Hakim Indonesia dapat diproyeksikan berada
dalam situasi yang rumit ketika pasal yang harus diterapkan, diuji Mahkamah
Konstitusi. Apa yang harus dilakukan hakim ketika norma yang memandu putusannya
diragukan validitas konstitusionalnya?.
Apakah harus berpegang ketat pada
undang-undang atau menempatkan konstitusi sebagai acuan utama seperti dituntut
oleh sumpah jabatan mereka?. Ketegangan ini bukan sekadar problem teknis tetapi
menyentuh inti desain institusi negara modern, yaitu sejauh mana suatu sistem
memberi ruang bagi hakim untuk selaras dengan nilai dasar ketika instrumen
hukumnya belum menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan politik, sebuah
ketertinggalan institusional yang telah banyak dibahas dalam literatur teori
politik (Fukuyama 2014).
Situasi ini akan semakin
nyata setelah berlakunya KUHP dan KUHAP baru yang oleh beberapa kalangan publik
dianggap memuat sejumlah pasal yang kabur dan bersinggungan dengan kebebasan
sipil. Dalam kondisi tersebut, tentu dapat diproyeksikan banyak ketentuan yang
akan diuji Mahkamah Konstitusi sehingga hakim di lapangan menghadapi dilema
antara kewajiban memutus perkara dan risiko menerapkan norma yang bisa
dinyatakan inkonstitusional.
Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945
Karena tidak ada mekanisme
untuk menunda pemeriksaan, hakim terpaksa memutus sembari membawa
ketidakpastian itu ke dalam ruang sidang. Dari titik inilah isu tulisan ini diajukan.
Hakim Indonesia berada dalam ruang dilema ketika norma yang harus diterapkan
diragukan konstitusionalitasnya dan KUHP/KUHAP baru memperbesar ruang dilema
itu.
Sumpah Jabatan dan Tanggung Jawab
Konstitusional Hakim
Sumpah jabatan hakim
menyebut kewajiban menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sumpah ini bukan sekadar seremonial tetapi pernyataan
bahwa konstitusi adalah kompas nilai bagi tindakan hakim.
Dalam teori konstitusi
modern, ini mencerminkan apa yang disebut constitutional fidelity, yakni
kesetiaan hakim kepada prinsip dasar yang melampaui teks undang-undang (Balkin
2011). Dengan demikian, undang-undang bukanlah sumber legitimasi tertinggi. Ia
hanya instrumen yang harus dibaca dalam terang konstitusi.
Tanpa solusi, hakim harus
menavigasi ruang abu-abu antara memutus perkara dan menjaga nilai
konstitusional. Hakim sadar bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat mengubah
status pasal yang ia gunakan, tetapi tetap wajib memberikan putusan tanpa
menunda.
Dalam kondisi seperti ini, presumption
of constitutionality tidak dapat menjadi titik awal. Ketika
konstitusionalitas suatu pasal sedang digugat, memulai dari asumsi bahwa norma
itu pasti benar berarti mengabaikan sumber nilai yang seharusnya mendahului
kepastian formal. Seperti dijelaskan dalam studi institusi yudisial, norma
dasar negara harus menjadi kerangka interpretasi ketika hukum positif tidak
memberikan kepastian substansial (A. Stone Sweet, 2000).
Jalan Tengah Doktrin Konstitusional
Dalam praktik, beberapa hakim
telah mengembangkan mekanisme bertahan yang dapat disebut sebagai uji
konstitusional terselubung. Mereka melakukan constitutional conforming
interpretation untuk menghindari makna pasal yang berpotensi melanggar hak.
Mereka mengenyampingkan makna tertentu tanpa menyatakan undang-undang batal.
Strategi ini mirip dengan constitutional avoidance dalam tradisi
interpretasi di berbagai yurisdiksi demokratis (Eskridge 1988). Strategi
tersebut merupakan bentuk kesadaran etis bahwa konstitusi harus hadir dalam
penerapan hukum bahkan ketika instrumen formal belum disiapkan.
Namun batasnya jelas. Hakim
tidak membatalkan undang-undang. Hakim hanya memilih makna yang selaras dengan
nilai konstitusi. Pendekatan ini mirip dengan model Korea Selatan di mana hakim
memiliki diskresi untuk memilih apakah mengajukan constitutional question atau
terlebih dahulu menafsir norma dalam kasus konkret (Quintero, 2010). Model ini
memungkinkan hakim menjaga nilai konstitusi tanpa mengacaukan kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Pada kondisi dimana banyak
norma kabur, banyak potensi pembatasan hak, banyak pasal sedang diuji Mahkamah
Konstitusi. Ruang abu-abu semakin lebar dan peradilan membutuhkan orientasi
agar tidak kehilangan arah. Dalam situasi ini Mahkamah Agung dapat mengeluarkan
doktrin konstitusional sebagai solusi sementara. Doktrin itu dapat berisi
pedoman tafsir konstitusional, kewajiban mencatat bahwa pasal sedang diuji
Mahkamah Konstitusi, serta batas pengenyampingan makna yang tidak menyentuh
kewenangan pembatalan. Doktrin ini adalah jembatan institusional menuju
reformasi legislatif yang lebih permanen.
Reformasi Legislasi dan Urgensi
Constitutional Question dalam Sistem Indonesia
Dalam jangka panjang,
problem struktural ini hanya dapat diselesaikan melalui pembentukan mekanisme constitutional
question. Mekanisme ini memberi dasar hukum bagi hakim ketika meragukan
konstitusionalitas norma yang harus ia terapkan. Mekanisme ini memungkinkan
penundaan terbatas atau partial stay atas bagian tertentu dari norma
sambil meminta Mahkamah Konstitusi memberikan penilaian. Dengan demikian
peradilan tidak lagi terjebak antara kepastian hukum dan keadilan
konstitusional. Mekanisme ini umum dalam sistem civil law yang
mengembangkan hubungan dialogis antara peradilan umum dan peradilan konstitusi,
sebagaimana dijelaskan dalam kajian perluasan kekuasaan yudisial pada berbagai
negara modern (Tate dan Neal 1995).
Namun mekanisme ini tidak
akan berfungsi tanpa perubahan kultur hukum. Hakim harus dilatih untuk berpikir
konstitusional, bukan hanya tekstual. Pendidikan hakim perlu memasukkan lebih
banyak filsafat konstitusi, teori hak asasi manusia, dan metodologi
interpretasi. Tanpa kultur baru, reformasi legislatif hanya menjadi bentuk
tanpa roh. Dalam pandangan Fuller, hukum hanya bekerja ketika dijalankan oleh
komunitas yang memiliki orientasi moral terhadap tujuan hukum itu sendiri
(Fuller 1964). Prinsip itu sangat relevan bagi masa depan peradilan Indonesia.
Hakim di semua tingkatan adalah penjaga pertama nilai konstitusi dalam
penerapan hukum.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Peradilan
yang Lebih Konstitusional
Peradilan Indonesia sedang
berada dalam tahap penting untuk menentukan bagaimana konstitusi bekerja dalam
praktik sehari-hari. Hakim bertanggung jawab kepada konstitusi melebihi teks
undang-undang. Selama belum ada mekanisme constitutional question,
doktrin Mahkamah Agung menjadi kompas moral sementara. Namun persiapan bagi
reformasi sistemik tidak dapat ditunda jika negara ingin memastikan bahwa
setiap putusan pengadilan berakar pada nilai dasar konstitusi.
Ketika undang-undang
bermasalah dan Mahkamah Konstitusi sedang memeriksanya, konstitusi tetap harus
hadir dalam ruang sidang. Ia tidak hidup melalui dokumen, tetapi melalui
keputusan hakim yang memikul tanggung jawab menjaga nilai fundamental republik.
Karena itu, mengatur mekanisme constitutional question bukan sekadar
reformasi prosedur. Tetapi juga pengakuan bahwa konstitusi baru menjadi nyata ketika
ia hadir dalam putusan sehari-hari.
Referensi
Balkin J, 2011, Constitutional
Redemption Harvard University Press
Eskridge W, 1988, Dynamic Statutory
Interpretation University of Pennsylvania Law Review
Fukuyama F, 2004, State Building
Cornell University Press
Fukuyama F, 2014, Political Order and
Political Decay Farrar Straus and Giroux
Fuller L, 1964, The Morality of Law
Yale University Press
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Rodrigo González Quintero, Judicial
review in the Republic of Korea: an introduction, revista de derecho, universidad del norte,
34: 1-17, 2010
Stone Sweet A, 2000,
Governing with Judges Oxford University Press
Tate C Neal D 1995 The Global Expansion of Judicial Power NYU Press
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI