17 AGUSTUS 1960, Presiden Soekarno berpidato dengan judul Djalannja Revolusi Kita (Djarek). Dalam pidato itu, ia menegaskan cara-cara pelaksanaan manifesto politik di bidang politik agraria, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Berselang sebulan setelah itu, tepatnya 24 September tahun 1960 lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang masih eksis berlaku sampai dengan saat ini.
Konflik Pertanahan Pasca UUPA Melahirkan Pengadilan Landreform dan Bukan Pengadilan Agraria
Baca Juga: Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan
Meskipun semangat revolusi yang digaungkan oleh Soekarno melalui reformasi telah menata kembali sistem pertahanan di Indonesia, namun penyelenggaraannya hingga tahun 1964 belum selesai. Salah satu kendalanya terjadi sengketa pertanahan sebagai akibat dari pelaksanaan peraturan-peraturan landreform, sehingga sedikit banyak menghambat kelancaran pelaksanaan landreform
Awalnya perkara-perkara sengketa pertanahan diadili di pengadilan negeri, namun pemerintah pada saat itu beranggapan penyelesaiannya kurang lancar. Pada masa itu juga yang pengadilan negeri sehari-hari dibanjiri oleh sejumlah besar perkara-perkara yang menyangkut keamanan negara, seperti subversi, korupsi dan sebagainya, yang meminta prioritas, sehingga perkara-perkara landreform, yang dapat terjadi baik dalam bidang pidana maupun perdata dan tata-usaha negara, kurang mendapat perhatian, walaupun kesemuanya itu sama pentingnya dalam usaha mencapai tujuan dan menyelesaikan revolusi.
Selain itu, pemerintah juga berkeinginan penyelesaian perkara landreform diselesaikan secara cepat. Di samping perlunya kecepatan penyelesaian perkara-perkara landreform, pemerintah juga menginginkan penyelesaian perkara-perkara itu memerlukan penguasaan yang sempurna dari peraturan-peraturan landreform dan agraria yang makin hari makin bertambah banyak, sehingga memerlukan perhatian dan penelaahan yang khusus.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka Pemerintah telah memutuskan untuk membentuk peradilan landreform yang tersendiri, agar meringankan tugas para hakim Pengadilan Negeri dan juga untuk mempercepat penyelesaian perkara-perkara landreform.
Walaupun demikian, peran dari pengadilan negeri belum dapat sepenuhnya ditinggalkan. Itulah sebabnya, bahwa pengalaman dan pengetahuan serta kebijaksanaan seorang hakim Pengadilan Negeri masih diperlukan untuk memimpin dan membimbing Pengadilan Landreform Daerah dan seorang hakim pada Pengadilan Umum untuk Pengadilan Landreform Pusat.
Mengingat sifat yang luar biasa dari perkara-perkara yang timbul karena pelaksanaan landreform, maka diperlukan suatu badan peradilan tersendiri dengan susunan, kekuasaan dan acara yang khusus. Akhirnya pada tahun 1964 diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform (UU Pengadilan Landreform).
Pengadilan Landreform tidak bermaksud untuk memutus segala perkara mengenai tanah atau agraria sebagai suatu keutuhan. Hal ini disebabkan, karena sifatnya yang khusus untuk memperlancar berjalannya landreform, lagi pula tidak mengurangi wewenang Pengadilan Negeri untuk memutus tentang soal-soal tanah, soal waris-mewaris dan sebagainya yang bila juga akan dibebankan kepada Pengadilan Landreform, pasti akan menghambat pelaksanaan Landreform. Oleh karena itu, Pemerintah hanya berkehendak membentuk Pengadilan Landreform, bukan Pengadilan Agraria.
Kewenangan Pengadilan Landreform
Pengadilan Landreform berwenang mengadili perkara-perkara perdata, pidana maupun administratif yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform, yaitu:
1. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu pasal 7, 10, 14, 15, 52 ayat (1) dan pasal 53;
2. Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil;
3. Undang-undang No. 38 Prp. tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk tanaman-tanaman tertentu;
4. Undang-undang No. 51 Prp. tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya;
5. Undang-undang No. 56 Prp. tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;
6. Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;
7. Undang-undang No. 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan sepanjang mengenai pelanggaran ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan dengan bagi hasil tambak;
8. Peraturan Pemerintah lainnya yang merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang disebut di atas dan Peraturan-peraturan lainnya yang secara tegas disebut sebagai peraturan Landreform.
Kedudukan Pengadilan Landreform
Pengadilan landreform, terdiri dari pengadilan-pengadilan Landreform Daerah dan Pengadilan Landreform Pusat.
Pengadilan Landreform Daerah pada azasnya bersidang di tempat kedudukannya. Jika dipandang perlu Pengadilan Landreform dapat memeriksa dan memutus perkara-perkara Landreform di tempat-tempat terjadinya perkara. Pengadilan Landreform Daerah mengadili perkara-perkara Landreform pada tingkat pertama. Yang berwenang mengadili sesuatu perkara landreform adalah Pengadilan Landreform Daerah dari daerah tempat letak tanah yang tersangkut di dalam perkara itu.
Pengadilan Landreform Pusat adalah Pengadilan banding dari Pengadilan yang berkedudukan di Jakarta. Terhadap putusan Pengadilan Landreform Pusat tidak dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali kasasi untuk kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung.
Susunan Majelis Hakim
Pengadilan Landreform Daerah terdiri dari satu kesatuan majelis atau lebih terdiri dari: 1 orang hakim Pengadilan Negeri setempat sebagai Ketua sidang, 1 orang penjabat Departemen Agraria sebagai hakim anggota dan 3 orang wakil organisasi-organisasi massa tani sebagai hakim anggota. Pengadilan ini juga dibantu oleh 1 orang panitera atau panitera-pengganti.
Hakim dari perwakilan departemen agraria diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Agraria Daerah. Sementara Hakim dari unsur organisasi masa tani diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman atas usul Front Nasional Daerah.
Begitupun Pengadilan Landreform pusat mempunyai komposisi susunan yang sama dengan Pengadilan Landreform daerah. Pengadilan Landreform daerah dan pusat hanya sah bersidang apabila dihadiri oleh lima orang hakim tersebut.
Diangkatnya hakim dari unsur departemen agraria dan perwakilan organisasi tani, dikemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya Hakim Ad Hoc yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diangkat untuk jangka waktu tertentu.
Hukum Acara Pengadilan Landreform
Pengadilan Landreform Daerah menggunakan hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri setempat dan Pengadilan Landreform Pusat menggunakan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan banding pada Pengadilan Tinggi. Dalam pemeriksaan perkara landreform administratif digunakan hukum acara perdata.
Hal yang menarik dari Hukum Acara Pangadilan Landreform adalah acara pemeriksaan dibatasi hingga pada penerimaan gugatan, penerimaan jawaban dan tangkisan, pemeriksaan alat-alat pembuktian, kesimpulan pihak yang berperkara, musyawarah dan putusan. Hal ini hampir sama dengan Hukum Acara pada penyelesaian perkara gugatan sederhana.
Mahkamah Agung Pemutus Sengketa Kewenangan Mengadili
UU Pengadilan Landreform menegaskan dalam hal terjadi sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Landreform Daerah dan pengadilan lain, maka Mahkamah Agung memutus pengadilan mana yang akan mengadili perkara yang bersangkutan.
Berperkara di Pengadilan Landreform Tidak dikenai Biaya
UU Pengadilan Landreform juga menegaskan Pembiayaan Pengadilan Landreform Daerah dan Pengadilan Landreform Pusat dibebankan pada anggaran Departemen Agraria.
Pengadilan Landreform Hanya Berumur 6 Tahun
Pergantian kekuasaan pemerintahan Indonesia turut mempengaruhi juga sistem politik hukum sesuai dengan irama pemimpinnya. UU yang sebelumnya dibentuk dengan semangat revolusi Presiden Soekarno, diganti dengan semangat pembangunan Presiden Soeharto.
Tepatnya pada tanggal 31 Juli 1970 diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform (UU tentang Penghapusan Pengadilan Landreform). Maka sejak saat itu, semua sengketa dibidang pertanahan kewenangannya dikembalikan kepada peradilan umum.
Mengutip pertimbangan UU tentang Penghapusan Pengadilan Landreform, salah satu alasan dihapusnya pengadilan landreform adalah susunan Pengadilan Landreform yang antara lain terdiri dari 3 orang Wakil Organisasi Massa Tani yang duduk sebagai Hakim Anggota untuk mencerminkan kegotong-royongan Nasional berporoskan nasakom adalah bertentangan dengan Ketetapan Majelis Per musyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPRS/1966 dan No.XXXVIII/MPRS/ 1968.
Selain itu, pelaksanaan penyelenggaraan peradilan perkara-perkara Landreform oleh Pengadilan Landreform mengalami kesulitan dan kemacetan. Sehingga tujuan utama untuk mempercepat penyelesaian perkara-perkara tersebut tidak dapat tercapai. (LDR)
Sumber.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform.
4. Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 113 Tahun 1965 tentang Pengangkatan Hakim Anggota Pengadilan Landreform Pusat.
5. Surat Mahkamah Agung No.6/KM/845/M/A/III/67 mengenai mengadakan pedoman penyelenggaraan Landreform No. 5/PLP/1967
Baca Juga: Sosok Mantan Wakil Ketua MA Andi Samsan Nganro dan Kedekatannya dengan Pers
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pencabutan Surat-Surat Edaran, Keputusan, Intruksi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
7. Pidato Soekarno 17 Agutus 1960 dikutip dari wikisource.org
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI