Cari Berita

Ini Vonis PN Pontianak Terhadap PLT Kades Air Hitam Besar dalam Kasus Korupsi TKD!

article | Berita | 2025-09-17 18:55:34

Pontianak – Pengadilan Negeri (PN) Pontianak menjatuhkan vonis 4 tahun dan denda Rp 100 juta terhadap Nurul Komariah alias Nurul binti Bahriansyah, Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Desa Air Hitam Besar, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, atas perkara korupsi Tanah Kas Desa (TKD) yang merugikan keuangan negara hingga ratusan juta rupiah.Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara bersama-sama” sebagaimana dalam dakwaan subsider. Vonis ini dijatuhkan setelah rangkaian persidangan yang menghadirkan keterangan saksi, dokumen pencairan dana, serta hasil audit Inspektorat Kabupaten Ketapang.Kasus ini bermula pada Maret 2023, ketika Nurul yang baru menjabat sebagai PLT Kepala Desa, secara sepihak menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan Yayat Ruhiyat alias Yayat bin Ade Lukman sebagai Kaur Keuangan. Padahal, Yayat bukanlah bendahara desa yang sah. Berbekal SK tersebut, Nurul mengarahkan Yayat untuk membuka rekening baru di Bank Kalbar dan mengaku sebagai bendahara.Melalui skema itu, dana TKD yang semula ditransfer oleh PT. Berkat Nabati Sejahtera ke rekening kas desa pada 3 Februari 2023 sebesar Rp 444.617.533,00, kemudian ditarik dalam tiga tahap: Rp75 juta pada 30 Maret 2023, Rp225 juta pada 31 Maret 2023, dan Rp140 juta pada 26 Mei 2023. Total pencairan mencapai Rp 440 juta.Dana hasil pencairan tersebut tidak digunakan sesuai rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), yakni Rp330 juta untuk penunjang aparatur desa dan Rp110 juta untuk kegiatan sosial/ keagamaan. Sebaliknya, Nurul memindahkan sebagian dana ke rekening pribadinya di Bank Mandiri nomor 146-00-1695946-7 serta menggunakan untuk kepentingan pribadi. Yayat sendiri hanya menerima imbalan kecil sebesar Rp1 juta dan Rp500 ribu dari Nurul.Temuan penyalahgunaan tersebut kemudian terungkap melalui pemeriksaan Inspektorat Kabupaten Ketapang, yang menyatakan kerugian keuangan negara sebesar Rp 440 juta. Atas dasar itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Nurul dengan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan dakwaan alternatif Pasal 3, Pasal 8, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.“Terdakwa dituntut pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan atas perbuatan penyalahgunaan jabatan dan penggelapan/penyelewengan uang hasil Tanah Kas Desa (TKD) Air Hitam Besar,” ujar JPU dalam persidangan.Majelis Hakim PN Pontianak akhirnya menjatuhkan putusan bersalah sesuai dakwaan subsider. Putusan tersebut menegaskan bahwa perbuatan Nurul telah mencederai kepercayaan masyarakat desa dan menghambat realisasi program pembangunan yang semestinya bermanfaat bagi warga.“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘korupsi secara bersama-sama’ sebagaimana dalam dakwaan subsider,” tegas Ketua Majelis Hakim.Menanggapi vonis itu, Nurul tidak mengajukan banding. Dengan suara lirih, ia menyatakan menerima putusan tersebut dan menyampaikan penyesalan. “Saya menerima putusan ini dan menyesali perbuatan serta berjanji tidak akan mengulangi lagi,” ungkapnya di hadapan majelis.Kasus ini berdampak langsung pada pembangunan Desa Air Hitam Besar. Dana yang semula direncanakan untuk kegiatan penunjang aparatur desa serta bantuan sosial dan masjid, tidak terealisasi sesuai peruntukan. Warga desa pun kehilangan manfaat dari anggaran yang seharusnya menopang kegiatan pemerintahan dan sosial kemasyarakatan.Vonis ini menjadi pengingat penting bahwa penyalahgunaan wewenang di tingkat desa bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga mengkhianati amanat rakyat. Ke depan, mekanisme pengawasan dana desa diharapkan dapat lebih diperketat untuk mencegah kasus serupa terulang kembali. (IKAW/FAC)

Menyudahi Disparitas Vonis, Mungkinkah?

article | Opini | 2025-09-13 12:00:59

TIDAK jarang terdapat perbedaan signifikan antara tuntutan jaksa dengan putusan hakim. Bahkan hakim tingkat pertama dan tingkat banding acapkali terjadi perbedaan mencolok soal beratnya hukuman (strafmaat). Bagaimana kita harus melihatnya?Sebagai ilustrasi, ada jaksa menuntut pidana penjara 4 tahun, namun hakim Pengadilan Negeri memutus 7 tahun penjara. Kemudian Pengadilan Tinggi memperberat menjadi 9 tahun penjara. Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis: Apakah terdapat perbedaan penilaian yang mendasar terhadap berat ringannya perbuatan terdakwa? Bagaimana harmonisasi antara perspektif penuntut umum dan hakim dalam menilai suatu tindak pidana? Sejauh mana disparitas vonis ini dapat diterima dalam koridor keadilan? Dan yang tidak kalah penting, bagaimana sistem peradilan dapat menjamin keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat? Disparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan telah menjadi isu klasik yang berkembang di tengah masyarakat. Fenomena ini menyeruak kembali setiap kali terjadi peristiwa penting yang mendapat perhatian publik luas. Dalam ranah pidana, masyarakat masih sering menganggap perbedaan penjatuhan hukuman pada perkara sejenis sebagai manifestasi ketidakadilan sistem peradilan. Putusan pengadilan senantiasa bersifat kontekstual dan kasuistis. Kekhasan tersebut menimbulkan kesan bahwa antara putusan satu dengan yang lain tidak sama, bahkan dapat menimbulkan persepsi inkonsistensi. Namun, ada banyak faktor yang mempengaruhi tidak seragamnya putusan pengadilan. Pertama, perbedaan kasus perkara yang biasanya memiliki pola-pola perbuatan tidak sama, keunikan tersendiri, dan bahkan keadaan khusus yang menjadi pembedanya. Kedua, perkembangan aturan hukum seperti aturan baru yang menggantikan aturan lama (lex posterior derogat legi priori). Ketiga, perbedaan paradigma antar hakim pada saat mengadili suatu perkara yang menyebabkan munculnya perbedaan perspektif dalam menyusun pertimbangan hukum. Variabel lain yang mempengaruhi adalah pola susunan majelis hakim pemeriksa perkara. Hal ini berkaitan dengan unsur subjektif antar hakim yang akan mempengaruhi hasil akhir putusan pengadilan. Bahkan, cara pandang hakim di suatu wilayah tertentu dengan wilayah lain dapat berbeda mengingat adanya faktor pengaruh eksternal seperti pengaruh adat budaya dan kebiasaan masyarakat setempat dimana hakim bertugas, yang menyebabkan pola pikir antar hakim cenderung tidak sama. Perbedaan perspektif antara jaksa penuntut umum dan hakim juga memberikan kontribusi signifikan terhadap disparitas vonis. Jaksa penuntut umum cenderung fokus pada aspek pembuktian dan kecukupan alat bukti, mempertimbangkan kemungkinan keberhasilan dalam upaya hukum, serta menilai secara konservatif untuk menghindari putusan lepas atau bebas. Sebaliknya, hakim melakukan penilaian komprehensif terhadap seluruh aspek perkara, mempertimbangkan dampak sosial dan efek jera, serta memiliki kebebasan dalam menilai berat ringannya perbuatan berdasarkan keyakinan hukumnya. Sentencing GuidelinesUntuk mempersempit disparitas starfmaat, maka sudah tepat diberlakukan sentencing guidelines. Sentencing guidelines berperan penting sebagai katalis ideal guna mereduksi disparitas penjatuhan pidana. Artinya, pencantuman pertimbangan sentencing guidelines dalam putusan wajib dan harus dalam rangka memenuhi harapan masyarakat akan putusan yang berkeadilan, proporsional, dan ideal. Namun, implementasinya menghadapi tantangan utama dari internal korps hakim berupa resistensi terhadap perubahan paradigma, keengganan menggunakan pedoman yang dipandang membatasi diskresi, dan perlunya pelatihan intensif untuk memahami nuansa sentencing guidelines. Dari sisi masyarakat, tantangannya adalah kurangnya pemahaman tentang pergeseran paradigma hukum pidana, ekspektasi yang tidak realistis terhadap keseragaman mutlak putusan, dan perlunya edukasi tentang kompleksitas pertimbangan pemidanaan. Keniscayaan implementasi sentencing guidelines perlu mendapat dukungan dari hakim dan masyarakat. Hakim harus mampu benar-benar menggali dan mempertimbangkan sentencing guidelines dalam setiap putusannya. Hakim perkara pidana secara nurani memiliki kewajiban menjelaskan secara benar dan wajar tentang apa yang diputuskan kepada terpidana dan masyarakat. Selain itu, masyarakat diharapkan bersikap objektif ketika menilai sebuah putusan. Guna mengetahui adanya disparitas putusan, wajib ada narasi komprehensif atau setidaknya kerelaan diri untuk sungguh-sungguh memahami keseluruhan pertimbangan hakim. Memahami bagaimana hukuman diputuskan penting guna menentukan pemidanaan sudah adil dan proporsional atau tidak.  Mahkamah Agung telah memberikan sinyal kuat melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Perma ini lahir dari kondisi disparitas putusan tipikor dan bertujuan menciptakan kepastian serta proporsionalitas dalam penjatuhan pidana tipikor, menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Adanya Perma ini menjadi sinyal kuat bahwa pedoman pemidanaan dibutuhkan untuk mewujudkan putusan pengadilan yang ideal. Selain itu, KUHP Nasional memposisikan sentencing guidelines sebagai elemen wajib dalam putusan. Formula pemidanaan berubah menjadi kumulasi: Tindak Pidana + Pertanggungjawaban Pidana + Tujuan Pemidanaan + Pedoman Pemidanaan = Putusan Ideal. Dengan adanya pedoman pemidanaan, rumusan pemidanaan menjadi lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Reformasi Sistem PemidanaanDisparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan fenomena kompleks yang memerlukan pendekatan holistik.  Pada akhirnya, menakar rasa keadilan memerlukan keseimbangan antara konsistensi dan fleksibilitas, antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Sistem peradilan yang ideal adalah yang mampu memberikan putusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan dapat diterima secara sosial, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip equality before the law. Rasa keadilan tidak dapat diukur semata-mata dari angka tahun penjara yang dijatuhkan, tetapi merupakan konsep kompleks yang mencakup keadilan retributif (pembalasan yang setimpal), keadilan restoratif (pemulihan kerusakan), dan keadilan distributif (kesetaraan perlakuan). Disparitas vonis yang dapat dijelaskan melalui pertimbangan hukum yang objektif dan komprehensif berdasarkan sentencing guidelines merupakan dinamika normal sistem peradilan. Sebaliknya, disparitas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus dieliminasi melalui reformasi sistem yang berkelanjutan dan implementasi pedoman pemidanaan yang efektif. Untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih adil dan dapat diprediksi, diperlukan reformasi sistem pemidanaan melalui pengembangan pedoman pemidanaan yang lebih detail, peningkatan kapasitas penegak hukum melalui pelatihan berkala dan harmonisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam publikasi data dan analisis putusan. Serta penelitian berkelanjutan untuk evaluasi efektivitas dan pengembangan instrumen pengukuran keadilan yang lebih objektif. Hanya dengan pendekatan komprehensif inilah disparitas vonis dapat diminimalkan tanpa mengorbankan esensi keadilan itu sendiri.   Sunoto SH MHHakim PN Jakpus/Hakim Tipikor

Pakai Perma 1/2020, Hakim Vonis 18 Bulan Bui Kadis yang Nikmati Korupsi Rp 0

article | Sidang | 2025-07-01 14:45:37

Palangkaraya  - Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Marinus Apau (54). Sebab saat menjadi Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lamandau (2019-2021) ia terbukti korupsi. Berapa uang yang dinikmati Marinus dari hasil korupsi itu?Kasus bermula saat dilaksanakan protek fasilitas sarana air bersih (SAB) non standar perpipaan di satuan permukiman transmigrasi Kahingai, Belantikan Raya, Lamandau sebesar Rp 1,08 miliar pada 2020. Dalam pelaksanannya, terjadi kebocoran anggaran sehingga sejumlah nama dimintai pertanggungjawaban pidana.Salah satunya Marinus Apau yang saat itu adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lamandau. Setelah melalui proses persidangan, Marinus Apau dinyatakan bersalah dan dihukum. Marinus Apau dinyatakan bersalah karena tidak melakukan pengawasan jalannya proyek dan hanya mempercayakan pelaksanaan proyek ke anak buah.“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) dan 6 (enam) bulan dan 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan,” demikian bunyi putusan PN Palangkaraya yang dikutip DANDAPALA, Selasa (1/7/2025).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Ricky Ferdinand dengan anggota Muji Kartika Rahayu dan Iryana Margahayu. Adapun panitera pengganti Ika Melinda Meliala. Untuk diketahui, Muji dan Iryana adalah dua srikandi hakim ad hoc tipikor.“Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,” ucap majelis.Alasan majelis menghukum terdakwa 18 bulan penjara merujuk ke Perma Nomor 1 Tahun 2020. Yaitu:Menimbang, bahwa selanjutnya untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yaitu kategori kerugian keuangan negara, tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan;Menimbang bahwa kerugian keuangan negara dalam perkara ini adalah dari total objek perkara atau 100%. Berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c Perma 1/2020, kerugian tersebut masuk kategori sedang;Menimbang bahwa Terdakwa memiliki peran yang signifikan dalam terjadinya tindak pidana korupsi, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama.Berdasarkan pasal 9 huruf a angka 1 kesalahan tersebut masuk kategori sedang.Menimbang bahwa perbuatan Terdakwa mengakibatkan dampak atau kerugian dalam skala desa. Pekerjaan tidak dapat dimanfaatkan karena ada kesalahan pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.Berdasarkan Pasal 10 huruf b Perma Nomor 1 Tahun 2020, dampak tersebut masuk kategori rendah;Menimbang bahwa Terdakwa menerima harta benda dari tindak pidana korupsi senilai Rp 0,00 (nol rupiah). Nilai pengembalian adalah 0. Berdasarkan Pasal 10 huruf c Perma Nomor 1 Tahun 2020, nilai tersebut masuk kategori rendah;“Berdasarkan kategori-kategori tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan kriteria perbuatan Terdakwa berada pada tingkat rendah,” ungkap majelis dengan suara bulat. (asp/asp)