kerugian negara.
b. Mengapa
Disebut Core Crime
Romli
Atmasasmita menyebutkan bahwa Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor merupakan delik
utama (core crime) korupsi di Indonesia karena menyerang langsung
keuangan negara (Romli Atmasasmita 2012
: 81). Dan Moeljatmo menyebutkan bahwa delik inti adalah perbuatan yang secara
langsung merusak nilai hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk
undang-undang (Moeljatmo 2010 : 54). Nilai hukum yang dilindungi Pasal 603 adalah
keuangan negara dan perekonomian negara,
sehingga sifatnya fundamental.
KUHP Baru mengadopsi delik ini
sebagai delik pertama dalam kluster korupsi (Pasal 603), dan delik yang
memiliki struktur unsur paling lengkap, serta delik yang paling luas
jangkauannya karena dapat menjerat siapa pun termasuk Korporasi.
c. Hubungan
“Lex Specialis”
Meskipun KUHP
Baru mengatur delik inti, UU Pemberantasan Tipikor tetap berlaku sebagai lex
specialis. Pasal 603 tidak menggantikan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor.
Undang-undang Pemberantasan Tipikor tetap berlaku sebagai asas lex specialis
derogat legi generali, sehingga pengaturan korupsi dalam KUHP Baru tidak
serta merta mencabut berlakunya UU Pemberantasan Tipikor. Tetapi menjadi kodifikasi
nasional, dan harmonisasi dengan sistem pidana umum, serta referensi untuk
penataan kembali struktur delik korupsi.
Simpulan
Pasal 603 KUHP Baru memiliki
empat karakter utama:
- Delicta Commune atinya dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk
korporasi.
- Delik Materil
sebagai delik dianggap selesai setelah timbul kerugian keuangan negara
dan memerlukan pembuktian kausalitas.
- Modifikasi Sistem Delphi berupa metode penempatan Pasal
603 menjadi delik inti dalam model klasifikasi delik korupsi versi KUHP Baru.
- Core Crime dari Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor
dalam arti merupakan adopsi langsung dari delik memperkaya diri secara melawan
hukum yang merugikan negara.
Dengan
demikian, Pasal 603 KUHP Baru adalah delik inti dalam arsitektur pemberantasan korupsi
Indonesia, sekaligus jembatan (bridging rule) antara KUHP Baru dan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Koupsi. Semoga
bermanfaat. (ldr/wi)
Daftar Pustaka
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Buku
- Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012.
- Andi
Hamzah. Korupsi di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
- Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
- Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,
2010.
- Romli Atmasasmita. Reformasi Hukum Pidana. Bandung:
Mandar Maju, 2012.
- Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2014.
- Jeremy
Pope. Confronting Corruption. Transparency International, 2000.
- Dokumen Internasional
- UNODC.
Legislative Guide to the United Nations Convention Against Corruption. New
York: UN, 2015.
- Peraturan
- Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Dr. Marsudin Nainggolan, SH.,MH-Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara.
Tulisan ini disampaikan dalam rangka memperingati HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA (HAKORDIA) Tahun 2025 (Tanggal 9 Desember 2025) .
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI