article | Opini | 2025-09-15 18:30:17
“Terima, Yang Mulia,” suara lirih nyaris tidak terdengar. Tenggelam oleh kata sama terlontar dari wanita muda dengan toga hitam lantang. Seorang pria berkemeja putih lusuh agak kecoklatan, berdiri dari kursi ‘pesakitan’. Kursi yang terletak di tengah-tengah meja ‘hijau’, meja tempat dimana mereka yang disebut Yang Mulia menjalankan tugasnya. Kembali mengenakan rompi orange bertuliskan tahanan kejaksaan. Dengan tangan terborgol berjalan hendak meninggalkan ruang sidang. Sedikit membungkukan badan menghormat, dikawal petugas keamanan bersenjata, terpidana berjalan keluar ruang sidang. Meski kepala tertunduk, tatapan sayu mata terpidana melirik pada orang-orang berpakaian serupa, baju putih menunggu giliran bersidang. Menunggu putusan, putusan untuk menjadi penghuni penjara. Narapidana.--- Persidangan pengadilan, dalam perkara pidana, sebagai proses penegakan hukum pidana, acapkali berujung penjatuhan sanksi pidana penjara. Peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, terutama penyidik dan penuntut umum menjadikan proses persidangan berjalan semakin baik. Proses persidangan berjalan relatif lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan sebagaimana yang dikehendaki asas. Kecukupan pembuktian yang diajukan, lebih dari cukup memunculkan keyakinan hakim. Keterbuktian peristiwa pidana dan kebersalahan terdakwa yang kemudian menjadi dasar bagi penjatuhan pidana penjara karenanya.Imbasnya prosentase terpidana (dan/atau penuntut umum) yang menerima apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim (baca: pengadilan) semakin hari semakin meningkat. Saat ini, lebih dari 90% putusan atas perkara pidana yang diadili di pengadilan berkekuatan hukum tetap karena tidak dilakukan upaya hukum. Dan, lebih dari 90% pula pidana yang dijatuhkan adalah penjara. Apa artinya? Dari waktu ke waktu pengadilan terus menerus memproduksi penghuni penjara.--- Pemasyarakatan, sebagai lembaga ‘penampung’ dan penanggung jawab apa yang “diproduksi” proses penegakan hukum pidana juga mengalami berbagai kendala. Overcrowded salah satunya, tentu tidak semata persoalan kelebihan kapasitas, melainkan lahirnya persoalan-persoalan turunan yang tidak kalah rumit. Masalah yang dari waktu ke waktu belum juga mendapatkan jalan keluar, berlangsung terus menerus tanpa pernah dapat diatasi dengan tuntas.“Masalah fundamental dan sistemik bagi penyelenggaraan layanan pemasyarakatan,” sebagaimana dikatakan Direktur Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Reynhard Silitonga. Per 12 Juni 2023 kapasitas hunian Rutan dan Lapas 140.424 orang dan jumlah penghuninya mencapai 269.263 orang. Tingkat overcrowded sudah mencapai 92%,” ujarnya lebih lanjut.--- Pemidanaan yang dijatuhkan terhadap orang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah bentuk pertanggungjawaban pidana. Dari teori absolut yang memandang pidana (baca: penjara) semata bentuk pembalasan maupun teori relatif yang melihat ke depan, pencegahan agar tidak terulang terjadinya tindak pidana atau prevensi, baik khusus maupun umum, sampai pada teori yang menggabungkan keduanya kesemuanya sampai saat ini masih dilihat dari berapa lama pidana penjara yang dijatuhkan. Pidana penjara masih menjadi “pilihan utama” dalam penjatuhan pidana dibandingkan dengan pilihan pidana pokok lainnya. Diakui atau tidak, suka atau tidak suka, pidana penjara masih mendominasi amar putusan dalam perkara pidana selama ini. Dampaknya, overcrowded menjadi masalah fundamental dan sistemik bagi penyelenggaraan layanan pemasyarakatan sampai dengan saat ini.Dan, ketika pemasyarakatan menjalankan fungsinya, tetap saja reaksi negatif muncul semisal ada narapidana yang telah memenuhi syarat tertentu mendapatkan haknya. Pengurangan hukum dalam momen-monen tertentu atau bahkan pembebasan bersyarat misalnya.--- Jika menengok pada KUHP baru rasanya tujuan pemidanaan jadi makin luas. Tidak saja mencegah dilakukannya tindak pidana, tetapi juga untuk memasyarakatkan kembali terpidana. Selain itu pidana yang dijatuhkan juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa penyesalan bahkan untuk membebaskan rasa bersalah. Tapi dari semua itu, yang menarik adalah memulihkan keseimbangan ‘kosmis’, istilah yang selama ini dikenal dalam hukum adat. Mungkin karena itu pula kemudian memunculkan istilah korektif, rehabilitatif dan restoratif dan KUHP baru. Perubahan paradigma, salah satunya dengan double track system menjadikan dalam KUHP baru tidak lagi menempatkan pidana penjara sebagai yang utama. Dan yang jelas kesemuanya memberikan ‘beban’ lebih kepada pengadilan (baca: hakim) ketika akan menjatuhkan pidana. Bisa jadi tidak lagi cukup dengan ‘template’ hal-hal yang memberatkan dan meringankan seperti yang dikenal selama ini. Eksplorasi lebih dalam diperlukan tentunya. Tidak percaya? Baca saja KUHP baru. (seg)