Cari Berita

Membumikan Bahasa Hukum dalam Peliputan Peradilan

article | Serba-serbi | 2025-09-19 08:15:50

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Kutipan dari Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan asal Blora, Jawa Tengah yang sudah sering Kita dengar tersebut memiliki makna mendalam. Quotes populer Pram, Sang Penulis roman terkenal Tetralogi Pulau Buru itu menunjukkan arti penting menulis, sebab dari tulisanlah Kita dapat mengetahui eksistensi pemikiran serta sejarah masa lampau hingga perkembangannya di era modern saat ini. Tanpa adanya tulisan, jejak masa lalu hanya akan terkubur tanpa meninggalkan catatan apapun.Salah satu profesi yang sangat berhubungan dengan penulisan adalah pekerjaan dalam bidang jurnalistik seperti Tim Dandapala Ditjen Badilum. Jurnalis atau wartawan, yang bertugas melakukan peliputan atau reportase dengan mengumpulkan bahan berita, pada akhirnya akan menghasilkan produk berupa informasi yang sebagian besar dalam bentuk tulisan untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam melakukan aktivitas jurnalistiknya, selain berpedoman kepada kode etik, agar berita yang dihasilkan mudah dimengerti, akurat dan dapat dipercaya, seorang jurnalis atau wartawan juga harus memahami prinsip-prinsip ataupun teknik-teknik dasar jurnalistik.Namun siapa sangka, prinsip atau teknik dasar dalam kerja-kerja jurnalistik ternyata mempunyai kaitan yang erat dalam pelaksanaan tugas-tugas yudisial oleh Hakim. Berikut beberapa prinsip dan teknik dasar jurnalistik yang mungkin pernah Kita amati dan dipraktekkan oleh Hakim di pengadilan:1.  Prinsip Cover Both SidePrinsip penting dalam jurnalistik ini menekankan pemberitaan yang dilakukan secara berimbang, tidak memihak, serta melihat dari kedua sudut pandang. Menurut Suprihatma dan Awendsa Urfatunnisa dalam bukunya “Jurnalistik dalam Perspektif Bahasa Indonesia” (2023: 48), Cover Both Side atau disebut juga News Balance diartikan sebagai perlakuan adil terhadap semua pihak yang menjadi objek berita, dengan meliput semua atau kedua belah pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa.Dalam praktek peradilan, prinsip ini identik dengan asas audi et alteram partem sebagai perwujudan fair trial process dalam bentuk mendengarkan kedua belah pihak secara berimbang. Hakim dalam mengadili suatu perkara wajib mendengarkan dan memberikan kesempatan yang sama secara impartial kepada kedua belah pihak dalam mengemukakan dalil atau mengajukan bukti pada saat di persidangan untuk selanjutnya dipertimbangkan dalam Putusan.  2.  Prinsip Kebenaran (Fairness Doctrine) dan Akurasi (Check and Re-check)Tanggung jawab seorang jurnalis adalah menemukan dan menyampaikan kebenaran serta selalu melakukan double check atas fakta atau bahan berita yang ditemukan sebelum memberitakan dan menyebarluaskannya kepada publik.Dengan mematuhi prinsip ini, maka informasi atau berita yang disampaikan akan memiliki nilai tinggi dan dapat dipercaya masyarakat yang pada muaranya akan menjaga kredibilitas profesi jurnalis. Prinsip ini biasanya dilakukan Hakim dalam dalam rangka mencari dan menemukan kebenaran, baik kebenaran materiil dalam hukum acara pidana maupun kebenaran formil dalam hukum acara perdata.Proses tersebut dilakukan dengan melakukan kroscek atau verifikasi atas alat-alat bukti dan menilai saling persesuaiannya satu sama lain sebelum dirumuskan sebagai fakta hukum sebagai dasar penjatuhan Putusan sesuai hukum yang berlaku. Putusan yang dijatuhkan atas dasar kebenaran demi menegakkan keadilan, pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik yang mengarah pada kewibawaan lembaga peradilan.3.  Teknik WawancaraSalah satu teknik reportase untuk mengumpulkan bahan berita yang umum dilakukan oleh jurnalis atau wartawan adalah dengan melakukan wawancara, yaitu bertanya untuk menggali informasi atau keterangan dari narasumber. Menyusun kerangka liputan (outline) dengan mengumpulkan informasi awal dan membuat daftar pertanyaan sebelum melakukan wawancara akan memudahkan wartawan pada saat melakukan reportase di lapangan.Dalam persidangan, teknik ini sama dengan yang dilakukan Hakim pada saat melakukan pemeriksaan alat bukti berupa bertanya kepada saksi atau ahli yang diajukan. Mempelajari berkas perkara dan alat bukti lainnya terlebih dahulu lalu menyusun daftar pertanyaan yang relevan dengan pembuktian, menjadikan persidangan yang dipimpin Hakim lebih efektif dan terarah sebagai penerapan asas sederhana.4.  Teknik Penulisan Berita atau informasi yang disampaikan dalam jurnalistik cetak seperti surat kabar atau majalah maupun jurnalistik online melalui media internet sebagian besar adalah berbentuk tulisan. Oleh karena itu, penguasaan teknik penulisan seperti bahasa jurnalistik dengan ciri ringkas dan lugas serta ketelitian substansi oleh jurnalis merupakan hal yang sangat penting agar berita yang disampaikan mudah dimengerti oleh siapapun.Putusan sebagai mahkota Hakim yang merupakan kesimpulan akhir dari suatu proses perkara terwujud dalam dokumen berbentuk tertulis. Meski Putusan Hakim (kecuali Putusan MK) hanya bersifat inter partes yang mengikat para pihak bersengketa, kemampuan menyusun Putusan secara sistematis dengan bahasa yang mudah dimengerti menjadikan publik memperoleh pemahaman atas pertimbangan hukum yang dihasilkan. (asp/ldr)

Semiologi Penggunaan Bahasa Hukum di Pengadilan: Mengapa Hakim Perlu Mempelajari Semiologi?

article | Berita | 2025-07-28 08:10:42

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa bahasa hukum terasa begitu "asing" dan sulit dipahami? Mengapa satu kata dalam konteks hukum bisa memiliki makna yang sangat berbeda dengan penggunaan sehari-hari? Di sinilah semiologi berperan sebagai kunci untuk membuka tabir kompleksitas bahasa hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Semiologi, sebagai ilmu yang mempelajari tanda dan makna (Saussure, 1916), menawarkan perspektif menarik untuk memahami bagaimana bahasa hukum bekerja dalam proses pembuktian di pengadilan. Bahasa hukum bukan sekadar rangkaian kata-kata formal, melainkan sistem komunikasi yang penuh dengan lapisan makna tersembunyi yang dapat menentukan nasib seseorang di hadapan hukum. Anatomi Bahasa Hukum Indonesia: Warisan yang Membingungkan Bayangkan bahasa hukum sebagai sebuah kode rahasia yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu. Untuk membongkarnya, Ferdinand de Saussure mengajarkan bahwa setiap kata memiliki dua sisi: bentuk (signifier) dan makna (signified). Meskipun dalam konteks hukum Indonesia, fenomena ini menjadi semakin kompleks. Ambil contoh sederhana kata "itikad baik" dalam hukum perdata. Secara harfiah, frasa ini mudah dipahami, namun dalam konteks hukum, makna "itikad baik" bisa sangat beragam tergantung pada kasus yang dihadapi. Seorang hakim mungkin menginterpretasikan "itikad baik" dalam kontrak jual beli berbeda dengan kasus perceraian. Inilah yang membuat bahasa hukum menjadi "hidup" dan dinamis namun sering membingungkan. Charles Sanders Peirce memberikan sudut pandang lain yang menarik melalui konsep ikon, indeks, dan simbol (Peirce, 1931). Dalam ruang persidangan, kata "terdakwa" bukan sekadar label, melainkan simbol yang membawa serta seluruh konsep presumsi tidak bersalah. Dan setiap kali hakim menyebut "terdakwa", sebenarnya secara tidak langsung tercipta ekspektasi hukum yang kompleks. Apa yang menarik adalah bagaimana bahasa hukum Indonesia menciptakan realitas tersendiri. Ketika seorang jaksa mengatakan "dakwaan" dalam persidangan, dia tidak hanya menyampaikan tuduhan, tetapi juga membangun narasi hukum yang akan menjadi dasar pembuktian. Karenanya, setiap pilihan kata menjadi strategi komunikasi yang dapat mempengaruhi persepsi hakim dan hasil putusan. Bahasa hukum Indonesia sendiri memiliki DNA yang unik. Sebagai warisan dari sistem civil law Belanda, struktur bahasa hukum kita cenderung formal dan hierarkis. Terminologi seperti "perbuatan melawan hukum" atau "keadaan memaksa" telah menjadi bagian integral dari kosakata hukum Indonesia (Mertokusumo, 2014). Warisan yang kita adopsi tersebut pada prinsipnya menciptakan fenomena menarik di mana satu terminologi bisa memiliki interpretasi berbeda dalam konteks hukum pidana, perdata, atau administratif (Wignjosoebroto, 2013). Hal yang menunjukkan bahwa bahasa hukum Indonesia bukan monolitik, melainkan multidimensional. Persidangan sebagai Teater Tanda dan Makna: Mengapa Semiotika Penting dalam Putusan Ruang persidangan sesungguhnya adalah panggung di mana berbagai tanda dan makna saling berinteraksi. Setiap pernyataan saksi, setiap dokumen yang diajukan, setiap argumentasi pengacara adalah tanda yang harus "dibaca" dan diinterpretasikan oleh hakim. Proses pembuktian, dalam perspektif semiologis, adalah proses konstruksi makna yang sangat kompleks. Hakim sendiri seharusnya berperan sebagai "penerjemah utama" yang  mentransformasi berbagai tanda yang muncul dalam persidangan menjadi putusan yang memiliki kekuatan hukum. Proses ini jauh dari sederhana karena melibatkan seleksi, interpretasi, dan kombinasi berbagai elemen informasi yang tersedia (Eco, 1976). Kualitas interpretasi hakim sendiri sangat bergantung pada pemahamannya terhadap "kode" semiologis yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Dimana  seorang hakim yang memahami nuansa makna sebenarnya akan mampu menghasilkan putusan yang lebih adil dan komprehensif dibandingkan dengan yang hanya mengandalkan pendekatan tekstual semata. Bagian yang paling menarik dan jarang dipahami adalah hakim tidak hanya bertugas memutus perkara, tetapi juga berkomunikasi dengan masyarakat melalui putusannya. Sebuah putusan pengadilan bukan hanya dokumen hukum internal, melainkan juga instrumen komunikasi publik yang harus dapat diakses dan dipahami oleh para pencari keadilan. Bayangkan jika seorang hakim mampu menerapkan prinsip semiotika dengan baik dalam menyusun putusan. Dia akan memperhatikan tiga dimensi penting: bagaimana menyusun struktur kalimat yang sistematis dan logis (dimensi sintaksis), bagaimana memilih terminologi yang tepat dan konsisten (dimensi semantik), dan bagaimana mempertimbangkan konteks sosial serta dampak komunikatif putusan (dimensi pragmatik) (Morris, 1938). Ketika hakim berhasil mengkomunikasikan alasan-alasan hukum dengan bahasa yang jelas namun tetap presisi, legitimasi putusan di mata masyarakat akan meningkat signifikan. Sebaliknya, putusan yang terlalu teknis dan sulit dipahami dapat menimbulkan skeptisisme dan mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Untuk mengoptimalkan fungsi semiologis bahasa hukum di pengadilan, pengembangan kamus terminologi hukum yang komprehensif dan mudah diakses menjadi kebutuhan mendesak. Tentu kita bisa membayangkan bagaimana baiknya jika setiap praktisi hukum memiliki akses terhadap panduan yang jelas mengenai makna dan penggunaan terminologi hukum dalam berbagai konteks. Selain itu pelatihan semiologis bagi hakim juga dapat meningkatkan kesadaran terhadap dimensi makna dalam bahasa hukum. Pelatihan ini bukan hanya akan membantu mereka memahami nuansa makna, tetapi juga mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih efektif dengan masyarakat. Terakhir, standardisasi penggunaan bahasa hukum dalam dokumen persidangan juga dapat mengurangi ambiguitas interpretasi dan meningkatkan konsistensi putusan. Standar ini harus fleksibel namun tetap mempertahankan presisi yang diperlukan dalam komunikasi hukum.Semiologi memberikan lensa yang menarik untuk memahami kompleksitas bahasa hukum dan proses pembuktian di pengadilan Indonesia. Pendekatan semiologis membantu kita melihat bagaimana makna dikonstruksi, ditransmisikan, dan diinterpretasikan dalam konteks yuridis. Pemahaman yang mendalam terhadap dimensi semiologis bahasa hukum bukan hanya memperkaya perspektif akademis, tetapi juga berkontribusi nyata pada peningkatan kualitas Putusan. Pada akhirnya, hal ini akan mendukung tercapainya keadilan yang substantif dalam sistem peradilan Indonesia. Karena secara universal salah satu indikator putusan yang baik adalah yang menggunakan bahasa hukum yang dapat menjembatani jurang antara kompleksitas hukum dan kebutuhan masyarakat untuk memahami keadilan, dan semiologi menawarkan jalan untuk mencapai keseimbangan tersebut. (YPY/LDR) Daftar Bacaan Umberto Eco, (1976). A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Sudikno Mertokusumo, (2014). Teori Hukum. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Charles W. Morris  (1938). Foundations of the Theory of Signs. Chicago: University of Chicago Press. Charles Sanders Peirce (1931). Collected Papers of Charles Sanders Peirce. Cambridge: Harvard University Press.