Cari Berita

Ketika KUHP dan KUHAP Diuji MK: Tanggung Jawab Konstitusional Hakim dan Urgensi Constitutional Question

Muamar Azmar Mahmud Farig-Hakim PN Poso - Dandapala Contributor 2025-12-08 11:05:06
Dok. Ist.

Hakim Indonesia dapat diproyeksikan berada dalam situasi yang rumit ketika pasal yang harus diterapkan, diuji Mahkamah Konstitusi. Apa yang harus dilakukan hakim ketika norma yang memandu putusannya diragukan validitas konstitusionalnya?.

Apakah harus berpegang ketat pada undang-undang atau menempatkan konstitusi sebagai acuan utama seperti dituntut oleh sumpah jabatan mereka?. Ketegangan ini bukan sekadar problem teknis tetapi menyentuh inti desain institusi negara modern, yaitu sejauh mana suatu sistem memberi ruang bagi hakim untuk selaras dengan nilai dasar ketika instrumen hukumnya belum menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan politik, sebuah ketertinggalan institusional yang telah banyak dibahas dalam literatur teori politik (Fukuyama 2014).

Situasi ini akan semakin nyata setelah berlakunya KUHP dan KUHAP baru yang oleh beberapa kalangan publik dianggap memuat sejumlah pasal yang kabur dan bersinggungan dengan kebebasan sipil. Dalam kondisi tersebut, tentu dapat diproyeksikan banyak ketentuan yang akan diuji Mahkamah Konstitusi sehingga hakim di lapangan menghadapi dilema antara kewajiban memutus perkara dan risiko menerapkan norma yang bisa dinyatakan inkonstitusional.

Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945

Karena tidak ada mekanisme untuk menunda pemeriksaan, hakim terpaksa memutus sembari membawa ketidakpastian itu ke dalam ruang sidang. Dari titik inilah isu tulisan ini diajukan. Hakim Indonesia berada dalam ruang dilema ketika norma yang harus diterapkan diragukan konstitusionalitasnya dan KUHP/KUHAP baru memperbesar ruang dilema itu.

Sumpah Jabatan dan Tanggung Jawab Konstitusional Hakim

Sumpah jabatan hakim menyebut kewajiban menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sumpah ini bukan sekadar seremonial tetapi pernyataan bahwa konstitusi adalah kompas nilai bagi tindakan hakim.

Dalam teori konstitusi modern, ini mencerminkan apa yang disebut constitutional fidelity, yakni kesetiaan hakim kepada prinsip dasar yang melampaui teks undang-undang (Balkin 2011). Dengan demikian, undang-undang bukanlah sumber legitimasi tertinggi. Ia hanya instrumen yang harus dibaca dalam terang konstitusi.

Tanpa solusi, hakim harus menavigasi ruang abu-abu antara memutus perkara dan menjaga nilai konstitusional. Hakim sadar bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat mengubah status pasal yang ia gunakan, tetapi tetap wajib memberikan putusan tanpa menunda.

Dalam kondisi seperti ini, presumption of constitutionality tidak dapat menjadi titik awal. Ketika konstitusionalitas suatu pasal sedang digugat, memulai dari asumsi bahwa norma itu pasti benar berarti mengabaikan sumber nilai yang seharusnya mendahului kepastian formal. Seperti dijelaskan dalam studi institusi yudisial, norma dasar negara harus menjadi kerangka interpretasi ketika hukum positif tidak memberikan kepastian substansial (A. Stone Sweet, 2000).

Jalan Tengah Doktrin Konstitusional

Dalam praktik, beberapa hakim telah mengembangkan mekanisme bertahan yang dapat disebut sebagai uji konstitusional terselubung. Mereka melakukan constitutional conforming interpretation untuk menghindari makna pasal yang berpotensi melanggar hak. Mereka mengenyampingkan makna tertentu tanpa menyatakan undang-undang batal. Strategi ini mirip dengan constitutional avoidance dalam tradisi interpretasi di berbagai yurisdiksi demokratis (Eskridge 1988). Strategi tersebut merupakan bentuk kesadaran etis bahwa konstitusi harus hadir dalam penerapan hukum bahkan ketika instrumen formal belum disiapkan.

Namun batasnya jelas. Hakim tidak membatalkan undang-undang. Hakim hanya memilih makna yang selaras dengan nilai konstitusi. Pendekatan ini mirip dengan model Korea Selatan di mana hakim memiliki diskresi untuk memilih apakah mengajukan constitutional question atau terlebih dahulu menafsir norma dalam kasus konkret (Quintero, 2010). Model ini memungkinkan hakim menjaga nilai konstitusi tanpa mengacaukan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Pada kondisi dimana banyak norma kabur, banyak potensi pembatasan hak, banyak pasal sedang diuji Mahkamah Konstitusi. Ruang abu-abu semakin lebar dan peradilan membutuhkan orientasi agar tidak kehilangan arah. Dalam situasi ini Mahkamah Agung dapat mengeluarkan doktrin konstitusional sebagai solusi sementara. Doktrin itu dapat berisi pedoman tafsir konstitusional, kewajiban mencatat bahwa pasal sedang diuji Mahkamah Konstitusi, serta batas pengenyampingan makna yang tidak menyentuh kewenangan pembatalan. Doktrin ini adalah jembatan institusional menuju reformasi legislatif yang lebih permanen.

Reformasi Legislasi dan Urgensi Constitutional Question dalam Sistem Indonesia

Dalam jangka panjang, problem struktural ini hanya dapat diselesaikan melalui pembentukan mekanisme constitutional question. Mekanisme ini memberi dasar hukum bagi hakim ketika meragukan konstitusionalitas norma yang harus ia terapkan. Mekanisme ini memungkinkan penundaan terbatas atau partial stay atas bagian tertentu dari norma sambil meminta Mahkamah Konstitusi memberikan penilaian. Dengan demikian peradilan tidak lagi terjebak antara kepastian hukum dan keadilan konstitusional. Mekanisme ini umum dalam sistem civil law yang mengembangkan hubungan dialogis antara peradilan umum dan peradilan konstitusi, sebagaimana dijelaskan dalam kajian perluasan kekuasaan yudisial pada berbagai negara modern (Tate dan Neal 1995).

Namun mekanisme ini tidak akan berfungsi tanpa perubahan kultur hukum. Hakim harus dilatih untuk berpikir konstitusional, bukan hanya tekstual. Pendidikan hakim perlu memasukkan lebih banyak filsafat konstitusi, teori hak asasi manusia, dan metodologi interpretasi. Tanpa kultur baru, reformasi legislatif hanya menjadi bentuk tanpa roh. Dalam pandangan Fuller, hukum hanya bekerja ketika dijalankan oleh komunitas yang memiliki orientasi moral terhadap tujuan hukum itu sendiri (Fuller 1964). Prinsip itu sangat relevan bagi masa depan peradilan Indonesia. Hakim di semua tingkatan adalah penjaga pertama nilai konstitusi dalam penerapan hukum.

Penutup: Jalan Panjang Menuju Peradilan yang Lebih Konstitusional

Peradilan Indonesia sedang berada dalam tahap penting untuk menentukan bagaimana konstitusi bekerja dalam praktik sehari-hari. Hakim bertanggung jawab kepada konstitusi melebihi teks undang-undang. Selama belum ada mekanisme constitutional question, doktrin Mahkamah Agung menjadi kompas moral sementara. Namun persiapan bagi reformasi sistemik tidak dapat ditunda jika negara ingin memastikan bahwa setiap putusan pengadilan berakar pada nilai dasar konstitusi.

Ketika undang-undang bermasalah dan Mahkamah Konstitusi sedang memeriksanya, konstitusi tetap harus hadir dalam ruang sidang. Ia tidak hidup melalui dokumen, tetapi melalui keputusan hakim yang memikul tanggung jawab menjaga nilai fundamental republik. Karena itu, mengatur mekanisme constitutional question bukan sekadar reformasi prosedur. Tetapi juga pengakuan bahwa konstitusi baru menjadi nyata ketika ia hadir dalam putusan sehari-hari.

 

Referensi

Balkin J, 2011, Constitutional Redemption Harvard University Press

Eskridge W, 1988, Dynamic Statutory Interpretation University of Pennsylvania Law Review

Fukuyama F, 2004, State Building Cornell University Press

Fukuyama F, 2014, Political Order and Political Decay Farrar Straus and Giroux

Fuller L, 1964, The Morality of Law Yale University Press

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Rodrigo González Quintero, Judicial review in the Republic of Korea: an introduction,  revista de derecho, universidad del norte, 34: 1-17, 2010

Stone Sweet A, 2000, Governing with Judges Oxford University Press
Tate C Neal D 1995 The Global Expansion of Judicial Power NYU Press

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…