Cari Berita

Kritik Konstitusional Terhadap Doktrin Group Of Companies & Separabilitas dalam Sengketa Infrastruktur Strategis

Bony Daniel-Hakim PN Serang - Dandapala Contributor 2025-12-19 07:00:12
Dok. Penulis.

Perdebatan yurisdiksi antara pengadilan negara dan arbitrase internasional bukan sekadar masalah teknis, melainkan pertarungan ideologis mempertahankan kedaulatan ekonomi.

Arbitrase kini bertransformasi menjadi rezim ekspansif, melalui doktrin seperti Group of Companies, memaksakan yurisdiksi asing dan menggerus hukum nasional. Ini adalah bentuk kolonisasi hukum, bukan sekadar transplantasi norma.

Khususnya dalam sengketa Proyek Strategis Nasional, intervensi arbitrase asing mengancam kepentingan publik dan melanggar Pasal 33 UUD 1945. Opini ini menggugat "mitos netralitas" arbitrase yang berpotensi melegalkan kerugian negara melalui forum tertutup tanpa akuntabilitas publik.

Baca Juga: Ketika KUHP dan KUHAP Diuji MK: Tanggung Jawab Konstitusional Hakim dan Urgensi Constitutional Question

Doktrin "pro-bisnis" asing tidak boleh menjadi kuda Troya yang melemahkan sistem hukum nasional. Ketertiban umum dan ekonomi konstitusi harus ditempatkan sebagai norma tertinggi untuk menolak penaklukan kedaulatan negara yang berlindung di balik topeng otonomi privat.

Fondasi arbitrase adalah konsensus mutlak. Namun, doktrin Group of Companies mendestruksi postulat ini dengan memaksakan yurisdiksi kepada entitas non-penandatangan berbasis "realitas ekonomi tunggal". Secara dogmatik, konstruksi ini cacat karena secara diametral melanggar asas privity of contract (Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata) serta prinsip separate legal personality, menciptakan "konsensus fiktif" yang menabrak syarat imperatif persetujuan tertulis dalam UU Nomor 30 Tahun 1999.

Dalam perspektif kritis, doktrin ini bukan sekadar deviasi prosedural, melainkan manifestasi "imperialisme yurisdiksi" yang dirancang elit transnasional demi komodifikasi keadilan. Penerapannya merupakan bentuk penyelundupan hukum yang mengebiri kedaulatan yudisial negara dan merampas hak konstitusional entitas nasional.

 Secara praksis, doktrin ini diterapkan secara asimetris dan oportunistik: agresif menjerat aset strategis lokal, namun impoten menuntut pertanggungjawaban induk perusahaan asing. Oleh karena itu, doktrin ini sejatinya adalah instrumen neokolonialisme hukum yang meruntuhkan integritas tatanan hukum nasional.

Doktrin separabilitas, yang mempostulatkan otonomi klausula arbitrase, menghadapi keruntuhan dogmatik saat berbenturan dengan meta-norma fraus omnia corrumpit (kecurangan membatalkan segalanya). Dalam sengketa infrastruktur strategis yang terkontaminasi fraud sistemik atau korupsi, klausula arbitrase sejatinya adalah "buah dari pohon beracun" yang cacat mutlak. Memaksakan keberlakuannya melanggar syarat kausa halal (Pasal 1320 dan 1337 KUHPerdata), sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.

Argumentasi Kompetenz-Kompetenz gugur di hadapan defisit wewenang investigatif tribunal privat dan potensi konflik kepentingan ekonomi arbitrator.

Menyerahkan ajudikasi perbuatan corrupt pada forum arbitrase sama dengan melegitimasi pencucian uang hasil kejahatan. Oleh karena itu, pengadilan negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melakukan piercing the veil of separability.

Klausula arbitrase harus dinyatakan inoperable karena kesepakatan prosedural tidak dapat dipisahkan dari itikad buruk substansial yang melahirkannya. Intervensi yudisial ini adalah afirmasi supremasi keadilan substantif untuk mencegah penyalahgunaan forum arbitrase sebagai benteng impunitas bagi kejahatan korporasi.

Diskursus arbitrabilitas sengketa Proyek Strategis Nasional tidak dapat dilepaskan dari mandat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Sebagai welfare state, Indonesia menempatkan penguasaan aset vital di tangan negara, sehingga sengketa terkait infrastruktur strategis bukanlah isu komersial murni, melainkan persoalan ketertiban umum (public policy) yang berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak.

Menyerahkan sengketa bermuatan fraud, perbuatan corrupt atau praktik monopoli kepada tribunal arbitrase asing adalah tindakan inkonstitusional. Arbitrator privat tidak memiliki legitimasi demokratis maupun mandat untuk menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Lebih fundamental lagi, ranah hukum publik yang memaksa, seperti hukum persaingan usaha, adalah domain eksklusif peradilan negara yang bersifat non-arbitrable.

Oleh karena itu, paradigma "Ekonomi Konstitusi" harus ditegakkan sebagai batasan mutlak (limitasi) bagi otonomi privat. Pengadilan wajib mengintervensi dan menolak yurisdiksi arbitrase ketika mekanisme tersebut berpotensi menggerus kedaulatan negara dan melegitimasi kerugian publik. Ini adalah demarkasi yurisdiksi yang tak dapat ditawar demi supremasi keadilan sosial.

Ditinjau dari perspektif sosiologi hukum dan teori kritis, dominasi arbitrase dalam sengketa strategis merupakan manifestasi berbahaya dari "privatisasi keadilan". Sistem ini mendestruksi sifat publik dari hukum yang seharusnya transparan dan akuntabel di pengadilan negara, menggantikannya dengan mekanisme tertutup yang elitis.

Dalam konteks sengketa yang melibatkan aset negara dan hajat hidup orang banyak, kerahasiaan arbitrase menciptakan "defisit demokrasi" yang akut. Keputusan vital yang berdampak langsung pada beban publik, seperti kenaikan tarif listrik atau pembengkakan utang negara, diambil oleh arbitrator swasta yang tidak memiliki legitimasi demokratis, hampa dari kontrol sosial.

Kerahasiaan ini bukan sekadar fitur prosedural, melainkan bentuk "kekerasan epistemik" yang merampas hak publik untuk mengetahui. Ia berpotensi menjadi selimut impunitas yang menutupi jejak korupsi, mark-up, dan inefisiensi proyek dari jangkauan penegak hukum dan audit negara.

Lebih jauh, fenomena ini melahirkan fragmentasi hukum atau apa yang disebut Gunther Teubner sebagai "Global Bukowina", di mana dispersi sengketa ke berbagai forum menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka celah bagi pihak bermodal kuat untuk melakukan forum shopping.

Mengacu pada postulat Jurgen Habermas, legitimasi hukum hanya dapat lahir dari diskursus rasional di ruang publik. Privatisasi sengketa publik melalui arbitrase memutus rantai legitimasi ini dan mengkomodifikasi hukum. Oleh karena itu, mengembalikan sengketa strategis ke pengadilan nasional adalah imperatif sosiologis dan konstitusional untuk merebut kembali ruang publik hukum. Pengadilan negara adalah satu-satunya forum yang menjamin bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga terlihat secara transparan oleh rakyat.

Analisis terhadap interaksi dialektis antara doktrin Group of Companies, prinsip separabilitas, dan isu fraud menyingkap sebuah krisis kedaulatan yang akut dalam lanskap hukum Indonesia.

Hegemoni arbitrase transnasional, yang kerap didewakan tanpa kritik sebagai "standar emas", sejatinya menyimpan potensi destruktif yang serius terhadap tatanan hukum nasional. Oleh karena itu, Pengadilan Indonesia harus segera mengakhiri era "kepatuhan buta" terhadap konstruksi hukum asing dan menegakkan demarkasi yurisdiksi yang bermartabat melalui tiga pilar aksiomatis.

Pertama, repudiasi doktrin group of companies. Doktrin ini wajib ditolak secara tegas karena bertentangan secara fundamental dengan asas privity of contract (personalitas) dalam KUH Perdata. Memaksakan yurisdiksi arbitrase kepada pihak non-penandatangan hanya berdasarkan afiliasi korporasi adalah bentuk "imperialisme yurisdiksi". Hal ini menciptakan konsensus fiktif yang merampas hak konstitusional subjek hukum untuk memilih forum peradilan secara sadar dan bebas, serta melanggar kedaulatan otonomi entitas korporasi yang terpisah.

Kedua, supremasi fraus omnia corrumpit atas separabilitas. Doktrin separabilitas tidak boleh menjadi safe haven bagi white collar crime. Berdasarkan meta norma bahwa "kecurangan membatalkan segalanya", apabila sebuah perjanjian lahir dari korup sistemik atau konspirasi jahat, maka cacat tersebut merusak validitas klausula arbitrase di dalamnya. Dalam kondisi ini, pengadilan negara wajib mengambil alih kompetensi. Formalisme prosedural arbitrase tidak boleh dibiarkan mengalahkan keadilan substantif atau melegitimasi hasil kejahatan.

Ketiga, status non-arbitrable bagi sengketa strategis. Berdasarkan mandat ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), sengketa yang melibatkan Proyek Strategis Nasional dan aset vital yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah ranah ketertiban umum yang bersifat non-arbitrable. Penegakan hukum publik yang memaksa (mandatory public law), seperti hukum persaingan usaha dan pemberantasan korupsi, adalah domain eksklusif yurisdiksi negara yang haram diprivatisasi ke dalam tribunal tertutup.

Baca Juga: Kasus Sindell v. Abott Loboratories: Lahirkan Doktrin Market Share Liability dalam Perkara Lingkungan Hidup

Pada akhirnya, reklaim yurisdiksi ini adalah manifestasi mutlak kedaulatan negara. Hukum Indonesia tidak boleh sekadar menjadi stempel legitimasi bagi kepentingan modal global, melainkan harus kembali pada khittah-nya sebagai instrumen perlindungan rakyat yang mandiri. Ini adalah seruan untuk membangun tatanan hukum yang berkeadilan, berwawasan kebangsaan, dan berkonstitusi. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…