Cari Berita

Di Gedung Bersejarah Berusia 187 Tahun, PN Palembang Gelar Upacara HUT RI 

article | Berita | 2025-08-17 11:15:09

Palembang- Keluarga besar Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) menggelar upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan nuansa berbeda. Upacara kali ini diselenggarakan di sebuah gedung bersejarah yang telah berdiri sejak tahun 1838, atau berusia 187 tahun. Gedung tua nan megah itu dipilih karena kantor PN Palembang saat ini sedang dalam tahap renovasi besar. Meski demikian, suasana khidmat dan penuh semangat tetap terasa kuat sepanjang jalannya upacara. Bertindak sebagai pembina upacara, Edy Cahyono menegaskan bahwa momentum ini menjadi catatan sejarah tersendiri bagi PN Palembang. “Upacara kemerdekaan tahun ini sangat istimewa, karena kita melaksanakannya di bangunan bersejarah yang telah berdiri lebih dari satu abad. Ini momen yang tak akan terlupakan, sebab tahun depan kita sudah kembali ke kantor baru PN Palembang yang sedang direnovasi,” ujar Edy Cahyono dalam sambutannya. Lebih lanjut, Edy Cahyono berpesan agar seluruh jajaran PN Palembang tetap menjaga semangat kemerdekaan meskipun berada di bangunan tua.“Gedung boleh bersejarah dan tua, tapi semangat kita harus tetap muda. Makna kemerdekaan adalah terus menjaga persatuan dan mengabdi untuk bangsa dengan sepenuh hati,” tegasnya. Upacara berlangsung khidmat dengan diikuti para hakim, pegawai, serta staf PN Palembang. Suasana semakin terasa istimewa karena kehadiran gedung bersejarah itu menjadi saksi perjalanan bangsa, sekaligus menjadi simbol pengabdian lembaga peradilan dalam menjaga keadilan sejak masa lalu hingga kini.    

Dirjen Menyapa: Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!

article | Dirjen Menyapa | 2025-08-17 10:05:16

TEPAT hari ini, bangsa Indonesia memasuki usia ke-80. Kemerdekaan yang ditandai dengan pembacaan Proklamasi oleh Soekarno-Hatta itu diraih dengan derai air mata dan cucuran darah. Oleh sebab itu, kemerdekaan ini haruslah dipertahankan dan diisi dengan kerja-kerja positif sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.Maka, perlu kita ingat kembali tujuan Pemerintah Negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka dari itu, Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya sebagai representasi negara wajib mewujudkannya. Dan kita, warga Peradilan Umum adalah alat negara dalam mencapai tujuan tersebut.Dalam meraih kemerdekaan itu, insan peradilan juga aktif dalam berbagai pergerakan maupun berjuang dalam sistem. Salah satunya kita memiliki tokoh yang layak diteladani, Susanto Tirtoprodjo. Pria kelahiran 3 Maret 1900 itu adalah siswa yang tekun sekolah sehingga bisa menimba ilmu sampai ke Universitas Leiden. Selama menjadi mahasiswa di Belanda, Susanto Tirtoprodjo aktif di gerakan mahasiswa yang mendorong kemerdekaan Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia (PI).Pada 1925 ia menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Sepulangnya ke Indonesia, Susanto Tirtoprodjo menjadi hakim. Selain sebagai hakim, Susanto juga aktif dalam gerakan pergerakan dalam meraih kemerdekaan. Yaitu menjadi Kepala Departemen Sosial Ekonomi Partai Indonesia Raya (Parindra), sebuah partai yang dipimpin Dr Sutomo dan merupakan gabungan Boedi Oetomo dan Perserikatan Bangsa Indonesia. Susanto Tirtoprodjo mendorong terbentuknya koperasi di berbagai pelosok desa di Jawa Timur dan memberantas lintah darat di desa-desa. Pada 1936, Parindra sudah membentuk serikat sopor, serikat kusir, serikat buruh pelabuhan dan serikat buruh percetakan di berbagai tempat.Setelah 8 tahun menjadi hakim, ia diminta pemerintah kala itu menjadi Wali Kota Madiun dan setelahnya Bupati Pacitan. Tak lama setelah Proklamasi dikumandangkan, Susanto langsung menyatakan setia ke Pemerintah Indonesia dan diminta menjadi Menteri Kehakiman.Namun menjaga kemerdekaan tidaklah mudah. Baru di bulan-bulan pertama, Belanda ingin kembali menjajah. Susanto tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan. Ia langsung memimpin sendiri perang gerilya di sekitaran Surakarta dengan siasat gerilya. Susanto dan pasukan keluar masuk hutan, menyerang Belanda, lalu menghilang. Hingga akhinya Belanda mau melakukan gencatan senjata pada 28 Januari 1949. Usai perang kemerdekaan selesai, Susanto menjadi Menteri Kehakiman, Gubernur Sunda Kecil, Dubes RI di Prancis hingga membuat Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini BPHN).Selain berjuang di garis terdepan, banyak juga aparat pengadilan hakim yang berjuang dari dalam sistem hukum. Sebab apabila Indonesia benar-benar Merdeka, maka bangsa Indonesia sudah siap mengisi pos-pos pemerintahan.Di antaranya hakim Satochid Kartanegara yang teguh menjaga integritasnya. Saat Satochid kuiliah di Laiden, Belanda, ia serius belajar dan tidak sempat untuk menikmati wisata di seputaran Belanda. Satochid sangat berhemat dan serius kuliah. Satochid tak pernah berpesta-pesta maupun pergi berlibur ke negeri tetangga seperti halnya yang dilakukan oleh kawan-kawan Indonesia lainnya.Tabungannya sebagai hakim hanya cukup membeli tiket kapal untuk berangkat ke Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, nilai-nilai luhur itu terus dipegangnya. Salah satu kisahnya saat ia menjadi Kepala Landraad (Pengadilan Negeri) Pontianak di zaman Belanda. Dengan jabatan tersebut di era Belanda, peluang melakukan perbuatan koruptif sangatlah besar. Satochid tidak luput dari cobaan dan godaan yang dapat dianggap menyelewengkan hukum. Seperti ditawari uang sogok, uang semir dan lain sebagainya.Namun, Satochid menolak semua sogokan tersebut. Salah satunya saat pulang kerja mendapati kiriman makanan dari orang, yang ternyata dari pihak berperkara. Satochid lalu memerintahkan istrinya untuk mengembalikan makanan itu.Usai Proklamasi, pengalamannya dalam sistem pemerintahan, membuatnya dipercaya membidani institusi pengadilan. Puncaknya yaitu Satochid Kartanegara menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA). Setelah purna tugas, ia memilih mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kini materi kuliahnya menjadi ‘kitab kuning’ berbagai kampus hukum di Indonesia.Sekelumit contoh di atas haruslah menjadi pengingat bagi kita semua agar kita tetap teguh memegang Pancasila dan UUD 1945 dalam mengisi kemerdekaan. Jangan khianati perjuangan para pahlawan dengan tindakan koruptif dan pelanggaran etik. Sekali Merdeka, tetap Merdeka!Bambang MyantoDirjen Badilum Mahkamah Agung RI

Maknai Semangat Pengabdian, PT Gorontalo Tabur Bunga ke Makam Piola Isa

article | Serba-serbi | 2025-08-11 15:35:03

Limboto- Dalam rangkaian memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia (RI) dan HUT ke-80 MA, Pengadilan Tinggi (PT) Gorontalo menyelenggarakan kegiatan ziarah dan tabur bunga di makam Brigjen TNI (Purn) Piola Isa, yang bertempat di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Senin 11/8.“Kegiatan ini merupakan wujud penghormatan sekaligus penghargaan atas jasa-jasa almarhum sebagai tokoh bangsa yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara, daerah, dan dunia peradilan,” ujar Ketua PT Gorontalo Dr. Yapi.Brigjen TNI (Purn.) Piola Isa merupakan Mantan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer Mahkamah Agung RI, yang dikenal sebagai sosok pejuang, pemimpin, dan panutan yang mengabdikan hidupnya demi kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat.Ziarah ini dipimpin langsung oleh Ketua PT Dr. Yapi.Dalam sambutannya Ia menyampaikan ziarah ini merupakan bentuk penghormatan atas dedikasi dan pengabdian almarhum, serta sebagai pengingat bagi seluruh insan peradilan untuk terus menjunjung tinggi nilai integritas, kedisiplinan, dan tanggung jawab.Hadir juga dalam kegiatan ziarah dan tabur bunga ini para Hakim Tinggi dan Hakim Ad Hoc PT Gorontalo, Ketua dan Wakil Ketua PN Gorontalo dan PN Limboto, hakim dan Panitera dan sekretaris dari PN Gorontalo dan PN Limboto, serta Ketua dan pengurus Dharmayukti Karini Provinsi Gorontalo.Turut hadir juga dalam ziarah ini perwakilan keluarga dari Almarhum Brigjen TNI (Purn.) Piola Isa.Dr. Yapi juga menyampaikan selain sebagai bagian dari peringatan HUT ke-80 RI dan Mahkamah Agung RI, kegiatan ini juga memiliki makna mendalam bagi seluruh insan peradilan di Gorontalo. “Ziarah ini menjadi momentum untuk mengenang dan meneladani nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh para pendahulu, sekaligus meneguhkan komitmen dalam membangun peradilan yang bersih, transparan, dan berwibawa,” lanjutnya.Berikut perjuangan dan perjalanan karir Brigjen TNI (Purn) Piola Isa:Piola Isa adalah seorang tokoh terkemuka asal Gorontalo, telah mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin di MA RI dari tahun 1981 hingga 1992. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai pejuang yang berkontribusi dalam berbagai konflik penting di Indonesia, seperti perlawanan terhadap penjajahan Belanda serta penumpasan pemberontakan DI-TII dan Permesta. Kontribusinya tidak hanya terbatas di Sulawesi, tetapi juga meluas di hampir seluruh nusantara.Menurut catatan dalam buku "Riwayat Hidup Anggota-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971," Piola Isa lahir di Gorontalo pada tanggal 11 Oktober 1923. Sebelum November 1945, ia sempat bekerja di Pare-pare. Berbekal ijazah sekolah menengah (MULO), ia kemudian mengabdikan diri di Jawatan Pekerjaan Umum di bawah pemerintahan Jepang.Isa, yang juga dikenal dengan nama Abdul Gani, kemudian bergabung dengan Tentara Republik Indonesia. Ia termasuk di antara pemuda asal Sulawesi Selatan yang menyeberang ke Jawa, menetap di Yogyakarta sekitar tahun 1946 dan menjadi bagian dari Tentara Rakyat Indonesia Sulawesi (TRIS). Beliau terlibat dalam berbagai peristiwa penting, termasuk saat Agresi Militer Belanda Pertama pada Juli 1947 di Candiroto Parakan dan Agresi Militer Belanda Kedua pada Desember 1948 di Yogyakarta. Isa juga turut serta dalam penumpasan Peristiwa Madiun di tahun yang sama.Setelah masa perjuangan melawan Belanda usai, Isa melanjutkan kariernya di dunia militer. Pada tahun 1950, ia dikirim ke Makassar untuk menghadapi pasukan KNIL dalam Peristiwa Andi Azis. Setelah itu, ia terlibat dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) dan Pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan, di mana ia bertugas sebagai perwira staf di Tentara & Teritorium (TT) VII/Wirabuana.Ketika gejolak PRRI/Permesta muncul, Isa berada di daerah asalnya. Bersama Nani Wartabone, ia secara aktif menentang gerakan tersebut. Pasukan yang dipimpinnya berhasil merebut daerah Telaga di timur laut Gorontalo pada Mei 1958.Meski memiliki latar belakang tempur, karier militernya kemudian bergeser. Isa melanjutkan pendidikannya di Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Menurut Harsya Bachtiar, Isa adalah bagian dari angkatan pertama PTHM yang belajar dari tahun 1962 hingga 1966.Setelah meraih gelar Sarjana Hukum, ia mengemban tugas di Kehakiman Angkatan Darat, yang kemudian membawanya ke Mahkamah Agung. Pada tahun 1981, Isa dipercaya menjadi Hakim Agung sekaligus Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer, sebuah posisi yang setara dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI.Di ranah politik, Isa pernah menjadi anggota fraksi Golongan Karya (Golkar) pada Pemilihan Umum tahun 1971 dan 1977. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di utara kota Gorontalo, yaitu Jalan Brigjen Piola Isa. (FDj/CS/LDR)

Bersihkan Monumen Tsunami, Aksi PN Maumere NTT Rayakan HUT RI-MA

article | Berita | 2025-08-11 13:15:43

Maumere – Peringatan HUT ke-80 RI dan HUT Mahkamah Agung RI di PN Maumere, NTT tahun ini punya cara berbeda. Yaitu memadukan olahraga, aksi sosial, dan edukasi sejarah. Bukan hanya jalan sehat, peserta juga diajak membersihkan Monumen Tsunami Maumere sebagai simbol ingatan kolektif warga atas tragedi 1992.Dimulai Jumat (8/8/2025) pukul 06.30 WITA, rombongan yang dipimpin Ketua PN Maumere Nithanael N. Ndaumanu menelusuri rute di sekitar Kota Maumere. Usai berolahraga, seluruh peserta berganti peran menjadi ‘pasukan sapu’ di lingkungan kantor PN Maumere, lalu bergeser ke Monumen Tsunami.Pemilihan monumen sebagai lokasi bersih-bersih bukan tanpa alasan. “Kami ingin momentum HUT ini juga menjadi ajakan untuk menjaga kebersihan, melestarikan lingkungan, dan merawat situs bersejarah yang menjadi bagian identitas daerah,” ujar Ketua PN Maumere, Nithanael N Ndaumanu, dalam keterangan persnya, Senin (11/8/2025).Langkah ini sekaligus menjadi pengingat bahwa perayaan kemerdekaan tak harus sekadar upacara atau lomba. Melibatkan warga peradilan dan keluarganya dalam kegiatan yang menghubungkan kesehatan, kepedulian lingkungan, dan pelestarian sejarah memberi dimensi berbeda pada peringatan HUT.Dengan semangat kebersamaan, PN Maumere menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya hadir di ruang sidang, tetapi juga di tengah masyarakat mengajak untuk menjaga alam dan menghargai jejak sejarah yang ada. (Ikaw/zm/wi)

Gowes Kemerdekaan, Susuri Sisa Kejayaan VOC hingga Jejak Belanda di Batavia

article | Serba-serbi | 2025-08-10 19:25:10

Jakarta- Pekan depan, Indonesia tepat berusia 80 tahun kemerdekaan. Tapi untuk mencapai kemerdekan itu, bukanlah perkara mudah. Penuh darah dan air mata. Ratusan tahun melawan penjajahan.DANDAPALA berkesempatan menyusuri sisa-sisa penjajahan itu menggunakan sepeda pekan lalu. Spot pertama adalah Gedung Arsip Nasional Indonesia (ANRI) di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Berdasarkan berbagai referensi yang dihimpin DANDAPALA, gedung ini dibangun 1700- dan merupakan kediaman Gubernur Jenderal VOC, salah satunya Reynier de Klerk. Tempat ini juga menjadi tempat Menlu AS Hillary Clinton makan malam dalam lawatannya ke Indonesia pada 2009. Saat itu ia dijamu satu meja Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, Lily Munir dan Pramono Anung. Hadir juga dalam jamuan makan malam itu Marzuki Darusman, Suciwati, Azzumardi Azra, hingga Nursyahbani Katjasungkana.Setelah itu, sepeda lipat dikayuh perlahan menyusuri Jalan Gajah Mada. Sekitar 5 KM sampailah di kawasan China Town Pancoran. Zaman dahulu kawasan ini merupakan pemukiman warga-warga Tionghoa. Saat Belanda hadir di Bumi Pertiwi ini, Glodok menjadi kawasan isolasi untuk mereka dengan alasan keamanan. Saat ini menjadi salah satu pecinan tertua yang ada di Indonesia, sedari dulu memang kawasan Pancoran-Glodok telah menjadi pusat perekonomian karena orang-orang Tionghoa yang pintar dalam berbisnis.Setelah melintasi Kawasan Pecinan, masuklah ke kawasan Batavia. Spot ikon di tempat ini adalah gedung tua, Toko Merah. Gedung ini dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaaf Willem baron van Imhoff di atas tanah seluas 2.471 meter persegi. Rumah tersebut dibangun sedemikian rupa, sehingga besar, megah dan nyaman. Nama ‘Toko Merah’ berdasarkan salah satu fungsinya yakni sebagai sebuah toko milik warga Tionghoa, Oey Liauw Kong sejak pertengahan abad ke-19 untuk jangka waktu yang cukup lama.Waktu yang mepet membuat harus buru-buru kembali menggowes karena masih banyak yang harus dijelahah. Kemudi sepeda diarahkan ke Jakarta Utara yaitu ke Museum Bahari. Gedung ini berada di muara Kali Ciliwung.Pada masa pendudukan Belanda, gedung itu merupakan gudang yang berfungsi untuk menyimpan komoditas perdagangan bagi VOC, sebuah kongsi dagang perusahaan Hindia Timur Belanda. Isi gudang terutama rempah-rempah, kopi, hasil tambang dan tekstil. Komoditas tersebut disimpan oleh VOC karena sangat laris di pasaran Eropa. Bangunan yang berdiri tahun 1677 ini berada persis di samping muara Ciliwung ini memiliki dua sisi, sisi barat dikenal dengan sebutan Westzijdsche Pakhuizen atau Gudang Barat. Gudang iin dibangun secara bertahap mulai tahun 1652–1771). Dan sisi timur, disebut Oostzijdsche Pakhuizen atau Gudang Timur.Setelah melihat sisa kemegahan penjajahan VOC, sepeda kembali dikayuh perlahan. Tidak perlu lama karena sudah sampai di Pelabuhan Sunda Kelapa. Tampak truk besar membawa besi, sembako hingga semen sedang bongkar muat ke kapal kayu.Pelabuhan ini telah dikenal semenjak abad ke-12. Saat itu merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Sunda Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno Kalapa kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini dalam bentuk ‘Sunda Kelapa’.Di pelabuhan ini pula Pangeran Diponegoro berangkat menuju pengasingan di Sulawesi. Hal itu sebagai hukuman dari Penjajah Belanda usai melawan dan mengobarkan Perang Jawa.Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, goweser bisa kembali ke arah Kota Tua lewat Galangan VOC. Letaknya tidak jauh dari Museum Bahadi.Galangan Kapal VOC didirikan pada 162. Pada waktu itu, 400 tahun lalu, Galangan kapal VOC adalah bangunan penting yang menyokong jaringan niaga di Hindia Belanda. Kapal-kapal, baik besar maupun kecil, bongkar muat di galangan, mengantarkan barang dagangan. Mulai dari rempah hingga kain yang merupakan komoditi berharga mahal.Hanya sepelemparan batu, goweser sudah sampai ke pusat kota zaman Batavia yang kini menjadi Museum Fatahila.. Bangunan ini dahulu merupakan Balai Kota Batavia (Stadhuis van Batavia). Gedung ini dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn.Bangunan ini menyerupai Istana Damdi Amsterdam. Terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Di gedung ini pula. Pangeran Diponegoro ditahan sebelum diberangkatkan ke pengasingan di Sulawesi.Sejak 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan oleh Ali Sadikin sebagai Museum Sejarah Jakarta.Masih di komplek Museum Fatahillah, ada Stasiun Kota. Berusia seratus tahunan, stasiun ini kini masih aktif menjadi salah satu stasiun terpadat di Jakarta.Batavia Zuid, nama aslinya, awalnya dibangun sekitar tahun 1887. Pada 1926 ditutup untuk direnovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini dibangun, kereta-kereta api menggunakan stasiun Batavia Noord. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931.Matahari tidak terasa menanjak. Panas mulai menyengat. Perut sudah mulai berontak. Saatnya menuju Ketan Susu (Tansu) Kemayoran yang berada di seberang perempatan Polres Jakpus lewat Jalan Gunung Sahari Raya.Usaha kuliner tersebut dirintis oleh Haji Sukrad pada 1958. Awalnya, kuliner legendaris itu bernama ketan kobok. Kedai yang menjual kuliner legendaris ini tidak pernah sepi pengunjung. Tansu Kemayoran buka selama 24 jam. Harganya pun masih terjangkau.