Cari Berita

Dari Emansipasi ke Ekosipasi (Hukum Sasi di Maluku)

article | Opini | 2025-07-13 14:00:49

Suatu artikel menarik berjudul “Jalan Menuju Ekosipasi” diterbitkan oleh Tempo (25/6/2025). Gagasan yang diajukan dalam artikel itu: sudah saatnya alam menjadi subjek hukum, layaknya korporasi. Alam dapat menggugat dan digugat. Bagi sebagian orang, ide itu mungkin terdengar absurd. Namun, begitulah tren dunia hukum kini bergerak. Tuntutan telah berkembang. Sudah lama isu hukum hanya berputar pada narasi emansipasi, yakni perjuangan membebaskan manusia dari ketidakadilan dan ketimpangan kekuasaan. Emansipasi memberi kita berbagai instrumen hukum untuk melindungi buruh, anak, perempuan, hingga kelompok minoritas. Namun kini, dunia menghadapi tantangan yang lebih mendasar dan eksistensial: kerusakan alam. Maka, sudah waktunya hukum bergerak menuju narasi baru: ekosipasi, yakni pembebasan alam dari eksploitasi berlebihan dan tak bertanggung jawab. Peradaban hukum baru mendorong hukum Indonesia untuk segera mengakui hutan, tumbuhan, dan hewan sebagai subjek hukum. Mereka bukan sekadar latar atau sumber daya, tetapi memiliki kepentingan hukum yang layak dilindungi secara aktif. Sebagaimana anak di bawah umur diwakili oleh orang tua, serta korporasi sebagai fiksi hukum yang diwakili oleh direksi. Sekarang, orang mulai mengajukan ide agar alam menjadi subjek hukum, dengan masyarakat adat dan/atau organisasi pelindung lingkungan sebagai pengampu atau wali. Ekuador dan Selandia Baru, pendekatan ini telah diadopsi. Di sana, sungai dan hutan memperoleh kedudukan hukum, yang memungkinkan mereka menggugat dan digugat. Indonesia punya modal sosial dan kultural untuk memulai ini. Sebut saja peran Kewang (petugas adat) di negeri-negeri (negeri: desa) Maluku. Kewang bertugas sebagai pelindung hutan dan laut negeri. Tugas utama Kewang adalah menaruh sasi (larangan adat) terhadap laut dan hutan negeri. Selama sasi berlaku, masyarakat negeri dilarang memasuki hutan atau laut yang sedang disasi. Tujuannya: agar hutan dan laut diberi waktu untuk memulihkan ekosistem sebelum kembali digarap oleh masyarakat. Ikan diberi waktu untuk berkembang biak, mangga, pisang, dan kelapa diberi waktu untuk berbuah. Setelah sasi diangkat oleh Kewang, barulah masyarakat dapat memasuki hutan dan laut untuk mencari kebutuhan hidupnya. Masyarakat yang melanggar sasi akan menerima sanksi adat (seperti denda). Di negeri-negeri Maluku, hutan dan laut telah memiliki pengakuan adat sebagai subjek hukum. Tradisi sasi telah mempraktikkan ekosipasi. Ekosipasi adalah arah baru bagi hukum yang visioner. Jika kita bisa menjadikan korporasi sebagai subjek hukum demi akumulasi laba, maka tidak ada cukup alasan untuk menolak menjadikan alam sebagai subjek hukum. Sebagai anak negeri kepulauan, ide ekosipasi seharusnya menjadi milik kita. Peradaban hukum dunia kini telah bergerak ke arah kita. Bergerak dari sekadar emansipasi menuju ekosipasi. (LDR)

Komitmen Berintegritas, PN Bobong Lakukan Public Campaign dan Penyuluhan Hukum

article | Berita | 2025-05-08 15:10:49

Bobong. Pengadilan Negeri (PN) Bobong, Kab. Kepulauan Sula menyelenggarakan kegiatan kampanye publik dan penyuluhan hukum di Kantor Desa Wayo, Kabupaten Pulau Taliabu, pada Senin 6/5. Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen lembaga tersebut dalam meningkatkan transparansi pelayanan dan edukasi hukum kepada masyarakat. Dr. Syamsuni, selaku Ketua PN Bobong menyatakan dalam sambutannya menyatakan PN Bobong siap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat sesuai dengan SOP yang berlaku. Ketua PN Bobong juga meminta masyarakat untuk melaporkan apabila ada dugaan-dugaan tindakan yang tercela. Kegiatan dilanjutkan dengan penyuluhan hukum yang mencakup dua materi: “Prosedur Gugatan Sederhana” oleh Fikran Warnangan dan “Mekanisme Perkara Permohonan” oleh Adhlan Fadhilla Ahmad. Acara penyuluhan hukum ini berlangsung interaktif karena peserta antusias mengajukan pertanyaan seputar permasalahan yang mereka hadapi. Brosur panduan layanan kepaniteraan perdata turut dibagikan sebagai bahan edukasi. Abdullah, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Desa Wayo, mengapresiasi acara ini. “Pemahaman hukum dari PN Bobong sangat membantu kami menangani masalah administrasi warga. Ternyata banyak persoalan yang bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan,” ujarnya usai acara. Dengan terselenggaranya Public Campaign ini, PN Bobong menegaskan kembali komitmennya untuk terus menjaga integritas, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta mewujudkan sistem peradilan yang bersih, transparan, dan terpercaya. (LDR)