Cari Berita

Kewenangan Melakukan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Perkara Korupsi

Saiful Arif-Hakim adhoc Tipikor Pengadilan Negeri Tanjungpinang - Dandapala Contributor 2025-12-07 07:00:51
Dok. Penulis.

Perdebatan mengenai lembaga yang berwenang melakukan audit/perhitungan kerugian keuangan negara telah terjadi sejak Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (UU PTPK) diberlakukan.

Eksepsi terhadap keabsahan audit perhitungan Kerugian Keuangan Negara hampir selalu muncul dalam setiap eksepsi penasehat hukum, bahwa audit perhitungan kerugian keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang berdasarkan undang-undang berwenang melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara.

Dalam praktik penegakan hukum, setidaknya terdapat 2 (dua) lembaga negara yang sering menerbitkan audit perhitungan kerugian keuangan negara dan menjadi dasar penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Dalam perkembangannya, di beberapa perkara, audit perhitungan kerugian keuangan negara diterbitkan dari Kejaksaan atau KPK dengan membentuk tim auditor dari internal, sebagaimana dalam perkara Ira Puspadewi (direktur utama PT ASDP) yang audit perhitungan kerugian keuanga negara-nya diterbitkan sendiri oleh KPK dengan dasar merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012.

Namun perhitungan kerugian keuangan negara oleh KPK ini dipertanyakan banyak pihak karena KPK tidak memiliki kewenangan melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara.

Apakah audit perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi harus dilakukan lembaga yang memiliki kewenangan khusus?

Dalam UU PTPK terdapat 44 bentuk delik pidana korupsi, yang dapat digolongkan lagi menjadi 7 delik korupsi, yakni: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Dari sekian banyak delik korupsi tersebut, delik korupsi kerugian keuangan negara adalah delik yang paling banyak mendominasi dalam praktik penegakan hukum yang ada di pengadilan tindak pidana korupsi. Delik tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK.

Dilihat dari konstruksi unsur-unsurnya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK merupakan delik materiil di mana tindak pidana dianggap telah selesai/terpenuhi ketika akibat dari tindakan tersebut telah terjadi. Dalam hal ini, yang menjadi akibat yang dituju dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK adalah terjadinya kerugian keuangan negara.

Tidak terpenuhinya unsur kerugian negara ini, perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga membuktikan adanya kerugian keuangan negara adalah hal yang sangat penting, sebagaimana halnya membuktikan matinya korban pada delik pembunuhan.

UU PTPK tidak pernah secara spesifik mengatur siapa dan bagaimana perhitungan tersebut harus dilakukan. Namun merujuk pada Pasal 1 angka 22 UU 1/2004 menentukan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang NYATA DAN PASTI jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Frase “nyata dan pasti” mengindikasikan bahwa pembuat undang-undang menghendaki adanya perhitungan yang aktual dan akurat.

Selanjutnya, dikaitkan dengan Pasal 28 ayat (1) UU 46/2009, frase “nyata dan pasti” harus pula dapat dibuktikan perhitungan tersebut diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni lembaga yang secara hukum memiliki kewenangan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara.

Kewenangan yang sah sangat penting dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, karena objek pemeriksaan berupa keuangan negara, dan menyangkut upaya paksa untuk memanggil dan memeriksa seseorang, mengumpulkan barang bukti dan lain-lain.

Setidaknya terdapat 3 (tiga) lembaga yang secara aktif menerbitkan audit perhitungan kerugian keuangan negara, yakni BPK, BPKP, dan inspektorat yang masing-masing memiliki kewenangan atributif berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

No

Lembaga

Dasar hukum atributif

1.

BPK

§   Pasal 23E ayat (1) UUD 1945

§   Pasal 4 (1) (4) dan Pasal 13 UU 15/2004

2.

BPKP

Pasal 3 huruf e Perpres 192/2014

3.

Inspektorat

Pasal 1 angka 46 Jo. Pasal 377 UU 23/2014

Pasal 216 Jo. Pasal 379 ayat (2) Jo. Pasal 379 ayat (2) UU 23/2014

Dengan redaksional yang berbeda, SEMA 2/2024 secara limitatif juga menegaskan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti BPKP, Inspektorat, Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Akuntan Publik tersertifikasi, tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan mengaudit pengelolaan keuangan Negara, yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara. Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat juga menilai adanya kerugian dan besarannya kerugian keuangan negara.

Tanpa kewenangan yang sah, perhitungan kerugian keuangan negara tidak memiliki keabsahan, dan secara formil tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Politik hukum itu ditegaskan kembali dalam KUHP Nasional (penjelasan Pasal 603 KUHP), yang secara lugas menentukan perhitungan kerugian keuangan negara adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan. Frase “lembaga negara audit keuangan” tersebut menegaskan 2 (dua) hal secara sekaligus, yakni: pertama, perhitungan kerugian keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga negara, dan kedua, yakni lembaga negara yang memiliki kewenangan melakukan audit keuangan.

Penggunaan rujukan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 juga perlu dicermati mengingat putusan MK ini kerap dijadikan dasar rujukan bagi penyidik kejaksaan atau KPK untuk melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara secara mandiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 merupakan hasil dari permohonan uji materiil yang diajukan oleh Ir. Eddie Widiono Suwondho, M.Sc. Objek permohonan tersebut adalah terkait konstitusionalitas Pasal 6 huruf a (dan penjelasannya) UU 30/2002 khususnya kewenangan KPK untuk berkoordinasi dengan BPKP, di mana pemohon menilai BPKP tidak memiliki kewenangan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara karena bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang seharusnya menjadi kewenangan BPK.

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi dengan suara bulat menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya. Namun terdapat 1 (satu) paragraph dalam putusan tersebut yang ditafsirkan memberikan pintu masuk bagi penyidik (kejaksaan dan KPK) untuk dapat melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, yakni:

“Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya;”

Bahkan Jaksa Agung merujuk pada ratio decidendi tersebut menerbitkan surat edaran Nomor: B-22/A/SUJA/02/2021 tanggal 3 Februari 2021 pada pokoknya menafsirkan penghitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK, BPKP, inspektorat, penyidik, akuntan publik yang ditunjuk, SKPD, dan pihak-pihak lain (termasuk perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Penafsiran tersebut, menurut penulis, tidak tepat dan terlalu berlebihan karena:

  1. Putusan tersebut tidak sedang menguji konstitusionalitas kewenangan penyidik kejaksaan (atau KPK) dalam perhitungan kerugian keuangan negara.
  2. Tidak ada kalimat yang spesifik menyebut memberikan kewenangan kepada penyidik untuk dapat melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara, sehingga kesimpulan tersebut adalah penafsiran bebas yang tidak tepat.
  3. Konteks koordinasi dari ratio decidendi tersebut adalah dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi secara umum, tidak spesifik tentang kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara.

Dalam putusan tersebut (halaman 52-53), Mahkamah Konstitusi justru memberikan penegasan tentang kewenangan BPK dan BPKP untuk melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengenai terbukti atau tidaknya perhitungan kerugian keuangan negara tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya berdasarkan fakta persidangan.

Baca Juga: Kewenangan Lembaga Audit dalam Penetapan Kerugian Negara Pasca SEMA No. 2/2024

 Berdasarkan UU 16/2004 dan UU 30/2002, kejaksaan dan KPK bukan lembaga negara yang memiliki kewenangan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara. Perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh kejaksaan atau KPK harus diposisikan sebagai upaya pra-audit atau perhitungan internal untuk memperkuat penyidikan, yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan status hukum seseorang atau untuk dijadikan alat bukti di persidangan.

Perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak memenuhi kualifikasi kewenangan yang sah, tidak serta merta mengakibatkan batal atau gugurnya dakwaan. Proses pemeriksaan di pengadilan tetap dapat dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki Majelis Hakim untuk menilai kerugian keuangan negara berdasarkan fakta persidangan. Meskipun hal ini akan sangat menyulitkan Majelis Hakim, terutama terhadap perkara yang perhitungan kerugian keuangan negaranya rumit dan kompleks, sehingga beresiko tidak memberikan keyakinan yang cukup bagi Majelis Hakim untuk menentukan ada atau tidak adanya, serta untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara. (snr, ldr, asp, rio satriawan)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…