Cari Berita

12 Angry Men, 1 Hakim Ubah Mayoritas Suara Putusan Bebas Imigran Miskin

article | Serba-serbi | 2025-09-14 09:00:48

Di tengah derasnya film drama hukum yang menggunakan efek visual yang memukau. Ada sebuah mahakarya sinema, yang membuktikan bahwa drama murni, tanpa efek visual yang berlebihan, dapat jauh lebih menegangkan. Mahakarya itu bernama “12 Angry Men.” Film ini bukan sekadar kisah persidangan, melainkan eksplorasi mendalam tentang manusia, prasangka, dan kekuatan satu suara yang menolak diam. Film klasik garapan Sidney Lumet tahun 1957 yang dikawinkan dengan penulisan cantik dari Reginald Rose ini telah menjadikan karya Mereka sebagai barometer film drama hukum di generasi sekarang. Film ini penuh dengan dialog tajam dan karakter yang kompleks. Meskipun, karya ini lahir pada saat era perang dingin dan ketegangan sosial Amerika, namun pesannya tetap relevan hingga sekarang. “12 Angry Men” merupakan 100 film paling berpengaruh di Amerika Serikat versi American Film Institute. Di Rotten Tomatoes, film ini mendapat rating 100%, hingga mendapatkan nominasi Oscar untuk Best Director, dan Best Picture.Menariknya, film ini hanya memiliki latar ruang sidang dan ruang juri saja yang memakan waktu 96 menit dan dipenuhi dengan dialog dan perdebatan hukum yang tajam. Alkisah diceritakan dalam film tersebut ada 12 juri yang sedang menangani perkara tuduhan pembunah yang dilakukan oleh seorang Anak keturunan Puerto Rico (Amerika Latin), yang hidup di daerah kumuh. Anak tersebut tidak mampu berbicara bahasa inggris dan dituduh telah membunuh ayahnya sendiri. Berdasarkan hukum Amerika, Ia dapat diancam dengan hukuman mati. Para Juri kemudin berunding di satu ruangan untuk membuat keputusan bulat. Mereka mendiskusikan apakah anak tersebut dapat dinyatakan bersalah atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang relevan. Dalam salah satu adegan, Juri No. 8 yang dibintangi oleh Aktor Ternama Henry Fonda mendiskusikan dan mempertanyakan lagi keputusan 11 juri mengenai kesalahan anak tersebut.Ia menerangkan terdapat kejanggalan bukti-bukti yang dihadirkan Penuntut Umum seperti keterangan beberapa Saksi. Misalnya, saat Penuntut Umum menghadirkan Saksi berkebutuhan khusus. Juri No. 8 menganggap keterangannya tersebut tidak relevan diterima. Mengingat, keterbatasan Saksi tersebut untuk melihat secara langsung saat Terdakwa turun dari tangga setelah pembunuhan.Kemudian, Juri No. 8 juga mempertanyakan keterangan Saksi yang rabun saat melihat Terdakwa menusuk ayahnya menggunakan pisau. Padahal berdasarkan fakta, Saksi yang bermata rabun ini saat kejadian tidak menggunakan kacamata saat melihat peristiwa tersebut.Pada akhirnya 11 juri mengubah pendapat mereka, sehingga seluruh juri bersepakat menyatakan anak tersebut tidak bersalah. Dalam film ini, diperlihatkan anak sebagai pelaku ini sebagai sosok imigran dari Puerto Rico. Ia tinggal di lingkungan kumuh serta tumbuh dan berkembang dari keluarga narapidana.Diceritakan Ia juga tidak dapat berbicara bahasa inggris. Dengan berbagai kondisinya tersebut, Ia telah didudukkan sebagai terdakwa.Fakta-fakta ini yang coba diangkat oleh Sidney Lumet yang mencoba menjelaskan hukum harus dilepaskan dari suatu “bias”. Bias dari kondisi kelas sosial, asal suku, maupun kondisi ekonomi seseorang. Di samping itu, Sutradara Film juga berupaya menggambarkan Sosok Juri 8 sebagai teladan yang bersikap kritis, berani dan tegas dalam membela kebenaran. Dari hasil buah pemikiran kritisnya, Ia dapat mengulas dan mempertanyakan satu per satu bukti di persidangan serta mempertanyakan relevansinya terhadap kesalahan sang Pelaku.Selain itu film ini juga telah berhasil mengeksplorasi prinsip reasonable doubt. Prinsip tersebut menjelaskan hakim harus benar-benar yakin atas kesalahan pelaku berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.Sebab, pembuktian yang tidak meyakinkan dari Penuntut Umum hanya memperjelas posisi ketidak bersalahan terdakwa. Selain itu, Para Pengadil dalam memutus bersalahnya seorang, perlu bersikap profesional dan independen serta melepaskan diri dari kebenciannya terhadap pelaku di ruang sidang. (zm/fac)

Refleksi Sistem Hukum Indonesia dari Drama Korea Beyond the Bar

article | Serba-serbi | 2025-09-13 12:30:06

Dalam semesta serial drama Korea, tema percintaan dan keluarga mungkin menjadi sajian dominan. Namun, beberapa tahun terakhir, drama bertema hukum semakin mendapat tempat di hati penonton internasional, termasuk di Indonesia. Salah satu judul terbaru yang mencuri perhatian adalah Beyond the Bar, drama hukum yang bukan hanya menghadirkan ketegangan ruang sidang, tetapi juga menggugah kembali makna keadilan dan profesionalisme di dunia hukum.Lebih dari sekadar tontonan, Beyond the Bar adalah cermin, yang dalam bayang-bayangnya, kita bisa melihat kontur problematika hukum Indonesia, baik dari segi substansi, prosedur, hingga nilai-nilai etis dalam praktik profesi hukum.Beyond the Bar mengikuti perjalanan Kang Hyo-min, pengacara pemula yang masih berpegang pada idealisme tentang hukum sebagai alat keadilan. Ia berhadapan dengan kerasnya praktik hukum di firma Yullim, yang dipimpin Yoon Seok-hoon, sosok pengacara senior yang tampak dingin namun menyimpan kompleksitas moral yang dalam. Setiap episode menyuguhkan kasus berbeda, mulai dari kekerasan yang disamarkan sebagai ‘persetujuan’, kesepakatan damai yang mengaburkan keadilan, hingga dilema etis dalam membela klien yang salah secara moral namun sah secara hukum.Cerita yang disajikan tidak hanya menyoroti hitam-putihnya hukum, tetapi menampilkan spektrum abu-abu, ruang di mana hukum bertemu moralitas, dan keadilan tidak selalu berada di pihak yang menang secara hukum.Salah satu tema krusial dalam Beyond the Bar adalah soal persetujuan. Dalam episode “Love is an impairment”, korban kekerasan seksual ditantang untuk membuktikan bahwa ia tidak benar-benar memberikan persetujuan terhadap tindakan yang menimbulkan luka fisik dan psikologis. Cinta yang membutakan dapat dikategorikan sebagai diminished capacity yang pada konteks ini berarti bahwa dalam kondisi emosial, persetujuan tidak sepenuhnya sah karena dipengaruhi manipulasi dan rasa cinta buta.  Dalam hukum Indonesia, konsep “persetujuan” juga tidak sesederhana tampak di permukaan. Undang undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mencakup situasi di mana kekerasan seksual dapat terjadi melalui manipulasi, paksaan, atau penyalahgunaan kekuasaan yang membuat korban seolah- olah memberikan persetujuan, padahal sebenarnya mereka dalam posisi yang rentan atau terjebak dalam hubungan yang tidak seimbang secara kekuatan (relasi kuasa). Persetujuan yang diberikan dalam kondisi timpang seperti adanya relasi kuasa atau manipulasi dianggap tidak sah.Dalam beberapa episode, Beyond the Bar menampilkan bagaimana penyelesaian sengketa secara damai bahkan melalui perjanjian kerahasiaan atau Non Disclosure Agreement, menjadi alternatif yang diambil para pihak untuk “menghindari” pengadilan. Tentu, ini mencerminkan realitas yang juga lazim dalam praktik hukum Indonesia, terutama dalam perkara perdata.Beyond the Bar mungkin adalah drama Korea, tetapi pertanyaannya bersifat universal: Apa itu keadilan? Siapa yang berhak menentukan? Apakah hukum benar-benar bekerja untuk yang lemah, atau hanya bagi mereka yang tahu cara memainkannya?Bagi penonton Indonesia, terutama kalangan praktisi hukum dan penegak keadilan, drama ini menjadi pengingat bahwa hukum bukan hanya tentang pasal dan prosedur, tetapi juga tentang Nurani dan integritas. Ia menunjukkan bahwa di dunia nyata, keadilan tidak selalu bersuara lantang, kadang ia hadir dalam keputusan sulit, dalam suara hati yang enggan berkompromi. Dan mungkin, di balik layar hiburan itu, Beyond the Bar justru sedang mengajak kita, aparatur hukum, untuk tidak sekadar menjalankan hukum, tapi menyalakan kembali semangat keadilannya. ikaw

Resensi Film Messiah, Cermin Nyata Dunia Digital dan Paranoia Entitas Elit Global

article | Berita | 2025-06-30 14:30:16

NETFLIX kembali melakukan dobrakan dengan film seri Messiah (2020), sebuah serial drama thriller bernuansa geopolitik yang memantik diskusi tajam tentang kepercayaan, kekuasaan, dan teknologi. Diperankan secara mengesankan oleh Mehdi Dehbi, sosok Al-Masih hadir sebagai figur misterius yang mengklaim membawa pesan perdamaian—namun justru menebar keresahan global. Bukan hanya karena pesannya yang mengusik, tetapi karena serial ini menyajikan refleksi sinis atas dunia nyata: era di mana pengawasan digital dan manipulasi algoritma bisa menentukan nasib seseorang tanpa proses hukum yang transparan.Kisah Messiah dibuka dengan kemunculan Al-Masih di Timur Tengah, yang pesannya viral di media sosial dan segera mengundang perhatian badan intelijen Amerika Serikat. Melalui karakter Eva Geller (diperankan Michelle Monaghan), CIA mulai melancarkan operasi penyelidikan intensif,sekaligus juga pendiskreditan terhadap figur "Al-Masih" tersebut demi melindungi status quo. Namun alih-alih pendekatan objektif, yang muncul adalah serangkaian tindakan represif berbasis teknologi—mulai dari pelacakan digital hingga penggiringan opini publik melalui manipulasi algoritmik. Tanpa harus menyebutnya secara gamblang, serial ini menyajikan gambaran yang menohok tentang bagaimana kekuasaan modern dapat digunakan untuk mengontrol narasi, bahkan menghancurkan reputasi seseorang, di ruang digital yang tidak lagi netral.Fenomena ini bukan sekadar fiksi. Di dunia nyata, tidak sedikit individu yang mengalami tekanan sistemik karena gagasan-gagasan yang dianggap mengancam tatanan. Kampanye disinformasi, serangan siber, dan sensor algoritmik kerap kali menjadi alat untuk membungkam suara-suara yang berbeda. Serial Messiah menangkap realitas tersebut secara subtil, memperlihatkan bagaimana kecanggihan teknologi informasi dapat digunakan untuk menciptakan realitas alternatif yang menggiring persepsi publik.Lebih jauh, Messiah menggambarkan bagaimana paranoia institusional kerap melahirkan tindakan yang mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam serial ini, Al-Masih bukan hanya dicurigai sebagai ancaman karena tindakannya, tetapi karena potensinya untuk mengubah cara pandang masyarakat. Ia dipandang berbahaya bukan karena kekerasan, melainkan karena pesan damai yang ia bawa dinilai terlalu subversif oleh aparat keamanan negara. Narasi ini mengingatkan pada dinamika global saat ini, di mana individu atau kelompok yang menyerukan perubahan kerap kali dikriminalisasi dengan label-label ekstrem.Menariknya, Messiah menyentil isu-isu sensitif tanpa menunjuk langsung pihak tertentu. Serial ini tidak menyebut nama negara, korporasi, atau kelompok elit tertentu, namun atmosfer yang dibangun terasa akrab bagi mereka yang mengikuti perkembangan dunia digital dan politik global. Ketakutan berlebihan terhadap “gangguan” terhadap status quo dijadikan legitimasi untuk tindakan pengawasan dan penindasan. Dalam kerangka ini, pertanyaan yang muncul bukan lagi tentang apakah seseorang bersalah, melainkan apakah ia cukup berpengaruh untuk dianggap berbahaya.Dari sisi produksi, Messiah tampil meyakinkan. Sinematografi yang dieksekusi dengan baik menghadirkan atmosfer otentik, dengan latar pengambilan gambar di lokasi-lokasi seperti Yordania dan New Mexico. Alur cerita dibangun dengan ketegangan yang terukur, memadukan drama personal dan konflik geopolitik secara proporsional. Meski beberapa subplot—terutama yang menyangkut kehidupan pribadi karakter utama—terasa kurang menyatu dengan narasi besar, kekuatan utama serial ini tetap pada pesan kritisnya terhadap relasi antara kekuasaan dan teknologi.Yang membedakan Messiah dari serial thriller biasa adalah keberaniannya mengangkat tema besar: bagaimana hak individu dapat tergerus dalam sistem yang dikuasai oleh data, algoritma, dan narasi buatan. Setiap keputusan CIA dalam serial ini terasa sebagai kritik terhadap praktik pengawasan global yang kerap terjadi tanpa akuntabilitas memadai. Tanpa perlu menjadi khotbah moral, Messiah mengajak penonton merenungkan: sejauh mana kita bersedia menyerahkan kebebasan demi rasa aman yang dikonstruksi oleh pihak berwenang?Pada akhirnya, Messiah bukan sekadar kisah tentang figur mesianistik. Ini adalah alegori tentang dunia kita hari ini—dunia di mana kekuasaan dan teknologi dapat berpadu menjadi alat penindasan yang halus namun efektif. Serial ini menyisakan pertanyaan yang tak mudah dijawab: siapa sebenarnya yang berbahaya? Mereka yang membawa pesan perubahan, atau sistem yang merasa terancam oleh pesan tersebut?Bagi penggemar film yang gemar menyimak isu-isu global melalui lensa yang tajam dan reflektif, Messiah adalah tontonan yang layak dikaji lebih dalam. Tidak untuk mencari jawaban, tetapi untuk mempertanyakan kembali kenyataan yang selama ini kita anggap wajar. (tkm/asp)