Cari Berita

KPAI Ingatkan Anak Bukan Objek dalam Pembahasan RANPERMA Eksekusi Hak Asuh Anak

article | Berita | 2025-10-22 18:45:58

Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) daring untuk membahas penyusunan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang eksekusi hak asuh anak. Kegiatan yang dilakukan secara daring pada Rabu (22/10/2025) ini bertujuan menghimpun masukan lintas sektor guna mewujudkan mekanisme eksekusi yang lebih humanis, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.Sesi diawali dengan pemaparan awal dari Anggota Komisioner KPAI, Ai Rahmayanti menegaskan bahwa praktik eksekusi hak asuh anak tidak dapat lagi diperlakukan layaknya eksekusi benda. “Anak adalah subjek hukum, bukan objek sengketa. Kita butuh regulasi yang menjamin pelaksanaan putusan pengadilan tanpa menimbulkan trauma,” ujarnya.Ai menjelaskan, hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur pelaksanaan eksekusi hak asuh anak. Ia juga menyebut bahwa belum ada ketentuan yang secara eksplisit memperbolehkan lembaga profesional seperti psikolog atau pekerja sosial mendampingi proses tersebut, sehingga pelaksana di lapangan kerap menghadapi dilema hukum.“Ada kekosongan hukum dalam hal ini. Padahal, proses eksekusi seharusnya didasarkan pada rasa kemanusiaan dan kepentingan terbaik bagi anak,” tambahnya.FGD ini turut menghadirkan Hakim Agung H. Busra dari Kamar Agama Mahkamah Agung dan Ketua Sahabat Anak dan Perempuan Indonesia, Magdalena Sitorus, serta diikuti berbagai pemangku kepentingan dari lembaga penegak hukum, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.Magdalena Sitorus menyoroti bahwa anak kerap dijadikan objek dalam perebutan hak asuh. Ia menegaskan kembali empat prinsip dasar hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yaitu non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak hidup dan berkembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak.“Kita harus mengubah cara pandang. Anak bukan alat pembenaran ego orang tua, melainkan subjek hukum yang memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan didengar suaranya,” tegasnya.Magdalena juga menyoroti praktik di sejumlah negara yang dapat memperluas wawasan tentang pelaksanaan hak-hak anak.“Di Belanda, anak berusia 12 tahun ke atas berhak menyampaikan pendapat dalam proses hukum. Malaysia memiliki Badan Sokongan Keluarga yang memastikan pelaksanaan putusan pengadilan berjalan adil dan manusiawi. Kita bisa belajar dari sana,” katanya.Sementara itu, Hakim Agung H. Busra mengungkapkan, data perkara di lingkungan peradilan agama menunjukkan masih minimnya eksekusi hadhanah atau hak asuh anak.“Pada 2023 hanya tercatat 25 permohonan eksekusi, 2024 sebanyak 14, dan hingga Oktober 2025 baru tujuh perkara,” jelasnya.Menurutnya, angka yang kecil bukan berarti tanpa persoalan. Prinsip utama dalam setiap putusan pengadilan agama selalu mengacu pada kepentingan terbaik bagi anak, yang diselaraskan dengan hak dan kewajiban orang tua.“Sebagian besar kasus berakhir damai atau putusan pengadilan dilakukan secara sukarela” ujar Busra.Kegiatan FGD ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif, di mana para peserta yang mengikuti secara daring turut menyampaikan pandangan dan masukan konstruktif terkait penyusunan RANPERMA tersebut. Melalui FGD ini, KPAI mendorong agar Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang eksekusi hak asuh anak menjadi pedoman yang utuh sebagai dasar pelaksanaan di lapangan. Regulasi ini diharapkan mampu menjamin proses eksekusi yang aman dan tidak menimbulkan trauma bagi anak, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi aparat maupun pihak berperkara. (al/fac)