Athoillah Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya

Salah satu tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah masih maraknya praktik korupsi. Selain merugikan keuangan negara, praktik korupsi juga menyebabkan negara kesulitan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk melayani dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah terdakwa mencapai 1.695 orang. Jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yakni 579 kasus dengan 1.396 terdakwa pada tahun 2022 dan 533 kasus, 1.173 terdakwa pada tahun 2021.

Data tersebut sejalan dengan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92, yakni mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan IPAK tahun 2023. Pada nilai indeks tersebut, semakin rendah nilainya (semakin mendekati nol) berarti bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi. Sebaliknya, semakin tinggi nilanya (semakin mendekati 5) menunjukkan bahwa masyarakat semakin berperilaku antikorupsi. 

Data yang serupa menunjukkan bahwa praktik korupsi masih cukup marak dirilis oleh Transparansi International dalam Corruption Perception Index (CPI). Data pada tahun 2022 menunjukan Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34/100. Skor ini bertahan pada tahun 2023 dan menyebabkan Indonesia berada pada posisi 115. Skor 34/100 berarti bahwa Indonesia memiliki nilai yang sama dengan Ekuador, Malawi, Pilipina, Srilanka dan Turki. Khususnya di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara.

Masih maraknya praktik korupsi ditengah banyaknya kasus korupsi yang terungkap dan diputus oleh pengadilan, sering kali melahirkan pertanyaan: jika sudah banyak pelaku korupsi dihukum, kenapa masih ada dan “bahkan” banyak korupsi berikutnya? Jika demikian, apakah penerapan hukuman melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi belum mampu mencegah terjadinya korupsi berikutnya? 


Jawaban atas pertanyaan tersebut “tentu saja” sangat beragam. Salah satunya adalah karena praktik korupsi yang terbongkar hingga diputus terbukti di persidangan, tidak diimbangi dengan dibangunnya sistem pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam praktik umum yang terjadi, jika suatu dugaan korupsi terbongkar, respon pertama yang dilakukan adalah membuat deklarasi anti korupsi yang berisi komitmen untuk tidak korupsi, namun bagaimana agar tidak terjadi lagi korupsi baik perbaikan sistem kerja dan pengawasannya, seringkali diabaikan.

Dalam RPJPN Tahun 2025-2045 setidaknya terdapat tiga uraian mengenai pencegahan korupsi, yakni:

Pertama, penguatan upaya pencegahan korupsi melalui pembatasan transaksi tunai terutama dalam pemerintahan, penguatan sistem pelaporan harta kekayaan ASN, pemanfaatan teknologi informasi pada berbagai sektor untuk mempersempit potensi korupsi;

Kedua penguatan pengawasan dan pencegahan korupsi melalui penguatan dan indepedensi lembaga pengawasan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia, 

Ketiga lemahnya pengawasan dan sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait menjadi pemicu utama rendahnya integritas tata kelola pemerintah daerah dan desa. Dari ketiga narasi ini, maka selain sistem pengawasan yang harus diperbaiki, juga adanya kesadaran bahwa “sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait” yang belum maksimal.

Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi karena ketidak sengajaan. Ada niat dan usaha untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya, selain melalui pesan-pesan moral, yang paling penting adalah membangun sistem yang mampu mencegahkan, setidaknya, menjadikan niat untuk korupsi menjadi sulit direalisasikan. 

Secara umum, banyak orang sependapat bahwa hukum yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa diharapkan memberikan efek jera, baik bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya maupun memberi pesan kuat kepada pihak lain bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan jika dilanggar, ada sanksinya. 

Terbuktinya perbuatan korupsi senyatanya tidak semata terbuktinya perbuatan terdakwa melakukan tindakan korupsi, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. 

Untuk itu, jika ingin melakukan pencegahan dari terjadinya, bahkan, terulangnya perbuatan korupsi, para pengambil kebijakan seyogyanya mulai menggunakan putusan pengadilan sebagai bahan penting melakukan perbaikan dan membangun sistem anti korupsi.

Secara lebih kongkrit dan praktis, pembangunan pencegahan korupsi seyogyanya menggunakan putusan pengadilan sebagai referensi penting, karena dalam putusan tersebut, tergambarkan bagaimana perbuatan korupsi terjadi. Dengan demikian, maka putusan pengadilan khususnya dalam perkara Tipikor, tidak hanya terkait dengan pertanggungjawaban pelaku, namun juga memiliki manfaat yang lebih luas utamanya dalam membangun sistem dan strategi pencegahan korupsi. 

Para hakim melalui putusannya menyajikan uraian fakta dan pertimbangan bagaimana praktik korupsi terjadi. Uraian tersebut sejatinya tidak semata menunjukkan bagaimana terdakwa melakukan perbuatannya, tapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dengan mengetahui celah-celah tersebut, maka upaya membangun sistem pencegahan korupsi seharusnya lebih mudah dilakukan.

Strategi pencegahan korupsi sebenarnya bersifat “tailor made”: menyesuaikan dengan keadaan penggunanya. Tidak ada strategi yang secara umum bisa efektif diberlakukan pada semua tempat karena situasi bisa jadi berbeda-beda. Oleh karena itu, maka bagi instansi yang pernah terjadi praktik korupsi dan telah diputus oleh Pengadilan, dapat mengambil pelajaran dari praktik yang terjadi sebelumnya melalui dalam merumuskan sistem pencegahan. Karena tanpa dibuatnya sistem pencegahan hanya akan melahirkan praktik korupsi berulang. Bukan begitu?

(LDR)