Cari Berita

Implikasi RKUHAP terhadap Praktik RJ pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Christopher Surya Salim dan Farrah Erifa Roni - Dandapala Contributor 2025-08-27 14:10:02
Source picture: https://www.educba.com/restorative-justice-practices/.

Teori keadilan restoratif atau "restorative justice" dikenal sejak empat dekade lalu sebagai suatu konsep pendekatan dalam sistem peradilan, akan tetapi istilah itu baru mengalami intensitas pembahasan sejak dua dekade terakhir seiring dengan berkembangnya kajian terhadap korban yang dikenal dengan ilmu viktimologi.

Pendekatan restorative justice diajukan oleh kaum abolisionis sebagai bentuk penolakan terhadap sarana penal yang bersifat represif menjadi sarana reparatif.

Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut.

Baca Juga: Mengenal Konsep Plea Bargaining serta Sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP

Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara. (Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, 2010)

Sebagaimana Howard Zehr menjelaskan bahwa dalam pandangan restorative justice, kejahatan merupakan pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan dalam masyarakat, oleh karena itu menciptakan kewajiban untuk membuat suatu penyelesaian yang memulihkan suatu keadaan. Restorative justice melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi perbaikan, rekonsiliasi dan  jaminan. (Zulfa, 2011:65)

Pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus pada terciptanya keadilan dan keseimbangan yang mengedepankan kepentingan dan kemanfaatan bagi korban serta pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku yang menekankan pada perbaikan kerugian dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

Secara teori, pendekatan restorative justice merupakan model penyelesaian perkara dalam bentuk mediasi antara pihak korban dan pelaku tindak pidana. (Marshall, 1999: 7) Di Indonesia, konsep ini pertama kali diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disebut sebagai upaya diversi.

Adapun upaya diversi tersebut dilaksanakan untuk menghasilkan suatu kesepakatan berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian dan/atau penyerahan kembali kepada orang tua/Wali. Apabila upaya diversi tidak menghasilkan kesepakatan ataupun tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana Anak akan dilanjutkan. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang a quo, proses diversi merupakan proses yang dilaksanakan di luar persidangan sebagaimana konsep dari pendekatan restorative justice.

Pada tanggal 2 Mei 2024 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif atau yang sering disebut Perma RJ.

Implementasi RJ ini terbatas terhadap penyelesaian perkara pidana tertentu sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) Perma RJ menyebutkan penerapan RJ dapat dilaksanakan terhadap tindak pidana antara lain tindak pidana ringan atau kerugian korban kurang dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum setempat, tindak pidana delik aduan, tindak pidana dengan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun dalam salah satu dakwaan, tindak pidana anak yang diversinya tidak berhasil, atau tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan.

Penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice ditingkat pengadilan sedikit memiliki perbedaan dengan konsep restorative justice pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada penerapan pendekatan restorative justice yang tidak dilaksanakan secara non penal dan tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Perma RJ, artinya penerapan restorative justice di tingkat pemeriksaan di pengadilan tetap menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku.

Perma RJ ini memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan hak-hak pemulihan dari terdakwa melalui suatu kesepakatan yang dibuat oleh korban dan terdakwa baik di luar persidangan maupun di dalam persidangan.

Kesepakatan tersebut akan dipertimbangkan oleh hakim/majelis hakim dalam menjatuhkan putusan, sehingga penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme restorative justice ditingkat pemeriksaan di pengadilan hanya menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan bagi terdakwa (vide Pasal 19 ayat (1) Perma RJ).

Menurut Penulis, ketika pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan dan penuntutan tidak dapat diterapkan, maka Perma RJ dapat menjadi upaya terakhir dalam penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan kepentingan pemulihan dan penggantian kerugian yang dialami oleh korban atas perbuatan pidana terdakwa, meskipun penerapan restorative justice ditingkat pemeriksaan di pengadilan ini tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana terdakwa. 

Pada bulan Maret 2025 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dirilis untuk publik dengan nama yaitu Hukum Acara Pidana, dimana yang menjadi titik perhatian Penulis adalah mengenai mekanisme restorative justice yang dituangkan pada BAB IV tentang Mekanisme Keadilan Restoratif Pasal 74-83.

Mekanisme restorative justice pada RKUHAP memiliki konsep yang berbeda dengan Perma RJ. Dalam Pasal 74 ayat (1) RKUHAP menjelaskan mekanisme Keadilan Restoratif dilaksanakan melalui penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Pada ayat (2) Pasal a quo dijelaskan penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Mekanisme keadilan restoratif pada RKUHAP tidak memberikan wadah bagi pengadilan untuk menyelesaikan perkara menggunakan mekanisme restorative justice.

Sebagaimana hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari Peraturan Mahkamah Agung, sehingga keberadaan Perma RJ berpotensi terdampak apabila RKUHAP disahkan.

Pengaturan baru mengenai restorative justice dalam RKUHAP justru menghilangkan kewenangan hakim untuk memfasilitasi perdamaian antara korban dan terdakwa.

Implikasi yang ditimbulkan atas hilangnya kewenangan tersebut adalah tertutupnya peluang bagi hakim untuk mendorong pemulihan yang berkeadilan bagi korban, serta mengurangi potensi putusan yang bermuara pada tujuan pemidanaan restoratif yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi terdakwa, korban, dan masyarakat yang terdampak atas perbuatan pidana tersebut.

Menurut Penulis, penerapan restorative justice di tingkat pengadilan memiliki potensi besar dalam menciptakan putusan yang lebih bermanfaat, tidak hanya bagi terdakwa tetapi juga bagi korban. Mekanisme ini memungkinkan hakim untuk mempertimbangkan aspek pemulihan dan rekonsiliasi dalam menjatuhkan putusan, misalnya melalui instrumen pemaafan hakim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Putusan tersebut akan mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan retributif menuju pendekatan restoratif, yang menitikberatkan pada penyelesaian konflik, pemulihan hubungan sosial, dan pemenuhan rasa keadilan bagi korban.

Dengan demikian, keadilan restoratif memberikan ruang bagi penyelesaian yang lebih humanis, di mana korban memperoleh pengakuan atas penderitaannya dan pelaku diberi kesempatan untuk bertanggung jawab secara konstruktif, tanpa selalu berujung pada pemidanaan. Hal ini juga sejalan dengan perubahan paradigma pemidanaan pada sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif, korektif, dan rehabilitatif. (ypy/ldr)

Daftar Referensi:

Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional. (2010). Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional: Politik Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Zulfa, E.A. (2011). Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung.

Marshall, T.F. (1999). Restorative Justice: An Overview. London: Information & Publications Group, Research Development and Statistic Directorate.

Baca Juga: Telaah Batas Pidana Penjara pada Acara Pemeriksaan Singkat dalam RKUHAP

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2025). Draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2025.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI