Perdebatan mengenai
lembaga yang berwenang melakukan audit/perhitungan kerugian keuangan negara
telah terjadi sejak Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Pemberantasan
Korupsi (UU PTPK) diberlakukan.
Eksepsi terhadap
keabsahan audit perhitungan Kerugian Keuangan Negara hampir selalu muncul dalam
setiap eksepsi penasehat hukum, bahwa audit perhitungan kerugian keuangan
negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang berdasarkan undang-undang
berwenang melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara.
Dalam praktik penegakan
hukum, setidaknya terdapat 2 (dua) lembaga negara yang sering menerbitkan audit
perhitungan kerugian keuangan negara dan menjadi dasar penuntutan dalam perkara
tindak pidana korupsi, yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Dalam perkembangannya, di
beberapa perkara, audit perhitungan kerugian keuangan negara diterbitkan dari Kejaksaan
atau KPK dengan membentuk tim auditor dari internal, sebagaimana dalam perkara
Ira Puspadewi (direktur utama PT ASDP) yang audit perhitungan kerugian keuanga
negara-nya diterbitkan sendiri oleh KPK dengan dasar merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012.
Namun perhitungan
kerugian keuangan negara oleh KPK ini dipertanyakan banyak pihak karena KPK
tidak memiliki kewenangan melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara.
Apakah
audit perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi
harus dilakukan lembaga yang memiliki kewenangan khusus?
Dalam
UU PTPK terdapat 44 bentuk delik pidana korupsi, yang dapat digolongkan lagi
menjadi 7 delik korupsi, yakni: kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, dan gratifikasi. Dari sekian banyak delik korupsi tersebut,
delik korupsi kerugian keuangan negara adalah delik yang paling banyak
mendominasi dalam praktik penegakan hukum yang ada di pengadilan tindak pidana
korupsi. Delik tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK.
Dilihat
dari konstruksi unsur-unsurnya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK merupakan delik
materiil di mana tindak pidana dianggap telah selesai/terpenuhi ketika akibat
dari tindakan tersebut telah terjadi. Dalam hal ini, yang menjadi akibat yang
dituju dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK adalah terjadinya kerugian keuangan
negara.
Tidak
terpenuhinya unsur kerugian negara ini, perbuatan melawan hukum dan
penyalahgunaan wewenang tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi. Sehingga membuktikan adanya kerugian keuangan negara adalah hal yang
sangat penting, sebagaimana halnya membuktikan matinya korban pada delik
pembunuhan.
UU
PTPK tidak pernah secara spesifik mengatur siapa dan bagaimana perhitungan
tersebut harus dilakukan. Namun merujuk pada Pasal 1 angka 22 UU 1/2004
menentukan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,
dan barang, yang NYATA DAN PASTI jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Frase “nyata dan pasti”
mengindikasikan bahwa pembuat undang-undang menghendaki adanya perhitungan yang
aktual dan akurat.
Selanjutnya,
dikaitkan dengan Pasal 28 ayat (1) UU 46/2009, frase “nyata dan pasti” harus
pula dapat dibuktikan perhitungan tersebut diperoleh secara sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni lembaga yang secara hukum
memiliki kewenangan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara.
Kewenangan
yang sah sangat penting dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara,
karena objek pemeriksaan berupa keuangan negara, dan
menyangkut upaya paksa untuk memanggil dan memeriksa seseorang, mengumpulkan
barang bukti dan lain-lain.
Setidaknya terdapat 3
(tiga) lembaga yang secara aktif menerbitkan audit perhitungan kerugian
keuangan negara, yakni BPK, BPKP, dan inspektorat yang masing-masing memiliki
kewenangan atributif berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
|
No |
Lembaga |
Dasar
hukum atributif |
|
1. |
BPK |
§
Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 §
Pasal 4 (1) (4) dan Pasal 13
UU 15/2004 |
|
2. |
BPKP |
Pasal
3 huruf e Perpres 192/2014 |
|
3. |
Inspektorat |
Pasal
1 angka 46 Jo. Pasal 377 UU 23/2014 Pasal
216 Jo. Pasal 379 ayat (2) Jo. Pasal 379 ayat (2) UU 23/2014 |
Dengan redaksional yang
berbeda, SEMA 2/2024 secara limitatif juga menegaskan bahwa instansi yang
berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang
memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti BPKP,
Inspektorat, Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Akuntan Publik tersertifikasi,
tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan mengaudit pengelolaan keuangan
Negara, yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk menentukan ada tidaknya
kerugian keuangan negara. Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat juga
menilai adanya kerugian dan besarannya kerugian keuangan negara.
Tanpa kewenangan yang
sah, perhitungan kerugian keuangan negara tidak memiliki keabsahan, dan secara
formil tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Politik hukum itu ditegaskan
kembali dalam KUHP Nasional (penjelasan Pasal 603 KUHP), yang secara lugas
menentukan perhitungan kerugian keuangan negara adalah berdasarkan hasil
pemeriksaan lembaga negara audit keuangan. Frase “lembaga negara audit
keuangan” tersebut menegaskan 2 (dua) hal secara sekaligus, yakni: pertama,
perhitungan kerugian keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga
negara, dan kedua, yakni lembaga negara yang memiliki kewenangan
melakukan audit keuangan.
Penggunaan
rujukan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 juga perlu dicermati
mengingat putusan MK ini kerap dijadikan dasar rujukan bagi penyidik kejaksaan atau
KPK untuk melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara secara mandiri.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 merupakan hasil dari permohonan uji
materiil yang diajukan oleh Ir. Eddie Widiono Suwondho, M.Sc. Objek permohonan
tersebut adalah terkait konstitusionalitas Pasal 6 huruf a (dan penjelasannya)
UU 30/2002 khususnya kewenangan KPK untuk berkoordinasi dengan BPKP, di mana pemohon menilai BPKP tidak memiliki
kewenangan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara karena bertentangan
dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang seharusnya menjadi kewenangan BPK.
Terhadap
permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi dengan suara bulat menyatakan menolak
permohonan untuk seluruhnya. Namun terdapat 1 (satu) paragraph dalam putusan
tersebut yang ditafsirkan memberikan pintu masuk bagi penyidik (kejaksaan dan
KPK) untuk dapat melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, yakni:
“Oleh sebab itu menurut
Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka
pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi
dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP
dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari
inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari
masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari
perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan
kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang
ditanganinya;”
Bahkan
Jaksa Agung merujuk pada ratio decidendi tersebut menerbitkan surat
edaran Nomor: B-22/A/SUJA/02/2021 tanggal 3 Februari 2021 pada pokoknya
menafsirkan penghitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK,
BPKP, inspektorat, penyidik, akuntan publik yang ditunjuk, SKPD, dan
pihak-pihak lain (termasuk perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil
dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Penafsiran tersebut, menurut
penulis, tidak tepat dan terlalu berlebihan karena:
- Putusan tersebut tidak sedang
menguji konstitusionalitas kewenangan penyidik kejaksaan (atau KPK) dalam
perhitungan kerugian keuangan negara.
- Tidak ada kalimat yang
spesifik menyebut memberikan kewenangan kepada penyidik untuk dapat melakukan
audit perhitungan kerugian keuangan negara, sehingga kesimpulan tersebut adalah
penafsiran bebas yang tidak tepat.
- Konteks koordinasi dari ratio
decidendi tersebut adalah dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi
secara umum, tidak spesifik tentang kewenangan penghitungan kerugian keuangan
negara.
Dalam putusan tersebut
(halaman 52-53), Mahkamah Konstitusi justru memberikan penegasan tentang kewenangan
BPK dan BPKP untuk melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara sebagaimana
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengenai terbukti atau tidaknya
perhitungan kerugian keuangan negara tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim
yang mengadilinya berdasarkan fakta persidangan.
Baca Juga: Kewenangan Lembaga Audit dalam Penetapan Kerugian Negara Pasca SEMA No. 2/2024
Berdasarkan UU 16/2004 dan UU 30/2002,
kejaksaan dan KPK bukan lembaga negara yang memiliki kewenangan melakukan
perhitungan kerugian keuangan negara. Perhitungan kerugian keuangan negara yang
dilakukan oleh kejaksaan atau KPK harus diposisikan sebagai upaya pra-audit
atau perhitungan internal untuk memperkuat penyidikan, yang tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan status hukum seseorang atau untuk dijadikan
alat bukti di persidangan.
Perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak memenuhi kualifikasi kewenangan yang sah, tidak serta merta mengakibatkan batal atau gugurnya dakwaan. Proses pemeriksaan di pengadilan tetap dapat dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki Majelis Hakim untuk menilai kerugian keuangan negara berdasarkan fakta persidangan. Meskipun hal ini akan sangat menyulitkan Majelis Hakim, terutama terhadap perkara yang perhitungan kerugian keuangan negaranya rumit dan kompleks, sehingga beresiko tidak memberikan keyakinan yang cukup bagi Majelis Hakim untuk menentukan ada atau tidak adanya, serta untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara. (snr, ldr, asp, rio satriawan)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI