Cari Berita

Mengenal “Jalur Khusus” dalam RUU KUHAP

Anandy Satrio P-Hakim PN Pasangkayu - Dandapala Contributor 2025-08-13 17:00:20
Dok. Penulis.

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terdapat dua mekanisme penyelesaian sengketa peradilan pidana pada acara pemeriksaan biasa. Dalam hal terdakwa mengakui perbuatan dan telah bersepakat dengan korban mengenai model kesepakatan perdamaiannya, maka dapat diterapkan pemeriksaan dengan restorative justice.


Sedangkan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan antara terdakwa dan korban, RKUHAP masih menyediakan jaring terkahir agar tidak dijatuhi hukuman secara maksimal dari delik yang didakwakan. Model yang kedua merupakan mekanisme yang serupa dengan plea bargain, namun sedikit berbeda dengan Amerika sehingga mekanisme ini kerap disebut sebagai “Jalur Khusus”.

Mekanisme Plea Bargain dalam Peradilan Pidana Amerika Serikat

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Negara bagian pertama di Amerika yang menerapkan praktik plea bargaining adalah Massachusetts. Kemudian dengan cepat diikuti oleh negara-negara bagian lain seperti New York, California, dan sebagainya. Salah satu bentuk awal dari plea bargain tercatat terjadi dalam pengadilan penyihir Salem sekitar tahun 1692 di Desa Salem (kini dikenal sebagai Danvers, Massachusetts).

Dalam pengadilan ini, individu yang dituduh sebagai penyihir atau pengikut setan dihadapkan pada pilihan: mengaku bersalah dan diselamatkan dari eksekusi, atau menyangkal tuduhan dan dihukum mati. Para hakim saat itu mendorong pengakuan demi menggali informasi lebih lanjut dan menyingkap lebih banyak nama yang terlibat. [1]

Seiring berjalannya waktu praktik peradilan pidana di Amerika selalu bergantung pada mekanisme plea bargain. Pada tahun 2010 sendiri tercatat semua kejahatan adalah dengan pengakuan bersalah (96,8% dari semua kasus). Persentasenya berkisar dari yang relatif rendah, yaitu 68,2% untuk kasus pembunuhan, hingga yang tinggi, yaitu 100% untuk kasus perampokan, pembobolan, dan masuk tanpa izin.

Dengan pengecualian pelecehan seksual (87,5%), pembakaran (86,7%), pelanggaran hak sipil (83,6%), dan pembunuhan (68,2%). Untuk semua kejahatan lainnya, tingkat pemidanaan dengan pengakuan bersalah jauh di atas 90%. Dalam putusan Mahkamah Agung Amerika, Missouri v. Frye, [2] memuat pendapat Hakim Kennedy, yang menjelaskan dari hasil statistik bahwa 97% Putusan Pengadilan Federal dan 94% Putusan Negara Bagian merupakan hasil dari pengakuan bersalah.

Mengingat sifat federal Amerika, negara bagian dan wilayah distrik memiliki hukum dan acaranya sendiri, akibatnya data tentang hukuman berdasarkan pengakuan bersalah bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya.

Upaya untuk mengatur plea bargain pertama pada tahun 1946, ketika Kongres Amerika mengundangkan Rule 11 Federal Rules of Criminal Procedure (FRCP). Ketentuan ini berbunyi bahwa seorang hakim tidak boleh menerima pengakuan bersalah tanpa terlebih dahulu menentukan bahwa pengakuan dibuat secara sukarela dengan pemahaman tentang sifat dakwaan.

Kemudian pada tahun 1966 Mahkamah Agung AS mengamandemen ketentuan Rule 11 tersebut dengan menambahkan hakim/pengadilan diharuskan untuk berbicara kepada terdakwa secara pribadi dalam rangka menentukan bahwa pembelaan dibuat secara sukarela dan dengan pemahaman terhadap sifat dan akibat dari pengakuan tersebut. [3]

Mahkamah Agung Amerika secara resmi mengakui plea bargaining sebagai prosedur formal untuk penyelesaian kasus pidana pada tahun 1970 ketika menyatakan tawar dalam kasus Brady v. Amerika Serikat. [3] Dalam kasus lain, Santobello v. New York, Mahkamah Agung memutuskan bahwa hukuman terdakwa harus dibatalkan karena kesepakatan plea telah dilanggar.

Perjanjian tersebut memuat ketentuan bahwa penuntut umum tidak akan memberikan tuntutan maksimal. Namun penuntut umum tidak menghormati perjanjian tersebut karena terdakwa nyatanya dituntut dengan hukuman maksimal. Dengan demikian, Mahkamah Agung AS menetapkan bahwa, agar tawar-menawar sah secara hukum, baik penuntut umum maupun terdakwa harus menghormati ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.

Akibatnya, semua tawar-menawar pembelaan harus disetujui oleh hakim agar dianggap mengikat secara hukum. Selain itu, keputusan ini mendukung kesimpulan bahwa, ketika kesepakatan plea bargain dilanggar terdapat konsekuensi hukum. [4]

Relevansi Penerapan “Jalur Khusus” di Peradilan Pidana di Indonesia

Sedikit berbeda dengan model plea bargaining di Amerika, di Indonesia melalui RKUHAP diwacanakan suatu mekanisme yang “mirip” dengan konsep plea bargain. Sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan “Jalur Khusus”.

Serupa namun tidak sama, Indonesia mengadopsinya karena tuntutan praktik peradilan pidana dimana terdakwa mayoritas selalu mengakui perbuatannya. Namun praktik peradilan selalu mewajibkan minimal umum pembuktian yaitu berdasarkan 2 (dua) alat bukti dan keyakinan hakim sebelum menentukan bersalahnya seseorang.

Jalur Khusus dimuat dalam Draft RUU KUHAP tertanggal 20 Maret 2025, [5] dimana dijelaskan dalam Pasal 221 RUU KUHAP tersebut, Penuntut Umum diberikan kewenangan untuk melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat dalam hal terdakwa mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum setelah penuntut umum membacakan surat dakwaan.

Dalam ketentuan tersebut, RUU KUHAP membuat persyaratan yang ketat bahwa tindak pidana didakwakan memiliki ancaman pidana penjara tidak lebih dari 7 tahun.

Selanjutnya pengakuan terdakwa di depan sidang tersebut dituangkan dalam Berita Acara seperti perjanjian yang ditandatangani oleh penuntut umum beserta terdakwa. Namun disini hakim dapat menolak pengakuan terdakwa yang dituangkan dalam Berita Acara dalam hal hakim ragu terhadap pengakuan yang dilontarkan terdakwa.

Dalam hal hakim menyetujui kesepakatan antara penuntut umum dan terdakwa maka maksimal pidana yang dapat diberikan kepada terdakwa tidak boleh lebih dari 2/3 dari ancaman maksimal tindak pidana yang didakwakan.

Sejatinya keberhasilan praktek plea bargain pada sistem peradilan pidana Amerika dadasarkan pada fakta bahwa sistem di Amerika ini bersifat adversarial dimana menempatkan hakim dalam posisi pasif, seperti "wasit". Hakim hampir sepenuhnya bergantung pada kedua pihak yakni penuntut umum dan pembela, untuk menyusun, mengartikulasikan, dan menyajikan catatan fakta hukum.

Hakim jelas tidak dapat mengambil langkah apa pun untuk menemukan, memverifikasi, atau menilai informasi tentang kasus tersebut guna mengevaluasi fakta yang dituduhkan terhadap terdakwa. Akibatnya, para pihak, penuntut umum dan pembela, jelas mengendalikan hasil kasus, baik dengan menegaskan hak-hak mereka maupun dengan menawar hak-hak tersebut.

Meskipun demikian, pada praktiknya negara dengan menganut sistem inquisitorial tetap mengadopsi model plea bargain. Namun terdapat dua hambatan utama dalam penerapan konsep plea bargain di negara-negara yang menganut sistem hukum inquisitorial seperti di Indonesia. Pertama adalah perbedaan mendasar dalam konsep keadilan, dalam sistem adversarial para pelaku sistem peradilan pidana dibentuk untuk saling beradu argumen guna mengungkap kebenaran di ruang sidang.

Dalam konteks ini, proses negosiasi dianggap wajar sebagai bagian dari pencarian keadilan. Sebaliknya, dalam sistem inquisitorial, setiap perkara harus disidangkan demi kepentingan umum, tanpa membuka ruang untuk kompromi atau negosiasi. Oleh karena itu, pengakuan terdakwa diperlakukan hanya sebagai salah satu alat bukti di persidangan, bukan sebagai dasar untuk menghindari proses peradilan seperti yang berlaku dalam sistem adversarial.

Kemudian sistem adversarial menganut konsepsi sintetik dalam penggalian kebenaran yang berarti bahwa para pihak di persidangan adalah penentu kebenaran terhadap suatu perkara sehingga kedudukan penuntut umum dan pembela seimbang. Sedangkan dalam sistem inquisitorial, diupayakan untuk mencari kebenaran materil, ini berarti bahwa prosedur pidana dirancang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sehingga hakim mengambil peran penting dalam proses peradilan, alih-alih bertumpu pada pertarungan antara penuntut umum dan penasihat hukum di persidangan. [6]

Kedua hambatan ini yang meyakinkan konsep plea bargain hanya bisa berjalan di sistem adversarial yang menempatkan para pihak, jaksa penuntut umum dan terdakwa maupun penasihat hukum  sejajar dalam pencarian kebenaran materiil. Sehingga dapat secara bersama-sama sepakat untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan. Namun bukan berarti sistem inquisitorial tidak bisa mengadopsi mekanisme yang dapat memangkas waktu proses persidangan ini.

Kesimpulan

Demi menyelaraskan dengan sistem inquisitorial, Indonesia tidak mengadopsi secara utuh konsep plea bargain seperti halnya di Amerika, melalui “Jalur Khusus“. Indonesia lebih menekankan kepada keseimbangan proses antara penuntut umun, terdakwa (penasihat hukum) yang ditengahi oleh hakim sebagai penengah dan pemegang kekuasaan dalam proses peradilan pidana (Judex set lex laguens) atau dalam bahasa Indonesia, hakim adalah hukum yang berbicara.

Sudah barang tentu proses negosiasi itu harus diawasi oleh hakim karena gagasan untuk mempersingkat proses peradilan pidana merupakan hal yang pasti namun disini harus diperhatikan bahwa model negosiasi itu didasarkan pada praktik itikad baik sehingga terhindarkan dari praktik suap dan kolusi demi menyongsong proses peradilan pidana yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. (ZM/LDR)

 

Referensi:

[1] Jeff Wallenfeldt, Salem witch trials. Encyclopedia Britannica, https://www.britannica.com/event/Salem-witch-trials, diakses pada tanggal 26 Juli 2025.

[2] Emilio C. Viano, Plea Bargaining in the United States: A Perversion of Justice, International Review of Penal Law, Vol. 83, hlm. 110, https://droit.cairn.info/journal-revue-internationale-de-droit-penal-2012-1-page-109?lang=en&tab=texte-integral.

[3] Brady v. United States, 397 U.S. 742 (1970).

[4] Santobello v. New York, 404 U.S. 257 (1971), hlm. 261

[5] Draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tanggal 20 Maret 2025, dari Institute Criminal Justice Reform, https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf  

Baca Juga: Pengaturan Penahanan dalam RUU KUHAP: Perbandingan dengan KUHAP Belanda

[6] Erik Luna and Marianne Wade, The Prosecutor in Transnational Perspective, Oxford University Press, 2012. DOI:10.1093/acprof:osobl/9780199844807.001.0001

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI