Suatu artikel menarik berjudul “Jalan Menuju Ekosipasi” diterbitkan oleh Tempo (25/6/2025). Gagasan yang diajukan dalam artikel itu: sudah saatnya alam menjadi subjek hukum, layaknya korporasi. Alam dapat menggugat dan digugat. Bagi sebagian orang, ide itu mungkin terdengar absurd. Namun, begitulah tren dunia hukum kini bergerak. Tuntutan telah berkembang.
Sudah lama isu hukum hanya berputar pada narasi emansipasi, yakni perjuangan membebaskan manusia dari ketidakadilan dan ketimpangan kekuasaan. Emansipasi memberi kita berbagai instrumen hukum untuk melindungi buruh, anak, perempuan, hingga kelompok minoritas.
Namun kini, dunia menghadapi tantangan yang lebih mendasar dan eksistensial: kerusakan alam. Maka, sudah waktunya hukum bergerak menuju narasi baru: ekosipasi, yakni pembebasan alam dari eksploitasi berlebihan dan tak bertanggung jawab.
Baca Juga: PN Tual Gelar Public Campaign ZI, No Korupsi No Gratifikasi
Peradaban hukum baru mendorong hukum Indonesia untuk segera mengakui hutan, tumbuhan, dan hewan sebagai subjek hukum. Mereka bukan sekadar latar atau sumber daya, tetapi memiliki kepentingan hukum yang layak dilindungi secara aktif. Sebagaimana anak di bawah umur diwakili oleh orang tua, serta korporasi sebagai fiksi hukum yang diwakili oleh direksi.
Sekarang, orang mulai mengajukan ide agar alam menjadi subjek hukum, dengan masyarakat adat dan/atau organisasi pelindung lingkungan sebagai pengampu atau wali. Ekuador dan Selandia Baru, pendekatan ini telah diadopsi. Di sana, sungai dan hutan memperoleh kedudukan hukum, yang memungkinkan mereka menggugat dan digugat.
Indonesia punya modal sosial dan kultural untuk memulai ini. Sebut saja peran Kewang (petugas adat) di negeri-negeri (negeri: desa) Maluku. Kewang bertugas sebagai pelindung hutan dan laut negeri. Tugas utama Kewang adalah menaruh sasi (larangan adat) terhadap laut dan hutan negeri.
Selama sasi berlaku, masyarakat negeri dilarang memasuki hutan atau laut yang sedang disasi. Tujuannya: agar hutan dan laut diberi waktu untuk memulihkan ekosistem sebelum kembali digarap oleh masyarakat. Ikan diberi waktu untuk berkembang biak, mangga, pisang, dan kelapa diberi waktu untuk berbuah. Setelah sasi diangkat oleh Kewang, barulah masyarakat dapat memasuki hutan dan laut untuk mencari kebutuhan hidupnya. Masyarakat yang melanggar sasi akan menerima sanksi adat (seperti denda). Di negeri-negeri Maluku, hutan dan laut telah memiliki pengakuan adat sebagai subjek hukum.
Baca Juga: Pergeseran Makna Putusan Lepas dalam RUU KUHAP dan Implikasinya
Tradisi sasi telah mempraktikkan ekosipasi. Ekosipasi adalah arah baru bagi hukum yang visioner. Jika kita bisa menjadikan korporasi sebagai subjek hukum demi akumulasi laba, maka tidak ada cukup alasan untuk menolak menjadikan alam sebagai subjek hukum. Sebagai anak negeri kepulauan, ide ekosipasi seharusnya menjadi milik kita. Peradaban hukum dunia kini telah bergerak ke arah kita. Bergerak dari sekadar emansipasi menuju ekosipasi. (LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI