Pemerintah
dan DPR saat ini sedang berfokus pada penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU KUHAP) yang ditargetkan akan selesai pada akhir tahun 2025. Hal ini
dikarenakan keberlakuan dari RUU KUHAP ini akan selaras dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Perjalanan
pengesahan RUU KUHAP menjadi undang-undang merupakan suatu perjalanan yang
sangat panjang dan unik sebab tujuan atau esensi dari KUHAP yang baru yaitu pada
peningkatan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan efisiensi proses
peradilan.
Apabila
dicermati, banyak persoalan yang dapat dijadikan diskusi mengenai substansi
yang terdapat dalam RUU KUHAP. Salah
satu materi pokok yang menarik untuk dibahas adalah mengenai pengaturan penahanan.
Sebagaimana diketahui, pengaturan mengenai penahanan merupakan sesuatu yang
fundamental terutama bagi Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara.
Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law
Dalam tulisan ini, Penulis hendak membandingkan
pengaturan penahanan dalam RUU KUHAP (Versi Tanggal 20 Maret 2025), yang terdiri
atas 20 (dua puluh) BAB dan 334 (tiga ratus tiga puluh tiga) Pasal, dengan Wetboek Van Strafvordering (SV)/Staatsblad 2023 Nomor 242 (KUHAP
Belanda).
Ketentuan mengenai penahanan saat ini diatur dalam
ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dimana terdapat dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (4) yang merupakan syarat
subjektif dan objektif untuk tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penahanan.
Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai penahanan
ini menimbulkan dinamika, hingga Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara
terkait dengan penahanan diantaranya adalah Putusan MK Nomor 69/PUU-X/2012,
Putusan MK Nomor 68/PUU-XI/2013, dan Putusan MK Nomor 103/PUU-XIV/2016. Dimana
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bermaksud untuk menyempurnakan dari aturan
yang sudah ada demi terlindunginya hak asasi manusia.
Pengaturan mengenai penahanan existing sebagaimana diatur dalam UU 8/1981, perlu ada perubahan
yang dituangkan dalam Pasal 92 sampai dengan Pasal 104 RUU KUHAP. Seperti
halnya Pasal 21 UU 8/1981, syarat objektif untuk dapat dilakukannya penahanan,
yaitu tersangka atau terdakwa dilakukan penahanan terhadap tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan dalam hal tindak
pidana tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun tetap dapat
dilakukan penahanan apabila tindak pidana tersebut memenuhi beberapa ketentuan
pasal KUHP sebagaimana termuat dalam Pasal 93 ayat (2) RUU KUHAP. Yang
membedakan disini adalah syarat subjektif yang diatur dalam Pasal 93 ayat (5)
RUU KUHAP lebih rinci dalam menjelaskan dapat tidaknya tersangka atau terdakwa
dilakukan penahanan, dimana disyaratkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang
sah dan tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan diantaranya yaitu;
1.
Mengabaikan
panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
2.
Memberikan
informasi yang tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan;
3.
Tidak
bekerja sama dalam pemeriksaan;
4.
Menghambat
proses pemeriksaan;
5.
Berupa
melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dsb.
RUU KUHAP dalam Pasal 93 tersebut memberikan
penjelasan yang lebih rinci mengenai krtieria dalam syarat subjektif seorang
tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penahanan, dan tentunya RUU KUHAP ini
melengkapi puzzle dalam pengaturan
penahanan berdasarkan UU 8/1981.
Selanjutnya, kita akan bandingkan dengan ketentuan
penahanan berdasarkan Wetboek Van
Strafvordering (SV)/Staatsblad 2023
Nomor 242, dimana dalam ketentuan Pasal 67 dijelaskan mengenai syarat objektif
dari suatu penahanan dapat diberikan dalam hal adanya dugaan tindak pidana yang
menurut hukum diancam pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan tindak
pidana lain dalam KUHP Belanda sebagaimana Pasal 67 ayat (1) huruf b.
WvS belanda juga merinci terhadap tindak pidana yang
disebutkan dalam undang-undang listrik, undang-undang gas, undang-undang hewan,
dan undang-undang terorisme, serta undang-undang lainnya sebagaimana pasal 67
ayat (1) huruf c. Artinya adalah, pengaturan syarat objektif mengenai tindak
pidana apa saja yang dapat dilakukan penahanan menurut KUHAP Belanda jauh lebih
luas karakteristiknya tidak hanya terbatas pada tindak pidana umum yang diatur
dalam KUHP Belanda, tetapi juga tindak pidana khusus yang diatur diluar KUHP
Belanda.
Selanjutnya, KUHAP Belanda mengatur mengenai syarat
subjektif dalam Pasal 67a yang mana menjelaskan mengenai perintah penahanan
hanya dapat diberikan jika perilaku tersangka menunjukan adanya resiko
melarikan diri dan adanya alasan penting bagi keamanan yang memerlukan
perampasan kemerdekaan (vrijheidsbeneming)
yang mana terhadap alasan keamanan masyarakat itu sendiri terdapat kriteria dan
kualifikasi seperti; (i) dugaan tindak pidana yang diancam 12 (dua belas) tahun
atau lebih; (ii) tersangka akan melakukan tindak pidana yang diancam pidana
penjara selama 6 (enam) tahun atau lebih.
Selain syarat penahanan sebagaimana dijelaskan
diatas, substansi atau materi menarik lain dalam KUHAP Belanda yang perlu kita
lihat yaitu berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk mencabut perintah
penahanan (voorlopige hechtenis).
Ketentuan semacam ini yang tidak dimiliki dalam
KUHAP saat ini maupun RUU KUHAP. Dijelaskan dalam Pasal 69 KUHAP Belanda, bahwa
pengadilan dapat melakukan atas kewenanganya atau permintaan dari tersangka
atau atas saran hakim komisaris atau atas permintaan penuntut umum.
Kewenangan pencabutan atas perintah penahanan yang
dapat dilakukan oleh pengadilan menurut pandangan penulis merupakan sesuatu
yang tepat apabila dapat diimplementasikan dalam RUU KUHAP nantinya. Sebab
esensi dari adanya KUHAP yang paling fundamental adalah terwujudnya hak asasi
manusia.
Oleh sebab itu, dengan kewenangan yang pengadilan
miliki demi menjamin terwujudnya hak asasi manusia atas upaya paksa, pengadilan
dapat menilai apakah penahanan tersebut sudah sesuai atau tidak berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terlebih apabila keberadaan dari hakim komisaris
untuk menggantikan praperadilan nantinya berhasil diwujudkan, tentu dalam hal
penahanan juga akan dilakukan oleh hakim komisaris sebagai bentuk pengawasan
langsung atas hak asasi manusia.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP
Penutp
Hadirnya RUU KUHAP sebagai bentuk dari sinergitas atas disahkannya KUHP Nasional merupakan wujud syukur dan upaya pembenahan sistem peradilan menjadi lebih baik. Akan tetapi, perlu diperhatikan mengenai substansi dalam KUHAP sebelum disahkan dan diberlakukan. Perlu lebih banyak waktu dan kesempatan untuk membuka ruang diskusi dan tukar pendapat, guna terwujudnya sistem peradilan yang baik, dan perlindungan bagi warga negara. (aar/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI