Cari Berita

Hukum Progresif dan Konstelasi Filsafat Timur: Menemukan Keadilan Substantif dalam Harmoni Kosmos

Syailendra Anantya Prawira-Hakim PN Bantaeng - Dandapala Contributor 2025-12-05 07:05:02
Dok. Penulis.

Hukum progresif adalah sebuah mazhab pemikiran yang menolak absolutisme teks normatif dan kepastian formalistik, serta menekankan bahwa hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia.

Inti filosofis dari hukum progresif adalah gagasan bahwa hukum harus selalu berpihak pada keadilan, kesejahteraan rakyat, dan harus bergerak maju melampaui batas-batas undang-undang yang kaku, bahkan jika harus "mendobrak" tatanan yang ada.

Dalam upaya pencarian keadilan substantif ini, hukum progresif secara fundamental berbagi akar dan resonansi filosofis yang mendalam dengan pemikiran-pemikiran Timur, khususnya konsep-konsep harmoni, keseimbangan kosmos, dan moralitas non-dualistik.

Baca Juga: Pemikiran Satjipto Rahardjo: Jejak Sejarah Hukum Progresif di Indonesia

Melepaskan Diri dari Formalisme Barat

Hukum progresif muncul sebagai kritik tajam terhadap hegemoni positivisme hukum yang dibawa oleh tradisi Barat, dimana hukum dipandang identik dengan undang-undang (tertulis) dan keabsahannya hanya diukur dari prosedur pembentukannya.

Positivisme seringkali mengorbankan keadilan riil demi kepastian formal, menghasilkan putusan yang berdimensi kepastian namun dirasakan tidak adil oleh masyarakat. Satjipto Rahardjo (2006) menyerukan kembali pada spirit humanisme hukum, bahwa hukum adalah proses memanusiakan manusia.

Pada titik inilah hukum progresif mulai bersinggungan dengan pandangan filsafat timur. Filsafat hukum barat cenderung bersifat dualistik: subjek-objek, benar-salah, hitam-putih, legal-ilegal. Sebaliknya, filsafat timur, seperti yang tercermin dalam ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan ajaran Jawa seperti Sangkan Paraning Dumadi, menekankan pada integrasi, keseimbangan (Yin dan Yang), dan jalan tengah (Majjhimāpaṭipadā dalam Buddhisme).

Keseimbangan Sebagai Tujuan Hukum

Inti dari berbagai mazhab filsafat timur adalah konsep harmoni (seperti Tao dalam Taoisme atau Rta dalam Hinduisme), yaitu keteraturan alam semesta yang menuntut manusia untuk hidup selaras. Hukum tidak boleh menjadi alat untuk menciptakan konflik atau ketidakseimbangan, melainkan alat untuk mengembalikannya.

Dalam konteks hukum progresif, "mendobrak hukum" bukan berarti ugal-ugalan, melainkan upaya radikal untuk mencari kembali keseimbangan sosial yang terganggu (Rahardjo, Satjipto., 2007). Ketika hukum formal (positif) justru menciptakan ketidakadilan, Hakim progresif didorong untuk menggunakan hati nuraninya sebagai sebuah sumber kearifan yang melampaui undang-undang untuk menciptakan putusan yang berlandaskan hati nurani.

Hati nurani ini, dalam pandangan filsafat timur, adalah cerminan dari hukum kosmis atau hukum alam yang sejati, yang selalu menuntut kebaikan dan keseimbangan. Hakim progresif, dengan demikian, tidak hanya bertindak sebagai corong undang-undang (sebagaimana diktum positivisme), tetapi sebagai pemelihara harmoni sosial.

Etika sebagai Landasan Hukum

Konfusianisme, yang selalu menekankan pada Ren (kemanusiaan, kebajikan) dan Li (aturan, ritual yang benar), menyediakan landasan etis yang kuat bagi hukum progresif. Dalam Konfusianisme, aturan formal (Li) harus selalu dilayani oleh spirit kebajikan (Ren). Sebuah aturan tanpa kebajikan akan menjadi tirani.

Hukum progresif mengadopsi pandangan serupa: teks undang-undang adalah Li, namun rohnya haruslah Ren, yaitu keadilan substantif yang memanusiakan. Hukum progresif menolak pendekatan mekanis dimana seorang Hakim cukup mencocokkan fakta dengan pasal.

Sebaliknya, ia menuntut kearifan (wisdom) dan kepedulian (compassion) dalam setiap putusan. Keputusan harus dipertimbangkan dampaknya terhadap seluruh jalinan kehidupan—korban, pelaku, dan masyarakat. Hal tersebut merupakan manifestasi dari etika tanggung jawab yang sangat resonan dengan ajaran filsafat timur.

Non-Dualisme Hukum dan Moralitas

Filsafat timur, khususnya Buddhisme dan Taoisme, mengajarkan non-dualisme, yaitu pandangan bahwa segala sesuatu saling terkait dan tidak dapat dipisahkan secara mutlak (Shi, Y. Z., 2018). Dalam konteks hukum progresif, prinsip ini diaplikasikan untuk menolak pemisahan tajam antara hukum dan moralitas (sebagaimana diyakini oleh positivisme).

Bagi hukum progresif, hukum harus bermoral, dan putusan yang tidak bermoral adalah putusan yang cacat secara filosofis, meskipun sah secara prosedural. Hakim progresif adalah mereka yang berani mengambil risiko untuk menyuntikkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan ke dalam norma yang bisu.

Mereka tidak hanya melihat perbuatan yang melanggar pasal (formalistik), tetapi juga melihat ada penderitaan manusia di baliknya (moral-humanis). Hal tersebut adalah perwujudan dari pandangan bahwa "hukum yang baik haruslah baik secara substansi"–suatu pengakuan bahwa aspek batin dan etis tidak dapat dipisahkan dari aspek lahiriah dan prosedural (Supomo., 1951).

Hukum sebagai Pengabdian (Pelayan)

Sebuah refleksi mendalam dari filsafat timur adalah peran kepemimpinan dan kekuasaan sebagai pengabdian (seva). Para pemimpin (termasuk penegak hukum) adalah pelayan rakyat, bukan tuan. Hukum progresif menganut filosofi ini secara eksplisit: hukum adalah pelayan masyarakat dan kemanusiaan.

Dalam praktik, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) harus keluar dari menara gading kekuasaan mereka dan turun ke tengah masyarakat untuk memahami persoalan riil.

Penegakan hukum yang progresif bukan sekadar implementasi paksa norma, tetapi proses dialektika tanpa henti dengan realitas sosial. Hal ini membutuhkan kerendahan hati, sebuah kebajikan yang sangat dihormati dalam tradisi filsafat timur untuk mengakui keterbatasan teks hukum dan mencari solusi inovatif yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan nilai-nilai kasih sayang.

Kontemplasi dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Hukum progresif sangat menekankan pada kearifan lokal (local wisdom) dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat (living law). Secara filosofis, hal tersebut adalah wujud pengakuan bahwa kebenaran dan keadilan tidak hanya bersumber dari pusat kekuasaan negara atau teks undang-undang yang bersifat universal, tetapi juga dari proses kontemplasi masyarakat dalam menghadapi masalah kehidupan (Waluyo, Bambang., 2014).

Tradisi filsafat timur penuh dengan kearifan lokal yang telah teruji waktu, yang menawarkan mekanisme penyelesaian konflik yang lebih restoratif dan kekeluargaan, seperti musyawarah, gotong royong, atau praktik Ngelmu Pring (filosofi bambu yang lentur namun kuat). Hukum progresif mengintegrasikan kearifan ini untuk mengisi kekosongan atau kegagalan hukum negara, dengan pandangan bahwa hukum yang efektif harus bersifat kontekstual dan mengakar.

Penutup

Hukum progresif adalah jembatan yang menghubungkan rasionalitas hukum modern dengan spiritualitas dan humanisme filsafat timur. Ia adalah ajakan untuk meninggalkan "hukum yang dingin" (ius constitutum) yang hanya peduli pada legalitas, menuju "hukum yang berhati" (ius constituendum) yang dipandu oleh moralitas, kearifan, dan hasrat untuk memulihkan harmoni.

Dengan menempatkan hati nurani, kearifan, dan prinsip keseimbangan kosmik di atas teks, hukum progresif bukan hanya revolusi dalam pemikiran hukum Indonesia, tetapi juga kontribusi unik dalam dialog hukum global, yang menegaskan bahwa keadilan sejati terletak pada kemampuan hukum untuk memanusiakan manusia, bukan memaksakan manusia masuk ke dalam hukum normatif yang masinal dan statis. (aar/ldr)

Daftar Referensi

Rahardjo, Satjipto. (2006). Mengenal Hukum Progresif. Genta Publishing.

Rahardjo, Satjipto. (2007). Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Hukum. Kompas.

Shi, Y. Z. (2018). Taoism and the Idea of Natural Law. Routledge.

Supomo. (1951). Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Djambatan.

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Waluyo, Bambang. (2014). Filsafat Hukum dan Perkembangan Hukum di Indonesia. Sinar Grafika.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…