Cari Berita

KUHAP BARU: Menafsirkan Peralihan Pemeriksaan Acara Biasa Menjadi Acara Singkat

Rafi Muhammad Ave-Hakim Pengadilan Negeri Blangkejeren - Dandapala Contributor 2025-12-01 11:35:44
Dok. Ist.

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pada tanggal 18 November 2025 menandai pembaruan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia, terutama melalui pengenalan mekanisme pengakuan bersalah atau yang dikenal dengan istilah plea bargain yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 RKUHAP juncto Pasal 78 RKUHAP.[1]

Melalui mekanisme ini, Terdakwa dapat mengakui perbuatannya dan bersikap kooperatif. Pengakuan bersalah dalam RKUHAP membuka peluang perubahan jenis acara pemeriksaan dari acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat, berbeda dengan KUHAP lama sama sekali tidak mengenal perubahan jenis acara setelah persidangan dimulai. Oleh sebab itu, penulis akan menafsirkan bagaimana eksistensi peralihan pemeriksaan acara biasa menjadi pemeriksaan acara singkat dalam Pasal 78 ayat (9) RKUHAP.

Untuk itu terlebih dahulu perlu dipahami filosofi pembedaan jenis pemeriksaan, dalam KUHAP lama, peralihan yang dikenal adalah dari singkat ke biasa (Pasal 203 ayat 3 huruf b), apabila Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan yang tidak bisa diselesaikan dalam 14 hari. Tidak ada mekanisme sebaliknya (biasa ke singkat) karena asumsinya jika perkara sudah dianggap sulit (Biasa) oleh PU, ia tidak akan tiba-tiba menjadi mudah.[2] Sedangkan dalam RKUHAP dapat "berubah sifat" menjadi mudah dan sederhana melalui satu variabel kunci yakni terdapatnya pengakuan bersalah dari Terdakwa.

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Kekhawatiran mengenai peralihan pemeriksaan acara dapat dijawab dengan memahami bahwa dasar pembuktian berubah saat pengakuan bersalah terjadi. Dalam acara pemeriksaan biasa, kompleksitas muncul karena adanya kewajiban pembuktian penuh (full evidentiary hearing), memanggil saksi fakta, ahli, dan memeriksa barang bukti secara detail untuk membuktikan dakwaan. Namun, ketika Pasal 78 RKUHAP diterapkan dan hakim menerima pengakuan bersalah yang dilakukan secara sukarela dan didukung bukti permulaan, maka unsur "kesulitan pembuktian" menjadi gugur. Dengan adanya pengakuan, perkara yang ancamannya 5 tahun atau lebih secara otomatis bermetamorfosis menjadi perkara yang "pembuktiannya mudah" sesuai definisi acara pemeriksaan singkat dalam Pasal 257 ayat (1) RKUHAP.

Dalam kerangka normatif RKUHAP, pengakuan bersalah menjadi titik krusial yang memungkinkan perubahan acara pemeriksaan. Pasal 78 ayat (9) memastikan bahwa apabila hakim menerima pengakuan bersalah Terdakwa, persidangan dapat dilanjutkan dengan acara singkat. Namun, pengakuan tersebut tidak dapat diterima begitu saja, Pasal 205 ayat (2) mengharuskan hakim memeriksa apakah pengakuan diberikan secara sukarela, tanpa paksaan, disertai pemahaman atas hak-hak Terdakwa, serta didukung bukti permulaan yang memadai. Dengan demikian, pengakuan bersalah dalam konteks RKUHAP tidak hanya merupakan pernyataan Terdakwa, tetapi juga mengandung elemen waiver of rights, yaitu pelepasan hak Terdakwa untuk diperiksa dengan acara biasa.[3]

Oleh karena itu, perintah Pasal 78 ayat (9) untuk melanjutkan dengan acara singkat bukanlah sebuah kekeliruan, melainkan konsekuensi logis. Jika tetap dilanjutkan dengan acara biasa sedangkan Terdakwa sudah mengakui perbuatannya, maka asas peradilan cepat dan biaya ringan akan terlanggar. Peralihan ini dapat memangkas tahapan prosedural yang tidak lagi relevan (seperti pemeriksaan saksi yang panjang) karena fakta hukum utama telah diakui.

RKUHAP kemudian mengatur mekanisme acara singkat dalam Pasal 257 sampai dengan Pasal 260. Pemeriksaan acara singkat bersifat ringkas dan sederhana, dengan pengurangan formalitas pemeriksaan, termasuk tidak digunakannya surat dakwaan. Ketentuan ini berbeda secara signifikan dari KUHAP lama yang lebih menekankan kepada administratif tanpa melibatkan pengakuan bersalah sebagai syarat formal. Dalam KUHAP lama, acara singkat ditentukan murni oleh penilaian Penuntut Umum, sedangkan dalam RKUHAP penentuannya bersandar pada keabsahan pengakuan bersalah yang dinilai oleh hakim. Dengan demikian, acara singkat dalam RKUHAP lebih bersifat substantif dan menempatkan hakim sebagai gatekeeper proses.

Perbandingan antara KUHAP lama dan RKUHAP menunjukkan adanya pergeseran paradigma. KUHAP hanya memberikan ruang bagi Penuntut Umum untuk menentukan penggunaan acara singkat sejak awal dan tidak membuka kemungkinan perubahan jenis acara setelah sidang berlangsung. Sementara itu, RKUHAP memperbolehkan peralihan jenis acara yang bahkan dapat terjadi di tengah persidangan, tergantung pada keabsahan pengakuan bersalah Terdakwa. Perubahan ini menjadikan acara singkat bukan sekedar mekanisme percepatan, tetapi bagian dari struktur kesepakatan yang mengutamakan efektivitas sekaligus memberikan perlindungan hukum melalui peran hakim.

Jika dibandingkan dengan sistem plea bargaining di Amerika Serikat, RKUHAP tampak mengadopsi sejumlah prinsip penting meskipun tetap mempertahankan batasan sistem civil law. Sistem Amerika Serikat memungkinkan 95% perkara diselesaikan melalui plea.[4] Serta hakim diwajibkan melakukan apa yang dikenal sebagai Boykin colloquy, yakni serangkaian pertanyaan untuk memastikan bahwa pengakuan bersalah diberikan secara sadar dan sukarela.[5] RKUHAP melakukan hal serupa melalui Pasal 205 ayat (2), meskipun tidak seluas sistem di Amerika Serikat yang memberi ruang negosiasi lebih terbuka antara Penuntut Umum dan Terdakwa. Peralihan dari pemeriksaan biasa ke mekanisme setara plea juga dapat terjadi kapan saja dalam sistem di Amerika Serikat, sedangkan RKUHAP membatasi peralihan tersebut hanya menuju acara singkat dan mensyaratkan kepastian tertulis antara Terdakwa dan Penuntut Umum.

Dari perspektif normatif, peralihan acara dalam RKUHAP memperkuat posisi hakim sebagai pengawas utama dalam melindungi hak Terdakwa. Hakim tidak hanya memutus perkara, tetapi juga memastikan setiap pengakuan bersalah dilakukan secara tepat, bebas dari tekanan, dan didukung dasar bukti yang cukup. Selain itu, mekanisme ini memberikan potensi peningkatan efisiensi dalam penyelesaian perkara pidana, terutama untuk perkara dengan pembuktian sederhana. Walaupun demikian, terdapat risiko Terdakwa memberikan pengakuan demi keringanan hukuman, sebagaimana kritik yang muncul dalam sistem di Amerika Serikat. Oleh karena itu, kualitas pemeriksaan hakim terhadap pemahaman Terdakwa menjadi elemen penting untuk menghindari terjadinya coerced plea, yakni pengakuan bersalah (plea) yang dibuat di bawah paksaan.

Sebagai penutup, peralihan dari acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat dalam Pasal 78 ayat (9) RKUHAP bukanlah hal yang keliru, melainkan sebuah pembaruan hukum yang rasional, walaupun ke depannya masih diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam melaksanakan peralihan pemeriksaan acara biasa menjadi acara singkat. (ikaw, ldr)

 

Referensi

1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2.    Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Naskah Final Paripurna).

3.    Understanding a Waiver of Rights: Definition and Sample Use Cases, https://www. upcounsel. com/waiver-of-rights-sample#:~:text=A%20waiver%20of%20 rights% 20is,and%20 when%20 waivers%20 are%20used.

4.    Hukum Online, Menilik praktik plea bargain di Amerika Serikat, https://www.hukumonline.com/ berita/a/menilik-praktik-plea-bargain-di-amerika-serikat-lt61d47796634ea/

Baca Juga: Merangkai Paramater Pembuktian Sederhana dalam Pemeriksaan Singkat: Dari Asas Contante Justice hingga Beban Kerja Hakim

5.    Guilty Plea Issues, https://immigrantdefenseproject.org/wp-content/uploads/2014/07/ pleas-from-fahey-1.pdf

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…