article | Opini
| 2025-07-25 08:50:23
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk perbudakan modern
yang telah menjadi perhatian global. Indonesia termasuk dalam kategori negara
sumber, transit, dan tujuan, sehingga penanganannya memerlukan kebijakan hukum
yang menyeluruh.
Meskipun secara
substantif telah diatur dalam Undang
Undang Nomor 21 Tahun 2007, sistem acara masih mengacu pada KUHAP yang belum
mengakomodasi perlindungan korban secara optimal. Hal ini memunculkan urgensi
reformasi hukum acara sebagai bagian integral dalam peningkatan efektivitas
penegakan hukum TPPO.
Kajian hukum acara
dalam penanganan TPPO telah banyak dilakukan. Secara umum, Hukum Acara Pidana
di Indonesia belum sepenuhnya responsif terhadap karakteristik khusus TPPO yang
bersifat lintas negara, terorganisir, dan berdampak langsung pada kerentanan
korban, terutama perempuan dan anak-anak.
Sulastri (2022) kendala
utama dalam penuntutan perkara TPPO di Indonesia adalah ketidaksesuaian antara
norma hukum acara dalam KUHAP dan prinsip perlindungan korban dalam hukum
internasional. Korban tidak mendapatkan perlindungan maksimal selama proses
hukum, sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi korban dalam pembuktian, dan
minimnya akuntabilitas terhadap pelaku.
Sementara itu,
menurut laporan UNODC Global Report on
Trafficking in Persons (2022), banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia, belum memiliki sistem hukum acara yang mengintegrasikan
prinsip-prinsip victim-centered approach.
Padahal, Protokol
Palermo yang diratifikasi Indonesia sejak 2009 mewajibkan untuk mengadopsi
prosedur hukum yang menjamin kenyaman, keamanan, dan hak-hak korban selama
proses hukum berlangsung.
Dalam konteks
ASEAN, ASEAN Convention
Againts Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) (2015) telah menjadi rujukan dalam reformasi sistem hukum negara anggota. Konvensi
ini mendorong pembentukan protokol hukum acara khusus, baik dalam tahap
penyelidikan, penuntutan, maupun proses pengadilan.
Implementasi ACTIP
di Indonesia masih belum terintegrasi ke dalam sistem hukum acara nasional,
sehingga perlu dirumuskan pendekatan
lex specialis dalam bentuk peraturan
pelaksana dari UU TPPO yang lebih teknis dan operasional atau mengatur hukum
acara pidana khusus untuk TPPO.
KUHAP yang berlaku
saat ini, yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981, tidak
dirancang untuk menghadapi bentuk kejahatan modern seperti TPPO. Kelemahan utama KUHAP dalam konteks TPPO
adalah tidak adanya pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) yang eksplisit dalam setiap tahapan
proses pidana.
Misalnya, dalam
proses penyidikan dan pemeriksaan saksi/korban (pasal 112 dan 117 KUHAP), tidak
diatur mekanisme perlindungan khusus bagi korban yang mengalami trauma berat
atau yang berada dalam posisi rentan, seperti perempuan dan anak-anak.
Akibatnya, korban perdagangan orang kerap mengalami reviktimisasi saat diperiksa secara berulang, tanpa pendampingan
psikolog maupun hukum.
Alat bukti yang
diakui KUHAP terbatas pada lima jenis sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.
Dalam praktiknya, pembuktian unsur eksploitasi sebagai unsur penting dalam TPPO
menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 sering kali membutuhkan bukti tidak langsung atau
dokumentasi digital, yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh KUHAP dan tidak
mengatur pemeriksaan jarak jauh, seperti penggunaan video conference,
untuk melindungi korban dari intimidasi atau tekanan psikologis dalam ruang
sidang.
KUHAP juga tidak
secara tegas membatasi peluang mediasi penal atau penghentian perkara dalam
kasus serius seperti TPPO, yang bertentangan dengan semangat non-derogable rights dan prinsip non-negotiable atas kejahatan terhadap
kemanusiaan. Hal ini menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum
yang berpotensi melemahkan perlindungan korban dan pengungkapan sindikat.
Atas hal itu, KUHAP
sebagai hukum acara pidana umum tidak memadai menghadapi tantangan penanganan
TPPO secara efektif dan berkeadilan. Dibutuhkan pembaharuan hukum acara pidana
yang bersifat khusus, setidaknya melalui penguatan pengaturan teknis acara
pidana untuk kasus TPPO, baik dalam bentuk peraturan pelaksana UU TPPO maupun
revisi terhadap KUHAP dengan pendekatan modern dan berbasis HAM.
Penanganan TPPO
yang kompleks menuntut sistem hukum acara pidana yang adil dan responsif
terhadap karakteristik khusus kejahatan ini. Dalam konteks ini, dibutuhkan
adanya lex specialis dalam hukum
acara yang mengatur secara khusus proses penyidikan, penuntutan, dan
persidangan TPPO.
Secara normatif,
prinsip lex specialis derogat legi
generali memungkinkan pembentukan hukum acara pidana yang berbeda dari
KUHAP apabila ada jenis tindak pidana yang memiliki karakteristik khusus. Hal
ini diakui dalam berbagai peraturan di Indonesia, salah satunya dalam pasal 63
ayat (2) KUHP, yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan diatur dalam
undang-undang umum dan undang-undang khusus, maka yang berlaku adalah
undang-undang yang khusus.
Meskipun Indonesia
telah memiliki Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, undang-undang ini masih berfokus pada aspek substantif dan belum
mengatur prosedur hukum acara secara komprehensif. Akibatnya, aparat penegak
hukum tetap menggunakan KUHAP yang bersifat umum dan belum mengakomodasi
kebutuhan perlindungan korban serta teknik pembuktian yang lebih relevan dengan
kasus TPPO.
Aspek hukum acara
yang seharusnya diatur dalam lex
specialis antara lain:
Mekanisme
pemeriksaan korban dalam pendekatan trauma-informed, khususnya untuk
perempuan dan anak-anak korban eksploitasi seksual.Penggunaan
alat bukti elektronik dan digital dalam kasus perdagangan orang lalu lintas
negara, termasuk komunikasi daring, dokumen perjalanan palsu, dan transaksi
keuangan.Perlindungan
identitas korban dan saksi, termasuk penggunaan tirai atau pemeriksaan melalui video
conference untuk mencegah intimidasi saat persidangan.Pendampingan
psikologis dan hukum sejak tahap awal proses penyidikan hingga putusan akhir.
Studi komparatif menunjukkan bahwa
negara seperti Filipina dan Amerika Serikat telah menetapkan lex specialis
dalam hukum acara untuk penanganan TPPO, guna memastikan perlindungan korban dan
efektivitas penegakan hukum.
Filipina, melalui Republic Act No.9208 (Anti-Trafficking in
Persons Act of 2003) dan Expanded
Anti-Trafficking in Persons Act (RA 10364 tahun 2012), mewajibkan
penyidik bersertifikat, perlindungan identitas korban, penggunaan video
conference, serta dukungan hukum dan psikologis.
Amerika Serikat, melalui Trafficking Victims Protection Act (TVPA) of 2000 dan
berbagai amandemennya,
menetapkan protokol khusus, seperti pemeriksaan oleh forensic interviewer,
perintah perlindungan, dan layanan hukum gratis, yang terintegrasi dengan
layanan sosial. Pendekatan ini bersifat restoratif dan berbasis HAM.
Indonesia, yang masih mengandalkan KUHAP
sebagai lex generalis, perlu mengadopsi pendekatan serupa dengan
reformasi hukum acara:
Membentuk
unit penanganan khusus di kepolisian dan kejaksaan, melatih aparat dalam pendekatan berbasis korban, menyusun SOP nasional berbasis Palermo
Protocol dan ACTIP; Integrasi perlindungan hukum, psikologis, dan sosial
terhadap korban; Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 21 Tahun 2007 dalam
bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur teknis
hukum acara; Revisi KUHAP untuk membuka ruang prosedur khusus dalam
kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisir; Pembentukan unit pengadilan atau majelis khusus TPPO. Reformasi ini penting untuk memperkuat
perlindungan korban dan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap standar
internasional pemberantasan TPPO. (YPY/LDR)