Pati- Pengadilan Negeri (PN) Pati, Jawa Tengah (Jateng) menggelar sosialisasi tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum, baik kepada internal PN Pati atau pun eksternal PN Pati. Salah satunya soal perlunya menghindari reviktimisasi dan bias gender.
Sebagaimana informasi yang dihimpun DANDAPALA, Senin (17/3/2025), sosialisasi itu dilakukan setelah PN Pati menjadi salah satu satuan kerja yang ikut sebagai peserta Bimbingan Teknis Penanganan Perkara bagi Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada tanggal 24-26 Februari 2025 bagi para hakim di wilayah Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta serta para aparat penegak hukum lainnya di Semarang.
PN Pati melaksanakan sosialisasi kepada pihak internal dan eksternal mengenai peraturan yang mengatur mengenai penanganan perkara dan etika dalam persidangan yang melibatkan Perempuan berhadapan dengan hukum, perspektif gender serta hal-hal yang perlu dihindari seperti reviktimisasi dan bias gender.
Sosialisasi dilaksanakan pada hari Rabu (12/5), yang dihadiri secara luring oleh para hakim dan Aparatur Sipil Negara (ASN) PN Pat. Dan secara daring dilakukan melalui link zoom conference oleh Kepala Kejaksaan Negeri Pati, Satuan Reskrim Polresta Pati, Satuan Narkoba Polresta Pati, Satuan Lalu Lintas Polresta Pati, Satuan Sabhara Polresta Pati, Satuan Polair Polresta Pati, Kapolsek se wilayah Hukum Polresta Pati, Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Balai Pemasyarakatan, para advokat, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Bea Cukai Kudus dan Peradi Pati.
Dalam sosialisasi tersebut disampaikan mengenai PERMA Nomor 3 tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) tentang Pedoman mengadili perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum sebagai bentuk respon MA terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Formsof Discrimination Against Women) yang mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.
“Tujuan dikeluarkannya PERMA adalah untuk menciptakan praktik peradilan yang perspektif gender dan memberikan jaminan atas perlindungan hak-hak Perempuan Berhadapan Dengan Hukum di persidangan serta sebagai pedoman hakim dalam menerapkan kesetaraan gender di persidangan dan secara bertahap praktik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender di pengadilan dapat berkurang,” ujar Ketua PN Pati, Ahmad Syafiq.
Dalam sosialisasi dijelaskan yang dimaksud dengan Perempuan berhadapan dengan hukum sebagaimana dalam Perma adalah Perempuan yang berkonflik dengan hukum pelaku, tersangka, terdakwa, Perempuan sebagai saksi dan atau korban, serta Perempuan sebagai pihak dalam perkara perdata yaitu Penggugat, Tergugat dan Pemohon, Termohon. Selain itu dijelaskan permasalahan yang dihadapi oleh Perempuan Berhadapan Dengan Hukum yaitu antara lain: aparat penegak hukum yang belum berspektif gender, budaya hukum yang bias gender dan aturan hukum yang belum berpihak kepada Perempuan serta masih adanya hambatan dalam mengakses keadilan.
Masih tentang penerapan PERMA, dijelaskan dalam sosialisasi mengenai larangan Hakim dalam pemerikaan terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum antara lain:
1. Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan Dengan Hukum,
2. Hakim dilarang membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap Perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender,
3. Hakim dilarang mempertanyakan dan atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku dan
4. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
“Sebaliknya disebutkan dalam PERMA bahwa Hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum untuk mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotif gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender, menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi dan mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi,” paparnya.
Selain itu selama jalannya pemeriksaan persidangan, Hakim agar mencegah dan atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Dengan diadakannya sosialisasi ini diharapakan para aparat penegak hukum khususnya para hakim dalam menangani perkara yang melibatkan Perempuan berhadapan dengan hukum untuk memiliki perspektif gender sebagaimana Pasal 10 Deklarasi Universal HAM tentang Prinsip Peradilan Yang Adil (Fair Trial Principle) yaitu setiap orang berhak atas kesetaraan penuh untuk mendapatkan peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang independent dan tidak memihak, dalam penentuan hak-hak dan kewajibannya dan atas tuduhan kriminal terhadapnya antara lain hak untuk tidak disiksa, hak mendapatkan kedudukan yang sama dimata hukum tanpa diskriminasi dan hak untuk tidak ditahan dan ditangkap secara sewenang-wenang.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum