“Terima,
Yang Mulia,”
suara lirih nyaris tidak terdengar. Tenggelam oleh kata sama terlontar dari
wanita muda dengan toga hitam lantang. Seorang pria berkemeja putih lusuh agak
kecoklatan, berdiri dari kursi ‘pesakitan’. Kursi yang terletak di
tengah-tengah meja ‘hijau’, meja tempat dimana mereka yang disebut Yang Mulia
menjalankan tugasnya.
Kembali mengenakan rompi
orange bertuliskan tahanan kejaksaan. Dengan tangan terborgol berjalan hendak
meninggalkan ruang sidang. Sedikit membungkukan badan menghormat, dikawal
petugas keamanan bersenjata, terpidana berjalan keluar ruang sidang.
Meski kepala tertunduk,
tatapan sayu mata terpidana melirik pada orang-orang berpakaian serupa, baju
putih menunggu giliran bersidang. Menunggu putusan, putusan untuk menjadi
penghuni penjara. Narapidana.
Baca Juga: Simak! Ini 20 Alasan PT Pontianak Bebaskan WN China di Kasus Tambang Emas
---
Persidangan pengadilan, dalam
perkara pidana, sebagai proses penegakan hukum pidana, acapkali berujung penjatuhan
sanksi pidana penjara. Peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, terutama
penyidik dan penuntut umum menjadikan proses persidangan berjalan semakin baik.
Proses persidangan berjalan
relatif lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan sebagaimana yang dikehendaki
asas. Kecukupan pembuktian yang diajukan, lebih dari cukup memunculkan
keyakinan hakim. Keterbuktian peristiwa pidana dan kebersalahan terdakwa yang
kemudian menjadi dasar bagi penjatuhan pidana penjara karenanya.
Imbasnya prosentase terpidana
(dan/atau penuntut umum) yang menerima apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim
(baca: pengadilan) semakin hari semakin meningkat. Saat ini, lebih dari 90%
putusan atas perkara pidana yang diadili di pengadilan berkekuatan hukum tetap
karena tidak dilakukan upaya hukum. Dan, lebih dari 90% pula pidana yang
dijatuhkan adalah penjara. Apa artinya? Dari waktu ke waktu pengadilan terus
menerus memproduksi penghuni penjara.
---
Pemasyarakatan, sebagai lembaga
‘penampung’ dan penanggung jawab apa yang “diproduksi” proses penegakan hukum
pidana juga mengalami berbagai kendala. Overcrowded salah satunya, tentu tidak semata persoalan kelebihan
kapasitas, melainkan lahirnya persoalan-persoalan turunan yang tidak kalah
rumit. Masalah yang dari waktu ke waktu belum juga mendapatkan jalan keluar,
berlangsung terus menerus tanpa pernah dapat diatasi dengan tuntas.
“Masalah fundamental dan
sistemik bagi penyelenggaraan layanan pemasyarakatan,” sebagaimana dikatakan Direktur
Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham) Reynhard Silitonga. Per 12 Juni 2023 kapasitas hunian Rutan dan Lapas
140.424 orang dan jumlah penghuninya mencapai 269.263 orang. Tingkat overcrowded sudah mencapai 92%,” ujarnya
lebih lanjut.
---
Pemidanaan yang
dijatuhkan terhadap orang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah
bentuk pertanggungjawaban pidana. Dari teori absolut yang memandang pidana
(baca: penjara) semata bentuk pembalasan maupun teori relatif yang melihat ke
depan, pencegahan agar tidak terulang terjadinya tindak pidana atau prevensi,
baik khusus maupun umum, sampai pada teori yang menggabungkan keduanya
kesemuanya sampai saat ini masih dilihat dari berapa lama pidana penjara yang
dijatuhkan.
Pidana penjara masih
menjadi “pilihan utama” dalam penjatuhan pidana dibandingkan dengan pilihan
pidana pokok lainnya. Diakui atau tidak, suka atau tidak suka, pidana penjara
masih mendominasi amar putusan dalam perkara pidana selama ini.
Dampaknya, overcrowded menjadi masalah fundamental
dan sistemik bagi penyelenggaraan layanan pemasyarakatan sampai dengan saat ini.
Dan, ketika
pemasyarakatan menjalankan fungsinya, tetap saja reaksi negatif muncul semisal
ada narapidana yang telah memenuhi syarat tertentu mendapatkan haknya.
Pengurangan hukum dalam momen-monen tertentu atau bahkan pembebasan bersyarat
misalnya.
---
Jika menengok pada KUHP
baru rasanya tujuan pemidanaan jadi makin luas. Tidak saja mencegah
dilakukannya tindak pidana, tetapi juga untuk memasyarakatkan kembali
terpidana. Selain itu pidana yang dijatuhkan juga diharapkan dapat menumbuhkan
rasa penyesalan bahkan untuk membebaskan rasa bersalah. Tapi dari semua itu,
yang menarik adalah memulihkan keseimbangan ‘kosmis’, istilah yang selama ini
dikenal dalam hukum adat. Mungkin karena itu pula kemudian memunculkan istilah korektif,
rehabilitatif dan restoratif dan KUHP baru.
Baca Juga: Saat Akun Gosip 'Lambe Turah' Digugat Sampai ke MA
Perubahan paradigma,
salah satunya dengan double track system menjadikan dalam KUHP baru
tidak lagi menempatkan pidana penjara sebagai yang utama. Dan yang jelas kesemuanya
memberikan ‘beban’ lebih kepada pengadilan (baca: hakim) ketika akan
menjatuhkan pidana. Bisa jadi tidak lagi cukup dengan ‘template’ hal-hal yang
memberatkan dan meringankan seperti yang dikenal selama ini. Eksplorasi lebih
dalam diperlukan tentunya. Tidak percaya? Baca saja KUHP baru. (seg)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI