article | Opini | 2025-10-13 18:00:59
Istilah Mens Rea belakangan ini mengemuka dalam diskursus hukum pidana di Indonesia, kaitannya dengan penerapan dalam telaah atau pun analisa perspektif penegakan hukum pidana dalam semua tingkatan. Baik dalam tingkatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan khususnya dalam tahap persidangan di pengadilan.Sesuai dengan judul tulisan, secara berurutan tulisan ini membahas mengenai pengertian mens rea, kedudukan mens rea dan kemudian penerapan mens rea.Secara letter lijk, mens rea berasal dari Bahasa Latin yang artinya adalah “pikiran yang salah” atau yang kemudian berkembang dalam dialektika hukum menjadi niat jahat yang ada dalam pikiran si terduga pelaku suatu peristiwa. Menurut Paul H Robinson mens rea diartikan sebagai “guilty mind” atau dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “pikiran bersalah”. Eugene J Chesney menggunakan istilah “mental element” sebagai kata ganti dari “mens rea” untuk menunjukkan pentingnya kesadaran fikiran dari si pelaku sebelum melakukan suatu perbuatan. Paul H Robinson juga mengertikan mens rea adalah “state of mind” atau keadaan fikiran. Pendapat dari beberapa ahli hukum tersebut menuntun kita untuk lebih memahami pengertian dari mens rea yang semuanya terkait dengan elemen mental/ keadaan fikiran dari si terduga pelaku.Di dalam salah satu diskusi yang diikuti penulis terdapat pertanyaan menggelitik dari salah satu peserta, karena mens rea tidak diatur dalam undang-undang maka tidak wajib diterapkan dalam penegakan hukum pidana. Benarkah demikian?Menurut Prof Mahmud MD, bahwa struktur hukum terdiri dari tiga tingkatan:Pertama filsafat (pengetahuan, akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal);Kedua asas (prinsip dasar, fikiran fundamental yang melandasi pembentukan dan menjadi jiwa dari hukum yang bersifat lebih kongkrit); dan Ketiga norma (kaidah yang dibentuk oleh Lembaga yang berwenang dan bersifat mengikat dan bisa disertai sanksi). Dalam pandangan penulis kedudukan atau letak mens rea berada ditengah yaitu asas khususnya asas hukum pidana. Sehingga mens rea digunakan sebagai bahan pembuatan norma (undang-undang/peraturan) serta sebagai pisau analisa terhadap penerapan norma atas peristiwa hukum kongkrit.Selanjutnya penulis mengajak pembaca mendiskusikan mengenai bagaimanakah penerapan mens rea di dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan.Menurut Prof Sahetapy bahwa satu perbuatan pidana atau Criminal Act itu terdiri dari dua yaitu Actus Reus dan Mens Rea, suatu perbuatan harus dilandasi dengan niat jahat baru bisa pelakunya dipidana. Menurut Prof Mahfud MD bahwa orang untuk dapat dihukum orang harus memenuhi atau mempunyai niat jahat atau mens rea. Dua ahli hukum tersebut berpendapat bahwa keberadaan mens rea bersifat wajib bagi dapat dihukumnya seseorang karena melakukan suatu perbuatan yang kemudian disebut sebagai tindak pidana. Dengan kata lain sebuah perbuatan apabila didalamnya tidak terdapat mens rea maka bukanlah perbuatan pidana dan pelakunya tidak dapat dihukum.Salah satu konsep dasar hukum pidana yaitu “Geen Straf Zonder Schuld” yang artinya adalah bahwa seseorang tidak bisa dihukum kalau tidak melakukan kesalahan. Jadi manusia atau subyek hukum hanya bisa dijatuhi hukuman atau dipidana apabila melakukan kesalahan.Dari sini kita mencari pengertian “Schuld” atau kesalahan yaitu “Pencelaan oleh Masyarakat terhadap suatu perbuatan yang menyimpang yang seharusnya bisa dihindari”.Contoh penerapan asas mens rea sebagai pisau analisa bisa diperhatikan dalam putusan No.980 K/Pid.Sus/2015. Dalam perkara tersebut ada seseorang terdakwa bernama Hendra Saputra yang sehari harinya Adalah office boy dengan latar belakang pendidikan tidak tamat SD, tetapi diangkat sebagai direktur utama PT Imaji Media. Dalam keseharian kedudukan terdakwa sebagai direktur hanyalah formalitas. Ada orang yang secara de facto menguasai dan menjalankan PT Imaji Media tersebut. Kemudian PT Imaji Media terlibat dalam kasus pengadaan Videotron yang merugikan negara sebesar Rp5,393 miliar. Terdakwa diajukan ke pengadilan dan diadili di putus bersalah di PN Jakarta Pusat (Putusan No.36/PID.SUS/TPK/2014/PN. JKT.PST). Tetapi oleh Mahkamah Agung Putusan tersebut dibatalkan melalui Putusan No.980 K/Pid.Sus/2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana karena tidak terdapat mens rea (niat jahat).Adapun argumentasi putusan kasasi adalah: perbuatan yang dilakukan terdakwa selaku direktur bukanlah atas kehendak terdakwa (mens rea), tetapi diperalat oleh orang lain yaitu pimpinan terdakwa. Terdakwa diangkat sebagai direktur dalam memperoleh proyek videotron saja. Pendidikan yang di tempuh terdakwa hanya sampai SD saja itupun tidak tamat. Terdakwa tidak pernah menerima gaji sebagai direktur PT Imaji Media. Hal-hal tersebut menjadi alasan Majelis Kasasi bahwa tidak ada niat jahat atau mens rea yang mengandung elemen mental dengan kesadaran penuh untuk melakukan kejahatan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan. Demikianlah dengan perkembangan zaman yang semakin maju juga membuat jenis tindak kejahatan semakin variatif canggih dan rumit, membuat telaah niat jahat atau mens rea semakin relevan. Untuk memastikan apakah terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana disangkakan dan apakah perbuatan terdakwa bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Dalam perkembangan jenis dan modus tindak pidana yang semakin canggih, rumit, yang melibatkan prosedur atau tindakan-tindakan yang diatur dalam standar operating prosedur dalam institusi korporatif maupun govermental tentu tidak serta merta mereka yang terkait dengan peristiwa hukum bisa di anggap sebagai pelaku kejahatan. Parameter yang obyektif adalah apakah mereka dalam melakukan sesuatu dilandasi niat jahat (mens rea) atau tidak. Penelusuran ada atau tidaknya mens rea bisa dimulai dari ada atau tidaknya keuntungan yang diterima terdakwa atau orang lain yang terafiliasi dengan terdakwa atau motif motif lain yang melandasi dilakukannya suatu perbuatan tertentu.Mereka yang berada disekitar terjadinya peristiwa pidana dan melakukan tugas-tugas operasional untuk menentukan apakah yang bersangkutan bisa diajukan dalam proses hukum dan dipidana haruslah diukur apakah dalam melaksanakan tugasnya terdapat mens rea atau tidak. Bila terdapat unsur mens rea maka yang bersangkutan turut bertanggungjawab dan bisa dipidana, tetapi bila tidak ada mens reanya maka yang bersangkutan tidak bisa dihukum.Pentingnya keberadaan mens rea untuk memeriksa apakah si terduga pelaku bisa dihukum atau tidak karena mengingat bahwa pada dasarnya sebagaimana dinyatakan oleh Joshua Kleinfeld bahwa mens rea/guilty mind is an architectural feature of criminal law. Juga oleh sebuah adagium dinyatakan bahwa “actus non facit reum nisi mens sit rea” artinya “suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali jika pikiran (niat) juga bersalah”. Atau secara lebih jelas Bishop dalam Eugene J. Chesney menyatakan “there can be no crime large or small, without an evil mind”. Dalam pandangan penulis penelusuran mens rea juga untuk memaksimalkan fungsi hukum pidana dalam konteks ultimum remidium sehingga penerapannya haruslah sangat berhati hati sehingga hanya orang bersalah (memenuhi mens rea) saja yang boleh dihukum. (ldr/ypy) Bahan Bacaan Eugene H, Chesney, Concept Of Mens Rea In The Criminal Law, Journal Of Criminal Law And Criminology.Mens Rea, Paul H Robinson, (article). Joshua Kleinfeld, Why The Mind Matters In Criminal Law, Arizona State Law Journal.