Cari Berita

Ketua PT Surabaya: Junjung Tinggi Wibawa dan Martabat Pengadilan!

article | Berita | 2025-04-15 10:35:17

Surabaya- Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya, Jawa Timur (Jatim) Charis Mardiyanto meminta agar seluruh aparat pengadilan di wilayah hukumnya menjaga profesionalitas dan wibawa pengadilan. Hal itu menyikapi peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir.“Agar kejadian tersebut tidak terulang, karena dapat menggrogoti integritas kita. Walaupun Ketua MA sudah berulang kali megingatkan namun sering terjadi. Jangan sampai terjadi lagi,” kata  Charis Mardiyanto.Hal itu disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi Perma 1,2,3 Tahun 2022 secara daring, Selasa (15/4/2025). Acara itu diikuti seluruh Pengadilan Negeri (PN) se-Jatim.“Masalah ini secara kasat mata dilihat oleh pimpinan MA. Tolong junjung tinggi wibawa dan martabat pengadilan ini,” tegas Charis Mardiyanto.Dalam sosialisasi ini,membahas tiga topik. Yaitu Topik 1  tenyang Perma 1 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Kedua tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dan ketiga tentang Mediasi Di Pengadilan Secara Elektronik Perampasan Aset Harta. “Sosialisasi ini diadakan karena dalam Undang Undang terkait tersebut tidak dijelaskan hukum acara untuk itu. Sosialisai ini penting untuk kita dapat melaksanakan Perma 1,2,3 Tahun 2022 untuk menghindari kewenangan yang salah,” ungkap Charis  Mardiyanto., Adapun Wakil Ketua PT  Surabaya Dr Marsudin Nainggolan menyampaikan sosialisasi itu disosialisaikan secara kapita selekta satu persatu. Acara dilanjutkan dengan memberikan kesempatan peserta untuk mengajukan pertanyaan. (Hakim dan aparatur pengadilan PN Sampang ikut sosialisasi/dok.dandapala)“Bagaimana keberadaan restitusi yang hanya ada di ibu kota negara? dan bagaimana mekanisme cara pemambayaran restitusi tersebut?" tanya hakim PN Sampang, Adji  Prakoso.“Restitusi tersebut intinya melindungi hak hak korban dan untuk keberadaan LPSK yang ada di ibukota provinsi. Di dalam Perma tersebut tidak wajib menggunakan LPSK. Tapi pelaksanaan bisa dilakukan oleh permohonan korban sendiri kepada Jaksa sebelum tuntutan dan kepada hakim sebelum menjatuhkan putusan itu. Sudah ada langkahnya,” jawab Marsudin Nanggolan.

Pengadilan, Rule of Law dan Kesejahteraan

article | Opini | 2025-04-04 09:00:46

Di tahun 2024 panitia hadiah nobel ekonomi memberikan hadiah nobel ekonomi kepada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson atas kontribusinya yang menjelaskan bagaimana peran institusi terhadap kesejahteraan di suatu negara. Penjelasan mengenai hubungan institusi terhadap kesejahteraan dibahas dengan lugas di dalam buku Why Nations Fail yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Pada intinya, buku ini mencoba mematahkan anggapan umum bahwa kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh posisi geografis (berhubungan dengan sumber daya alam) dan kultur (berhubungan dengan agama atau etos kerja) negara tersebut. Di dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson berpandangan bahwa institusi yang inklusif mendorong terciptanya kesejahteraan di dalam suatu negara (lead to prosperity) dibandingkan dengan institusi yang ekstraktif yang hanya menciptakan kesejahteraan di kalangan para elit dan tersentralisasinya kekuasaan oleh segelintir orang (lead to poverty). Institusi yang ekstraktif hanya akan menjadikan suatu negara menjadi negara yang gagal. Dalam hal ini, ciri-ciri dari institusi yang inklusif yaitu institusi yang mendorong partisipasi yang demokratis, mendorong supremasi hukum dan keadilan, dan mampu melindungi hak milik. Sementara itu, institusi yang ekstraktif yaitu institusi yang dikuasai oleh segelintir elit, tidak ada partisipasi yang demokratis, dan tidak bisa menyediakan insentif untuk inovasi dan investasi. Pengadilan dan Rule of LawSalah satu aspek yang menjadi sorotan dalam menghasilkan institusi yang inklusif adalah bagaimana penegakan hukum atau rule of law diberlakukan di masyarakat. Perihal institusi ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa eropa di abad ke-15. Di dalam praktiknya, bangsa eropa melakukan dua jenis pendekatan terhadap negara atau wilayah yang dijajah. Pertama, pendekatan ekstraktif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi masyarakat lokal dan sumber daya alam demi keuntungan negara penjajah. Kedua, pendekatan inklusif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan tujuan jangka panjang karena wilayah tersebut nantinya akan dijadikan tempat tinggal oleh bangsa eropa. Pengadilan sebagai salah satu cabang kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu pada praktiknya selalu dimarjinalkan dalam pembangunan institusi. Hal ini terlihat ketika bangsa Belanda menjajah nusantara ide-ide revolusioner yang salah satunya adalah ide pemisahan kekuasaan sebagaimana yang diterapkan di Perancis tidak pernah diterapkan secara komperhensif di tanah jajahan. Sebagaimana yang dituliskan oleh Sebastiaan Pompe di dalam buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung bahwa upaya pemerintah kolonial untuk menerapkan doktrin pemisahan kekuasaan secara formal diawali dengan Laporan Nederburgh tahun 1803. Pada prinsipnya Laporan Nederburgh menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan otoritas politik terhadap jalannya peradilan dan campur tangan administratif hanya diperbolehkan untuk hal-hal tertentu saja. Namun, dalam praktiknya kolonialisme selalu ingin tampil dominan dibandingkan doktrin pemisahan kekuasaan. Gubernur Jenderal sebagai penguasa tanah kolonial seringkali menggunakan kewenangannya secara sepihak tidak melibatkan peran pengadilan. Bahkan, seorang Gubernur Jenderal mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang berbahaya atau tidak bagi ketertiban umum secara sepihak tanpa ada proses yudisial. Kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal secara eksplisit memang tidak mengubah doktrin pemisahan kekuasaan namun membuat peran pengadilan menjadi kerdil dan terbatas. Peran pengadilan yang kerdil dan terbatas kemudian terus berlanjut setelah kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Baru pada era setelah reformasi, kekuasaan yudisial diperkuat secara struktural dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang kekuasaan yudisial, dan sistem satu atap di Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengatur para hakim yang berada di badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kondisi yang secara struktur sudah ideal namun di dalam praktiknya masih terdapat kendala. Salah satu fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah dengan adanya prasangka kekuasaan yudisial digunakan oleh kekuasaan eksekutif untuk melegitimasi kebijakan kekuasaan eksekutif yang dirasa bermasalah oleh publik. Padahal, seharusnya kekuasaan yudisial menjadi kekuasaan yang mengoreksi kebijakan kekuasaan eksekutif apabila bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai keadilan. Fenomena ini secara signifikan berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap penerapan rule of law atau supremasi hukum di Indonesia. Memperkuat Institusi Kekuasaan YudisialSalah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar penerapan rule of law atau supremasi hukum dapat berjalan dengan baik adalah dengan memperkuat institusi kekuasaan yudisial. Bagaimana pun institusi kekuasaan yudisial adalah institusi yang terbuka bagi seluruh warga negara. Hanya di pengadilan seorang warga negara bisa menggugat kebijakan atau perbuatan negara yang dirasa merugikan warga negara dan menang. Hal ini dikarenakan secara historis dan filosofis institusi kekuasaan yudisial lahir untuk melindungi warga negara dan menegakan hak asasi manusia. Upaya penguatan yang bisa dilakukan terhadap kekuasaan yudisial yaitu: 1. Menjamin kemerdekaan kekuasaan yudisial baik secara fungsi, organisasi, maupun finansial/anggaran. Dalam hal ini secara fungsi dan organisasi kekuasaan yudisial di Indonesia sudah terlepas dari kekuasaan eksekutif namun belum untuk finansial. Institusi kekuasaan yudisial masih harus meminta anggaran kepada kekuasaan eksekutif yang mana hal tersebut secara tidak langsung membuka ruang untuk intervensi kepada kekuasaan yudisial.2. Meningkatkan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Apabila menggunakan pendekatan sistem yaitu input, process, dan output maka hakim yang berkualitas sudah bisa diperoleh dari sisi hulu yaitu rekrutmen hakim. Dari sisi input harus ada upaya yang dapat dilakukan agar para sarjana hukum terbaik di fakultas hukum terkemuka di Indonesia tertarik menjadi hakim. Faktanya, para sarjana hukum terbaik di Indonesia lebih memilih menjadi advokat dibandingkan menjadi hakim; 3. Evaluasi berkala terhadap hakim. Bagaimana pun profesi hakim dijalankan oleh manusia yang tidak bebas dari kesalahan. Oleh sebab itu, perlu dibuat mekanisme yang objektif, transparan, dan akuntabel dalam menilai kinerja seorang hakim. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah eksaminasi putusan. Putusan hakim yang merupakan produk pemikiran dari seorang hakim harus bisa dijadikan dasar dalam menilai apakah hakim ini berkompeten atau tidak.

Saharjo: Dari Hakim, Menteri hingga Ganti Dewi Yustisia dengan Pohon Beringin

article | History Law | 2025-03-22 16:05:31

DUNIA hukum tidak hanya dipenuhi oleh adagium, asas, dan peraturan, namun juga simbol atau logo hukum. Beberapa di antaranya yang paling terkenal adalah palu dan Themis. Arti lambang palu dalam hukum adalah kepastian hukum yang dibuat oleh seorang hakim. Kemudian, Themis merupakan dewi keadilan; lambang dari keadilan itu sendiri.Indonesia pernah lama menggunakan Themis sebagai lambang keadilan, sebelum menggantinya pada 1960 menjadi pohon beringin. Ide pergantian ini diutarakan oleh Dr. Saharjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Saharjo menilai bahwa Themis tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mitologi Yunani tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Pergantian lambang itu ditetapkan dengan Surat KeputusanNo. J.S. 8/20/17. Pada 6 Desember 1960, pohon beringin dengan tulisan “pengayoman” resmi ditetapkan sebagai lambang hukum dan menjadi lambang Departemen Kehakiman. Untuk mengetahui sosok Saharjo siapakah dia dan dari latar Pendidikan apa beliau hingga apa sumbangsinya pada dunia peradilan? Mari kita simak  tulisan ini sebagai pengetahuan kita terhadap sosok Saharjo. Saharjo mungkin sedikit tidak asing bagi sejumlah orang terutama bagi mereka yang tinggal di ibu kota Jakarta. Jika hendak bepergian ke Pancoran dari daerah Manggarai, akses yang paling mudah ialah melewati jalan yang dinamai dengan nama tokoh satu ini. Ya, Jalan Dr Saharjo berada di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Bentangan jalannya membujur dari utara hingga selatan ke kawasan Tebet. Pendidikan-PekerjaanSaharjo lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Juni 1909. Ia adalah keturunan ningrat, putra sulung dari abdi dalem Keraton Surakarta yang bernama Raden Ngabei Sastroprayitno, pendidikan Saharjo pun dapat dikatakan sangat baik. Saharjo mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dan lulus tepat waktu hingga melanjutkan sekolah dokter di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen).Setamatnya dari ELS pada 1922, Saharjo lalu masuk ke sekolah dokter STOVIA di Jakarta. Sadar tidak berbakat menjadi dokter, akhirnya Saharjo pindah sekolah ke AMS (Algemeene Middlebare School) bagian B (Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di mana ia tamat tepat pada waktunya. Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS, ia bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat yang merupakan perguruan nasional. Meskipun sudah bekerja, Saharjo tetap mengasah ilmu pengetahuannya yang membuatnya memilih masuk ke RHS (Rechts Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum).Setamat dari RHS dengan gelar Meester in de rechten, Saharjo bekerja di Departement Van Justicia Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu pendudukan Jepang, Saharjo juga pernah memegang jabatan wakil Hooki Kyokoyu atau Kepala Kantor Kehakiman istilah zaman Indonesia merdeka. Ia juga sempat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta, tetapi hanya bertahan delapan bulan karena kembali ditarik ke Kantor Kehakiman di Jakarta, karier Saharjo di Departemen Kehakiman terus menanjak. Seusai kemerdekaan dan pada masa revolusi yakni pada tahun 1948, pria yang pandai memainkan biola dan bernyanyi itu dipercaya menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Tata Negara. Selama sepuluh tahun, Saharjo memangku jabatan ini dengan beberapa hasil kerja yang fenomenal yakni dua Undang-Undang Kewarganegaraan (1947 dan 1958) dan Undang-Undang Pemilihan Umum (1953). Menteri KehakimanSementara itu, pemerintah Indonesia dihadapkan pada urgensi pengubahan undang-undang yang dibuat pemerintah kolonial Belanda. Saat itu mereka menilai undang-undang tersebut harus diganti dan diubah karena dianggap sudah tak layak lagi diterapkan dan tidak sesuai dengan alam kemerdekaan serta kepribadian bangsa Indonesia. Ketika Saharjo menjabat Menteri Kehakiman (1959-1962), disarankan olehnya agar beberapa bagian dari undang-undang kolonial tidak dipakai lagi sebab tidak sesuai dengan kemajuan zaman.Selain dalam mengurus undang-undang, Saharjo juga mempunyai andil dalam mengubah sejumlah istilah-istilah kehukuman. Pertama, ia mengganti istilah "penjara" dengan istilah "pemasyarakatan". Alasannya, di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana tidak disiksa untuk menebus dosa-dosanya, melainkan dididik untuk mengatasi kelemahan dan kesalahannya. Dengan demikian diharapkan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna setelah menjalani masa hukuman di penjara.Kemudian Istilah penjara diganti dengan "pemasyarakatan" pertama kali dipakai Saharjo pada 5 Juli 1963, saat membacakan pidato berjudul 'Pohon Beringin Pengayom Pancasila'. Ide Saharjo mengenai istilah ini lalu diterima melalui Konferensi Kepenjaraan di Bandung pada 27 April 1964. Kemudian yang kedua, Saharjo mengganti istilah "terhukum" menjadi istilah "narapidana". Pemikiran Saharjo tentang orang terhukum yang diganti istilahnya ini berdasarkan beberapa rumusan, antara lain tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia sudah bersalah. Tidak boleh diperlihatkan kepada narapidana, bahwa ia diperlakukan sebagai penjahat, tetapi hendaklah diperlakukan sebagai manusia.Selain kedua istilah tersebut, Saharjo juga mengganti lambang hukum di Indonesia. Sebelumnya, lambang hukum di Indonesia menggunakan dewi keadilan mitologi Romawi, Dewi Yustisia (versi mitologi Yunani: Dewi Themis). Menurut Saharjo lambang ini tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai gantinya, Saharjo mengusulkan pohon beringin untuk menjadi lambang hukumnya.Pohon beringin sendiri melambangkan perlindungan rakyat yang mendambakan keadilan hukum. Lambang pohon beringin diterima oleh para peserta Seminar Hukum Nasional pada 1963. Desainnya dibuat oleh pelukis Derachman di mana lambangnya disebut Lambang Pengayoman. Walaupun sudah beberapa kali melakukan perubahan, lambang pohon beringin tetap dipertahankan dan bisa dilihat pada logo Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) saat ini.Pada 6 November 1963, dalam kedudukannya sebagai Menteri Kehakiman Kabinet Kerja III Saharjo mempersembahkan gelar 'Pengayoman' kepada Presiden Soekarno dan menyematkan pula lambang keadilan. Sebagai bentuk tanda jasanya pada negara, ia pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Tak lama setelah itu, melalui SK Presiden RI No 245 tanggal 29 November 1963, Saharjo ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.Sumber :Referensi: Trouw | Depsos RI, " Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 4" | Mirnawati, "Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap"

Mau Banding? Terdakwa Cukup Video Call Petugas PTSP Online PN Kayuagung

article | Berita | 2025-03-19 11:55:00

Kayuagung- Ada yang berbeda dengan layanan pada Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan (Sumsel) pada Selasa (18/3) kemarin. Bila biasanya pengguna pengadilan datang dan dilayani dengan duduk bertatap muka secara langsung, kali ini dilakukan secara virtual.Memanfaatkan teknologi video call, petugas PTSP PN Kayuagung memberikan penjelasan kepada Supriyanto (54) yang ditahan di Lapas Kayuagung.“Adakah upaya hukum bagi saya dan bagaimana caranya,” tanya Supriyanto melalui saluran video call yang tersedia di Lapas Kayuagung.Melalui saluran yang sama, Tri Wulandari, petugas bagian pidana PTSP PN Kayuagung memberikan penjelasan. Pada saat yang sama, petugas juga memperlihatkan kembali detail amar putusan dari laman SIPP.Supriyanto sendiri sebelumnya diputus bersalah menjadi perantara jual beli narkotika dan dipidana 7 tahun penjara. Pada persidangan pembacaan putusan oleh majelis hakim yang diketuai Agung Nugroho dengan anggota Anisa dan Yuri, Supriyanto yang didampingi Penasihat Hukum menyatakan pikir-pikir. Beberapa hari setelahnya, penasihat hukum Supriyanto, Andi Wijaya,  yang ditunjuk majelis hakim memberitahukan kepada petugas PTSP mengenai keinginan terdakwa. Merespon hal tersebut, PN dan Lapas menfasilitasi layanan secara virtual. “Terdakwa di Lapas dapat dilayani secara langsung petugas PN tanpa perlu datang,” ujar Kepala Lapas Kayuagung, Syaikoni.Layanan melalui video call adalah bagian dari sistem pelayanan online yang diterapkan di PN Kayuagung. “Si-Ponny singkatnya, layanan PTSP secara online,” ujar Wakil Ketua PN Kayuagung, Agung Nugroho, terkait peningkatan kualitas layanan yang diberlakukan sejak awal tahun. (SEG/ASP)

Pesan Integritas Ketua MA Sampai ke Pengadilan di Indonesia Timur

article | Berita | 2025-02-19 15:20:43

Jakarta- Masih dalam pergelaran sidang istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, pesan Ketua MA Prof Sunarto terkait Integritas sebagai fondasi mewujudkan peradilan berkualitas sampai langsung dalam sanubari setiap insan Hakim dan Aparatur Peradilan di Wilayah Indonesia Timur khususnya se Wilayah Papua.Seperti yang disampaikan oleh Ketua PN Timika, Putu Mahendra. "Jika seluruh hakim dan aparatur peradilan di wilayah Papua berkomitmen untuk menanamkan integritas dalam sanubari dan menerapkannya sepenuh hati, sehingga apa yang ditegaskan oleh Ketua MA kami sambut dengan penuh komitmen," ungkapnya.Lebih dari itu, menanggapi statement Presiden Prabowo mengenai komitmenya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup para hakim. "Kami hakim di Indonesia Timur sangat mengapresiasi dan bersyukur atas perhatian dari Presiden terhadap insan pengadil, karena memang faktanya kami di Indonesia Timur memang harus menyesuaikan dengan perbedaan harga dan tingginya biaya kebutuhan hidup ditempat kami bertugas," tuturnya.Mengakhiri sesi wawancara, Putu Mahendra mewakili rekan-rekan Pimpinan Pengadilan di Wilayah Papua menyampaikan terima kasih dan rasa syukur atas peningkatan kesejahteraan yang telah diperjuangkan bersama. "Baik oleh rekan-rekan hakim maupun Pimpinan Mahkamah Agung beberapa bulan lalu," pungkasnya.