Keadilan dalam sistem peradilan
didapatkan melalui putusan hakim, sehingga apabila terdapat kekosongan aturan hukum
atau aturan yang tidak jelas, maka untuk mengatasinya
hakim harus aktif untuk menemukan hukum (rechtvinding).
Salah satu adagium yang berkembang
dalam praktik
peradilan adalah asas Ius Curia Novit yang berarti hakim dianggap
mengetahui semua hukum, sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadili perkara.
Judicial activism merupakan metode hakim dalam rangka menemukan hukum karena menerapkan hukum mutlak menjadi kewenangan hakim, sehingga
seorang Hakim harus belajar secara berkelanjutan agar putusan yang dihasilkan
selalu relevan baik secara Kompetensi dalam bentuk intelektualitas dan
berkeadilan yang mencemirkan integritas Hakim tersebut.
Baca Juga: BLC: Platform Peningkatan Kualitas dan Kompetensi Tenaga Teknis Badilum
Dapatkah Hakim Membuat Hukum?
Dalam proses penyelesaian sengketa di
Pengadilan, hakim dituntut aktif memahami makna Pasal 5 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.”
Berdasarkan Pasal 5 UU 48 Tahun 2009 tersebut, hakim wajib turut serta menentukan hal
yang merupakan hukum atau yang bukan merupakan hukum. Hakim terkadang harus membuat aturan hukum (judges
making law), Judicial activism dipergunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa dengan menciptakan hukum (judge made law). [1]
Para hakim yang sering menggunakan metode ini kemudian dikenal dengan istilah activist
judges. Metode Judicial Activism di kalangan para hakim
untuk dapat mengisi kekosongan hukum dalam mencapai keadilan dalam masyarakat,
karena perkembangan hukum diusahakan dapat mengikuti masyarakat berkembang lebih
cepat (ubi societas ibi ius).
Konsep dasar Judicial
Activism berkaitan erat dengan penerapan Kode Etik
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), KEPPH memuat nilai-nilai dasar yang harus
dimiliki oleh seorang hakim. Judicial Activism menghendaki Hakim tidak hanya menerapkan
peraturan atau menafsirkan hukum semata, namun harus mampu untuk bersikap arif dan bijaksana dengan memperhatikan
keadilan yang hidup di masyarakat.
Hakim mengadili berdasarkan
asas legalitas, tetapi hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara harus mampu untuk bersikap mandiri menentukan
sendiri apa yang menjadi hukum apabila hukum
tertulis tersebut belum
jelas. Kebebasan Hakim dalam mempertimbangkan suatu
peraturan harus disertai dengan pandangan untuk bersikap adil, nilai keadilan
yang bersifat abstrak tersebut dipertimbangkan dengan didasarkan pada kemampuan
hakim menggali fakta hukum di persidangan dalam rangka mencapai keadilan.
Judicial Activism
menghendaki Seoarang Hakim untuk terus belajar, mengembangkan kapasitas
intelektualnya dan ketajaman nurani (moral judgement) sebagai seorang
Pengadil yang berintegritas. Suatu putusan harus didasari oleh suatu landasan
hukum yang benar, termasuk nilai-nilai keadilan yang dirangkai dalam proses
analisa keilmuan dalam bentuk tulisan.
Pengembangan kapasitas hakim diperoleh dari proses
belajar, maka menjadi seorang Hakim harus siap untuk belajar secara
berkelanjutan selama menjalani profesi seorang Hakim.
Proses belajar seorang Hakim dimulai sejak menerima
berkas perkara, karena setiap perkara memiliki karakteristik atau ciri khas
tersendiri walaupun sekilas terlihat serupa. Hakim melakukan judicial
activism bukan hanya untuk mengisi kekosongan hukum, seorang Hakim dalam memutus suatu perkara harus bersikap seperti
pembentuk undang-undang yang siap mengisi kekosongan hukum atau menambah
pengetahuan hukum terhadap fakta-fakta yang terjadi di persidangan dengan
melakukan analogi terhadap peraturan-peraturan yang serupa dikaitkan
dengan fakta hukum serta pengetahuan hakim, sehingga tercipta aturan hukum baru untuk peristiwa yang tidak diatur
sebelumnya atau memodifikasi aturan yang sudah ada melalui putusan
Hakim.
Hal ini dapat dilihat dari
pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa keberatan terhadap sebuah Putusan Pengadilan harus diajukan melalui upaya hukum, baik itu upaya hukum banding maupun kasasi.
Pertimbangan hakim tersebut merupakan penerapan Asas res judicata pro veritate habetur yang memiliki
arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar selama belum diputuskan berbeda
oleh pengadilan yang lebih tinggi,
Majelis Hakim berusaha bersikap adil, arif dan bijaksana untuk menggali
nilai-nilai keadilan dengan menggunakan pengetahuan hukum yang dimilikinya
untuk memberikan kepastian hukum melalui pertimbangan hukum yang
termuat dalam putusan perkara.
Putusan yang memuat pembaharuan hukum yang mengandung nilai legal justice, moral justice dan social
justice. Seorang Hakim
menentukan bagian yang terpenting dalam putusan yaitu ratio decendi. Ratio decidendi
merupakan dasar hukum
yang dipergunakan oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara, ratio
decidendi mencerminkan
analisis kritis hakim
terhadap substansi perkara, pandangan filsafat hukum,
teori hukum yang dirujuk, interpretasi norma, pertimbangan sosiologis mengenai dampak dan manfaat putusan sebagai dasar memutuskan suatu perkara yang telah dipertimbangkan
oleh Hakim.
Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA)
Periode 2003-2006, Ansyahrul menyatakan bahwa Hakim tidak saja dituntut
memiliki kompetensi, pengetahuan dan etika, namun setidaknya terdapat empat
keterampilan utama yang dibutuhkan bagi seorang hakim yaitu keterampilan
mendengar, bicara, antusias dalam membaca dan menulis.
Keterampilan tersebut tidak bisa didapatkan hanya
dengan bakat semata, namun keterampilan tersebut diperoleh dan diasah melalui
proses belajar, seorang Hakim baru bisa menumbuhkan hasrat untuk mendengar,
bicara, antusias dalam membaca dan menulis tersebut dimulai dari rasa ingin
tahu dan mencari jawaban yang benar tentang masalah yang dihadapinya yang
disebut dengan proses pembelajaran.
Proses belajar dapat mengasah seorang hakim menjadi
pendengar yang baik, harus memiliki tata bicara yang efektif dan efisien, gemar
membaca dan bersemangat untuk menulis dalam rangka mengeluarkan pendapat dan
pemikirannya sebagai hakim.
Proses belajar inilah yang dapat mengasah kemampuan
seorang Hakim baik dari sisi kompetensi, dan soft skill termasuk melatih
diri seorang hakim menjadi pribadi yang rendah hati. Semakin sering seorang
Hakim belajar, Hakim tersebut semakin menyadari bahwa banyak hal yang tidak
diketahui oleh diri seorang Hakim tersebut. Keilmuan akan membentuk Hakim
menjadi pribadi yang rendah hati dan tujuan akhirnya membentuk hakim yang
berintegritas. Integritas hakim adalah loyalitas hakim menjaga harkat
dan martabat profesinya yang mulia dengan menjadi pribadi yang memiliki
kualitas secara intelektual dan moral secara utuh.
Profesi Hakim
sebagai pembelajar inilah yang akhirnya melahirkan kesatuan potensi dan
kompetensi seorang Hakim, sehingga pribadi hakim sebagai seorang pembelajar
inilah yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran untuk mewujudkan
pribadi hakim ideal yang memiliki moralitas tinggi dan hakim
profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Wakil Tuhan.
Peran Hakim sebagai Wakil
Tuhan dalam konteks sebagai pengadil memiliki peran yang sangat vital yaitu
bahwa dalam mengadili sebuah perkara, hakim terlebih dahulu harus
mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir dari fakta hukum secara
keseluruhan.
Mengkonstatir artinya
menilai apakah peristiwa yang diajukan kepada Hakim tersebut memang benar
perkara hukum, apabila benar, maka apakah benar perkara tersebut benar terjadi
dengan mengumpulkan fakta-fakta.
Dikualifisir artinya
dinilai, persitiwa tersebut termasuk hubungan hukum dengan cara menemukan hukum
bagi peristiwa yang telah dikonstatir yang kemudian menerapkan hukumnya kepada
pihak yang berperkara dengan tujuan memberikan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. Dalam tahap ini, hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis
mayor (peraturan) hukum dan premis minor (peristiwa), inilah yang disebut hakim
mengkonstituir atau memberikan aturan hukum yang tepat terhadap suatu peristiwa
yang menjadi pokok perkara.
Seorang hakim
mengkonstutuir sebuah perkara, yaitu secara metodologis dan ajaran filsafat
ilmu, kebenaran hukum adalah kebenaran koherensi, artinya kebenaran yang bisa
ditelusuri secara logika, bahwa hukum adalah logis dan bernalar. Hukum bukanlah
kebenaran mutlak sebagaimana dianut dalam perpektif keilmuan atau intelektualitas.
Hakim diharuskan untuk memahami dan memaknai sebuah konstruksi hukum perlu
melihat konteks perspektif nilai-nilai tidak boleh dilupakan dalam membentuk
sebuah peraturan.
Pasal 24 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berbunyi bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Frase “merdeka” dapat
diartikan sebagai kemandirian hakim yang ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009 yang mewajibkan hakim
untuk menggali, mengikuti dan
memahami nilai hukum serta
rasa keadilan yang hidup di masyarakat
secara arif dan bijaksana.
Hakim secara mandiri tanpa memandang latar belakang
para pihak yang beperkara. Hakim diharapkan mampu bersikap adil, profesional,
arif dan bijaksana untuk menilai seluruh fakta hukum secara objektif
berdasarkan pengetahuan hukum yang dimilikinya dengan tetap mempertimbangkan
nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.
Kebebasan hakim dalam memutuskan perkara harus didasarkan fakta hukum yang terungkap
di persidangan dengan mempertimbangkan keilmuan,
logika berpikir dan nurani yang dimilikinya, sehingga dari putusan hakim tersebut dapat
terlihat sikap, moralitas dan penalaran yang diyakini oleh hakim
tersebut. Putusan hakim pada akhirnya akan menjadi hukum bagi para pihak yang beperkara, maka
putusan hakim adalah penerapan dari adagium judex
set lex laguens atau judge
is the speaking
law yang artinya sang
hakim adalah hukum yang berbicara. (ldr)
REFERENSI
|
T. M. D. PPC, "Modul Diklat PPC Tahap 3," Judicial
Activism, p. 6, 2019. |
|
Lilik Mulyadi, Urgency and Prospects Settings (Ius Constituendum on Contempt of
Court Act to Uphold the Dignity and Justice Authority yang diunduh pada
alamat http://www.jurnalhukumdanperadilan.org/index.php/jurnalhukumperadilan/article/view/67 Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno
Adji, Peradilan bebas dan contempt of
court, Jakarta, Diadit Media, 2007 Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Judicial
Restraint vs Judicial Activism, Majalah Konstitusi No. 130 Desember 2017 Baca Juga: Green Court, Pilar Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Tim Pengajar Materi Judicial Activism
Program Pendidikan Calon Hakim (PPC) Terpadu III, Narasi Materi Judicial
Activism, Pusdiklat Mahkamah Agung, Bogor, 2019
|
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI