Cari Berita

Pakai Perma 1/2020, MA Perberat Vonis Terdakwa Korupsi Eks Dirut RSUP Medan

article | Sidang | 2025-09-23 10:00:56

Jakarta- Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Bambang Prabowo dari 4 tahun penjara menjadi 6 tahun penjara. Mantan Dirut Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H Adam Malik Medan itu terbukti korupsi Rp 3,9 miliar. Salah satu pertimbangan majelis kasasi memperberat hukuman yaitu dengan memedomani Perma 1/2020.Kasus bermula saat terjadi patgulipat pengelolaan uang di tahun 2028. Kasus itu terendus aparat dan bergulir ke pengadilan. Di tingkat pertama, Bambang Prabowo dihukum selama 3 tahun penjara. Kemudian diperberat 4 tahun penjara di tingkat banding. Perkara lalu bergulir ke MA. “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar  Rp200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan,” demikian bunyi putusan kasasi yang dikutip DANDAPALA dari website MA, Selasa (23/9/2025).Putusan itu diketok oleh hakim agung Soesilo sebagai ketua majelis. Adapun anggota majelis yaitu Ansori dan Ainal Mardhiah.“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesa Rp3.917.790.719,89 Jika Terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun,” ucap majelis. Berikut alasan majelis menghukum Bambang:-Bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan yaitu Terdakwa selaku Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2018 sampai dengan tahun 2020 menyetujui pembayaran kepada pihak ketiga secara tunai. Terdakwa menandatangani pengeluaran dalam BKU, namun tidak dibayarkan oleh Saksi Ardiansyah Daulay selaku Bendahara Pengeluaran Badan Layanan Umum (BLU) tahun 2018 kepada pihak ketiga senilai Rp3.010.459.167.− Bahwa Terdakwa memerintahkan dan menandatangani pembelanjaan di luar dari RBA Badan Layanan Umum (BLU) Tahun 2018 dalam rangka persiapan akreditasi JCI dan KRIS dengan memerintahkan Saksi Ardiansyah Daulay untuk menandatangani cek/giro Bank Bukopin dengan nomor rekening 1002889028 walaupun Saksi Ardiansyah Daulay sudah tidak menjabat lagi sebagai Bendahara Pengeluaran Badan Layanan Umum sejak Oktober 2018 sampai dengan 26 November 2018;-Bahwa Terdakwa menerima fasilitas untuk kepentingan pribadi dari Saksi Ardiansyah Daulay yang berasal dari dana Badan Layanan Umum (BLU) dan pungutan pajak yang tidak disetor. Terdakwa juga tidak melakukan pengawasan terhadap uang persediaan yang melebihi dari ketentuan dilakukan oleh Saksi Ardiansyah Daulay;− Bahwa perbuatan Terdakwa telah mengkibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp8.059.455.203,00 (delapan miliar lima puluh Sembilan juta empat ratus lima puluh lima ribu dua ratus tiga rupiah) berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Auditorat Utama Investigasi BPK RI Nomor: 06/LHP/XXI/02/2024 tanggal 16 Februari 2024 dalam rangka penghitungan kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan negara pada Bendahara Pengeluaran Badan Layanan Umum (BLU) di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2018;-Bahwa fakta hukum tersebut membuktikan adanya kehendak yang sama antara Terdakwa dengan orang lain untuk melakukan penyalahgunaaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Terdakwa sebagai Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan dengan tidak melaksanakan kewajiban dan menjalankan tugas, tanggungjawab dan fungsi sebagaimana mestinya, yaitu menandatangani pengeluaran dalam BKU, namun tidak dibayarkan oleh Saksi Ardiansyah Daulay selaku Bendahara Pengeluaran Badan Layanan Umum (BLU). Perbuatan Terdakwa tersebut telah menguntungkan Terdakwa dan orang lain namun menimbulkan kerugian keuangan negara karena dana yang digunakan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Mengapa Hukuman Bambang Diperberat? Sebab, majelis kasasi memedomani Perma 1/2020, berikut selengkapnya: Bahwa namun demikian, penjatuhan pidana terhadap Terdakwa dapat memedomani Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dari sisi kerugian keuangan Negara tersebut termasuk kategori Sedang lebi dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), dilihat dari kesalahan Terdakwa termasuk kategori sedang (peran Terdakwa signifikan), dilihat keuntungan yang diperoleh termasuk kategori sedang yaituTerdakwa memperoleh keuntungan antara 10% (sepuluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen), dilihat dari pengembalian keuntungan termasuk kategori tinggi (Terdakwa belum melakukan pengembalian keuntungan) dan dilihat dari dampak termasuk kategori rendah (Skala Kota Medan), maka oleh karena Terdakwa memperoleh keuntungan dari kerugian keuangan Negara tersebut, perbuatannya signifikan menjadi penyebab timbulnya kerugian keuangan Negara dan hal itu secara nyata telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, maka oleh karenanya lebih tepat apabila rentang pemidanaan yang dijatuhkan terhadap Terdakwa adalah mendekati rentang pidana penjara antara 6 (enam) tahun sampai dengan 8 (delapan tahun);  

Korupsi, Oh Korupsi: Dari Gerobak Bakso hingga Barang Bukti

article | Sidang | 2025-09-13 18:15:03

Jakarta- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjadi salah satu ladang pembuktian bila korupsi di Indonesia menjadi titik akut. Korupsi itu telah menjalar di segala lini kehidupan masyarakat.Terkini, anggaran Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga jadi ladang bancakan. Yaitu proyek gerobak UMKM seperti gerobak bakso, gerobak gorengan, gerobak kerajinan dan sebagainya. Proyek ini menggunakan APBN 2018-2019 dengan target pembuatan 7.200 gerobak. Nantinya akan disebar ke berbagai daerah di Indonesia. Nilai proyek lebih dari Rp 50 miliar. Ternyata, proyek ini bocor di sana-sini. Sejumlah orang diadili.  Berikut sejumlah nama yang terseret kasus itu:1.    Bambang WidiantoBambang adalah vendor proyek. Ia dihukum 9 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Mashur juga dihukum membayar Uang Pengganti sebesar Rp 10,6 miliar. Hukuman ini di atas tuntutan jaksa yang menuntut Bambang dihukum 8 tahun penjara. Putusan itu diketok oleh ketua majelis Sunoto dengan anggota Eryusman dan Mulyono Dwi Purwanto pada Selasa (9/9/2025).  2.    MashurMashur adalah orang kepercayaan Bambang.  Ia akhirnya dihukum 7 tahun penjara. 3.    Putu Indra WijayaPutu adalah Kepala Bagian Keuangan Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan. Bukannya mengelola APBN dengan penung tanggung jawab, ia malah menjadi otak kebocoran anggaran. Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) menghukum Putu selama 10 tahun penjara, sebelumnya Putu dihukum 9 tahun penjara. Putu dinilai terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan gerobak UMKM yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp17 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tak hanya itu, Putu juga dihukum untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp17.135.000.000 (Rp17,1 miliar) dikompensasikan dengan barang bukti nomor 64.1, nomor 64.2, nomor 67.1 dan nomor 67.2."Sehingga sisa uang pengganti Rp16.935.000.000,00 (Rp16,9 miliar) subsider lima tahun penjara," ungkap ketua majelis kasasi, hakim agung Surya Jaya dengan anggota Ansori dan Ainal Mardhiah. Panitera Pengganti Syaeful Imam. Putusan tersebut diketok pada Senin, 9 Desember 2024.Selain itu, polah korupsi juga tidak hanya dihulu, tapi dihilir. Yaitu putusan pengadilan yang seharusnya dieksekusi dengan selurus-lurusnya, malah dibengkokan oleh jaksa eksekutor. Seperti dilakukan jaksa Akhmad Akhsya (33). Sebagai jaksa eksekutor, Azam harusnya mengembalikan barang bukti puluhan miliar ke korban investasi bodong sebagai mana putusan pengadilan.Namun dalam proses eksekusi, jaksa Azam malah main mata dengan pengacara korban sehingga Rp 11 miliar lebih bukannya kembali ke korban, tapi malah masu ke kantong jaksa Azam. Akhirnya, jaksa Azam diproses dan dituntut temannya sendiri selama 4 tahun penjara. Hakim PN Jakpus tidak sependapat dengan lamanya tuntutan dan memilih menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada jaksa Azam. Putusan itu kemudian diperberat di tingkat banding menjadi 9 tahun penjara.“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Azam Akhmad Akhsya SH MH berupa pidan apenjara selama 9 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana densa sebesar Rp 500 juta subsidair 5 bulan kurungan,” demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip DANDAPALA.Putusan itu diketok oleh ketua majelis Teguh Harianto dengan majelis Budi Susilo dan Hotma Maya Marbun. Putusan itu diketok siang ini. Sebelumnya, Azam dihukum 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.“Membebankan kepada terdakwa Azam Akhmad Akhsya SH MH untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 11,7 miliar,” ucap majelis.Jika tidak membayar uang pengganti selama 1 bulan maka harta bendanya dilelang. Bila tidak cukup menutup maka diganti penjara selama 5 tahun. Lalu apa alasan majelis hakim memperberat hukuman Azam?“Terdakwa Azam sebagai jaksa yang diberi kewenangan sebagai Jaksa Penuntut Umum dalam perkara investasi bodong dan setelah putusan perkara berkekuatan hukum tetap terdakwa ditunjuk jadi jaksa eksekutor. Dalam pelaksanan tuganys tersebut, terdakwa terbukti telah menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasannya sebagai JPU dan jaksa eksekutor pelaksanaan putusan dengan cara meminta ‘uang pengertian’ kepasa para kkuasa hukum korban sebesar Rp 11,7 milar,” ucap majelis.Vonis di atas memperbanyak daftar korupsi di berbagai lini di Indonesia. Sebelumnya korupsi juga terbukti di sektor timah, maskapai penerbangan Garuda, Pertamina, Antam, sektor militer, pajak, perbankan, suap legislator, proyek e-KTP, proyek Alquran, proyek gedung ibadah, proyek pasar, proyek perumahan, hingga anggaran desa yang ditilep Kades.

Menyudahi Disparitas Vonis, Mungkinkah?

article | Opini | 2025-09-13 12:00:59

TIDAK jarang terdapat perbedaan signifikan antara tuntutan jaksa dengan putusan hakim. Bahkan hakim tingkat pertama dan tingkat banding acapkali terjadi perbedaan mencolok soal beratnya hukuman (strafmaat). Bagaimana kita harus melihatnya?Sebagai ilustrasi, ada jaksa menuntut pidana penjara 4 tahun, namun hakim Pengadilan Negeri memutus 7 tahun penjara. Kemudian Pengadilan Tinggi memperberat menjadi 9 tahun penjara. Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis: Apakah terdapat perbedaan penilaian yang mendasar terhadap berat ringannya perbuatan terdakwa? Bagaimana harmonisasi antara perspektif penuntut umum dan hakim dalam menilai suatu tindak pidana? Sejauh mana disparitas vonis ini dapat diterima dalam koridor keadilan? Dan yang tidak kalah penting, bagaimana sistem peradilan dapat menjamin keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat? Disparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan telah menjadi isu klasik yang berkembang di tengah masyarakat. Fenomena ini menyeruak kembali setiap kali terjadi peristiwa penting yang mendapat perhatian publik luas. Dalam ranah pidana, masyarakat masih sering menganggap perbedaan penjatuhan hukuman pada perkara sejenis sebagai manifestasi ketidakadilan sistem peradilan. Putusan pengadilan senantiasa bersifat kontekstual dan kasuistis. Kekhasan tersebut menimbulkan kesan bahwa antara putusan satu dengan yang lain tidak sama, bahkan dapat menimbulkan persepsi inkonsistensi. Namun, ada banyak faktor yang mempengaruhi tidak seragamnya putusan pengadilan. Pertama, perbedaan kasus perkara yang biasanya memiliki pola-pola perbuatan tidak sama, keunikan tersendiri, dan bahkan keadaan khusus yang menjadi pembedanya. Kedua, perkembangan aturan hukum seperti aturan baru yang menggantikan aturan lama (lex posterior derogat legi priori). Ketiga, perbedaan paradigma antar hakim pada saat mengadili suatu perkara yang menyebabkan munculnya perbedaan perspektif dalam menyusun pertimbangan hukum. Variabel lain yang mempengaruhi adalah pola susunan majelis hakim pemeriksa perkara. Hal ini berkaitan dengan unsur subjektif antar hakim yang akan mempengaruhi hasil akhir putusan pengadilan. Bahkan, cara pandang hakim di suatu wilayah tertentu dengan wilayah lain dapat berbeda mengingat adanya faktor pengaruh eksternal seperti pengaruh adat budaya dan kebiasaan masyarakat setempat dimana hakim bertugas, yang menyebabkan pola pikir antar hakim cenderung tidak sama. Perbedaan perspektif antara jaksa penuntut umum dan hakim juga memberikan kontribusi signifikan terhadap disparitas vonis. Jaksa penuntut umum cenderung fokus pada aspek pembuktian dan kecukupan alat bukti, mempertimbangkan kemungkinan keberhasilan dalam upaya hukum, serta menilai secara konservatif untuk menghindari putusan lepas atau bebas. Sebaliknya, hakim melakukan penilaian komprehensif terhadap seluruh aspek perkara, mempertimbangkan dampak sosial dan efek jera, serta memiliki kebebasan dalam menilai berat ringannya perbuatan berdasarkan keyakinan hukumnya. Sentencing GuidelinesUntuk mempersempit disparitas starfmaat, maka sudah tepat diberlakukan sentencing guidelines. Sentencing guidelines berperan penting sebagai katalis ideal guna mereduksi disparitas penjatuhan pidana. Artinya, pencantuman pertimbangan sentencing guidelines dalam putusan wajib dan harus dalam rangka memenuhi harapan masyarakat akan putusan yang berkeadilan, proporsional, dan ideal. Namun, implementasinya menghadapi tantangan utama dari internal korps hakim berupa resistensi terhadap perubahan paradigma, keengganan menggunakan pedoman yang dipandang membatasi diskresi, dan perlunya pelatihan intensif untuk memahami nuansa sentencing guidelines. Dari sisi masyarakat, tantangannya adalah kurangnya pemahaman tentang pergeseran paradigma hukum pidana, ekspektasi yang tidak realistis terhadap keseragaman mutlak putusan, dan perlunya edukasi tentang kompleksitas pertimbangan pemidanaan. Keniscayaan implementasi sentencing guidelines perlu mendapat dukungan dari hakim dan masyarakat. Hakim harus mampu benar-benar menggali dan mempertimbangkan sentencing guidelines dalam setiap putusannya. Hakim perkara pidana secara nurani memiliki kewajiban menjelaskan secara benar dan wajar tentang apa yang diputuskan kepada terpidana dan masyarakat. Selain itu, masyarakat diharapkan bersikap objektif ketika menilai sebuah putusan. Guna mengetahui adanya disparitas putusan, wajib ada narasi komprehensif atau setidaknya kerelaan diri untuk sungguh-sungguh memahami keseluruhan pertimbangan hakim. Memahami bagaimana hukuman diputuskan penting guna menentukan pemidanaan sudah adil dan proporsional atau tidak.  Mahkamah Agung telah memberikan sinyal kuat melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Perma ini lahir dari kondisi disparitas putusan tipikor dan bertujuan menciptakan kepastian serta proporsionalitas dalam penjatuhan pidana tipikor, menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Adanya Perma ini menjadi sinyal kuat bahwa pedoman pemidanaan dibutuhkan untuk mewujudkan putusan pengadilan yang ideal. Selain itu, KUHP Nasional memposisikan sentencing guidelines sebagai elemen wajib dalam putusan. Formula pemidanaan berubah menjadi kumulasi: Tindak Pidana + Pertanggungjawaban Pidana + Tujuan Pemidanaan + Pedoman Pemidanaan = Putusan Ideal. Dengan adanya pedoman pemidanaan, rumusan pemidanaan menjadi lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Reformasi Sistem PemidanaanDisparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan fenomena kompleks yang memerlukan pendekatan holistik.  Pada akhirnya, menakar rasa keadilan memerlukan keseimbangan antara konsistensi dan fleksibilitas, antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Sistem peradilan yang ideal adalah yang mampu memberikan putusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan dapat diterima secara sosial, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip equality before the law. Rasa keadilan tidak dapat diukur semata-mata dari angka tahun penjara yang dijatuhkan, tetapi merupakan konsep kompleks yang mencakup keadilan retributif (pembalasan yang setimpal), keadilan restoratif (pemulihan kerusakan), dan keadilan distributif (kesetaraan perlakuan). Disparitas vonis yang dapat dijelaskan melalui pertimbangan hukum yang objektif dan komprehensif berdasarkan sentencing guidelines merupakan dinamika normal sistem peradilan. Sebaliknya, disparitas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus dieliminasi melalui reformasi sistem yang berkelanjutan dan implementasi pedoman pemidanaan yang efektif. Untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih adil dan dapat diprediksi, diperlukan reformasi sistem pemidanaan melalui pengembangan pedoman pemidanaan yang lebih detail, peningkatan kapasitas penegak hukum melalui pelatihan berkala dan harmonisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam publikasi data dan analisis putusan. Serta penelitian berkelanjutan untuk evaluasi efektivitas dan pengembangan instrumen pengukuran keadilan yang lebih objektif. Hanya dengan pendekatan komprehensif inilah disparitas vonis dapat diminimalkan tanpa mengorbankan esensi keadilan itu sendiri.   Sunoto SH MHHakim PN Jakpus/Hakim Tipikor

PN Jakpus Vonis Vendor 9 Tahun Penjara Gegara Korupsi Gerobak UMKM

article | Sidang | 2025-09-10 10:45:24

Jakarta- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjatuhkan vonis 9 tahun penjara kepada Bambang Widianto. Adapun Mashur dihukum 7 tahun penjara. Keduanya merupakan vendor gerobak UMKM Kementerian Perdagangan (Kemendag).Kasus bermula saat Kemandag membuat proyek pengadaan gerobak UMKM tahun anggaran 2018-2019. Seperti gerobak bakso, gerobak gorengan dan lain sebagainya. Nantinya akan disebar ke berbagai daerah di Indonesia. Nilai proyek lebih dari Rp 50 miliar. Ternyata, proyek ini bocor di sana-sini. Sejumlah orang diadili. Salah satunya Bambang dan Mashur selaku vendor yang membuat gerobak itu. Akhirnya Bambang-Mashur divonis bersalah.“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa BAMBANG WIDIANTO dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan,” demikian bunyi putusan PN Jakpus yang dikutip dari SIPP PN Jakpus, Rabu (10/9/2025).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Sunoto dengan anggota Eryusman dan Mulyono Dwi Purwanto pada Selasa (9/9) kemarin. Majelis menilai terdakwa bersalah melanggar pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Majelis juga menghukum Bambang membayar uang pengganti sebesar yang dikorupsinya.“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 10.661.395.300 dengan ketentuan jika Terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 4 tahun,” bebernya.