Di pedalaman Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat sebuah komunitas adat yang tetap teguh memegang tradisi leluhur meskipun dunia di luar mereka terus berubah. Mereka adalah Suku Boti, kelompok masyarakat hukum adat yang terisolasi dari modernisasi, dan patuh pada aturan adat yang telah diwariskan turun-temurun. Suku Boti mendiami wilayah perbukitan di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur
Beberapa waktu lalu, penulis dengan beberapa rekan hakim dari Pengadilan Negeri Soe berkesempatan mengunjungi Suku Boti dan bertemu langsung dengan Raja Boti di istananya. Untuk mencapai Istana Boti dari Kota SoE -Ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan- kami harus menempuh jarak sekitar 43 kilometer. Perjalanan saat itu memakan waktu kurang lebih tiga jam karena kondisi jalan yang tidak seluruhnya beraspal. Semakin mendekati Istana Boti, semakin berat medan yang akan dilalui, kendaraan pun harus merangkak pelan. Terutama saat memasuki ruas jalan yang banyak terdapat gundukan bebatuan liar dan jalan tanah yang belum tersentuh pengerasan sama sekali. Tak cukup hanya melewati jalan berbatu, rombongan kami juga harus menantang arus sungai selebar 300 meter. Tidak ada jembatan, tidak pula titian; hanya derasnya air dan kepercayaan bahwa kendaraan kami bisa menaklukkan sungai liar itu. Seolah-olah alam sengaja menguji seberapa besar tekad kami untuk sampai ke Istana Boti!
Sesampainya di Istana Boti, Usif (sebutan bagi raja di Pulau Timor) Boti, bernama Namah Benu menyambut kami dengan ramah, menghidangkan teh herbal wangi dan pisang goreng renyah yang dimasak dengan minyak kelapa murni. Percakapan pun mengalir, meski harus melalui seorang penerjemah, sebab Suku Boti tetap setia menggunakan Bahasa Dawan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah
Kehidupan Sosial
Masyarakat Boti dibagi menjadi dua, yakni Boti Luar dan Boti Dalam. Boti Luar adalah sebutan bagi warga Boti yang sudah memeluk agama dan mengenal pendidikan formal, sedangkan yang masih memegang kuat kepercayaan nenek moyang dan belum tersentuh pendidikan disebut sebagai Boti Dalam.
Suku Boti menganut sistem perkawinan monogami. Bagi Suku Boti, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan ritual sakral yang dijaga ketat sesuai adat leluhur. Ciri paling kentara terlihat dari penampilan para pria Boti, pria boti yang telah menikah harus memanjangkan rambut dan mengikatnya dalam bentuk konde, sebagai simbol status dan komitmen rumah tangga. Berbeda dengan para bujangan Boti justru bebas memotong rambut mereka. Perbedaan gaya rambut ini bukan sekadar tradisi biasa, melainkan penanda sosial yang tegas pada masyarakat Boti.
Suku Boti dengan teguh mempertahankan prinsip hidup selaras dengan alam, termasuk dengan sengaja menolak penggunaan listrik karena meyakini bahwa energi modern tersebut akan merusak kemurnian lingkungan mereka. Bagi masyarakat adat ini, cahaya obor sebagai penerang bukan sekadar pilihan, melainkan bentuk penghormatan terhadap alam yang telah memberikan segala kebutuhan hidup secara alami.
Suku Boti telah membuktikan bahwa hidup selaras dengan alam adalah kunci kemandirian pangan. Mereka mengolah lahan secara tradisional, menghindari segala bentuk bahan kimia yang dapat merusak tanah. Hasil bumi seperti jagung, ubi, dan kacang-kacangan tidak hanya memenuhi kebutuhan harian, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa alam akan memberikan kelimpahan ketika dirawat dengan penuh penghormatan. Yang lebih mengagumkan, menurut Namah Benu tidak ada kasus stunting pada Boti Dalam, padahal angka stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah yang tertinggi di NTT. Hal ini membuktikan bahwa cara hidup tradisional mereka justru menciptakan masyarakat yang lebih kuat dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang sudah modern.
Kepercayaan Suku Boti
Masyarakat Boti menganut kepercayaan Dinamisme, mereka menghargai alam sebagai tempat penghidupan sehingga selalu merawat alam dan menyembah uis pah selaku penguasa alam dunia dan uis neno penguasa alam baka. Aliran kepercayaan ini mereka sebut dengan Halaika.
Suku Boti memegang teguh keyakinan leluhur mereka. Larangan untuk berpindah agama, termasuk ke Kristen Protestan yang menjadi mayoritas agama yang dianut di Kabupaten Timor Tengah Selatan, ditegaskan tanpa kompromi. Bahkan, warga luar yang menikah dengan putra-putri Boti pun diwajibkan memeluk Halaika, kepercayaan turun-temurun suku ini.
Sebaliknya, bila ada anggota Boti yang memilih pasangan dari luar dan meninggalkan Halaika, konsekuensinya jelas, yakni mereka akan dikucilkan. Mereka harus rela terputus dari kehidupan komunitas yang telah dijaga ratusan tahun.
Sanksi Adat Yang Efektif
Suku Boti memiliki filosofi tersendiri dalam menegakkan hukum di komunitas mereka. Mereka meyakini bahwa pencuri bukanlah orang jahat, melainkan orang yang sedang dalam kesulitan. Jika ada anggota suku ketahuan mencuri, Raja Boti justru akan memberikan modal usaha agar orang tersebut tidak mengulangi perbuatannya.
Namah Benu, bercerita bahwa suatu hari sapinya pernah dicuri. Alih-alih menghukum si pencuri, ia justru menyerahkan sapi itu kepadanya. Hasilnya? Orang itu kini menjadi warga yang baik dan taat aturan. Raja Boti juga menceritakan kasus seorang warga yang kedapatan mencuri pisang. Daripada menghukumnya, sang raja memerintahkan beberapa orang untuk menanam pohon pisang di kebun si pencuri.
Bagi Suku Boti, hukuman represif hanya akan membuat pelaku kembali melakukan kejahatan. Itulah mengapa mereka memilih pendekatan yang lebih manusiawi, dengan mencoba memulihkan, bukan menghukum. Dengan memberikan barang curian kepada si pencuri, rasa malu akan membuatnya jera, sekaligus memotivasinya untuk berubah.
Baca Juga: Selayang Pandang Kota Tanjungpinang, dari Tempat Wisata hingga Kuliner
Matahari mulai condong ke barat, tiba saatnya kami berpamitan kepada Usif Namah Benu dan memulai perjalanan pulang ke Kota SoE. Kunjungan singkat ini meninggalkan kesan mendalam tentang Istana Boti, sebuah permata budaya, yang reputasinya telah mendunia. Keramahan masyarakatnya dan keaslian tradisi yang tetap terjaga yang kami lihat hari itu mampu membuat kami kagum.
Bagi para petualang budaya yang ingin menyambangi Istana Boti, bersiaplah untuk merasakan pengalaman yang tak biasa. Medan perjalanan yang menantang, terutama saat musim hujan, justru menjadi bagian dari pesona Boti yang unik. Jalanan terjal dan akses yang kadang terisolasi ini bukanlah hambatan, melainkan gerbang menuju sebuah dunia yang penuh misteri, di mana waktu seakan berhenti, di mana tradisi dan alam masih bersatu dalam harmoni. (mnj/wi)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum