Cari Berita

Pemikiran Satjipto Rahardjo: Jejak Sejarah Hukum Progresif di Indonesia

article | History Law | 2025-09-16 08:15:39

Hukum merupakan instrumen fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam pelaksanaannya, hukum seringkali dipandang sebagai perangkat yang kaku dan formalistis sehingga kehilangan makna sebagai penegak keadilan substantif. Dari keresahan tersebut lahir gagasan Hukum Progresif, suatu aliran pemikiran hukum khas Indonesia yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. pada awal abad ke-21. Sejarah hukum progresif tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik Indonesia pasca-reformasi. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, masyarakat menaruh harapan besar terhadap reformasi hukum nasional. Namun, sistem hukum yang diadopsi dari masa kolonial bersifat sangat formalistis dan tekstualistis, sehingga aparat hukum cenderung berfokus pada penafsiran kata demi kata undang-undang tanpa memperhatikan keadilan substantif. Banyak putusan pengadilan yang secara formal benar tetapi secara moral dinilai tidak adil. Keadaan inilah yang mendorong Satjipto Rahardjo untuk memperkenalkan paradigma baru berupa hukum yang dinamis, berjiwa, dan berpihak kepada manusia.Satjipto Rahardjo (1930–2010), seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, adalah tokoh utama yang mengembangkan pemikiran hukum progresif di Indonesia. Ia dikenal kritis terhadap positivisme hukum yang terlalu terpaku pada teks undang-undang. Dalam berbagai karya akademiknya, Satjipto menegaskan bahwa hukum harus berorientasi pada manusia, bukan manusia yang tunduk pada hukum secara kaku. Ia menekankan bahwa penegak hukum harus berani menafsirkan hukum secara kreatif demi terciptanya keadilan substantif.Hukum progresif memiliki tiga ciri utama:Human-Centered Law: Hukum dipahami sebagai sarana untuk melayani manusia, dengan tujuan utama menciptakan keadilan substantif.Anti-Positivisme Formalistis: Hukum progresif menolak pandangan yang mengidentikkan hukum hanya dengan teks peraturan; moral, etika, dan nurani menjadi komponen integral dalam penegakan hukum.⁠Keberanian Moral Penegak Hukum: Hakim, jaksa, polisi, dan advokat dituntut memiliki keberanian moral untuk menafsirkan hukum secara inovatif agar tercapai keadilan sosial.Sejarah hukum progresif di Indonesia antara lain dapat dilihat dari beberapa putusan pengadilan yang mencerminkan semangat pemikiran Satjipto Rahardjo:Kasus Nenek Minah (2009): Seorang nenek di Banyumas yang mencuri tiga buah kakao dijatuhi hukuman ringan bahkan cenderung dibebaskan karena pertimbangan kebutuhan hidup.Kasus Pencurian Semangka di Kediri: Seorang terdakwa dibebaskan karena nilai barang yang dicuri sangat kecil dan tidak sepadan dengan biaya proses peradilan.Putusan-putusan ini menunjukkan keberanian hakim dalam menempatkan keadilan substantif di atas kepastian hukum sesuai dengan prinsip hukum progresif.Sejak dikenalkan, hukum progresif telah memberikan dampak yang signifikan dalam berbagai bidang:Dunia Akademik: Pemikiran Satjipto Rahardjo menjadi fokus kajian filsafat hukum, sosiologi hukum, dan teori hukum di fakultas-fakultas hukum nasional.Praktik Peradilan: Banyak hakim mulai menggunakan pertimbangan moral dan sosial sebagai dasar putusan, melampaui aspek tekstual undang-undang semata.Reformasi Hukum: Hukum progresif mendorong pembaruan peraturan perundang-undangan agar lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat, termasuk penerapan kebijakan restorative justice dalam perkara pidana.Meskipun inovatif dan inspiratif, hukum progresif tidak luput dari kritik. Beberapa akademisi berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu subjektif, karena membuka ruang bagi hakim untuk menafsirkan hukum berdasarkan nuraninya sendiri. Kekhawatiran lainnya adalah potensi ketidakpastian hukum akibat kurangnya kepatuhan yang ketat pada teks undang-undang. Namun, pendukung hukum progresif meyakini bahwa fleksibilitas ini justru memperkuat keadilan substantif dalam konteks sosial yang kompleks.Jejak sejarah hukum progresif di Indonesia mencerminkan perjuangan intelektual dan moral dalam mewujudkan hukum yang tidak hanya formalistik, melainkan juga berjiwa dan berpihak pada manusia. Gagasan hukum progresif yang lahir dari kegelisahan Satjipto Rahardjo mengajarkan bahwa hukum sejati adalah hukum yang membahagiakan manusia. Meskipun tokoh tersebut telah wafat, semangat hukum progresif tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi masa depan penegakan hukum yang lebih humanis, adil, dan berkeadaban di Indonesia. IKAW

Analogi Dalam Putusan Pidana, Apakah Terobosan Atau Kemunduran Hukum ?

article | Opini | 2025-03-09 16:00:39

Putusan hakim merupakan mahkotanya hakim. Putusan hakim adalah produk kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh hakim sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa atau perkara di tingkat pengadilan. Hakim wajib menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit). Selain itu, dalam membuat putusan, hakim juga dituntut memiliki kemampuan intelektual, moral, dan integritas yang tinggi.Masyarakat pencari keadilan (Yustitiabelen) berharap bahwa pengadilan menjadi pihak yang netral dan mampu bersikap independen, sehingga menghasilkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan profesional. Putusan hakim harus disertai dengan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam bahasa hukum, pertimbangan yang memuat alasan-alasan faktual dan dasar hukum dari putusan itu disebut motivering.Putusan pengadilan juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Selain itu,pertimbangan hendaknya memuat aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selanjutnya penulis menyampaikan opininya tentang bagaimana pertimbangan putusan hakim yang ideal dalam berbagai perspektif perkara yang beragam. Contoh saja Hakim legendaris Bismar Siregar pernah menggunakan penafsiran analogi dalam putusannya. Pada saat itu terdakwa MR Sidabutar terbukti melakukan tindak pidana pencurian. Amar putusan Bismar juga menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Yang membuat putusan Bismar mencuat adalah analogi alat kelamin perempuan sebagai barang, atau bonda dalam bahasa Tapanuli.Sidharta berpendapat agar suatu putusan dikatakan baik harus diterima di empat komunitas, yaitu komunitas peradilan, komunitas ahli hukum, komunitas masyarakat umum, dan komunitas para pihak. Faktanya, tak semua komunitas itu menerima putusan Bismar. MA bahkan kemudian membatalkannya.Dalam ilmu penafsiran hukum, mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-undangan dikenal dengan konstruksi hukum dan interpretasi (penafsiran). Konstruksi (rekayasa) Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi (rekayasa hukum) terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu analogi (abstraksi), determinasi (penghalusan hukum) dan argumentasi a contrario.Akan tetapi dalam melakukan konstruksi hukum dan interpretasi hukum tersebut  perlu diperhatikan kepastian hukum yang berdasarkan kepada hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak menjadi perluasan makna dalam konteks undang-undang sehingga bisa menjadikan putusan hakim berlandaskan pada pemikiran subyektif  saja.Menariknya bagaimana putusan Pengadilan itu untuk dikaji, apakah yang dilakukan hakim itu termasuk penafsiran atau perluasan, karena dalam penafsiran dan penemuan hukum tetap ada batasan-batasannya.Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah Majelis Hakim sebagai poros utamanya. Majelis Hakim memegang peranan sentral dalam membuat putusan atas memutus sengketa yang sedang ditanganinya. Implementasi hukum dalam putusan Majelis Hakim mengacu pada kerangka pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori hukum (legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing  Majelis Hakim menyusun putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Dalam mengambil putusan, masing-masing Hakim mempunyai hak yang sama dalam melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar. Pertama, tahap konstatir. Mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut. Mengkonstatir berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, membenarkan, telah terjadinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan, yang didasarkan alat bukti pembuktian.Proses pembuktian dimulai meletakkan beban bukti yang tepat, kepada siapa beban bukti ditimpakan. Menilai alat bukti yang diajukan, apakah alat bukti tersebut memenuhi syarat formil, syarat materil, memenuhi batas minimal bukti serta mempunyai nilai kekuatan pembuktian.Menentukan terbukti atau tidak/dalil peristiwa yang diajukan. Bagi Hakim yang penting fakta peristiwa, bukan hukumnya. Pembuktian adalah ruh bagi putusan Hakim.Kedua, tahap kualifisir. Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Peristiwa yang telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir ituKetiga, tahap konstituir. Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui seorang Hakim untuk membuat putusan di atas (konstatir, kualifisir dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai pertimbangan hukum suatu putusan, maka dapat disimpulkan apabila Hakim tidak melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tahap konstatir,  karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir, karena tidak menyimpulkan mana fakta hukum yang terbukti dan apa saja dasar hukum yang berkaitan dengan pokok perkara. Ketidak berhasilan pada dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan ketidak berhasilan dalam dalam menjatuhkan putusan yang merupakan tahap konstituir ini.Bahwa Sudikno memberikan tiga acuan untuk menyelesaikan perkara yang ditangani hakim hal ini sebagai rujukan mereka dalam mengadili dan memutus perkara, diantaranya adalah yurisprudensi, landmark Decision, dan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.KesimpulanMayoritas para ahli ilmu hukum menentang analogi, hanya beberapa gelintir saja yang berani terang-terangan menerimanya,Penulis tidak sepakat dengan larangan menggunakan analogi, tetapi membenarkan analogi dengan catatan hakimnya harus kompeten dan berintegritas seperti Bismar Siregar yang tujuan untuk menemukan hukum (recht vinding). Jika hakimnya memang tidak mampu untuk beranalogi, maka ia masih bisa menggunakan interpretasi untuk menemukan hukumnya tanpa memperluas tafsirannya.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (FAC)Literatur:C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I Pengantar Ilmu Hukum (Semester Ganjil), Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Mochtar Kusumaatmadja dan Arip B. Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. *Eliyas Eko Setyo (Hakim PN Sampang)