Cari Berita

Banding Ditolak! PT Kaltara Tetap Hukum PT Pipit Mutiara Jaya Rp85,6 Miliar

article | Berita | 2025-09-19 11:05:43

Tanjung Selor, Kalimantan Utara - Upaya banding PT Pipit Mutiara Jaya untuk bebas dari jerat hukum pupus sudah. Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Utara (Kaltara) menolak permohonan banding dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN)Tanjung Selor yang sebelumnya menjatuhkan pidana denda Rp50 miliar serta pidana tambahan Rp35,6 miliar terhadap korporasi tersebut dalam perkara lingkungan hidup.Putusan tingkat banding dengan nomor perkara 65/Pid.Sus-LH/2025/ PT TJS itu dibacakan pada Rabu, 17 September 2025, oleh majelis hakim yang dipimpin Alfon sebagai ketua, dengan anggota Rosmawati dan Joko Saptono. “Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Selor, Nomor : 154/Pid.Sus-LH/2024/PN Tjs., tanggal 28 Juli 2025, yang dimintakan banding tersebut,” demikian putusan yang dibacakan di ruang sidang terbuka.Sebelumnya, dalam perkara Nomor 154/Pid.Sus-LH/2024/PN Tjs, PN Tanjung Selor menyatakan PT Pipit Mutiara Jaya terbukti bersalah melakukan penambangan tanpa izin. Majelis menjatuhkan pidana denda Rp50 miliar, dengan ketentuan bila tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda korporasi akan disita dan dilelang.Selain itu, majelis hakim tingkat pertama juga menghukum perusahaan tersebut membayar pidana tambahan berupa biaya kerugian lingkungan sebesar Rp35.687.633.000. Kerugian itu dihitung berdasarkan perusakan kawasan hutan negara seluas 1,6 hektar serta area izin usaha pertambangan milik PT Mitra Baja Jaya seluas 6,1 hektar. “Kerugian lingkungan yang terjadi tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada pihak lain yang dirugikan oleh perbuatan terdakwa,” ujar hakim dalam pertimbangannya.Kuasa hukum PT Pipit Mutiara Jaya sebelumnya menyatakan keberatan atas putusan PN Tanjung Selor. Dalam memori banding, mereka menilai putusan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Mereka meminta majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan tersebut dan menyatakan kliennya tidak terbukti melakukan tindak pidana.Namun, Majelis Hakim PT Kaltara menolak seluruh dalil banding tersebut. “Pidana tambahan yang dijatuhkan sudah sesuai dengan perhitungan ahli dan ketentuan hukum terkait kerusakan lingkungan,” tegas majelis tingkat banding tersebut.Putusan ini menegaskan sikap peradilan dalam menindak tegas tindak pidana lingkungan hidup, terutama yang dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian, PT Pipit Mutiara Jaya tetap harus membayar total kewajiban sebesar Rp85,6 miliar.Kasus ini menambah deretan perkara lingkungan hidup yang diputus pengadilan dalam beberapa tahun terakhir. Putusan tersebut diharapkan memberi pelajaran bagi perusahaan lain agar mematuhi ketentuan hukum lingkungan. (al)

Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principles) dalam Perkara Lingkungan Hidup

article | Opini | 2025-07-03 10:00:50

Awal bulan Juni 2025, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam Putusan Nomor 5 P/HUM/2025 tersebut MA menyatakan PP tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Dalam pertimbangan putusan tertanggal 2 Juni 2025 tersebut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menuliskan sebagai berikut: Mahkamah Agung menilai pemerintah selama ini belum melakukan  langkah-langkah serius dan sistematis guna menanggulangi kerusakan lingkungan pesisir tersebut. Karena itu menurut Mahkamah Agung, pengaturan komersialisasi hasil sedimentasi di laut berupa penjualan pasir laut di dalam objek permohonan, adalah kebijakan yang terburu-buru dan tidak mempertimbangkan aspek kehati-hatian, karena dapat mereduksi kebijakan optimalisasi pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang bersifat non komersial, sebagaimana digariskan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Hal menarik dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung kembali menggunakan prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup. Prinsip kehati-hatian (precautionary principles) ini sendiri berasal dari The Rio Declaration: Principle 15 - the Precautionary Approach. The Rio Declaration tersebut menyatakan bahwa: In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by States according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation. Prof. Andri G. Wibisana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam tulisannya The Development of the Precautionary Principle in International and Indonesian Environmental Law menuliskan bahwa prinsip kehati-hatian dapat dilihat sebagai panduan bagi para pengambil keputusan ketika menghadapi ketidakpastian ilmiah mengenai ancaman terhadap kesehatan manusia atau lingkungan. Prinsip tersebut menyatakan bahwa setiap kali ada ancaman serius, para pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian ilmiah sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dengan kata lain, prinsip tersebut memandu para pengambil keputusan untuk lebih mengutamakan keselamatan dengan menghindari risiko akibat yang tidak dapat diubah meskipun terjadinya akibat tersebut belum didukung oleh kepastian ilmiah yang lengkap. Asas atau prinsip kehati-hatian (precautionary principles) ini sudah diadopsi memiliki dasar hukum dalam Pasal 2 huruf f UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 2 huruf f tersebut menyatakan bahwa salah satu asas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas kehati-hatian. Dari penelusuran tim Litbang Dandapala terkait hukum perdata, Mahkamah Agung dalam putusannya beberapa kali menggunakan dan menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principles) ini. Putusan yang pertama adalah Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004. Dalam putusan yang dikenal sebagai putusan Mandalawangi ini, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut: bahwa Hakim tidak salah menerapkan hukum apabila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup adalah untuk mengisi kekosongan hukum (Rechtsvinding), pendapat para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan, karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum Internasional. Bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional, apabila telah dipandang sebagai “ius cogen”; Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam bukunya Ringkasan Putusan Terpilih Perkara Lingkungan Hidup menuliskan bahwa putusan ini penting karena putusan ini mengakui dan menerapkan precautionary principle yang saat itu masih berupa prinsip hukum lingkungan internasional dan belum diadopsi di Indonesia. Pengadilan berpendapat bahwa pengadopsian ketentuan hukum internasional dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum. Putusan ini juga meletakan rumusan awal pertanggungjawaban mutlak (strict liability) berdasarkan precautionary principle, di mana Majelis Hakim menilai dengan diterapkannya precautionary principle, maka perdebatan ada tidaknya perbuatan melawan hukum menjadi tidak relevan karena para tergugat secara faktual telah menimbulkan kerugian dan oleh karenanya bertanggungjawab secara mutlak atas dampak yang terjadi. Putusan kedua adalah Putusan Nomor 1095 K/Pdt/2018. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Agung mengaitkan bagaimana ketidakpastian yang timbul mengenai kerugian lingkungan hidup dengan asas kehati-hatian (precautionary principle) dan doktrin in dubious pro natura, dengan memberikan pertimbangan sebagai berikut: Lagi pula perkara-perkara lingkungan hidup selalu mengandung soalsoal ketidakpastian tentang luas terjadinya malapetaka lingkungan hidup, kerugian lingkungan hidup dan akibat-akibatnya pada masa sekarang dan masa mendatang. Mengingat lingkungan hidup ciptaan Allah SWT yang sangat kompleks yang kaitan antara satu kawasan atau satu jenis sumber daya alam dengan lainnya tidak diketahui sepenuhnya dan dengan pasti oleh manusia, maka hukum yang berlaku memerintahkan agar para pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim agar menerapkan asas keberhatihatian (precautionary principle). Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009, menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berasaskan kehati-hatian yang mengandung makna ketika dihadapkan soal ketidakpastian, maka pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim harus membuat keputusan atau putusan yang lebih mengutamakan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup (in dubious pro natura); Selanjutnya asas kehati-hatian (precautionary principle)  juga ditemukan dalam Putusan Nomor 651 K/Pdt/2015. Putusan ini juga mengaitkan asas kehati-hatian (precautionary principle) dan doktrin in dubious pro natura. Pertimbangannya sebagai berikut: Penggunaan doktrin “in dubio pro natura” dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup keperdataan dan administrasi bukan suatu pertimbangan yang mengada-ada karena ternyata sistem hukum Indonesia telah mengenal doktrin ini yang bersumber pada asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kehati-hatian (precautionary), keadilan lingkungan (environmental equity), keanekaragaman hayati (bio diversity) dan pencemar membayar (polluter pays principle); Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 460 K/Pdt/2016. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Agung menuliskan bahwa Pengadilan sebagai kekuasaan yudikatif berkewajiban untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian diberlakukan dalam perkara-perkara lingkungan hidup. Berikut pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tersebut: Bahwa salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah asas kehati-hatian. Asas kehati-hatian dalam Pasal 2 huruf f tersebut diadopsi dari Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 yaitu precautionary principle yang berbunyi: “Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara. Bilamana terdapat ancaman serius atau sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup (in order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific uncertainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measure to prevent environmental degradation”). Peradilan sebagai salah satu cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif berkewajiban menjalankan fungsi untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian yang menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia diberlakukan dalam perkara-perkara yang diadili. Apalagi dalam perkara ini, pemerintah sebagai cabang kekuasaan eksekutif telah berusaha menjalankan fungsi penegakan hukum. Hakim sebagai pelaku kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan perkara yang diadilinya dapat dan seharusnya juga merujuk atau menerapkan asas hukum karena asas hukum memiliki kedudukan lebih tinggi daripada norma hukum. Keberhati-hatian telah menjadi asas hukum lingkungan nasional karena telah tegas dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009. (LDR)