Sumpah serapah kembali berserak di media sosial, lagi dan lagi sasaran amuknya adalah putusan pengadilan. Kali ini perkara tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang menjadi sorotan. Berbagai hal mulai dari berat ringannya hukuman, pertimbangan putusan, hingga gestur, dan mimik wajah hakim pasca sidang turut menjadi bahan cibiran.
Agar tidak salah kaprah, tulisan ini hadir bukan untuk mengomentari putusan majelis hakim. Tidak pula suatu upaya membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya berusaha untuk mengurai fenomena munculnya opini-opini rancu yang melenceng jauh dari rute kebenaran.
Tentu sah-sah saja berkomentar atau berpendapat, toh itu menjadi hak yang dilindungi konstitusi kita. Namun, beberapa komentar nampaknya sudah terlampau sukar dinalar. Salah satunya adalah kritik terhadap vonis pidana penjara 6,5 tahun yang dijatuhkan kepada HM. Vonis tersebut lantas dibandingkan dengan perkara Nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu dan diancam pidana pencurian paling lama lima tahun penjara.
Oleh publik, vonis perkara korupsi 6,5 tahun dan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun tersebut dianggap sebagai bukti sahih ketidakadilan. Bagaimana bisa korupsi dengan kerugian mencapai 300 Triliun divonis nyaris setara dengan pencuri tujuh batang kayu. Anggapan ini tentu keliru dan perlu diluruskan, siapapun yang pernah mengeyam pendidikan hukum, bahkan mahasiswa fakultas hukum yang belum lulus sekalipun, tentu dapat membedakan antara putusan pengadilan dan ancaman pidana yang tertuang dalam suatu pasal. Lagipula, faktanya, oleh Majelis Hakim kala itu, Nenek Asyani dijatuhi hukuman percobaan dan tidak dijatuhi pidana penjara lima tahun sebagaimana yang dibicarakan publik.
Selain itu, ada pula kegamangan publik terkait dengan kerugian 300 Trilun dalam perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah tersebut. Terkait hal ini, LK2 FHUI, sebuah lembaga kajian di bawah naungan Universitas Indonesia sampai merilis tulisan berjudul “Salah Kaprah Korupsi 271 Triliun: Kerugian Negara atau Kerugian Lingkungan?”. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa angka fantastis tersebut bukanlah total uang yang dikorupsikan, melainkan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan kawasan hutan dan kawasan nonhutan. Beberapa pakar hukum pun turut angkat bicara guna mengklarifikasi mengenai kerugian 300 Triliun tersebut.
Namun opini-opini dari para pakar seolah tak berdaya di hadapan gempuran komentar dari insan yang merasa dirinya lebih pakar dari seorang pakar hukum. Para pencibir ini merasa komentarnya memiliki validitas yang setara dengan komentar-komentar para pakar.
The Death of Expertise
Tom Nichols, dalam bukunya, memotret fenomena ini dan menyebutnya sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran. Istilah tersebut lahir sebagai bentuk kekhawatirannya atas realita yang hari ini tengah terjadi. "Matinya Kepakaran" adalah kondisi ketika otoritas dan kredibilitas para ahli diabaikan. Fenomena ini terjadi ketika masyarakat, didukung oleh akses informasi yang luas melalui internet, media sosial, dan teknologi, merasa memiliki pengetahuan yang setara atau bahkan lebih baik daripada para ahli. Hal ini sering kali memunculkan kesalahan persepsi atau penyebaran informasi yang tidak valid.
Ujar Nichols, di era ini, orang memiliki begitu banyak akses informasi ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apapun. Apabila dikaitkan dengan banyaknya kritik terhadap putusan pengadilan, boleh jadi komentar paling pedas justru datang dari seorang yang belum membaca putusan tersebut. Bahkan sama sekali tidak paham apa itu putusan pengadilan.
Tragisnya, fenomena “Matinya Kepakaran” ini tidak hanya menjangkit masyarakat awam. Para pesohor dan media arus utama juga ikut terseret pusarannya. Hari ini, tak sedikit pesohor yang berduyun-duyun mengkomentari suatu hal yang belum tentu mereka pahami. Begitu pula media-media arus utama yang membuat judul berita clickbait (umpan klik) dengan muatan disinformasi.
Dalam perkara-perkara hukum, komentar para pesohor dan berita bermuatan disinformasi tersebut mudah sekali ditelan oleh masyarakat. Alhasil kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum dapat merosot. Institusi penegakan hukum seperti Mahkamah Agung-lah yang terkena getahnya.
Dibutuhkan Informasi Pembanding
Perlu dibangun jembatan untuk menutup jurang terjal antara kebebasan berpendapat dengan otoritas ahli di era matinya kepakaran. Khususnya dalam perkara hukum. Publik harus disuguhi informasi-informasi pembanding yang mampu dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
Selama ini, publik terkungkung oleh sumber-sumber informasi yang mereka kira valid. Informasi itu antara lain komentar viral, tangkapan layar, atau judul berita bermuatan clickbait belaka. Alih-alih bermanfaat, sumber informasi tersebut justru membuat publik tersesat.
Dalam upaya melawan matinya kepakaran, keterbukaan informasi memainkan peran vital. Mahkamah Agung sendiri memiliki komitmen kuat dalam memberikan akses yang lebih luas pada masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh pengadilan. Jalannya suatu perkara dapat diakses secara daring melaui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) masing-masing Pengadilan. Begitu pula dengan putusan, publik dapat dengan mudah membacanya di laman direktori putusan. Semua informasi tersedia dalam genggaman dan dapat diakses kapan saja.
Sebelum terburu-buru berkomentar, kiranya publik dapat meluangkan waktu sejenak untuk membaca putusan pengadilan dan mempelajari pertimbangannya. Langkah sederhana tersebut adalah upaya konkret untuk membangkitkan kepakaran dari kematiannya. Sekarang, kembali lagi kepada publik, apakah media sosial akan diisi dengan informasi yang sehat atau yang sesat. (LDR)