article | Opini
| 2025-07-03 10:00:50
Awal bulan Juni 2025, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023
tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam Putusan Nomor 5 P/HUM/2025
tersebut MA menyatakan PP tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Dalam pertimbangan putusan
tertanggal 2 Juni 2025 tersebut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya
menuliskan sebagai berikut:
Mahkamah Agung menilai pemerintah
selama ini belum melakukan langkah-langkah
serius dan sistematis guna menanggulangi kerusakan lingkungan pesisir tersebut.
Karena itu menurut Mahkamah Agung, pengaturan komersialisasi hasil sedimentasi
di laut berupa penjualan pasir laut di dalam objek permohonan, adalah kebijakan
yang terburu-buru dan tidak mempertimbangkan aspek kehati-hatian, karena dapat
mereduksi kebijakan optimalisasi pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk
kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang
bersifat non komersial, sebagaimana digariskan dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023.
Hal menarik dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung
kembali menggunakan prinsip kehati-hatian (precautionary
principles) dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup. Prinsip
kehati-hatian (precautionary principles)
ini sendiri berasal dari The Rio Declaration: Principle 15 - the
Precautionary Approach. The Rio Declaration tersebut menyatakan bahwa:
In
order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely
applied by States according to their capabilities. Where there are threats of
serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be
used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent
environmental degradation.
Prof. Andri G. Wibisana, Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dalam tulisannya The
Development of the Precautionary Principle in International and Indonesian
Environmental Law menuliskan bahwa prinsip kehati-hatian dapat dilihat
sebagai panduan bagi para pengambil keputusan ketika menghadapi ketidakpastian
ilmiah mengenai ancaman terhadap kesehatan manusia atau lingkungan. Prinsip
tersebut menyatakan bahwa setiap kali ada ancaman serius, para pengambil
keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian ilmiah sebagai alasan
untuk menunda tindakan pencegahan. Dengan kata lain, prinsip tersebut memandu
para pengambil keputusan untuk lebih mengutamakan keselamatan dengan
menghindari risiko akibat yang tidak dapat diubah meskipun terjadinya akibat
tersebut belum didukung oleh kepastian ilmiah yang lengkap.
Asas atau prinsip kehati-hatian (precautionary principles) ini sudah diadopsi
memiliki dasar hukum dalam Pasal 2 huruf f UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 2 huruf f tersebut menyatakan
bahwa salah satu asas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan berdasarkan asas kehati-hatian.
Dari penelusuran tim Litbang Dandapala terkait
hukum perdata, Mahkamah Agung dalam putusannya beberapa kali menggunakan dan
menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary
principles) ini.
Putusan yang pertama adalah Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004. Dalam putusan yang dikenal sebagai
putusan Mandalawangi ini, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
bahwa Hakim tidak salah
menerapkan hukum apabila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan
precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup adalah untuk mengisi
kekosongan hukum (Rechtsvinding), pendapat para Pemohon Kasasi yang berpendapat
bahwa Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan,
karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum
Internasional. Bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh
hakim nasional, apabila telah dipandang sebagai “ius cogen”;
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam
bukunya Ringkasan Putusan Terpilih
Perkara Lingkungan Hidup menuliskan bahwa putusan ini penting karena putusan
ini mengakui dan menerapkan precautionary
principle yang saat itu masih berupa prinsip hukum lingkungan internasional
dan belum diadopsi di Indonesia. Pengadilan berpendapat bahwa pengadopsian
ketentuan hukum internasional dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum.
Putusan ini juga meletakan rumusan awal pertanggungjawaban mutlak (strict liability) berdasarkan precautionary principle, di mana Majelis
Hakim menilai dengan diterapkannya precautionary
principle, maka perdebatan ada tidaknya perbuatan melawan hukum menjadi
tidak relevan karena para tergugat secara faktual telah menimbulkan kerugian
dan oleh karenanya bertanggungjawab secara mutlak atas dampak yang terjadi.
Putusan kedua adalah Putusan Nomor 1095 K/Pdt/2018. Dalam putusan tersebut, Majelis
Hakim Agung mengaitkan bagaimana ketidakpastian yang timbul mengenai kerugian
lingkungan hidup dengan asas kehati-hatian (precautionary principle) dan
doktrin in dubious pro natura, dengan memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
Lagi pula
perkara-perkara lingkungan hidup selalu mengandung soalsoal ketidakpastian
tentang luas terjadinya malapetaka lingkungan hidup, kerugian lingkungan hidup
dan akibat-akibatnya pada masa sekarang dan masa mendatang. Mengingat
lingkungan hidup ciptaan Allah SWT yang sangat kompleks yang kaitan antara satu
kawasan atau satu jenis sumber daya alam dengan lainnya tidak diketahui
sepenuhnya dan dengan pasti oleh manusia, maka hukum yang berlaku memerintahkan
agar para pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim agar menerapkan asas
keberhatihatian (precautionary
principle). Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009,
menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berasaskan
kehati-hatian yang mengandung makna ketika dihadapkan soal ketidakpastian, maka
pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim harus membuat keputusan atau putusan
yang lebih mengutamakan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup (in dubious pro natura);
Selanjutnya asas kehati-hatian (precautionary
principle) juga ditemukan dalam Putusan Nomor 651 K/Pdt/2015. Putusan
ini juga mengaitkan asas kehati-hatian (precautionary principle) dan
doktrin in dubious pro natura. Pertimbangannya
sebagai berikut:
Penggunaan
doktrin “in
dubio pro natura” dalam
penyelesaian perkara lingkungan hidup keperdataan dan administrasi bukan suatu
pertimbangan yang mengada-ada karena ternyata sistem hukum Indonesia telah
mengenal doktrin ini yang bersumber pada asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kehati-hatian (precautionary), keadilan lingkungan (environmental equity), keanekaragaman hayati (bio diversity) dan pencemar membayar (polluter pays principle);
Putusan lainnya adalah Putusan
Nomor 460 K/Pdt/2016. Dalam putusan
tersebut, Majelis Hakim Agung menuliskan bahwa Pengadilan sebagai kekuasaan
yudikatif berkewajiban untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian
diberlakukan dalam perkara-perkara lingkungan hidup. Berikut pertimbangan
Majelis Hakim dalam perkara tersebut:
Bahwa
salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah asas
kehati-hatian. Asas kehati-hatian dalam Pasal 2 huruf f tersebut diadopsi dari
Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 yaitu precautionary principle yang berbunyi:
“Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus
diterapkan oleh negara-negara. Bilamana terdapat ancaman serius atau
sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian
ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tidak membuat putusan yang
mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup (in order to protect the
environment, the precautionary approach shall be widely applied by states
according to capabilities. Where there are threats of serious or irreversible
damage, lack of full scientific uncertainty shall not be used as a reason for
postponing cost-effective measure to prevent environmental degradation”).
Peradilan sebagai salah satu cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif
berkewajiban menjalankan fungsi untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian
yang menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia diberlakukan dalam
perkara-perkara yang diadili. Apalagi dalam perkara ini, pemerintah sebagai
cabang kekuasaan eksekutif telah berusaha menjalankan fungsi penegakan hukum.
Hakim sebagai pelaku kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan perkara yang
diadilinya dapat dan seharusnya juga merujuk atau menerapkan asas hukum karena
asas hukum memiliki kedudukan lebih tinggi daripada norma hukum.
Keberhati-hatian telah menjadi asas hukum lingkungan nasional karena telah
tegas dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009. (LDR)