Cari Berita

Eddy Hiariej: KUHAP Baru Tidak Boleh Ada Saling Sandera Antar Penegak Hukum

Aditya Yudi dan Sri Septiany - Dandapala Contributor 2025-11-01 15:00:45
Dok. Ist

Yogyakarta – Menjelang diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 2 Januari 2026, kebutuhan akan hukum acara pidana yang baru menjadi semakin mendesak. Dalam konteks itu, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) hadir sebagai rancangan besar untuk menata ulang sistem peradilan pidana Indonesia agar lebih modern, humanis, dan berorientasi pada perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Urgensi pembaruan inilah yang menjadi fokus Seminar Nasional bertajuk “RKUHAP di Persimpangan Jalan: Reformasi Peradilan atau Regresi Penegakan Hukum”, yang digelar oleh Keluarga Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (KMHLi FH UGM) di Gedung V.I.I. Fakultas Hukum UGM, Sabtu (1/11/2025).

Seminar Nasional ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas institusi, di antaranya Edward O.S. Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM RI), Jupriyadi (Hakim Agung MA RI), Maqdir Ismail (Ketua Umum Ikadin), Rini Triningsih (Asisten Pembinaan Kejati DIY), Roedy Yoelianto (Dirresnarkoba Polda DIY), dan Julian Duwi Prasetia (Direktur LBH Yogyakarta).

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Dalam pemaparannya, Edward O.S. Hiariej menjelaskan bahwa menyusun RKUHAP bukan perkara sederhana. Hukum acara pidana, menurutnya, berada pada posisi antinomi yakni dua kepentingan hukum yang tampak bertentangan tetapi harus saling melengkapi.

“Tidak mudah memformulasikan hukum acara pidana yang mengakomodir seluruh kepentingan. Dalam teori hukum dikenal istilah antinomi hukum, yaitu keadaan saling bertentangan yang tidak boleh menegasikan, tetapi harus melengkapi,” tuturnya.

Menurut Guru Besar UGM yang kerap disapa Prof Eddy ini, KUHAP didasarkan pada doktrin Ius Puniendi, yakni hak negara untuk memproses, menuntut, menghukum, dan melaksanakan pidana. Namun, di sisi lain, landasan filosofisnya adalah melindungi individu dari kesewenangan negara.

“Filosofi KUHAP bukan untuk memproses tersangka, melainkan melindungi individu dari kesewenangan negara,” ujarnya.

Oleh karena itu, RKUHAP harus dirumuskan dengan sangat rinci dan jelas. Aparat penegak hukum tidak boleh bertindak di luar apa yang diatur undang-undang. Di sinilah peran asas legalitas yang memiliki dua fungsi: fungsi melindungi warga dan fungsi instrumentasi bagi negara untuk bertindak sesuai batas hukum.

Sistem Terpadu dan Diferensiasi Fungsional

RKUHAP, lanjut Edward, disusun dengan berlandaskan asas diferensiasi fungsional, yang menempatkan setiap aparat penegak hukum (APH) pada peran masing-masing: penyidikan oleh Polri, penuntutan oleh Kejaksaan, pengadilan oleh hakim, pendampingan oleh advokat, serta pembimbingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

Filosofi ini mengarah pada pembentukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)yang meniadakan ego sektoral dan konflik kewenangan antar lembaga.

“KUHAP yang baru tidak boleh lagi diwarnai tarik menarik kepentingan antar lembaga penegak hukum. Tidak boleh ada saling sandera antara penyidik dan penuntut umum,” tegasnya.

RKUHAP mengatur koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam bab tersendiri. 

Penuntut umum bahkan akan terlibat sejak tahap perencanaan penyidikan untuk memastikan kesinambungan proses penegakan hukum. Dalam rancangan baru ini, apabila seseorang telah berstatus tersangka selama satu tahun tanpa perkembangan penyidikan, maka penyidikan wajib dihentikan demi kepastian hukum.

Perluasan Upaya Paksa dan Mekanisme Pengawasan

Salah satu pembaruan mendasar dalam RKUHAP adalah perluasan jenis upaya paksa dari 5 menjadi 9, yaitu Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan surat, Pemblokiran, Pencekalan, Penyadapan, dan Penetapan tersangka Dari sembilan upaya paksa tersebut, 7 di antaranya memerlukan izin Ketua Pengadilan. Hanya penangkapan dan penetapan tersangka yang tidak memerlukan izin pengadilan karena penetapan tersangka belum ada perampasan kemerdekaan. Sementara penangkapan agar calon tersangka tidak melarikan diri sehingga harus segera ditangkap tanpa membutuhkan birokrasi yang lama.

Edward menjelaskan, seluruh upaya paksa tetap dapat diuji melalui praperadilan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.

“Apabila penetapan tersangka dinyatakan tidak sah, maka seluruh upaya paksa terhadap orang tersebut harus digugurkan dalam waktu maksimal 3 hari,” ujarnya menegaskan.

Restorative Justice dan Orientasi HAM

RKUHAP juga memperkenalkan mekanisme Restorative Justice (RJ) yang dapat diterapkan di setiap tahap proses peradilan, mulai dari penyelidikan hingga tahap pemasyarakatan. Jika RJ dilakukan pada tahap penyidikan, penyidik wajib memberitahukan penuntut umum dan memperoleh penetapan pengadilan agar proses tersebut sah dan teregistrasi.

“Seseorang yang terlibat RJ tidak boleh residivis. Bahkan, RJ dapat diterapkan terhadap terpidana atau narapidana, dengan hasil berupa pengurangan hukuman baik dengan sistem remisi atau hak-hak lainnya,” jelas Edward.

Filosofi KUHP Nasional yang baru, lanjutnya, adalah mencegah sebanyak mungkin penjatuhan pidana penjara. Karena itu, sistem pembinaan dan hukuman alternatif seperti pidana kerja sosial, denda, atau pembimbingan kemasyarakatan akan lebih diutamakan.

Kewenangan Baru Jaksa dan Batasan Upaya Hukum

RKUHAP juga memperkenalkan dua kewenangan baru bagi jaksa yaitu: 1) Ple Bargaining, yakni perubahan proses acar pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat apabila terdakwa mengakui kesalahan; 2) Deferred Prosecution Agreement, yakni perjanjian penundaan penuntutan yang berlaku khusus bagi korporasi.

Selain itu, penyidik berwenang menerima pengakuan bersalah dari tersangka dan menyampaikannya kepada jaksa sebagai dasar untuk ple bargaining. Penyidik pun dapat menetapkan seseorang sebagai saksi mahkota, sepanjang dikoordinasikan dengan penuntut umum.

Dalam konteks upaya hukum, Edward menegaskan bahwa Peninjauan Kembali (PK) bukanlah peradilan tingkat empat, melainkan upaya hukum luar biasa sebagai sarana koreksi yang sangat terbatas dimana prinsip utama PK adalah Reformatio in Melius artinya PK harus memutus yang lebih ringan dari pengadilan terakhir. Pasal 263 KUHAP lama, jika MA menerima PK maka hanya ada 4 jenis putusan yakni tidak menerima tuntutan PU, lepas, bebas atau menerapkan hukuman yang lebih ringan.

Kemudian RKUHAP juga mengatur agar perkara dengan ancaman pidana di bawah lima tahun tidak dapat dikasasi, sehingga sistem peradilan menjadi lebih efisien dan berkepastian.

Digitalisasi dan Transparansi Proses Hukum

Sebagai penutup, Edward menyoroti pentingnya modernisasi sistem peradilan pidana berbasis teknologi informasi. Melalui digitalisasi, masyarakat dapat memantau perkembangan perkara secara terbuka, termasuk tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat.

“RKUHAP berorientasi pada due process of law yang menjamin perlindungan HAM dari potensi kesewenangan aparat penegak hukum. Setiap tahapan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan,” tuturnya.

Edward menambahkan, Pemerintah menargetkan RKUHAP dapat disahkan paling lambat Desember ini, karena keterlambatan pengesahan akan berdampak pada sejumlah undang-undang lain yang menunggu sinkronisasi, seperti UU Narkotika, UU Perampasan Aset, UU Advokat, UU Kejaksaan, dan UU Polri.

“Mohon doa restu, semoga RKUHAP segera disahkan. Tanpa hukum acara yang baru, sistem hukum pidana nasional belum bisa berjalan sepenuhnya,” pungkasnya.

Baca Juga: Pemerintah Tegaskan Batasan Praperadilan dan Peran Sentral Hakim dalam RKUHAP

Pemaparan Edward O.S. Hiariej menegaskan bahwa pembaruan RKUHAP bukan hanya revisi teknis, tetapi reformasi filosofis dan struktural atas sistem peradilan pidana Indonesia. Ia berupaya mengakhiri ego sektoral antar penegak hukum, menjamin perlindungan HAM, dan menyesuaikan praktik hukum pidana nasional dengan standar keadilan modern.

RKUHAP hadir sebagai instrumen yang menempatkan kembali hukum acara pidana pada tujuan sejatinya: bukan sekadar menegakkan hukum, melainkan memastikan bahwa keadilan berjalan dalam koridor kemanusiaan dan negara hukum yang beradab. (zm/fac)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…