Pengesahan Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pada tanggal 18 November 2025 menandai
pembaruan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia, terutama melalui pengenalan
mekanisme pengakuan bersalah atau yang dikenal dengan istilah plea bargain
yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 RKUHAP juncto Pasal 78 RKUHAP.[1]
Melalui mekanisme
ini, Terdakwa dapat mengakui perbuatannya dan bersikap kooperatif. Pengakuan
bersalah dalam RKUHAP membuka peluang perubahan jenis acara pemeriksaan dari
acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat, berbeda dengan KUHAP
lama sama sekali tidak mengenal perubahan jenis acara setelah persidangan
dimulai. Oleh sebab itu, penulis akan menafsirkan bagaimana eksistensi peralihan
pemeriksaan acara biasa menjadi pemeriksaan acara singkat dalam Pasal 78 ayat
(9) RKUHAP.
Untuk itu terlebih
dahulu perlu dipahami filosofi pembedaan jenis pemeriksaan, dalam KUHAP lama, peralihan
yang dikenal adalah dari singkat ke biasa (Pasal 203 ayat 3 huruf b), apabila
Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan yang tidak bisa diselesaikan dalam
14 hari. Tidak ada mekanisme sebaliknya (biasa ke singkat) karena asumsinya
jika perkara sudah dianggap sulit (Biasa) oleh PU, ia tidak akan tiba-tiba
menjadi mudah.[2] Sedangkan dalam RKUHAP dapat "berubah
sifat" menjadi mudah dan sederhana melalui satu variabel kunci yakni terdapatnya
pengakuan bersalah dari Terdakwa.
Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law
Kekhawatiran
mengenai peralihan pemeriksaan acara dapat dijawab dengan memahami bahwa dasar
pembuktian berubah saat pengakuan bersalah terjadi. Dalam acara pemeriksaan
biasa, kompleksitas muncul karena adanya kewajiban pembuktian penuh (full
evidentiary hearing), memanggil saksi fakta, ahli, dan memeriksa barang
bukti secara detail untuk membuktikan dakwaan. Namun, ketika Pasal 78 RKUHAP
diterapkan dan hakim menerima pengakuan bersalah yang dilakukan secara sukarela
dan didukung bukti permulaan, maka unsur "kesulitan pembuktian"
menjadi gugur. Dengan adanya pengakuan, perkara yang ancamannya 5 tahun atau
lebih secara otomatis bermetamorfosis menjadi perkara yang "pembuktiannya
mudah" sesuai definisi acara pemeriksaan singkat dalam Pasal 257 ayat (1)
RKUHAP.
Dalam kerangka
normatif RKUHAP, pengakuan bersalah menjadi titik krusial yang memungkinkan
perubahan acara pemeriksaan. Pasal 78 ayat (9) memastikan bahwa apabila hakim
menerima pengakuan bersalah Terdakwa, persidangan dapat dilanjutkan dengan
acara singkat. Namun, pengakuan tersebut tidak dapat diterima begitu saja,
Pasal 205 ayat (2) mengharuskan hakim memeriksa apakah pengakuan diberikan secara
sukarela, tanpa paksaan, disertai pemahaman atas hak-hak Terdakwa, serta
didukung bukti permulaan yang memadai. Dengan demikian, pengakuan bersalah
dalam konteks RKUHAP tidak hanya merupakan pernyataan Terdakwa, tetapi juga
mengandung elemen waiver of rights, yaitu pelepasan hak Terdakwa untuk
diperiksa dengan acara biasa.[3]
Oleh karena itu,
perintah Pasal 78 ayat (9) untuk melanjutkan dengan acara singkat bukanlah
sebuah kekeliruan, melainkan konsekuensi logis. Jika tetap dilanjutkan dengan acara
biasa sedangkan Terdakwa sudah mengakui perbuatannya, maka asas peradilan cepat
dan biaya ringan akan terlanggar. Peralihan ini dapat memangkas tahapan
prosedural yang tidak lagi relevan (seperti pemeriksaan saksi yang panjang)
karena fakta hukum utama telah diakui.
RKUHAP kemudian
mengatur mekanisme acara singkat dalam Pasal 257 sampai dengan Pasal 260.
Pemeriksaan acara singkat bersifat ringkas dan sederhana, dengan pengurangan
formalitas pemeriksaan, termasuk tidak digunakannya surat dakwaan. Ketentuan
ini berbeda secara signifikan dari KUHAP lama yang lebih menekankan kepada administratif
tanpa melibatkan pengakuan bersalah sebagai syarat formal. Dalam KUHAP lama,
acara singkat ditentukan murni oleh penilaian Penuntut Umum, sedangkan dalam
RKUHAP penentuannya bersandar pada keabsahan pengakuan bersalah yang dinilai
oleh hakim. Dengan demikian, acara singkat dalam RKUHAP lebih bersifat
substantif dan menempatkan hakim sebagai gatekeeper proses.
Perbandingan antara
KUHAP lama dan RKUHAP menunjukkan adanya pergeseran paradigma. KUHAP hanya
memberikan ruang bagi Penuntut Umum untuk menentukan penggunaan acara singkat
sejak awal dan tidak membuka kemungkinan perubahan jenis acara setelah sidang
berlangsung. Sementara itu, RKUHAP memperbolehkan peralihan jenis acara yang
bahkan dapat terjadi di tengah persidangan, tergantung pada keabsahan pengakuan
bersalah Terdakwa. Perubahan ini menjadikan acara singkat bukan sekedar
mekanisme percepatan, tetapi bagian dari struktur kesepakatan yang mengutamakan
efektivitas sekaligus memberikan perlindungan hukum melalui peran hakim.
Jika dibandingkan
dengan sistem plea bargaining di Amerika Serikat, RKUHAP tampak
mengadopsi sejumlah prinsip penting meskipun tetap mempertahankan batasan
sistem civil law. Sistem Amerika Serikat memungkinkan 95% perkara
diselesaikan melalui plea.[4] Serta hakim diwajibkan
melakukan apa yang dikenal sebagai Boykin colloquy, yakni serangkaian
pertanyaan untuk memastikan bahwa pengakuan bersalah diberikan secara sadar dan
sukarela.[5] RKUHAP melakukan hal serupa melalui Pasal 205 ayat (2),
meskipun tidak seluas sistem di Amerika Serikat yang memberi ruang negosiasi
lebih terbuka antara Penuntut Umum dan Terdakwa. Peralihan dari pemeriksaan
biasa ke mekanisme setara plea juga dapat terjadi kapan saja dalam
sistem di Amerika Serikat, sedangkan RKUHAP membatasi peralihan tersebut hanya
menuju acara singkat dan mensyaratkan kepastian tertulis antara Terdakwa dan
Penuntut Umum.
Dari perspektif
normatif, peralihan acara dalam RKUHAP memperkuat posisi hakim sebagai pengawas
utama dalam melindungi hak Terdakwa. Hakim tidak hanya memutus perkara, tetapi
juga memastikan setiap pengakuan bersalah dilakukan secara tepat, bebas dari
tekanan, dan didukung dasar bukti yang cukup. Selain itu, mekanisme ini
memberikan potensi peningkatan efisiensi dalam penyelesaian perkara pidana,
terutama untuk perkara dengan pembuktian sederhana. Walaupun demikian, terdapat
risiko Terdakwa memberikan pengakuan demi keringanan hukuman, sebagaimana
kritik yang muncul dalam sistem di Amerika Serikat. Oleh karena itu, kualitas
pemeriksaan hakim terhadap pemahaman Terdakwa menjadi elemen penting untuk
menghindari terjadinya coerced plea, yakni pengakuan bersalah (plea)
yang dibuat di bawah paksaan.
Sebagai penutup, peralihan
dari acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat dalam Pasal 78
ayat (9) RKUHAP bukanlah hal yang keliru, melainkan sebuah pembaruan hukum yang
rasional, walaupun ke depannya masih diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut
untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam melaksanakan peralihan pemeriksaan acara
biasa menjadi acara singkat. (ikaw, ldr)
Referensi
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
2. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Naskah Final Paripurna).
3. Understanding a Waiver of Rights: Definition and Sample Use Cases, https://www. upcounsel.
com/waiver-of-rights-sample#:~:text=A%20waiver%20of%20 rights% 20is,and%20
when%20 waivers%20 are%20used.
4. Hukum Online, Menilik
praktik plea bargain di Amerika Serikat, https://www.hukumonline.com/ berita/a/menilik-praktik-plea-bargain-di-amerika-serikat-lt61d47796634ea/
5. Guilty Plea Issues, https://immigrantdefenseproject.org/wp-content/uploads/2014/07/
pleas-from-fahey-1.pdf
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI