Kerajaan Majapahit, yang berjaya pada abad ke-13 hingga 14 Masehi, tidak hanya meninggalkan jejak gemilang dalam politik dan ekspansi wilayah, tetapi juga mencatatkan aturan hukum yang mengatur kehidupan masyarakatnya secara tegas. Salah satu peninggalan hukum tersebut adalah Kutaramanawadharmacastra, atau yang dikenal sebagai Kitab Perundang-undangan Agama. Kitab ini menjadi pedoman utama dalam sistem hukum pidana Majapahit.
Dikutip dari kompas.id dalam artikel yang berjudul Hukum Pidana Era Majapahit: Dari Menebang Pohon hingga Korupsi Menteri. Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya Perundang-undangan Madjapahit (1967), tidak ada catatan pasti mengenai waktu penyusunan kitab ini. Namun, berbagai bukti menunjukkan bahwa hukum pidana yang dikenal dengan Kitab Kutaramanawa Dharmasastra (KMD) ini berasal dari era pemerintahan Prabu Radjasanagara. Kitab ini terdiri dari 19 bagian yang mencakup berbagai aspek baik hukum perdata maupun pidana, mulai dari pembunuhan, jual beli, utang piutang, hingga perkawinan dan pegadaian.
Gambar Perundang-undangan Majapahit Sumber :Litbang Kompas, Copyright to Ismawadi/Kompas
Seperti hukum yang saat ini berlaku, Hukum di Majapahit juga mengenal pembagian hukuman pidana pokok dan pidana tambahan. pidana pokok terdiri dari hukuman mati, potongan bagian tubuh yang bersalah, denda dang anti rugi. sedangkan dalam pidana tambahan terdapat hukuman tebusan, penyitaan dan juga pemulihan keadaan seperti pembeliaan obat untuk pengobatan
Kesamaan Setiap Orang didepan Hukum dalam Aspek Pidana dan Perdata
Hukum Majapahit menjadi begitu istimewa karena ada nilai ketegasan tanpa pandang bulu tanpa menbedakan kasta dan status social dalam penerapan hukumanya. Pasal 6 bagian kedua dari astadusta menyebutkan bahwa pejabat kerajaan yang terbukti mencuri atau corah dapat dihukum mati. Bahkan, jika pejabat tersebut dibunuh akibat perbuatannya, pelaku pembunuhan tidak akan digugat, karena dianggap telah menegakkan keadilan. Salah satu kisah menarik yang menjadi bukti autentik ditemukan dalam Kidung Sorandaka, yang menceritakan hukuman mati terhadap Demung Sora yang mempunyai jabatan sebagai seornag menteri karena membunuh Mahisa Anabrang. Hukuman ini didasarkan pada aturan astadusta, bagian dari kitab perundang-undangan yang mengatur pidana pembunuhan.
Hukuman mati juga dapat dijatuhi pada pejabat kerajaan dapat dikenai hukuman mati jika ia terbukti melakukan pencurian atau corah yang disebutkan dalam Pasal 6 di bagian kedua tentang astadusta. Kasus pencurian oleh para pejabat, jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, juga dapat dipahami sebagai korupsi. Artinya, pada era Kerajaan Majapahit, tidak ada toleransi sekecil apa pun bagi pejabat yang melakukan kejahatan, terutama mencuri.
Gambar. Salah satu relief Karmawibhangga menunjuan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum, mencuri hingga berkelahi
Prinsip keadilan ini juga dapat terlihat dalam pasal 11 pada bab astadusta, di mana hukuman mati diberlakukan bagi berbagai kalangan tanpa terkecuali, termasuk cendekiawan, guru, kaum lansia, dan kaum Brahmana, jika terbukti melakukan enam kesalahan berat yang disebut sebagai tatayi. Kesalahan tersebut membakar rumah orang dan rumah raja yang berkuasa, meracuni sesama manusia, mengamuk, menenung atau mencelakai seseorang dengan ilmu hitam, fitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan.
Kerajaan Majapahit sudah mengatur sistem hukum dalam aspek keperdataan. Persoalan utang makanan, misalnya, seseorang yang berutang, jika tidak mampu membayar dengan cara bekerja, maka ia tetap dikenakan kewajiban untuk membayar senilai harga makanan yang dimakan. Dalam aturan ini, tidak ada bunga atau biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh orang berutang selain nilai pokok dari utang yang dimiliki
Perlindungan terhadap Norma Sosial dan Lingkungan
Tidak hanya perlindungan terhadap manusia saja namun hukum pidana Majapahit juga memperhatikan perlindungan lingkungan. Pasal 92 dalam bagian sahasa atau paksaan menyebutkan bahwa menebang pohon tanpa izin dapat berujung pada hukuman mati jika dilakukan pada malam hari. Pada siang hari, pelaku diwajibkan mengganti pohon yang ditebang sebanyak dua kali lipat.
Persoalan moral seperti perselingkuhan juga mendapat perhatian khusus dalam kitab ini. Prasasti Cangu (1358 M) mencatat adanya sanksi berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut strisanggrahana. Dalam Kitab Agama, terdapat bab porodora yang mengatur hukuman bagi pelaku pelecehan terhadap perempuan. Besaran denda bergantung pada kasta korban: perempuan kasta tinggi dikenai denda dua lokso, kasta menengah satu lokso, dan kasta rendah lima toli. Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam buku Perempuan Jawa dikutp dari laman historia.id dalam artikel yang berjudul Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno, denda ini dibayarkan kepada suami korban, dan jika pemerkosa tertangkap basah oleh suami korban, ia boleh dibunuh.
Gambar. Arca yang menceritakan seorang perempuan yang diganggu, lalu mengadu kepada pengadilan di jaman Majapahit
Menjadi Warisan Nilai untuk Bangsa Indonesia
Pengaturan hukum pidana dalam era Majapahit membuktikan bahwa Majapahit telah memiliki konsep keadilan yang menempatkan semua warga di hadapan hukum secara setara. Meskipun kerajaan ini mayoritas berbasis agama Hindu yang umumnya memiliki sistem kasta, aturan hukum yang diterapkan justru meniadakan diskriminasi berdasarkan status sosial. Konsep hukum yang diterapkan Majapahit ini menjadi refleksi penting bagi Indonesia saat ini, yang masih berupaya menemukan sistem hukum pidana yang ideal setelah sekian lama mengadopsi warisan kolonial. Prinsip-prinsip hukum yang dipegang teguh oleh kerajaan Majapahit masih relevan hingga kini, terutama dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum bagi semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum